Telaah Kritis Dalam Perspektif Historis, Normatif Dan Analitik
A. Pendahuluan
Islam mengajarkan konsep ke-Maha Kuasa-an Allah, sehingga kedaulatan ada di tangan Allah. Islam juga mengajarkan, bahwa manusia adalah khailfatu Allah dengan pemaknaan sebagai wakil Allah sehingga manusia juga memiliki otonomi dan kedaulatan. Oleh karena itu, Islam bukan hanya mengajarkan kedaulatan Tuhan, namun Ia juga mengajarkan tentang kedaulatan manusia (rakyat).
Demikian, kira-kira kongklusi bebas dari premis-premis yang dibangun oleh Dr. Jimly Assheddiqie, SH. dalam bukunya Islam dan Kedaulatan Rakyat yang diterbitkan oleh Gema Isani Press Jakarta. Dengan logika silogisme yang sama, al-Maududi dalam bukunya Isamic Law and Constitution menggunakan Istilah divine democracy (demokrasi suci), atau theo-democracy (demokrasi ketuhanan) untuk menyebut kekuasan Islam yang ada di tangan rakyat sementara kedaulatannya ada di tangan Tuhan, sekedar untuk membedakan dengan konsep demokrasi pada umumnya.
Dengan logika yang serupa, Jimly Assahlddiqie kemudian mernbangun kongklusi yang bukan hanya nadir, namun juga musykil untuk dicerna. mengatakan: “Sangatlah tepat jika di katakan bahwa UUD 1945 itu, selain menganut ajaran Kedaulatan Rakyat, juga menganut ajaran Kedaulatan Tuhan”. Bahkan dengan mengutip pendapat Isma’il Suny, Ia menegaskan: “UUD 1945 menganut ajaran Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum sekaligus (baca: PopuIar theistic nomocracy).
Dalam hal ini, baik Dr. Jimly Asshidd iqie SH maupun al-Maududi, adalah sama-sama melakukan kesalahan analitik. Kesalahan yang timbul akibat kesalahan dalam menyusun premis logika siloglsmenya. Kesalahan ini juga sangat dipengaruhi oleh ketidak jeliannya dalam membangun premis-premisnya. Bahkan keduanya tampak amat pragmatis dan simplikatif dalam mengemukakan gagasannya. Hanya saja untuk menelusuri kesalahan-kesalahan semacam ini memang tidak mudah.
Kesalahan-kesalahan serupa mamang sering terjadi lepas dari sengaja atau tidak dalam menyusun “rumusan ilmiah”. Sesuatu yang bisa dimaklumi karena: pertama, ketidak jelian dalam memahami masalah secara obyektif; kedua, ketidak fakihan dalam memahami al-Adil- lah an-Naqliyah (dalil-dalil naqifi; dan. ketiga, karena ketidak akuratan dalam mengaktualisasikan konsep dalam an-Naqiliyah pada masalah yang akan dirumuskan.
B. Islam dan Konsep Kedaulatan
Islam adalah agama, yang berbeda dengan konsepsi Barat yang memisahkan agama dan kehidupan. Sebagai agama, Islam bukan hanya kumpulan theologis yang tidak ada hubungan dengan dunia, plus hanya kumpulan simbol-simbol ritualitas Semata. Namun, Islam adalah juga menjadi word view, yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Sehingga Allah melarang manusia mengambil selain Islam sebagal dien.
Dalam pemaknaannya yang sahi baik untuk mengatur interaksi vertikal, horisontal maupun Interaksinya dengan dirinya sendiri. Dalam konteks apapun, Islam telah memiliki sistem yang dalam lstilah al-Q ur’an disebut syir’ah dan manhaj yang bersifat fixed dan taken for granted. Dalam konteks kenegaraan.
Islam memiliki sistem yang unik. Meski dalam tataran teknis, ada hal-hal yang mirip dengan sistem lain. Namun, peristilahan dalam Islam tetap tidak bisa diubah dengan peristilahan yang lain, apapun alasannya. Meski hanya sekedar adaptasi. Sebab masing- masing memiliki akar hereditas yang berbeda. Konsep kedaulatan, yang dalam bahasa asalnya disebut sovereignty, yang dalam bahasa Arabnya disebut as-siyadah dan bukannya daulat Sebagaimana yang dikemukakan oleh Jimly Assheddiqie adalah istilah asing yang sebelumnya belum pernah dipergunakan dalam Islam.
Istliah ini dipopulerkan oleh Jean Bodin (abad ke 16). Dalam Six Livres de La Republique (1675). Bodin mendeskrlpsikann ya sebagal surnma In cities (kekuasaan tertinggi), yang kemudian bisa dirumuskan menjadi tiga unsur:
1. Kekuasaan itu bersifat tertinggal, tidak ada kekuasaan yang lebih tlnggi, dan asli dalam arti tidak berasal dari atau bersumber kepada kekuasaan lain yang lebih tlnggi;
2. Mutlak dan sempurna dalam arti tidak terbatas dan tidak ada kekuasaan lain yang membatasinya;
3. Utuh, bulat, dan abadi, dalam arti tidak terpecah-pecah dan tidak terbagi- bagi. An-Nabhani mendeskripsikan fakta sovereignty atau as-slyadah tersebut adalah pengendali dan pelaksana aspirasi. Bila seseorang telah mengendalikan dan melaksanakan aspirasinya sendiri, maka kedaulatannya ada di tangannya. Bila aspirasinya dikendalikan dan dilaksanakan oleh orang lain, maka esensinya dia telah men- nya yang merusak (QS. 49:11-12).
4. Jika terjadi perbedaan pendapat, maka hendaknya perbedaan tersebut dlbingkai oleh akhlakul karimah.
C. Akhlak Berbeda Pendapat
Adanya perbedaan peñdapat antara seseorang atau satu kelompok dengan yang lainnya, sebenarnya merupakan masalah biasa, bahkan tldaklah menjadi masalah pula jika terdapat berbagai kelompok dan jama’ah yang berjuang membela Islam, apabila hal Itu merupakan ta’addud tanawwu’ (perbedaan yang bersifat variatif) bukan ta’addud ta’arudh (perbedáan yang bersifat kontradiktif), apalagi jika berbagai kelompok tersebut bisa melakukan koordinasi dan kerjasama yang saling menguatkan, saling mengisi kekosongan dan kekurangan (QS. 61:4, QS. 9:71). Yang menjadi masalàh dan keprihatinan kita adalah apaibla perbedaan tersebut menjurus kepada perpecahan dan pertentangan yang akan mengakibatkan hilangnya kekuatan dan porak porandanya barisan ummat (QS. 8:46).
Untuk menghindari hal tersebut, para aktifis da’wah perlu memahami dua hal pokok dalam menyikapi perbedaan yaitu landasan pemikiran dan landasan moral dalam fighul-lkhtikaf.
Landasan Pemikiran
1) Mengikuti manhaj tawazun dan tawasuth (pertengahan) dan meninggalkan sikap berlelebih-lebihan. Pertengahan merupakan pusat orbit yang merupakan tempat kembali bagi pihak-pihak yang telah jauh menyimpang ke kiri atau ke kanan (QS. 6: 153). Rasulullah saw. sangat mencela orang yang berlebih-lebihan dalam masalah agama (hadits shahih dari Ibn Abbas riwayat Imam Ahmad, Nasai dan lainnya. mencela pertanyaan-pertanyaan yang mengakibatkan kesulitan bagi kaum Muslimin (hadits riwayat Imam Bukhari dan riwayat Imam Ahmad dan QS 5:101). Sikap berlebih-lebihan ini biasanya akan mendorong tumbuhnya sikap memperketat rnasalah-masalah kecil dan bersempit dada kepada setiap orang yang berbeda pendapat, sebaliknya sikap toleran dan tidak mempérsulit diri adalah termasuk faktor tumbuhnya persatuan dan keakraban.
2) Mengutamakan Muhkamat bukan Mutasyabihat. Mengikti ayat-ayat Muhkamat dan menjadikannya sebagai prinsip serta landasan berfikir dan berprilaku merupakan sikap orang yang mendalam ilmunya, sedangkan mengikuti yang Mutasyabihat merupakan sikap orang-orang yang di dalarn hatinya ada keraguan .(QS. 3:7). Rasulullah saw. pernah melarang para shahabatnya yang berdebat tentang masalah taqdir (HR. Ibn Khuzalmah).
3) Tidak Memastikan dan Tidak Menolak dalam Masalah-masalah Ijtihadiyyah. Di antara faktor yang akan meningkatkan jarak para da’i dalam masalah-masalah Ijtihadiyyah ialah sikap tidak memastikan dalam masalah-masalah Ijtihadiyyah yang mengandung dua pendapat atau Iebih (muhtamal). Para ulama mengatakan tidak boleh ada penolakan dari seseorang kepada órang lain dalam masalah-masalah Ijtihadiyyah. Seorang mujtahid tidak boleh menolak pendapat mujtahid lain, seorang muqallid (pengikut) tidak boleh menolak muqallid lain apabila menolak mujtahid.
4) Menelaah Perbedaan Pendapat Para Ulama Di antara faktor yang akan membantu lahirnya sikap toleran dan sangat kontradiktif dengan ajaran dan hukum-hukum Islam. Image tersebut mereka tanamkan melalui fatwa para ulama, utamanya adalah Syeikhul al slam. Misalnya, ajaran Demokrasi tidak bertentangan dengan Islam dan Islam adalah agama yang demokratis. Kesalahan syeikhu al-Islam ini muncul karena kesalahan dalam memahami nash-nash syar’i. Juga karena sikap pragmatis dalam memahami fakta secara obyektif.
Di samping kesalahan-kesalahan dalam menyusun logika silogisme. pada saat membangun kongklusi. Yang masing-masing tampak dalam kesimpulan mereka; Pertama, apa saja yang tidak bertentangan dengan islam dan tidak ada satu nash pun yang melarangnya, maka hukum mengadopsinya adalah mubah. Sehingga tiap pemikiran, hukum atau produk konstitusi yang tidak bertentangan dengan Islam dan tidak ada larangan yang menyatakannya, maka boleh diambil. Kedua, hukum mubah adalah hukum yang tidak terdapat kemusykilan didalamnya, maka menafikan kemusykilan dan sesuatu adalah juga rnenjadikannya mubah. Sehingga mengadopsi sesuatu yang tidak dinyatakan terlarang adalah mubah. Di samping Itu syara’ telah mendiamkannya, yang berarti syara’ telah membolehkannya. Ketiga, ajaran Demokrasi adalah ajaran Islam, karena Ia dibangun dengan pijakan musyawarah, keadilan dan egaliter. Karena Islam mengajarkan semuanya
D. Kontradiksi Demokrasi Dengan Islam
Untuk mempertegas gambaran tentang Demokrasi yang antara lain mengajarkan Kedaulatan Rakyat itu, as Syeikh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya Kaifah Hudimati al-Khllafah menyebutnya sebagai bertentangan dengan Islam, baik dari segi substansi dasar maupun serpihan-serpihannya. Lebih tegas, beliau merumuskan ada tujuh kontradiksi:
Pertama, demokrasi mengajarkan Kedaulatan Rakyat. Sehingga seluruh urusan adalah otoritas rakyat. Rakyatlah. rujukan tertingi dalam segala hal. Rakyat adalah sumber kekuasaari legislatif, judikatif dan eksekutlf. Sedangkan Islam mengajarkan Kedaulatan Hukum Syara’. Syara’lah yang menjadi rujukan tertinggi dalam segala hal. Dan sumber kekuasaan legislatif adalah Allah, sedangkan sumber kekuasaan eksekutif dan judikatif, masing-masing adalah rakyat dan khalifah.
Kedua, kepemimpinan dalam demokrasi bersifat kolektif, bukan tunggal. Pemerintahannya dilaksanakan oleh dewan menteri dan kepala negara. Baik dalam kapasitasnya sebagat raja maupun presiden. Berbeda dengan Islam. Islam mengajarkan kepemimpinan tunggal, bukan kolektif.
Ketiga, negara yang menganut demokrasi mempunyai banyak lembaga, dan bukannya satu lembaga. Pemerintah adalah lembaga tersendiri, yaitu lembaga eksekutif. Kemudian ada lembaga lain yang mewadahi dokter, insinyur dan sebagainya. Masing-masing memiliki wewenang dan kekuasaan dalam perkaranya. Berbeda dengan Islam. Negara dan pemerintah adalah satu, yang berkuasa dan satu-satunya yang memilki wewenang untuk mengurus urusan ummat.
Keempat, demokrasi menganggap mengambil suara rakyat dalam urusan pemerintahan adalah wajib. Sedangkan Islam hanya menganggapn ya sunnah saja.
Kelima, demokrasi mengharuskan pemerintah terikat dengan suara mayoritas dalam segala hal. Baik dalam masalah perundang-undangan maupun yang lain. Berbeda dengan Islam. Sebab, dalam pandangan Islam, suara mayoritas tidak harus dipandang Sebagai yang paling kuat. Sebab, dalam pengambilan pendapat tentang hukum syara’, Islam memandang wahyulah yang dipakai, meski hanyà dikemukakan oleh satu orang sementara mayoritas menolak. Dalam masalah konsep, defenisi dan strategi. Islam hanya menentukan pendapat yang- paling benar yang diambil, meski Secara mayoritas menolak. Dalam masalah operasional, yang tidak perlu pem ikiran dan hukumnya mubah, maka suara mayoritaslah yang diambil.
Keenam, demokrasi memberkan hak imunitet pada sebagian orang, sehingga dia tidak bisa dijangkau oleh hukum. Berbeda dengan Islam. Islam sama sekali tidak mengenal diskriminasi hukum. Dalam pandangan Islam, siapapun yang bersalah akan dihukum.
Ketujuh. dalam demokrasi mengajarkan konsep liberalisasi. Kebebasan individu, kepemilikan, berakidah dan kebebasan bersuara. Berbeda dengan Islam. Islam tidak pernah mengajarkan kebebasan individu, misalnya melakukan apa saja sesukanya, atau kebebasan kepemilikan, sehingga apa saja bisa dimiliki, atau kebebasan berakidah, sehingga keluar masuk dan pindah-pindah agama mudah-mudah saja, atau kebebasan bersuara, sehingga berpendapat apapun boleh, meski bertentangan dengan konsepsi ldeologisnya.
E. Khatimah
lnilah Islam. Islam adalah agama universal yang unik dan ekslussif. Akhirnya apapun cara dan metologinya, tindakan kompromis antara Islam dengan ajaran lain, kata Sayyed Hossein Nasr, adalah tindakan defensive dan apologetik dari kaum Muslimin modern dalam menghadapi mode mode pemikiran yang sedang populer yang hampir sama dengan perubahan-perubahan musiman. Yang lanjut beliau, dikatakannya karena miskinnya sikap añalitik (kritis) dan semangat obyektif.)
0 komentar: