Ekonomi Islam memiliki kekhasan sendiri. Ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdimensi ketuhanan, kemanusiaan, dan moral sekaligus. Dikatakan berketuhanan sebab titik tolaknya dari Allah, tujuannya untuk Allah, dan tata caranya tidak menyimpang dari syari’at Allah.
Berbagai aktivitas ekonomi, produksi, konsumsi, pertukaran, dan distribusi diikat oleh tujuan yang berketuhanan. Seorang Muslim memproduksi sesuatu karena memenuhi perintah Allah sebagaimana dalam Firman-Nya:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
Artinya : “Dialah yang menjadikan bumi mudah bagi kamu, maka berjalanlah di penjuru-penjurunya dan makanlah dari rizki-Nya dan kepada-Nyalah dibangkitkan”. (al-Mulk 15).
Dengan begitu, para petani, tukang, pengusaha, ataupun pedagang merasakan sedang beribadah kepada Allah dengan pekerjaan-pekerjaannya. Setiap kali hasil yang didapat bertambah, bertambah pula ketaqwaan dan kedekatan kepacla Allah swt.
Saat mengonsumsi dan memakan hasil-hasil produksinya, juga karena menaati perintah Allah:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا
وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ
مُبِينٌ
Artinya : “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu"(QS. al-Baqarah 168).
Ia akan menikmati secukupnya dan proporsional, karena ada perintah Allah:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Saat menjual, membeli, menyewakan, menyewa serta melakukan pertukaran barang dan jasa lalnnya, ia akan tetap berada dalam batas-batas aturan Allah di bidang mu’amalat: tidak melakukan pekerjaan haram, dan tidak pula mengembangkan pekerjaannya dengan cara yang haram, tidak memakan riba, tidak menimbun, tidak menzhalimi, tidak menipu, tidak bertaruh, tidak mencuri, dan tidak menyuap. Ia akan mengerjakan hal-hal yang jelas halal, menjauhi hal-hal yang jelas haram, berhati-hati pada perkara-perkara yang syubhat (ragu-ragu antara halal dan haram, pen) sekemampuannya untuk membersihkan agama dan kehormatan dirinya, serta menjauhi batas marka keharaman karena takut terjatuh ke dalamnya. Dengan demikian, ia sungguh telah menjaga perintah-perintah dan larangan-larangan Allah:
Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharankan riba”. “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah apa yang tersisa dari riba jika kalian beriman. Maka jika kalian tidak melakukannya, Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian”. Dan sabda Rasul :
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
Pada saat memiliki harta, ia tidak mengikirkannya untuk kebaikan dan tidak membelanjakannya untuk kemaksiatan. Dengan kata lain tidak menahan harta itu untuk digunakan pada jalan kebenaran dan tidak mempergunakan dalam kebatilan. Kepemilikannya pada harta tidak mutlak dalam arti melakukan apa yang dikehendaki dan mempergunakan harta sesuai keinginan, tapi tetap pada aturan-aturan perekonomian yang tunduk pada akidah.
Ekonomi dalam Islam bukan tujuan, tapi penting bagi manusia. Ekonomi menjadi salah satu jalan untuk meraih berbagai cita-cita yang tinggi. Hal itu telah digariskan dan harus tunduk pada akidah dan risalah (wahyu). Islam adalah sistem yang sempurna mengenai seluruh aspek kehidupan: kehidupan individu, kehidupan masyarakat; aspek pemikiran, spiritual, moral, ekonomi, kemasyarakatan, dan politik. Ekonomi adalah salah satu sisi aspeknya yang dinamis dan penting. Namun demikian, ekonomi tidak dijadikan asas kehidupan, pusat perhatian, sasaran kerasulan, tujuan peradaban, dan kepentingan utama ummat.
Rahasia semua itu adalah bahwa sistem hidup ini terpancar dari akidah (keyakinan) yang panipuma tentang alam, kehidupan, manusia, sumber asal alam ini, pemberi hidup dan pencipta manusia. Satu keyakinan yang sanggup berbicara pada akal dan sesuai dengan fitrah saat menafsirkan seluruh fenomena yang ada dan pada saat harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan manusia sejak manusia mulai berpikir dan berspekulasi tentang asal-usul dirinya, untuk apa ada, dari mana dirinya dan alam luas ini datang, serta siapa yang menciptakan dan mengaturnya, apa hubungan manusia dengan sang pencipta, ke mana akan pergi setelah kehidupan ini usai, kenapa hidup dan kenapa mati. Keyakinan-keyakinan paripuma tentang hal-hal itu menjadi dasar semua sistem Islam yang di dalamnya terdapat sistem ekonomi.
Sistem dalam Islam, bahkan dalarn semua aliran merupakan turunan dan keyakinannya dan selalu tunduk pada keyakinan itu. Hal yang penting dalam sebuah system-sistem apapun adalah menjaga keyakinannya, memperdalam akar keyakinan itu, menyebarkannya, dan merumuskan bentuk praktis yang diambil dari keyakinan itu, dan memperjelas tujuan-tujuannya dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, sistem hidup Islam merupakan satu sistem hidup tersendiri. Sistem ini meliputi:
a. Berbagai bentuk ibadah (ritual) yang mampu mempertinggi derajat spiritualitas dan menghubungkan manusia dengan Tuhannya;
b. Sistem moral yang dapat memelihara naluri manusia dan mensucikan diri;
c. Tata sopan santun yang dapat menaikkan derajat dan memperindah hidup;
d. Sistem syariah (hukum) yang dapat menjelaskan halal-haram; menegakkan keadilan, mencegah tindakan-tindakan aniaya dan keji; mengatur hubungan individu dengan individu, individu dengan keluarga, Individu dengan masyarakat, dan masyarakat dengan masyarakat lain atas dasar persaudaraan, kesetaraan, dan keadilan; menjelaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seperti menetapkan hukuman-hukuman yang dapat mendidik orang yang mangkir, menghentikan orang yang menghina hukum, dan menjaga batasan-batasan Allah serta hak-hak manusia.
Jika sebagian sistem di dunia menjadikan makanan sebagai tujuan, perut sebagai pusat hidup, ekonomi sebagai urusan terpenting, dunia sebagai cita-cita terbesar dan objek pengetahuan utama, materi sebagai sandaran hidup bahkan sebagai sandaran peradaban dan poros filsafat dan pemikiran, maka sistem Islam memperhatikan hal-hal tersebut sebagai jalan menuju tujuan, sebagai cabang bukan asal. Sistem Islam mengarahkan cita-cita terbesarnya untuk mengangkat manusia dari kegelapan materi, tarikan-tarikan tanah, dan jatuhnya naluri-naluri menuju terpancamya ruh dari petunjuk langit, serta tercapainya akhlak tertinggi. Sesungguhnya ekonomi Islam adalah ekonomi ketuhanan, karena terpancar dari keyakinan (akidah) berketuhanan pula, yaitu tauhid yang dengannya Allah mengutus rasul dan menurunkan kitab. Pada praktiknya, ekonomi Islam menjadi penjelas keyakinan ini dan sekaligus tunduk padanya.
Ekonomi Islam dengan segenap kekuatan berusaha mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi para penganutnya seperti tercukupinya kebutuhan-kebutuhan dan keperluan-keperluan hidup. Akan tetapi ekonomi Islam tidak menghendaki hidup ini menjadi tujuan utama. Ekonomi Islam tetap menginginkan keselamatan di kehidupan yang lebih tinggi, lebih suci, dan lebih damai yaitu kehidupan kekal di akhirat yang disediakan Allah bagi hamba-hambanya yang beriman.
Ekonomi Islam adalah ekonomi ketuhanan karena titik tolak tujuan dan arahannya berketuhanan. Cita-citanya agar manusia tidak hidup dalam kelaparan atau ketakutan, agar kefakiran tidak menyeret pada kekufuran, agar kelaparan tidak melemparkan pada perbuatan dosa, dan agar ‘suara-suara” makanan tidak lebih keras dari suara Iman. Hal lain yang mempertegas dimensi ketuhanan dalarn ekonomi Islam adalah inner motivation (motivasi dalam diri) yang tumbuh dari keimanan seorang Muslim. Motivasi itulah yang menjadikan dirinya sebagai pengawas atas diri sendiri. Dia tidak akan menoleransi dirinya sendiri mengambil yang bukan haknya atau memakan harta orang lain dengan cara yang bathil. Tidak memungut keuntungan dari kelemahan orang-orang yang lemah atau dari kebutuhan orang yang tengah dilanda krisis pangan, obat-obatan, dan pakaian. Dia tidak akan memanfaatkan kesempatan semacam itu untuk mencari keuntungan di tengah jeritan orang-orang lapar dari kesengsaraan orang yang tengah dilanda kesusahan.
Sebagai Muslim dia yakin bahwa ini ia tengah diawasi Tuhannya dan kelak akan dihisab. Itulah alat kontrol pertama yang mampu mengungguli alat kontrol lain. Bahkan pengawas apapun tidak ada yang lebih baik darinya. Maka atas dasar keyakinan itu, dia akan memilih pekerjaan yang halal lagi baik dan menjauhi pekerjaan-pekerjaan haram serta buruk. Dia tidak akan memperkenankan secuilpun makanan haram sampai ke tenggorokannya. Setiap daging yang tumbuh dari makanan haram, maka nerakalah bagiannya. Dia pun tak akan rela ada sepeser uang masuk ke dalam kantongnya dari usaha yang haram, sekalipun diputuskan halal atas oleh seribu pengadilan. Pengadilan memutuskan perkara hanya lahirnya saja, sementara Allah Yang Esa mengetahui yang tersernbunyi. Hati seorang mu’minlah yang menjadi hakim dan mufti (pemberi fatwa) yang sebenamya, sekalipun manusia memberikan fatwa kepadanya, seperti firman Allah:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا
إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ
بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dalam sebuah hadits dikatakan:
“Kalian datang mengadu kepadaku agar sebagian di antara kalian dapat menutupi kebutuhannya dari sebagian harta milik orang lain. LaIu aku memutuskan perkara sejauh yang aku dengar. Jika ada orang yang telah aku beri keputusan ternyata mengambil hak orang lain (yang sebenarnya), maka itu adalah potongan api neraka. Hendaklah ia ambil itu atau ia tinggalkan". Yang menjadi pemutus perkara dalam hadits itu adailah Rasulullah saw. Akan tetapi Ia memutuskan berdasarkan bukti-bukti yang tampak sesuai kebiasaan yang berlaku dari keterangan-keterangan sebelumnya. Bisa saja dia selamat di dunia tapi tetap tidak akan mengubah hak-hak sesungguhnya di hadapan Allah pada hari ditampakkan semua yang tersembunyi (kiamat). Seorang Muslim yang takut dan taqwa kepada Allah akan meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang meragukan dan mencari yang tidak meragukan. Ia pun akan berhati-hati terhadap perkara-perkara yang syubhat, karena takut terjatuh ke dalam jurang keharaman, seperti dikatakan dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari:
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْحَلَالُ
بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا
كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ
لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى
حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ
حِمًى أَلَا إِنَّ حِمَى اللَّهِ فِي أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ
فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا
فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
Seorang Muslim yang bertaqwa pada Tuhannya akan menjadikan antara dirinya dan perkara-perkara yang haram suatu penghalang berupa hal-hal yang halal. Ia pun berusaha menjauhi tempat-tempat yang dapat mendekatkan pada hal-hal yang haram dan syubhat. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dikatakan: "Seorang hamba tidak akan mencapai derajat taqwa sampai dia dapat meninggakan sesuatu yang sebenarnya tidak buruk, karena takut terjerumus pada sesuatu yang buruk (akibat melakukan hal-hal yang tidak buruk itu)".
Pemikiran tentang halal dan haram adalah pemikiran yang jelas dalam akal dan hati seorang Muslim. Dia yakin bahwa kelak akan ditanyai di hadapan Allah tentang hartanya; darimana Ia dapat dan ke mana Ia belanjakan.
(Diterjemahkan dari Hilmi Abdul Madjid (ed.), Mukhtaraat Al-Islamiyyah, az-Zahra lil I’lam Al-Arabi, Mesir 1995 oleh Tiar Anwar Bahtiar dan disempurnakan oleh khazanah 77 )
0 komentar: