Betapa indah lagi mudah, kokoh dan kukuhnya kehidupan ketika ikatan persaudaraan terjalin di antara kaum Mu’minin. Berbagai peristiwa menakjubkan lebih-lebih setelah hijrah Rasul dan para sahabat menjadi momentum yang sekaligus menjadi bukti tingkat loyalitas atau kesetiaan masing-masing insan beriman kepada saudara mereka seiman. (QS. al-Anfaal:72). Tingkat kesetiaan itu terus terangkat bahkan semakin mengikat hingga mencapai tahap yang lebih erat dari tuntutan kekerabatan. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, tatkala mereka dipersaudarakan oleh Rasulullah, mereka saling mewariskan. Pewarisan semacam itu lebih didahulukan ketimbang pada keluarga. Sampai kemudian ketetapan ini di nasakh (hapus) oleh Allah swt.
Saling Membantu
Ikatan persaudaraan seperti itu inerupakan tuntutan perjuangan sepanjang masa, selama adanya perjuangan itu. Karena misi perjuangan da’wah Islam mutlak membutuhkan persatuan yang kuat antara sesama pendukungnya. Bayangkan, masyarakat kafir yang terdiri atas berbagai faksi dan kelompok yang berbeda, namun dalam menghadapi kaum Muslimin mereka bersatu. Sesama kafir saling membantu, saling menyokong, saling bahu membahu dengan memeras tenaga dan otak untuk menghalangi gerak laju penyebaran da’wah Islam. Sayyib Quthb mengungkapkan dalam Dzilaal, bahwa masyarakat jahiliyah tak bergerak secara individual. Mereka bergerak bagai sebuah struktur organisasi yang memiliki anggota. Para anggotanya saling menopang sesuai tabiat mereka untuk mempertahankan diri. Maka untuk menghadapi mereka harus juga dengan sebuah struktur yang memiliki karakteristik sama, tetapi lebih dalam, kokoh dan kuat. Hal ini Allah sinyalir dalam ayat 136 surat al-Anfaal:
“Sesungguhnya orang-orang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah…”
Musuh Islam Selalu Khawatir Bayang-bayang ancaman kaum kafir tidak akan pernah hilang. Mereka akan terus mencari kesempatan dan berupaya melampiaskan kedengkiannya kepada Islam dan para pengikutnya. Allah telah ingatkan agar jangan sekali-kali lengah:
“Sebagian besar AhIi Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena kedengkian yang timbul dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran itu”. (QS. al-Baqarah 109).
Maka semakin jelas bila sekarang, orang-orang Muslim yang berusaha komitmen terhadap agama mereka sendiri justru dituduh dengan berbagai sebutan, yang sebenarnya mereka sendiri (Yahudi dan Nasrani) yang amat pantas dan jelas faktanya untuk menyandang tuduhan-tuduhan itu. Seperti tuduhan teroris misalnya. Bisakah difahami dan bagaimana cara memahami jika si perampok negara, si pembunuh dan penindas dengan tanpa beban mengatakan teroris kepada mereka yang berusaha mempertahankan negeri, harta dan harga diri mereka sendiri? Seorang pemimpin yang terpilih melalui sistem demokrasi yang sah malah digulingkan hanya karena retorikanya ingin menjalankan syariat Allah di negerinya sendiri. Sebaliknya, umat islam yang berusaha dan berjuang meminta ditegakkannya keadilan kepada sang penista Al-Qur’an justru dituduh hendak melakukan makar terhadap pemerintah. Allah Maha Besar, musuh-musuh Islam saling melindungi, bahu-membahu untuk melampiaskan kedengkian mereka, menaklukkan kaum Muslimin:
‘Adapun orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi Sebagian yang lain. Jika kamu tidak melaksanakan apa yang Allah perintahkan itu (saling melindungi), niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar”. (QS. Al-Anfaal : 73).
Saling Membantu
Ikatan persaudaraan seperti itu inerupakan tuntutan perjuangan sepanjang masa, selama adanya perjuangan itu. Karena misi perjuangan da’wah Islam mutlak membutuhkan persatuan yang kuat antara sesama pendukungnya. Bayangkan, masyarakat kafir yang terdiri atas berbagai faksi dan kelompok yang berbeda, namun dalam menghadapi kaum Muslimin mereka bersatu. Sesama kafir saling membantu, saling menyokong, saling bahu membahu dengan memeras tenaga dan otak untuk menghalangi gerak laju penyebaran da’wah Islam. Sayyib Quthb mengungkapkan dalam Dzilaal, bahwa masyarakat jahiliyah tak bergerak secara individual. Mereka bergerak bagai sebuah struktur organisasi yang memiliki anggota. Para anggotanya saling menopang sesuai tabiat mereka untuk mempertahankan diri. Maka untuk menghadapi mereka harus juga dengan sebuah struktur yang memiliki karakteristik sama, tetapi lebih dalam, kokoh dan kuat. Hal ini Allah sinyalir dalam ayat 136 surat al-Anfaal:
“Sesungguhnya orang-orang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah…”
Musuh Islam Selalu Khawatir Bayang-bayang ancaman kaum kafir tidak akan pernah hilang. Mereka akan terus mencari kesempatan dan berupaya melampiaskan kedengkiannya kepada Islam dan para pengikutnya. Allah telah ingatkan agar jangan sekali-kali lengah:
“Sebagian besar AhIi Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena kedengkian yang timbul dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran itu”. (QS. al-Baqarah 109).
Maka semakin jelas bila sekarang, orang-orang Muslim yang berusaha komitmen terhadap agama mereka sendiri justru dituduh dengan berbagai sebutan, yang sebenarnya mereka sendiri (Yahudi dan Nasrani) yang amat pantas dan jelas faktanya untuk menyandang tuduhan-tuduhan itu. Seperti tuduhan teroris misalnya. Bisakah difahami dan bagaimana cara memahami jika si perampok negara, si pembunuh dan penindas dengan tanpa beban mengatakan teroris kepada mereka yang berusaha mempertahankan negeri, harta dan harga diri mereka sendiri? Seorang pemimpin yang terpilih melalui sistem demokrasi yang sah malah digulingkan hanya karena retorikanya ingin menjalankan syariat Allah di negerinya sendiri. Sebaliknya, umat islam yang berusaha dan berjuang meminta ditegakkannya keadilan kepada sang penista Al-Qur’an justru dituduh hendak melakukan makar terhadap pemerintah. Allah Maha Besar, musuh-musuh Islam saling melindungi, bahu-membahu untuk melampiaskan kedengkian mereka, menaklukkan kaum Muslimin:
‘Adapun orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi Sebagian yang lain. Jika kamu tidak melaksanakan apa yang Allah perintahkan itu (saling melindungi), niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar”. (QS. Al-Anfaal : 73).
Ayat di atas meminta kaum Muslimin untuk melakukan hal yang sama, seperti yang dilakukan musuh-musuh Islam, yakni menyatu padukan seluruh kaum Muslimin guna menghadapi mereka. Sebab nuansa persatuan inilah yang kelak tidak hanya mampu menahan gempuran musuh-musuh Islam, tetapi juga mampu menarik simpatik ummat manusia kepada Islam. Sebaliknya bila setiap Muslim enggan merealisasikan hal ini maka mereka harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah. Selain memikul pula berbagai penderitaan di dunia berupa kekalahan akibat terjadinya perpecahan, fitnah dan kerusakan yang dahsyat. Tidakkah semakin difahami, ketika krisis yang kini menimpa ummat Islam? Ternyata di sekelilingnya ada makar dan persekongkolan Salibis, Zionis dan Komunis yang terus berupaya menguras kekuatan Islam di berbagai tempat. Memang menakjubkan, meski dalam ideologi dan agama berbeda, narnun menghadapi Islam mereka bersatu. Dan sungguh mengherankan, kaum Muslimin agamanya sama, Tuhannya sama, Nabinya sama, Kitabnya sama, Kiblatnya sama tapi sulit bersatu justru ketika menghadapi musuh yang sama. Karena itu semua, Rasulullah saw. melandasi pembinaan ummat pada masayarakat Islam di Madinah pertama kali dengan langkah taakhi (mempersaudarakan). Faktor persaudaraan, keterikatan dan kesetiaan satu sama lain akan menjadi tulang punggung dalam masyarakat. Rasulullah berusaha membangun masyarakat yang berdiri di atas keyakinan wihdatul ‘aqidah (persamaan ‘aqidah) dan wihdatul ghayah (persamaan tujuan) hingga memunculkan sikap wihdatu syu’ur (persamaan rasa). Individu dalam masyarakat seperti ini lebih banyak memberi daripada meminta, lebih banyak berkorban daripada meminta pengorbanan orang lain. Lebih senang mengajak daripada mengejek. Merasa bahagia ketika menolong bukan menyolong. Gembira dalam mengangkat harga diri saudaranya bukan merendahkan saudaranya.
Pelajaran yang amat berharga dapat dipetik ketika pada zaman Rasulullah, kaum musyrikin Arab yang terdiri atas berbagai suku telah melakukan konspirasi dan makar. Mereka bersepakat agar masing-masing suku mengirim utusan untuk membantai Rasulullah yang akan berangkat hijrah ke Madinah. Permusuhan terhadap Nabi dan para sahabathya itu tak hanya dilancarkan oleh kaum Quraisy, bahkan hampir oleh seluruh Musyrikin lain di semenanjung Arabia. Puncaknya adalah saat meletusnya perang Ahzab. Gabungan kelompok Musyrikin Makkah bergabung dengan kelompok-kelompok Yahudi yang ada di Mad inah. Ternyala semua ancaman dahsyat ini dapat diatasi oleh Rasulullah saw. Ini karena Rasulullah berhasil membina ikatan hati dan jiwa sahabatnya. Hubungan loyalitas yang tumbuh antar kaum Muslimin ternyata lebih kokoh dan hebat dibanding loyalitas sesama kafirin. Jelas, karena orang-orang Musyrik hanya melandasi ikatan hubungan mereka pada faktor ambisi dan kepentingan semata. Itu tak terjadi di kalangan Islam. Mereka bejuang dan menjalin persaudaraan dengan niat tulus, bersih, ikhlas karena Allah dan perasaan yang sama dalam aqidah. Di sinilah kekuatan kaum Muslimin tak bisa dipecahkan. Seberapapun kekuatan yang menggempurnya. Allahu Akbar!
0 komentar: