Minggu, 07 Mei 2017

Imam Syafi’i, Madzhab Dan Pengaruhnya.

Yang mulia ImamSyafi‘i lahir pada bulan Rajab 150 H atau 767M. di Ghuzah (yang kemudian sekarang disebut Ghaza) wilayah Palestina. Nasab beliau bersambung kepada kakeknya Nabi Muhammad saw. Lengapnya adalâh Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syqfi‘i bin Said bin Abdu Yazid bin Hasym bin Abdul Muthalib bin Abdu Manaf

Menurut riwayat, beliau yatim sejak lahir kemudian ketika berumur 2 tahun Ia dibawa ibunya dari Palestina ke Makkah. Di kota suci ini di bawah asuhan dan bimbingan ibunya beliau mampu menghafal 30 juz al-Qur’an pada usia 9 tahun. Berbeda dengan generasi seusianya, pada diri Asy Syafi’i telah nampak kesungguhan dan kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan. Beliau pun tidak segan meninggalkan kampung halamannya dan pergi kesalah sebuah dusun bangsa Badwi Banu Hudzail untuk mcmpelajari tatabahasa Arab berikut syi’ir - syi’irnya. Meski di negeri Makkah sendiri merupakan gudangnya bahasa Arab. Namun saat itu Banu Hudzail merupakan satu-satunya dusun yang penduduknya terkenal berbahasa Arab dengan fasih dan asli.
Setelah beberapa tahun kemudian Syafi’i pun menguasai dialek bahasa Arabnya dengan fasih dan bahkan mahir dalam bermain sya’ir, karang mengarang serta pelbagai bentuk sajak kesusastraan Arab lainnya.

Selain bahasa, pelajaran yang diterirna pada saat belia ini adalah ilmu fiqih dari Imam Muslim bin Khalid az Zanny kemudian ilmu hadits dari Imam Sufyan bin Uyainah. Sedang mengenai ulumul Qur’an, beliau belajar pada Imam Ismail bin Qasthanthin. Kemudian di samping mereka, beliau sebelumnya banyak belajar kepada sejumlah ulama yang bertebaran di sckitar Masjidil Haram.

Satu hal yang sangat menakjubkan adalah menurut riwayat beliau sudah dapat mengerti tentang isi kitab al Muwatha’ karya Imam Malik dalam usia 10 tahun Sehingga berbekal dengan kecerdasan dan keindahan akhlaqnya, para gurunya pun telah memberikan ijazah kepada beliau untuk duduk sebagai mufty di kota Makkah, yang padahal waktu itu baru berusia 15 tahun.

Ghirahaya Kepada Ilmu  
 
Bila dikatakan bahwa ilmu hanya bisa diperoleh oleh mereka yang telah lepas dari kemiskinan, maka hal itu merupakan kekeliruan. Sejarah telah menunjukkan, bahwa tidak sedikit pemikir-pemikir besar lahir justru dari lumpur kefakiran dan kemiskinan. Misalnya Imam Ahmad atau bahkan asy Syafi’i sendiri. Meski dalam keadaan kekurangan, namun cikal bakal pemikir besar ini tidak pernah membiarkan semangat dan cita-citanya hanyut dan tenggelam dalam kemiskinan’kemudian berubah mejadi seorang pencari harta dan kekayaan. Beliau pun tidak pernah mengeluh apalagi putus asa dalam menuntut ilmu. Demikian miskinnya dikabarkan beliau seringkali mencari tulang belulang dari jalan-jalan atau kertas-kertas bekas guna dapat ditulisi mengenai sejumlah ilmu yang telah diperolehnya. Dan beliau melakukan semua itu hanyalah untuk menjaga kehormatannya daripada meminjam atau meminta-minta kepada orang lain.

Bagi asy Syafi’i kemuliaan hidup itu adalah dipandang dari ilmu, amal dan akhlaknya, bukan dari sudut harta atau kemiskinan. Jadi mengapa haru merasa hina dan rendah diri hanya karena kekurangan. Kemudian diriwayatkan, mengingat setiap ilmu disalinnya kedalam tulang atau lembaran kertas, maka bcrtumpuklah sejumlah tulang belulang tersebut bercampur dengan kertas memenuhi isi rumahnya. Demikian penuhnya hingga tidak ada tempat lagi untuk melepaskan lelah dan beristirahat bagi asy-Syafi’i selain di atas tumpukan tulang belulang. Untuk menguranginya tidak ada cara lain, selain semua tulang belulang tersebut dibuang setelah dihafalkan satu persatu. Maka demikianlah Syafi’i mengurung diri menghafalkan segudang ilmu yang bertumpuk di rumahnya hingga kemudian kosong dalam beberapa hari.

Berbekal dengan kepahitan hidup yang dialaminya ini, membuat kecerdasan beliau semakin meningkat dan tajam. .Betapa tidak, segudang pengetahuan yang memenuhi isi rumahnya sekarang berpindah dalam tempurung kepala yang sangat kecil. Dengan demikian maka tidak heran, bila kelak asy-Syafi’i mampu menghafal ribuan hadits tanpa perlu kepada tulisan.

Guru dan Muridnya  
 
Meski telah menduduki kursi mufty di Makkah. Namun asy Syafi’i yang saat itu sudah menjadi pemuda cerdas tetap harus menuntut ilmu dan bahkan kursi itu ditinggalkannya kemudian mengembara mengunjungi Madinah, Iraq, Yaman, Persia dan Mesir. Selain beberapa imam di atas, beliau pun berguru kepada sejumlah ulama fiqih dan hadits terkemuka di zamannya, di antaranya adalah imam Malik, Ibrahim bin Sa’id, Yahya bin Hasan, Waqi’ Fudhail bin ‘Iyadh, dan Muhammad bin Syafi’. Meski banyak namun yang lebih dekat dengn hati beliau adalah Imam Malik bin Anas. Tentang hal ini beliau berkata: “Imam Malik guru saya, daripadanya saya belajar, dan tidak ada seorang yang dapat menentramkan perasaan saya dalam pelajaran selain daripada Imam Malik, dan saya menjadikan dia sebagai huijah antara saya dengan Allah”.
Dengan bertambahnya guru maka bartambah pula pengetahuan imam Syafi’i. Beliau akhirnya merupakan sosok imam besar, terkemuka dalam ilmu hadits, tafsir, fiqih dan sastra Arab.

Di antara shahabat atau muridnya adalah Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid bin al Yaman al Kalbi, al Hasan bin Muhammad az Za’farani, Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani,Abu Ali Hasan bin Ali al Karabisy, Yusuf bin Yahya al Buwaithi, Abu Ibrahim Ismail bin Yahya al Muzanni, ar Ra’bi bin Sulaiman, Harmalah bin Yahya, Yunus bin Abdul Ala ash Shadafy, dan Ahmad bin Shibthi. Mereka pun semua menjadi ulama-ulama besar, tokoh-tokoh penting, terkenal dan terkemuka di zamannya.

Pujian Ulama  
 
Merupakan suatu kewajaran bila seandainya sekalian murid Imam Syafi’i menjadi tokoh-tokoh penting dan ahli-ahli ilmu yang ternama. Hal itu tiada lain mengingat diri Imam Syafi’i sendiri merupakan gudangnya ilmu, lambang kecerdasan dan kuncinya pengetahuan. Berkata Imam Malik bin Anas, “Tidaklah datang kepada seseorang dari bangsa Quraisy yang keadaannya lebih pandai daripada ini, yakni Imam Muhammad bin Idris asy Syafi’i”. Juga berkata Yunus bin Abdul A’la, “Adalah Imam Syafi’i jika menjelaskan tafsir al-Qur’an, seakan-akan beliau menyaksikan sendiri turunnya”.

Pengakuan yang lebih tentang kecerdasan Imam Syafi’i ini datang dari Imam Hilal bin al A’la ar Raqy. “Para ahli hadits itu adalah sebagai anak buah Imam Syafi’i. Kanena beliaulah yang membuka kunci bagi mereka”.

Berkata Imam Ahmad bin Hanbal, “Aku belum pernah mengerti akan nasikh - mansukh hadits-hadits Nabi saw. melainkan sesudah aku duduk belajar kepada Imam Syafi’i”. Juga berkata Imam Muhammad bin Abdul Hakam, “Imam Syafi’i itu seorang ahli hadist, ahli atsar, ahli lughah,, ahli fikir yang halus lagi sehat dan ahli amal yang utama”. Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih mengetahui tentang ushul fiqih serta fiqihnya, selain daripada Imam Syafi’i”.

Dan berkata lmam al Mubarrad, “lmam Syafi’i adalah sepandai-pandainya orang tentang syi’ir, sepintar-pintarnya orang tentang kcsusastrsan Arab, secerdik-cerdiknya orang tentang fiqih dan semahir-mahirnya orang tentang qira’at”.

Berkenaan dengan jasanya terhadap Islam dan kaum Muslimin, berkata Abu Zur’ah, “Aku belum pernah melihat seorang yang lebih besar jasanya terhadap Islam selain daripada Imam Syafi’i.
Pengakuan atau pujian yang sama juga datang dari Imam Ishaq bin Rahuwaih, Muhammad al Kufy, Muhammad bin Muslim, Abu Tsaur, Qasim bin Salam, Nasa’i Yahya bin Ma’in, al Muzanni, dll.

Madzhab Dan Pengaruhnya  
 
Dalam kitab ushul fiqihnya, ar Risalah, ditegaskan bahwa madzhab beliau berdasar kepada al-Qur’an. Kemudian as Sunnah, Ijma, Qiyas dan istidhlal. Pengambilan jalan terakhir ini adalah bilamana setelah tidak ditemukan keterangan dari al-Qur’an, as Sunnah atau tidak juga dari jalan Ijma’ dan qiyas. Atas keempat dasar ini, Imam Syafi’i menegakkan madzhabnya. Beliau pun mengikis taklidisme, bid’ah, khurafat dan takhayyul yang sewaktu-waktu akan menghancurkan Islam dan membutakan kaum Muslimin. Meski sebagai seorang Imam Madzhab, namun beliau tidak pernah menganjurkan sekalian mengikutnya untuk bermadzhab kepada pemikirannya. Bahkan dengan tegas dikatakan, “telah sepakat bagi manusia, bahwa barangsiapa yang mendapati satu sunnah, maka ia tidak boleh meninggalkan .sunnah tersebut, karena hendak mengikuti perkataan orang lain”. Demikian kerasnya pendirian Syafi’i beliau pun berkata, “Hendaklah disaksikan, bahwa Aku apabila ada hadits dari Nabi saw, yang sudah sah, sedang aku tidak mengambilnya, maka sesungguhnya akal fikiranku sudah hilang”. Di samping itu beliau pun menentang istihsan dan memudah-mudahkan perkara dengan akal

Dalam hal Qiyas, beliau memberi teladan untuk tidak digunakan dengan bebas. Dikabarkan, lmam Ahmad pernah berkata, “Saya pernah bertanya kepada Imam Syafi’i dari hal qiyas, maka beliau menjawab, “di kala keadan darurat”. Bahkan dikatakan, “Saya tidak akan meninggalkan Hadits dari Rasul saw. lantaran hendak memasukkan hukum qiyas”.

Madzhab Imam Syafi’i ini kemudian dilanjutkan oleh sekalian shahabat, murid dan para pengikutnya. Dari Mesir pengaruhnya berkembang ke wilayah Iraq, Khurasan, Pakistan, Tauran, Syam, Yaman, Damascus, Persia, Hijaz, India, sebagian dari daerah-daerah Afrika, Andalusia dan bahkan menjejaki wilayah Asean, termasuk Tailand, Philipina, Malaysia, Singapura dan Indonesia. Perluasan madzhab ini jauh lebih pesat dibanding dengan madzhab lainnya. Kendati demikian dalam perkembangan berikutnya banyak sejumlah kebatilan yang berusaha mencampur baurkannya dengan ajaran Imam Syafi’i.

Tentang kemungkinan yang akan terjadi ini jauh-jauh Imam Syafi’i sudah mengisyaratkan dengan fatwanya, “Apabila telah shahih hadits kemudian menyalahi madzhabku, maka ikutilah dia dan buang madzhabku”. Dalam riwayat lain dikatakan, “Apabila telah shahih hadist maka ikutilah madzhabku”.

Karya Imam Syafi’i  
 
Sebagai seorang ulama yang produktif, beliau pun telah melahirkan sejumlah karya bermutu, diantaranya, Kitab al Hujjah yang merupakan qaul qadim, Ar Risalah, al Musnad, al Um, Jami’ul Ilmi, lbthalul Ihsan, ar Rad al Muhammad bin Hasan, Siyarul Ausa’i, Ikhtilaful Hadits, al Fiqih, al Mukhtasharul Kabir, al Mukhtasharul Shaghir, al Fara’idh, dll.

Tentang kesungguhannya dalam menyusun karangannya ini, Imam Syafi’i terkadang sering melupakan makan dan tidur malam. Seperti yang disaksikan oleh ar Rabi bin Sulaiman, ia berkata, “Aku tidak melihat Imam Syafi’i makan di siang hari dan tidur di malam hari, di kala beliau mengarang kitab-kitab”. Demikianlah sekilas perjalanan hidup Imam Syafi’i tokoh hadits dan mujtahid agung. Beliau wafat di Mesir, 30 Rajab 204 H/830 M. Semoga Allah merahmatinya serta sekalian hamba-Nya.

Senin, 24 April 2017

Ubay Bin Kaab, Tempat bertanya Ilmu Al-Qur’an

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa suatu hari Rasulullah saw. pernah berpesan kepada para sahabat, pesannya, ambillah olehmu al-Qur’an dari empat orang. Dari Abdullah Bin Ma’sud, Salim Maula Abu Hudzaifah, Ubay bin Kaab, Muaz Bin Jabal.

Pesan itu ditambah pesan lain lebih khusus lagi yang memberikan pengukuhan akan kelebihan Ubay Bin Kaab dalam bidang ilmu Al-Qur’an. Pesan yang lain itu berbunyi : barang siapa yang hendak menanyakan tentang esluk beluk Al-Qur’an datangah kepada Ubay Bin Kaab.

Dari sabda beliau itu tampak jelas betapa kuatnya posisi Ubay bin Kaab dalam nenguasai ilmu-ilmu al.Quran Di samping sebagai qurra’ sekaligus sebagai sumber rujukan dari ilmu-ilmu al-Qur’an. Timbul pertanyaan, siapakah dia tokoh Ubay bin Kaab yang telah dipercayai Rasulullah saw. untuk tempat bertanya ilmu-ilmu al-Quran itu?

Nama lengkapnya adalah Ubay bin Kaab bin Qais. Berasal dari kalangan penduduk asli madinah (Kaum Anshar) suku Khazraj. Sebelum memeluk agama islam sudah terkenal lebih dahulu sebagai salah seorang pendeta yang memahami sekali agama Yahudi. Tetapi etelah ke Islamannya, Rasulullah meengangkatnya sesbagai sekretaris pertama esbelum Zaid Bin Tsabit, Ubay juga merupakan salah seorang sahabat penulis wahyu Al-Qur’an. Beliau memeluk Islam setelah peristiwa Baiatul Aqabah kedua. Ke Islamannya menjadikannya seorang sahabat yang taat lagi shalih. Dia mengikuti semua peperangan yang dilakukan Rasulullah saw termasuk perang-perang besar seperti perang Badr, perang Uhud, dan perang Ahzab bersama sahabat-sahabat lainnya.

Memang dibawah didikan Rasulullah Ubay tumbuh menjadi seseorang yang amat ideal. Ia senantiasa berpegang teguh pada ketakwaan dan menjalani hidup secara zuhud dan wara, dalam pandangan yang bening, dunia seisinya itu tidak memberikan apa-apa jika tidak dimanfaatkan secara cerdas dan optimal sebagai usaha beramal untuk menuju taqwallah.

Pandangannva yang zuhud ini tercermin dalam refleksi ucapannya dalam kalam hikmahnya mengenai dunia. Ucapanva, sesungguhnya tamsil kehidupan dunia itu ibaratnya seperti akhir atau kesudahan makanan manusia. Betapapun juga makanan itu dikatakan enak dan lezat tetapi toh pada kesudahannya (pada akhirnya) hanya akan menghasilkan hasil akhir yang sama. Semuanya itu akan menjadi….!

Sebagai seorang sahabat setia, dia selalu hadir dalam kebanyakan majelis Rasulullah saw. Dari situ direguknya telaga ilmu dan iman yang amat dalam dan manis. Dengan demikian akan selalu terlatihlah bagi jiwanya untuk tetap lurus dan menjurus kepada kesalehan dan ketaqwaan. Hasil kedalaman dan manisnya iman yang diperolehnya menyebabkan ía amat mudah terharu jika membaca atau mendengarkan ayat-ayat suci al-Quran yang dibaca. Di saat demikian Ia merasa dekat sekali dengan Dzat yang telah menciprakannva dan menciptakan seluruh alam raya ini. Saking terharunya dalam menghayatinya. seringkali ia menangis terisak-isak memikirkan dan merenungkan kekuasaan-Nya yang demikian agung dan tak terbatas itu.

Di samping begitu intens penghayatannya terhadap al-Qur’an dia juga mempunyai bakat kemampuan besar dalam menyampaikan ayat-ayat al-Qur-an secara bhaligh (komunikatif) sehingga dapat disuguhkan amat menarik kepada publik pendengarnva.

Konon, apabila ía telah mulai berbicara di didepan publik (beipidato), maka sulit orang akan bertahan diri untuk tidak mendengarkan pidatonya yang amat memikat itu. Ucapan-ucapannya yang fasih dan indah ditambah dengan nuansa keikhlasan yang muncul dari lubuk hatinya yang tulus ikhlas. sulit dibendung untuk dibiarkan begitu saja tidak didengar diabaikan). Ada satu ayat al-Qur’an yang amat mempengaruhinya jika ia membaca Ayat ini selalu menggelitik hatinya untuk terjatuh pada kesedihan yang mendalam hingga berpengaruh terhadap keadaan sekujur tubuhnya. Ayat yang dimaksud adalah ayat 65 dari Surat al-An’am yang artinya;

“katakanlah, Dia berkuasa akan mengirimkan siksa pada kamu sekalian baik dari atas maupun dari bawah kaki kalian, atau membaurkan kalian dalam golongan yang berpecah-belah dan ditimpakannya kepada kalian perbuatan kawannya sendiri".

Ayat ini membuat dirinya prihatin terhadap nasib umat Islam yang akan datang setelah jauh dari bimbingan Rasululah saw. Ia mengkhawatirkan akan datangnya suatu bencana/musibah antara mereka sendiri berupa gontok-gontokan sesamanya. Untuk mengantisapasi keadaan, di setiap kesempatan dia selalu memperingatkan kepada publik dengan ucapan peringatan tentang bahayanya jika pimpinan tidak berorientasi pada satu titik, sebagaimana Rasulullah saw membimbing ummatnya untuk menuju pada satu titik tertentu. Nasihat yang di ulang-ulang itu berbunyi : Wahai kaum muslimin, ingatlah ketika kita masih bersama Rasulullah saw dan tujuan kita terfokus pada satu titik, tetapi setelah ditinggalkannya, tujuan kita menjadi bercabang-cabang, melenceng dan salah arah, ada yang cenderung menjurus kekiri dan ada pula yang kekanan. Kita telah melupakan kitab suci itu.

Kedalaman ilmu Ubay itu menjadikannya panutan dari para sahabatnya. Hal ini disebabkan konsistensinya antara ilmu dan amal, antara teori dan praktek. Bagi Ubay, ilmu yang tidak dipraktekkan hanyalah merupakan pajangan perhiasan indah yang tidak berarti. Para sahabat menaruh hormat yang tinggi pada sahabat yang satu ini. Bahkan Umar Bin Khattab sendiri sangat mengagumi kecermatan Ubay dalam hal amal ibadahnya. Ia bahkan pernah memanggil Ubay dengan panggilan terhormat “Sayyidul Mu’minin (Pemimpin orang-orang mu’min). maka tidak heran ketika para shahabat ribut-ribut soal shalat malam bulan ramadhan (shalat tarwih) dimana masing-masing kelompok mengangkat imamnya sendiri-sendiri. Khalifah Umar segera menunjuk Ubay Bin Ka’ab untuk menjadi imam bagi mereka semuanya agar jama’ah tidak shalat sendiri-sendiri dan membentuk imam sendiri-sendiri pula, sehingga masjid menjadi hiruk pikuk karna banyaknya imam yang melakukan shalat tarwih dalam satu masjid. Dengan ditunjuknya Ubay Bin Kaab jadi imam maka shalat tarwih menjadi tertib, tidak gaduh dan terpimpin.

Ubay Bin Kaab hidup hingga tahun ke 22 H. Di tahun itulah ia wafat. Ketika itu kota Madinah menjadi hiruk pikuk karna keluarnya orang-orang untuk memberi penghormatan terakhir kepada salah seorang dari penduduk yang terhormat ini. Laki-laki perempuan, tua dan muda, besar maupun kecil semuanya merasakan seorang tokoh panutan masyarakat yang diakui sebagai sayyidul mu’minin atau pemimpin umat telah wafat mendahului mereka.

Rabu, 19 April 2017

Khubaib bin Adi, Jundullah Yang Syahid Disalib

Khubaib bin Adi seorang yang cukup dikenal di Madinah dan termasuk sahabat Anshar. Seorang yang berjiwa bersih, bersifat terbuka, beriman, teguh. dan berhati mulia. Hassan bin Tsabit, penyair Islam melukiskan pribadinya, Khubaib bin Adi seorang pahlawan yang kedudukannya sebagai teras orang- orang Anshar. Seorang yang lapang dada namun tegas dan keras tidak dapat ditawar-tawar. Sewaktu bendera Perang Badr dikibarkan orang terdapatlah di sana seorang prajurit berani mati dan seorang pahlaan gagah perkasa, yaitu Khubaib bin Adi. Salah seorang di antara orang-orang musyrik yang berdiri menghadang jalannya di Perang Badr ini dan tewas di ujung pedangnya ialah seorang pemimpin Quraisy, al-Haris bin Amr bin Nauful. Setelah pertempuran selesai, dan Sisa-sisa pasukan Quraisy. yang kalah kembali ke makkah, tahulah Bani Harits siapa yang telah menewaskan bapak mereka, Mereka rnenghafalkan dengan baik nama orang Islam yang telah menewaskan ayah mereka dalam pertempuran itu ialah Khubaib bin Adi.

Sekembalinya dari Perang Badr, orang-.orang Islam meneruskan pembinaan masyarakat yang baru di Madinah. Adapun Khubaib seorang yang taat beribadah dan benar-benar membawakan sifat dan watak seorang abid. Ia beribadah menghadapi Allah dengan sepenuh hatinya. berdiri shalat di waktu malam dan berpuasa di waktu siang serta me-Maha-Sucikan Allah pagi dan petang.

Pada suatu hari Rasulullah bermaksud hendak menyelidiki rahasia orang-orang Quraisy, hingga dapat mengeahui ke mana tujuan gerakan serta langkah persiapan mereka untuk suatu peperangan yang baru. Untuk itu beliau memilih dari para sahabatnya, termasuklah di antaranya Khubaib. Dan sebagai pemimpin mereka, Ashim bin Tsabit diangkat oleh Rasulullah saw.
Pasukan penyelidik itupun berangkat ke tujuannya hingga sampai di suatu tempat antara Osfan dan Makkah. Rupanya gerakan mereka tercium oleh orang-orang dan kampung Hudzail yang didiami oleh suku Bani Haiyan. Mereka segera berangkat dengan seratus orang pemanah mahir, menyusul orang-orang Islam dan mengikuti jejak mereka dari belakang

Pasukan Bani Haiyan hampir saja kehilangan jejak, kalau tidaklah salah seorang dari mereka melihat biji kurma berjatuhan di pasir. Biji-biji itu dipungut oleh sehagian di anrara orang-orang itu, lalu mengamatinya Berdasarkan firasat yang tajam yang biasa dimiliki bangsa Arab, lalu berseru kepada teman-teman mereka, - Biji-biji ini berasal dan Yatsib (Madinah). Mari kita ikuti hingga dapat kita ketahui di mana mereka bcrada.”

Dengan petunjuk biji-biji kurma yang berceceran di pasir, mereka terus berjalan hingga akhirnya melihat dari jauh rombongan kaum Muslimin yang sedang mereka cari-cari. Ashim, pemimpin penyelidik, merasa bahwa mereka sedang dikejar musuh, Diperintahkan kawan-kawannya untuk menaiki suatu.puncak bukit yang tinggi. Para pemanah musuh yang seratus orang itu pun dekatlah sudah. Mereka mengelilingi kaum Muslimin, lalu mengepung mereka dengan ketat. Para pengepung meminta agar kaum Muslimin menyerahkan diri dengan jaminan bahwa mereka tidak akan dianiaya.

Kesepuluh orang itu menoleh kepada pemimpin mereka. Ashim berujar, Adapun aku, demi Allah, aku tidak akan turun mengemis perlindungan orang musyrik, Ya Allah, sampaikanlah keadaan kami ini kepada Nabi-Mu.” Dan segeralah seratus pemanah itu menghujani mereka dengan anak panah. Ashim beserta tujuh orang lainnya menjadi sasaran dan mereka pun gugurlah sebagai syahid. Mereka meminta agar yang lain turun dan tetap akan djamin keselamatannya scbagai yang dijanjikan. Maka turunlahlah ketiga orang itu, yaitu Khubaib beserta dua orang sahabatnya. Para pemanah mendekati Khubaib dan salah seorang temannya, mereka menguraikan tali-temali dan mengikat keduanya. Orang ketiga yang melihat peristiwa itu menganggap sebagai awal pengkhiànatan janji, lalu ia memutuskan mati secara nekad sebagaimana dilakukan Ashim dan teman-temannya, maka gugurlah ía menemui syahid seperti yang diinginkannya. Khubaib dan seorang temannya yang seorang lagi, Zaid, berusaha melepaskan tali ikatan mereka, tetap tidak berhasil karera buhulnya yang sangat erat.
Keduanya dibawa leh para pemanah durhaka ke Makkah. Nama Khubaib menggema dan tersiar ke telinga orang banyak. Keluarga Harits bin Amir yang tewas di Perang Badr cepat mengingat nama itu dengan baik, suatu nama yang menggerakkan dendam kebencian di dada mereka. Mereka pun segera membeli Khubaib sebagai budak Untuk melampiaskan seluruh dendam kebencian mereka kepadanya. Dalam hal ini mereka mendapat saingan dari penduduk Makkah lainnya yang juga kehilangan bapak dan pemimpin mereka di Perang Badr. Terakhir mereka merundingkan semacam siksa yang akan ditimpakan kepada Khubaib untuk memuakan de ndam mereka, bukan saja terhadapnya. tetapi juga terhadap seluruh kaum Muslimin. Dan sementara itu, golongan musyrik lainnya melakukan tindakan kejam pula terhadap teman Khubaib, Zaid bin Ditzmah, yaitu dengan menyula (menusukkannya hingga tembus ke bagian atas badannya).

Orang-orang musyrik menyampaikan berita kepada Khubaib tentang tewasnya serta penderitaan yang dialami sahabat dan saudaranya, Zaid bin Ditsinna. Mereka mengira dengan itu dapat merusakkan urat .syaratnya serta membayangkan dan merasakan derita dan siksa yang membawa kematian kaumnya ini. Mereka tidak mengetahui bahwa Allah telah menurunkan sakinah dan rahmat-Nya. Tetapi mereka terus menguji keimanan dan membujuknya dengan janji pembebasan, seandainya mereka mengingkari Muhamnmad dan sebelum itu Rabbnya yang telah diimaninya. Tetapi usaha mereka tetap gagal. Keimanan Khubaib terlalu kuat dan tidak mudah goyah, bahkan kian bercahaya. Dan tatkala mereka telah berputus asa dari apa yang mereka haeapkan, Khuhaib diseret dan dibawa ke suatu tempat yang bernama Tan’im, dan di sanalah ia menerima ajalnya.

Sebelum mereka melaksanakan itu, Khubaib minta ijin kepada mereka untuk melakukan shalat dua rakaat. Mereka mengijinkannya dan menyangka bahwa rupanya sedang berlangsung tawar-menawar dalam dirinya untuk menyerah kalah dan menyatakan keingkarannya kepada Allah, kepada Rasul, dan kepada agamanya. Khubaib pun shalat dua rakaat dengan khusyuk, tenang, dan hati yang pasra.

Setelah selesai mengerjakan shalat, Khubaib memandang ke arah para algojo, lalu katanya kepada mereka, Demi Allah, kalau bukanlah nanti ada sangkaan kalian bahwa aku takut mati, niscaya akan kulanjutkan lagi shalatku,” Kemudian diangkatnya kedua pangkal lengannya ke arah langit, lalu memohon, Ya Allah, susutkanlah bilangan mereka dan musnahkan mereka sampai binasa” Kemudian diamat-amati wajah mereka disertai suatu keteguhan hati, lalu ia bersyair,
Mati .. bagiku tidak menjadi masalah, Asalkan ada dalam ridha dan rahmat-Nya, Dengan jalan apa pun kematian itu terjadi, Asalkan kerinduan kepada-Nya terpenuhi. Aku berserah diri kepada-Nya, Sesuai dengan takdir dan kehendak-Nya, Semoga rahmat dan berkah Allah tercurah, Pada setiap sobekan daging dan tetesan darah.

Selanjulnya mereka menyiapkan pelepah-pelepuh kurma untuk membuat salib besar. Khubaib disandarkan dengan diikat kuat setiap bagian ujung tubuhnya. Orang-orang musyrik itu sungguh-sungguh amat buas. Mereka melakukan segala kekejaman yang mendirikan bulu roma. Para pemanah silih berganti melepaskan anak panahnya ke tubuh Khubaib bin Adi. Kekejaman mereka sampai di luar batas kemanusiaan. Dan dengan perlahan-lahan Khubaib tidak berdaya karena kekejaman itu. Tetapi ini tidak memicingkan mata dan tidak pernah kehilangan ketuguhan hati, Anak-anak panah yang tertancap ke tuhuhnya dan pedang-pedang yang menyayat dagingnya tidak mampu meruntuhkan keteguhan hatinya.

Inilah peristiwa yang pertama dalam sejarah bangsa Arab. Mereka menyalib seorang laki-laki kemudian membunuhnya diatas salib. Di kala itu salah seorang pemimpin Quraisy mendekatinya sambil berkata, ‘Sukakah engkau. Muhammad menggantikanmu dan engkau akan sehat wal afiat bersama keluargamu’ Mendengar pertanyaan itu Khubaib bangkit. sekalipun tidak ada tenaga lagi Namun seolah-olah tenaganya pulih kembali. Laksana angin kencang ia berseru, “Demi Allah, tidak sudi aku selamat bersama istri dan anakku .menikmati kesenangan dunia, sementara Rasulullah tertimpa musibah walau sepotong duri”.

Kalimat dan kata-kata hebat itu sebelumnya juga diucapkan Zaid bin Ditsinnah. Kata-kata yang mempesona itu menyebabkan Abu Sufyan, yang kala itu belum memeluk Islam, mempertepukkan kedua telapak tangannya sembari berkata kepada penganiaya, belum pernah kulihat manusia yang lebih mencintai manusia lain, seperti halnya sahabat-sahabat Muhammad terhadap Muhammad. Kata-kata Khubaib itu bagaikan aba-aba yang memberi keleluasaan begi anak-anak panah dan mata-mata pedang untuk menancap dan menggores tubuh sang jundullah dengan segala kekejaman dan kebuasan. Orang-orang kafir puas dan riang gembira melihat kematian Khubaib, Ruh sang jundullah ini perlahan-lahan meninggalkan tubuhnya yang tercabik mengerikan. Orang-orang musyrik pun kembali ke Makkah dengan kedengkiannya, setelah meluapkan dendam kesumat kepada Khubaib Dan tinggallah jasad Khubaib yang syahid itu dengan dijaga oleh para algojo yang bersenjatakan tombak dan pedang.

Kematian Khubaib itu pun didengar Rasulullah saw, sebagaimana sebelum dia meninggal pernah berdoa, “Ya Allah, kami telah menyampaikan tugas dari Rasul-Mu, maka sampaikan pula kepadanya esok, tindak orang-orang yang menganiaya kami”. Doanya itu dikabulkan Allah. Sewaktu Rasulullah saw di Madinah, tiba-tiba diliputi suatu perasaan dalam hatinya, kemudian memberitahukan bahwa para sahabatnya dalam bahaya, dan terbayanglah bahaw tubuh salah seorang dari sahabatnya itu ada yang disalib. Dengan secepatnya beliau memerintahkan Miqdad bin Amar dan Zubair bin Awwam untuk mencari sahabatnya yang gugur itu. Keduanya segera menunggang kuda dan memacunya dengan kencang. Dan dengan petunjuk Allah mereka menemukan Khubaib bin Adi yang gugur di atas kayu salib, Mereka menurunkan mayat itu dan menguburnya di bumi Allah yang suci. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan karunia kepadanya.

Sabtu, 15 April 2017

Hasan Al-Banna Hidupnya Untuk Da’wah dan Jihad

Imam Hasan al-Banna Lahir di kota Mahmudiyah, Propinsi Buhairah Mesir pada tahuri 1906. Ayahnya bernama Ahmad Abdurrahman al-Banna, seorang ulama yang taat beribadah. Ia menekuni ilmu hadits. Karyanya yang terkena1 dalam bidang hadits berjudul “Al-Fathur Rabbani lit-TartibiI Musnad Imam Ahmad”. Selain itu, sehari-harinya Ia bekerja menjilid buku dan memperbaiki jam, sehingga dijuluki dengan nama “As-Sa‘ati” (tukang jam).
Imam Hasan al-Banna dibesarkan dalam lingkungan yang mencintai ilmu. Ia belajar di SekoIah Dasar al-Rasyadud Diniyah, kemudian melanjutkan Sekolah Menengah Pertama di Mahmudiyah. Sejak mudanya, Hasan al-Banna telah mencurahkan perhatiannya kepada Islam dengan aktifitasnya yang terorganisir dalam menegakkan amar Ma’ruf nahi munkar, dalam menegakkan da’wah Islamiyah. Walaupun Ia sibuk dengan tugas belajarnya, Ia bersama teman-temannya mendirikan Al-Jam’iyatul Akhlaqul Adabiyah” dan “Jam’ iyah Man’il Muharramah.

Pada waktu itu ia mulai mengenal Thariqat al-Hashafyah, yang telah membentuk jiwanya zuhud dan bersih. Pada tahun 1920 ia pindah ke Darul Mu’allimin di Damanhur. Ketika itu ia telah hafal al-Qur’an sebelum mencapai usia 14 tahun. Hasan al-Banna juga aktif dalam pergerakan nasional melawan penjajah Mesir. Tahun 1923 ia pindah ke Kairo, dan belajar di sekolah Darul Ulum. Di sana ia menemui pandangan hidup baru yang sangat luas. Sabagai salah seorang anggota Thariqat al-Hashafiyah. ia senang berkunjung keperpustakaan as-Salafiyah dan majelis-majelis pertrmuan ulama al-Azhar. Di sana semua orang dianjurkan agar berjuang untuk membela Islam dengan berbagai cara.

Dengan demikian jiwanya mulai terangsang oleh da’wah islam dan plkirannya terus bergolak memikirkan da’wah. Sehingga akhirnya Ia dan beberapa temannya bergerak menyeru manusia ke jalan Allah, di warung-warung kopi dan gelanggang-gelanggang remaja serta majeIis-majlis pertemuan.

Hasan al-Banna lulus dari Darul Ulum pada tahun 1927, kemudian ia diangkat menjadi guru di sebuah sekolah di lsmailiyah, di sekitar Terusan Suez. Di Ismailiyah Ia mulai melancarkan da’wah secara terorganisir dan sistematis. Ia mengajak orang-orang yang suka nongkrong di bar-bar untuk pindah ke masjid. sambil Ia mengarahkan pikirannya dan tenaganya mendamaikan perselisihan yang merajalela di kalangan masyarakat Islam pada waktu itu. Ia berhasil menegakkan tonggak-tonggak da’wah Islam bersama enam orang temannya dalam bentuk perkumpulan jama’ah lkhwanul Muslimun (Persaudaraan Islam). Peristiwa itu terjadi pada bulan Dzulqa’idah tahun 1347 H atau pada bulan maret 1928 M.

Ciri da’wah lkhwanul Muslimun, pertama kali da’wahnya berseru kembali kepada ajaran Islam, dengan mempelajari kedua sumbernya, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, dan menghapus perbedaan-perbedaan furu’iyah di antara madzbab fiqih. Hasan al-Banna memusatkan perhatiannya untuk menciptakan generasi muda yang memahami Islam dengan baik, yaitu memegang teguh Islam sebagai agama dan diterapkan dalam membina negara, sebagai penuntun ibadah dan jihad, syari’ah yang dapat mengatur kehidupan ummat manusia dalam semua aspek, meliputi pendidikan sosial, ekonomi dan potitik.

Gerak langkah da’wah pada waktu itu terbatas pada dua aliran yang sangat penting, Da’wah Salafiyah dan Thariqat-thariqat Sufisme. Pertentangan dan perbedaan antara kedua golongan ini sangat tajam. Dan pemikiran Islam pada waktu itu dikendalikan oleh organisasi dan karya-karya dari al-Azhar. Dengan demikian, da’wah yang dilancarkan oleh Hasan al-Banna Untuk kembali kepada pengertian islam yang mencakup semua aspek kehidupan, memerlukan pembaruan dalam pemikiran Islam.

Setelah para penulis Muslim menemui kesulitan untuk membuktikan, bahwa Islam itu tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan bahkan mendorong proses kemajuan, maka gerakan Ikhwanul Muslimun telah menelorkan generasi yang beriman dan terdidik, mereka menganggap kemajuan Barat adalah sangal kecil di bandingkan dengan Islam. Dan mereka yakin bahwa kebudayaan Islam tidak bertentangan dengan hakikat ilmiah yang benar, dengan kaidah-kaidah syara’ yang tetap. Ikhwanul Muslimun telah menyerap bermacam-macam aliran masyarakat ke dalam barisannya, terutama para cendekiawan muda, dan dapat mengobarkan semangat Islam dalam setiap jiwa ummatnya. Di kota lsmailiyah, Hasan al-Banna mendirikan yayasan-yayasan umum. Ia mendirikan sebuah masjid dan sekretariat lkhwanul Muslimun, kemudian mendirikan pesantren Islam Harra’ dan madrasah Ummahat al-Mu’minin.

Dan mulailah da’wah tersebar luas di kampung-kampung dan kota-kota terdekat.
Pada tahun 1932, Hasan al-Banna pindah ke Kairo, dengan demikian pindah pulalah markas Pimpinan Umum Jama’ ah al-Ikhwanul Muslimun. Ia sering mengadakan perjalanan rutin ke propinsi-propinsi dengan disertai anggota barunya yang dibina dengan semangat da’wah dan dibekali keterampilan melaksanakan da’wah. Pekerjaan ini dilaksanakannya terus-menerus, sehingga Ikhwanul Muslimun tersebar keseluruh pelosok Mesir.

Imam Hasan al-Banna menerbitkan sebuah mingguan“Al-Muslimun”. kemudian majalah “An-Nadzir” dan beberapa makalah. Ia tidak henti-hentinya menulis dan mengarang, bahkan perhatiannya terhadap pendidikan, penyebaran da’wah dan pembentukan suatu jama’ah dianggapnya sebagai pelopor kebangkitan ummat Islam di seluruh dunia. Hasan al-Banna menginginkan agar pergerakannya tidak hanya bergerak di Mesir saja, tetapi merupakan gerakan internasional. Oleh karena itu, sejak tahun empat-puluhan, pergerakan Ikhwanul Muslimun meluaskan dirinya ke seluruh dunia Arab, kemudian ke seluruh dunia Islam. dengan menancapkan tonggak da’wah di setiap tempat. Beliau mengirimkan beberapa utusan ke beberapa negara Islam, untuk meneliti keadaan dan kenyataan kaum Muslimin dan melaporkannya ke Kairo. Di Kairo, markas umum lkhwanul Muslimun menjadi tempat pertemuan kebebasan kaum Muslimin. Pada masa itu justru negara-negara Islam berada di bawah penjajahan asing, dari mulai tokoh-tokoh gerakan kemerdekaan di Afrika Utara, Yaman, India, Pakistan, Indonesia dan Afghanistan, bahkan sampai ke Sudan, Somalia. Syiria, Irak dan Palestina.

Masalah Palestina sangat menarik perhatian Hasan al-Banna. Ia mempunyai pandangan, bahwa kaum Yahudi itu sangat berbahaya. Sikap Ikhwanul Muslimun sejak permulaan revolusi Palestina tahun 1936 menyerukan dan mengingkatkan agar berjuang mencapai kemerdekaan di dunia Arab. Gerakan Ikhwanul Muslimun ini telah secara kongkret menerapkan apa yang menjadi semboyan dan motto ini, “Al-Jihad Sabiluna wa Al-Maut fi Sabilillah Asma Amanina” (jihad adalah jalan kami dan mati di jalan Allah adalah cita-cita tertinggi kami). Mereka benar-benar masuk dalam perang jihad melawan Zionis di Palestina dan melawan Inggris di Mesir. Gerakan lkhwanul Muslimun ini mempersembahkan pengrbanan putra-putra terbaiknya.
Hingga sekarang Ikhwanul Muslimun masih memiliki putra-putra berdedikasi tinggi yang mengikhlaskan diri untuk agama Allah dan Allah juga mengikhlaskan mereka untuk agama. Mereka bertekad meneruskan jihad di bumi Palestina untuk membebaskan bumi nubuwah ini dari tangan-tangan kotor Zionisme. Mereka itulah putra-putra gerakan perlawanan Islam, Hamas.
Militansi dari gerakan lkhwanul Muslimun ternyata mngundang konspirasi dari berbagai kekuatan yang memusuhi, dengki, ketakutan dan ambisi serta benci. Para duta besar dari Amerika, Inggris, dan Prancis bertmu di Fayed, pangkalan militer Britania Raya di wilayah Suez, yang menghasilkan kesepakatan untuk membubarkan lkhwanul Muslimun dengan menekan pemerintahan Mesir di bawah Perdana Menteri Mahmud Fahmi an-Naqrasyi. Lalu tekanan ini dipenuhi dan dilaksanakan.

Pembubaran pertama gerakan lkhwanul Muslimun dilakukan pada masa Raja Farouq di bawah pemerintahan Perdana Menteri an-Naqrasyi pada 8 Desember 1948. Setelah itu para aktivis ditahan dan dimasukkan ke dalam penjara di ath-Thur dan Haiksatab dalam jumlah ribuan, kecuali satu orang saja yang tidak ditangkap, melainkan dibiarkan bebas, yaitu Hasan al-Banna, pimpinan kelompok dan pendirinya. Semua orang heran, bagaimana semua anggota ditahan tetapi pimpinannya tidak? Akan tetapi kemudian teka-teki itu segera terjawab dan keheranan pun sirna, sebab di sana ada rencana keji yang disiapkan dengan cermat dan dilaksanakan dengan sempurna. Di sebuah jalan-jalan protokler di tengah kota Kairo, saat Ia keluar dari Markas Pemuda Muslimin, tepat di depan gedung ini, menjelang tenggelam matahari, sete!ah menerima undangan misterius ke markas umum gerakan ini, Ia dibunuh secara biadab dengan tembakan peluru yang dilakukan oleh kaki tangan Raja Faraouq.

pada tanggal 14 Rabi’uts Tsani 1368 H, bertepatan dengan tanggal 12 Februari 1949 M.
Akan tetapi perjuangan lkhwanul Muslimun tidak terputus hanya karena pembunuhan yang dilakukan terhadap pimpinannya serta pembekuan kegiatannya. Dan balik malapetaka itu, muncul satu gerakan kuat lain untuk melawan imperialis Inggris di Terusan Suez pada tahun 1951, yang kemudian menimbulkan dua serangan dahsyat pada tahun 1956 dan tahun 1965.
Pergerakan lkhwanul Muslimun tetap mendasar dan meluaskan sayapnya ke seluruh pelosok dunia, dan melancarkan pemikiran yang Islami ke kancah pertarungan. Pada masa ini banyak dijumpai pemikiran-pemikiran Islam yang dicetuskan penulis Ikhwanul Muslimun, seperti Yusuf Qardhawi. Mustafa Masyhur, Muhammad al-Ghazali, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Fathi Yakan, Mahmud Abdul Halim, Abbas as-Saisi, Sayyid Sabiq, Sa’id Hawwa dan sebagainya.

Pemikiran-pemikiran merka telah dijadikan model pelaksanaan Islam dalam seluruh segi kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Dan telah mendorong jiwa ummat Islam untuk berjihad dalam rangka menegakkan Kalimatullah, dan melaksanakan hukum Allah di bumi ini dengan berbagai cara. Jadi, jika sekarang ini dalam kegiatan Islam terdapat teori-teori dan pandangan untuk pelaksanaan Syar i’at Islam, yang hanya tertuju pada gerakan da’wah dan pendidikan, tanpa praktik politik, atau hanya memperhatikan praktik militer tanpa pendidikan, atau hanya mencurahkan tenaga untuk berda’wah dan mengajak ummat manusia untuk bekarja dalam bidang politik saja, maka pandangan semacam itu oleh Ikhwanul Muslimun dianggap semacam kemunduran berpikir yang sangat ditentang oleh lkhwanul Muslimun. Dan menurut Hasan al-Banna, pendapat semacam itu adalah juz’iyah (parsialistik) dalam mendorong Islam, yang menurut beliau justru Islam itu mencakup secara keseluruhan aspek kehidupan dan seimbang dalam pembinaan kepribadian ummat Islam dan pergerakannya, Jadi, pergerakan harus berjalan secara Islam, semua unsurnya melaksanakan islam sebagai aqidah dan syariah, menegakkan akhlak dan politik. melaksanakan ibadah dan hukum serta jihad di jalan Allah. Atas dasar-dasar tersebut Rasulullah saw. mendasarkan struktur pembinaan Islam pertama, dan Hasan al-Banna pun mendasarkan pergerakannya pada dasar itu pula, semua pergerakan Islam akan melaksanakan da’wah sesuai dengan dasar itu pula.

Senin, 13 Maret 2017

Pemikiran Sosial Al-Ghazali

Dalam mengkaji pemikiran sosial al-Ghazali kaitan harus diberikan kepada kekuatan ruang waktu karena al-Ghazali merupakan pemikir Muslim pertama yang sangat mempercayai fenomenologi. Tidak Seperti Hurse, fenomenologi, Ghazali sarat dengan gagasan dan pengertian. Tesis sosiologisnya yang penting didasarkan atas ide kepemimpinan yang secara konstan dirujuk oleh pemikir sosial Muslim dalam istilah umum lmamah. Imamah adalah keharusan karena merupakan kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan di dunia. Imamah ialah lembaga yang tak bisa ditawar tergantung pada Ijma komunitas sepeninggal Muhammad saw. ketika pemeliharaan tata keagamaan dan kepolitikan membuat penempatan jabatan yang cepat atas perintah Imam. Tetapi Ijma ummat tak cukup, karena “tata kebaikan agama” dicapai hanya “melalui seorang Imam yang ditaati”. Pada kenyataannya, “tata kebaikan agama”hanya mungkin terjadi melalui “tata kebaikan dunia” yang pada gilirannya, tergantung pada “Imam yang ditaati”. Agama dan kekuasaan (temporal) adalah saudara kembar. Ad-Din adalah fondasi dan kekuasaan secara mudah berarti pemeliharaan dan penguatannya. Tekanan pada kekuasaan adalah signifikan meski hanya sarana untuk mencapai tujuan. tujuannya adatah terwujudnya tata kebaikan agama dengan Sa‘adah al Akhirah atau Sa’adah al Qashwa.

Al-Ghazali akan tercatat secara menonjol dalam sejarah pemikiran sosiologis Muslim dengan sumbangannya di lapangan sosiologi perang dan sosiologi pengetahuan yang pertama masih belum dikenal dalam pemikiran modern dan yang kedua menjadi pusat perhatian setelah Perang Dunia Kedua. Kemampuan untuk mengerahkan Jihad ditentukan oleh pemilikan sifat kejantanan dan keberanian ( Najdah wa Syuja’ah). Jihad selalu dinyatakan sebagai salah satu tugas utama sang Khalifah. Demikian pula teori al-Ghazali tentang Taqlid sangat penting. Ia menekankan bahwa Taqlid lebih bermanfaat di masa krisis dan ikhtilaf yang luas ketimbang ljtihad. yang selama krisis mengarah pada distegrasi lebih jauh. Masalah Taqlid beserta penyebab dan konsekuensinya memberi Ghazali kesempatan untuk mengkaji ulang problema sosialogis fundamental. JikaTaqild (imitasi) adalah kunci fenomena sosial, maka hubungan sosial yang khas adalah “guru-murid” dalam beragam variasi. Ia menekankan penyebab taqlid secara asasi bersifat internal meski dibentuk dan ditunjang oleh situasi kelompok. Pembuktiannya yang menekankan imitasi secara esensial merupakan sebuah dasar konseptual untuk dapat menguraikan permasalahan sosiologis krusial, yakni proses yang dialarni individu ketika menyatu dengan kelompok dan masyarakat. Jadi, Ghazali menjelaskan struktur sosial yang menempatkan prilaku individu atau imitasi sebagai cerminan model atau sistem nilai umum. Ia menegaskan berulangkali bahwa dalam pembangunan masyarakat, kompleksitas dan diferensiasi sejalan dengan peningkatan terutama sekali kepercayaan, nilai-nilai dan prinsip-prinsip organisasional.

Dalam teori dan klasifikasinya tentang pengetahuan, Ghazali menggaris bawahi di antara perkara lain tentang tabiat prediktif pengetahuan. Inti pemikirannya adalah pengetahuan untuk peramalan, dan peramalan untuk pengawasan. Kaitan prediksi semacam itu bagi Ghazali bukan kebetulan, tetapi lebih merasuk pada pejalanan sains dan pengetahuan. Hal ini merupakan topik khusus yang menghendaki dengan sendirinya rincian analisis dan penelitian. Karena ilu kita berbuat tidak adil terhadap teori pengetahuan Ghazali dalam ruang terbatas sekedar penyinggung gambarannya yang menjulang.

Ghazali adalah penyumbang utama untuk bidang yang dalam bahasa jerman disebut Wissensociologic atau sosiologi pengetahuan. Dalam kitab Ihya’ dan karya lain. ia mengembangkan dan melukiskan teori tentang beragam gagasan atau pengetahuan yang bethubungan dengan struktur dan tujuan masyarakat yang diterapkan dan dipelihara. Kelompok konservatif, sebagai misal, ditekankan Ghazali menciptakan dan memelihara pandangan statis tentang dunia, sementara kelompok progresif menerima pandangan dinamis. Pengetahuan adalah sebuah struktur masyarakat Melalui bidang penelitian ini Ghazali mengerjakan seluruh pasang surut produk kebudayaan yakni determinan sosial terhadap perspektif intektual
Kajian tentang fenomena keagamaan dan pengalaman reljius yang menjadi gamblang hanya baru-baru ini, telah dipelopori oleh al-Ghazail. Keutamanya ialah mengelompokkan basis sosial bagi produksi mental. Catatan pengalaman keagamaannya dalam 1hya’ dan al-Munqidz menunjukkan bahwa dibalik norma terdapat sistem simbol - sistem makna superiordinat yang memberi arti dan koherensi bagi norma tersebut. Pemikir Barat modern, Robert N. Bilah, menyalakan bahwa sistem makna superordinat mungkin atau tidak mungkin relijius, tetapi Ghazali sejak lama menegaskan bahwa superordinat mesti relijius dengan pengertian meminta otoritas transendental Relevan gagasan ini bagi masalah penjernihan fungsi integratif agama ialah dapaf melengkapi Sebuah basis penjenjangan norma masyarakat dengan memperhatikan tatanan tertinggi yang memberi mereka makna. Setelah norma dirangking, maka dapat dibedakan sanksi yang merujuk pada otoritas transendental dengan sanksi sekular Di bawah usahanya untuk menjernihkan agama dan pengalarnan keagamaan, terdapat pengertian implisit bahwa kepercayaan agama memiliki implikasi terhadap nilai yang mengatur persepsi dunia soaial.
Simpulannya, dapat dibenarkan untuk menegaskan surnbangan besar pembentukan fondasi Epistimologi oleh Ghazai. Rosenthal salah memahami Ghazali ketika Ia mengatakan Syara’ telah digantikan oleh Wara’. Persoalannya bukan begitu. Ghazali secara sederhana memaksudkan Syar’i harus bergandeng tangan dengan Wara’ untuk memadukan kehidupan, agar sepenuhnya sejalan dengan pola orientasi nilai islam. Tak diragukan, takut kepada Allah adalah akar kehidupan sosial yang terpadu. Hal ini, sekali lagi tak diragukan. merupakan basis keberadaan masyarakat, kepribadian dan kebudayaan, serta mengulang praktik keraguan merupakan kualitas moral. Hukum sosiologis tentang pengawasan, tekanan dan pembatasan secara eksplisit melibatkan kategori takut kepada Allah. yang telah dinyatakan sebagai sebab utama kebangkitan kaum Muslimin oleh orientalis Jerman Daniel Heineberg.

Gambaran lain dari pemikiran sosial Ghazali terlihat dalam aksidisasinya tentang pengetahuan dan kerja pengembangan masyarakat serta kebudayaan. Ma’rifah dan pengabdian kepada Allah (Ibadah) menjamin tata kebaikan agama (Nidhamuddin). dicatat bahwa Ad-Din digunakan oleh Ghazali dalam pengertian menyeluruh untuk mencakup arti masyarakat dan budaya. Mengetahui, menurut Ghazali, adalah gambaran penuh dengan unsur keinginan dan pengaturan.
Apabila kedua unsur ini dihilangkan. maka proses mengetahui menjadi sebuah kebosanan, Logikalitas penegasan Ghazali dapat dilacak dalam analisisnya. Sebagai tujun segala kepentingan, sebuah nilai adalah hasil dari mengetahui, menginginkan, mengatur; apa yang diketahui adatalah nilai, apa yang diinginkan adalah nilai, apa yang diatur adalah nilai. Sejauh hal Itu tak ada yang salah, tetapi kesalahan muncul tatkala mengetahui- menginginkan-mengatur dlipisahkan dari sistem orientasi nilai Syari‘ah. Begitu pula menilai atau penilaian harus digunakan untuk membentuk segenap aktivitas manusia yang dibahas nilai dalam pengertian kebutuhan yang dikelompokkan oleh pemikir Jerman dalam kerangka rujukan Ma’rufah.
Epistimologi dasar yang diangkat dalam kesimpulan bahwa mengetahuli menginginkan dan mengatur adalah sifat khusus manusia, karena peristiwa kombinasi demikian hanya dalam konteks budaya. Hal ini mewakili tindakan-tindakan timbal-balik yang mengaitkan kebutuhan dan nilai, di mana tindakan dalam kerangka itu dapat dipandang sebagai penilaian.

Dalam pemikiran sosiologis Ghazali. teori nilai yang sepenuhnya dilupakan oleh cendekiawan barat dan Timur. adalah sangat penting, karna itu memerlukan beberapa tanggapan. Bagi Ghazali hukum, prinsip dan aturan yang dimunculkan dan dihasilkan oleh Qur’an dan Sunnah adalah nilai yang paling penting. Dan di atas aturan yang disebutnya syari’ah serta melalui karyanya dibangunlah teory organisasi sosial. Dari definisi nilai sebagai obyek penuh makna menuju subyek ini, digabungkan dengan penekanan aturan (Awamir) sebagai nilai, pengertian konsep nilal bagi sosialis Muslim telah dialihkan, Sehingga unsur normatif yang mendirikan nilai menjadi kritena yang lebih menentukan dibanding unsur obyektivitas. Perhatian utama Ghazali ialah menetapkan tesis dalam kaitannya dengan struktur masyarakat, nilai merupakan obyek esensial dari sosiologi gagasan al-Ghazali ini mendapat ungkapan modern dalam karya Thomas dan Zranjecki (The Polish Peasant in Europe and Amerika) serta Celestin Bougle (Jugement de Value et Judgements de Realiste).

Bentuk konsesi dasar yang baru mulai melangkah, sebagaimana penelahan dan pengakuan terhadap konsepsi tatanan. Konsep nilai memainkan peran penting dalam perkembangan ini, seperti perhatian konstan terhadap peran sistem aturan normatif dan gagasan moral dalam kehidupan sosial. Ada dua aspek teoritis penting dalam perubahan ini. Yang pertama memungkinkan untuk memandang nilai dalam dimensi obyekfif dan institusional sekaligus. Dengan kata lain, prilaku sosial, dalam bagian tertentu, merupakan refleksi subyektif dan aturan sosial. Pengalaman keagamaan, dan sudut pandang fenomenologis, adalah sebuah situasi; Sehingga tipe definisi situasional merupakan hasil refleksi pelaku meskipun tetap berlaku sebagai sebuah situasi nyata dan bagian integral dan tindakan pelaku dalam situasi tersebut.

Kaum sufi dan pemikir Muslim seperti Ghazali menegaskan pengalaman keagamaan dalam pengertian rujukan kepada sistem nilai. Jika nilai menentukan fakta dan membentuk kesatuan dalam sistem sosial menurut kerangka keterbatasan fungsional sebelum tuntutan sistem sosial dan sistem kepribadian, maka dalam ukuran besar nilai teisebut yang menentukan bentuk dominan kesatuan sosial dalam sebuah masyarakat sangat bermanfaat untuk keperluan pengelompokan masyarakat. Gagasan susulan dari Ghazali ini sepenuhnya selaras dengan sistem nilai Qur’ani. Hal ini dapat dijelaskan dalam kerangka kesatuan lima “variabel pemolaan” yang mewakili lima pilar Islam, secara kualitatif telah dikelompokkan menjadi dua pokok utama Muhkamat dan Mutasyabihat.

Penegasan tasawuf dan falsafah kita adalah sejalan dengan pemikiran modern, dengan beberapa persyaratan. Bila masyarakat utama dinyatakan menyatu, maka prasyarat fungsional adalah kesinambungan karakter suci dan karismatik dari sistem nilai terpusat. Hal ini, pada gilirannya, berhubungan dengan konsekuensi dari poses rasionalisasi dalam lapangan agama dan empiris.

Seperti telah kita lihat di atas, asal mula masyarakat utama acapkali didapatkan dalam proses rasionalisasi kepercayaan agama yang berpusat pada konsep tuhan yang transendental, seruan etis, dan sebuah pandangan dunia ini. Karena itu sumbernya adalah “Suci” dalam pengertian teknis istilah tersebut Tetapi dua unsur dalam poses rasionalisasi cenderung memisahkan sistem nilai sekuler dan sumbernya; kekuasaan sebagai proses rasionalisasi berkelanjutan dalam realitas keagamaan yang sebenarnya, sementara ideobogi yang berkembang cenderung melepaskan karakter simbolisme pertengahan yang mereka miliki di masa lalu. Sehingga berkembanglah jurang antara sistem kepercayaan agama rakyat dengan sektor keagamaan para elit pemuka. Pada saat yang sama, sistem kepercayaan agama rakyat dan pemuka agama kedua-duanya menjadi pelaku yang menggerakkan kesinambungan rasionalisasi sistem kepercayaan empiric.

Dari Buku: Muslim Social Philosophy” Jamiyatul Falah Publ., Karachi, 1971, hal. 14.19. Disunting oleh: Supto Waluyo

Senin, 06 Maret 2017

Abu Dzar Al-Gifari, Datang, Wafat dan dibangkitkan sendirian

Sosok ini merupakan icon pembala kaum yang lemah. Dia memilih untuk hidup miskin, namun bergelimang kekayaan hati. Baginya, Ilam dan kitab Rasulullah saw, mutlak diikuti tanpa toleransi. Dia juga menuai banyak pujian dari Rasulullah saw serta memperoleh jaminan surga. Dialah Abu Dzar Al Gifari.

Nama aslinya adalah jundub bin Junada bin zakat, namun dia lebih dikenal dengan panggilan Abu Dzar Al Gifari, karna dia berasal dari suku Gifar. Suku yang bermukim diantara mekah dan madinah ini, amat ditakuti karna kebiasaan masyarakatnya yang uka merampok kafilah dagang yang melintas. Kebiasaan ini pula yang biasa dilakukan Abu Dzar.

Saat masyarakat Qurays mekah dihebohkan oleh kabar seorang pemuda yang bernama Muhammad yang mengikrarkan diri sebagai Rasul utusan Allah, Abu Dzar tergerak untuk mencari kebenaran berita tersebut. Namun informasi yang didapat oleh seorang utuan yang sebelumnya telah diberangkatkan ke Mekah tidak memuaskan hati Abu Dzar, maka iapun memutuskan untuk berangkat ke Mekah mencari sendiri kebenaran tersebut. Sesampainya di mekah bertemulah dia dengan Ali bin Abi Thalib ra. Ali pun bertanya kepada Abu Dzar dan berkata : “Sepertinya anda adalah orang asing dikota mekah”. Pertanyaan itu dibenarkan oleh Abu Dzar. Kemudian Abu Dzar dijamu dengan baik oleh Ali bin Abu Thalib, namun Abu Dzar belum sempat mengatakan tentang keinginannya, hingga esok harinya Abu Dzar menuju kemasjid, namun sesampainya dimasjid, tidak ada seseorang yang bisa dia Tanya. Sampai kemudian Ali bin Abu Thalib bertanya kepada Abu Dzar tentang apa maksud kedatangannya ke Mekah, dan Abu Dzar mengatakan bahwa dia ingin bertemu dengan seseorang yang mengaku Nabi bernama Muhammad. Mendengar keinginan Abu Dzar itu, Ali bin Abu Thalib mengatakan, tepat sekali, kebetulan saya akan berjalan ke sebuah tempat dimana Muhammad saw berada.

Maka berjalanlah Abu Dzar mengikuti Ali bin Abu Thalib. Pada saat dia berjumpa dengan Rasulullah saw, dia bertanya tentang kenabiannya, dan Muhammad saw menjelaskan tentang kerasulan dan ajaran yang dibawahnya. Mendengar penjelasan Rasulullah, seketika itu beryahadatlah Abu Dzar Al Gifari.

Abu Dzar yang telah beriman, seketika itu juga dengan lantang mengatakan akan membela dan menyebarkan agama yang baru dipeluknya, walaupun keinginan tersebut sempat dicegat oleh Rasulullah saw. Namun Abu Dzar yang tak kenal takut, jutru bertindak nekat dengan mengumumkan keislamannya ditengah-tengah kota mekah. Sebuah tindakan yang sangat beresiko dan memancing amarah kaum kafir Qurays, telah membuat Abu Dzar dihajar habis-habisan oleh mereka (Qurays pen). Setelah tragedy pemukulan terebut, Abu Dzar memutuskan untuk kembali ketengah-tengah suku Gifar dan menyampaikan da’wahnya disana. Dengan ketekunan dan kesabarannya, akhirnya ia berhail meng Islamkan seluruh penduduk suku Gifar. Bahkan setelah itu ditambah dengan masyarakat Bani Aslam. Bani Aslam juga memiliki yang memiliki hubungan kekerabatan dengan mereka memeluk Islam. Begitu kedua suku (Gifar dan Aslam) datang kekota Madinah, Rasulullah saw memuji mereka dengan kalimat “Gifar, Ghofarahulloh (semoga Allah swt mengampuninya) dan Aslam, assallamahullah (semoga Allah swt menyelematkan dan mendamaikannya)”.

Perjuangan Abu Dzar tak cukup berhenti sampai disana, bersama Rasulullah dan kaum muslimin, ia selalu ada dalam barisan terdepan garda pembela Islam.

Eksisteninya di Perang Tabuk 

Perang tabuk menjadi bukti salah satu kesetiannya kepada Rasulullah saw. Perang ditahun 9 Hijriah ini terjadi ditengah kondisi cuaca yang ganas. Ditambah gangguan dari kaum munafik. Saat kekuatan kaum muslimin menjadi timpang akibat factor alat, Abu Dzar justru tidak mengendurkan determinasinya dimedan perang.

Sepanjang perjalan yang jauh kearah tabuk, para sahabat selalu berkata kepada Rasulullah saw, “ Ya Rasulullah si Fulan tidak ikut” dan selalu menghitung-hitung beberapa orang yang tidak ikut dalam perang tabuk. Namun Rasulullah berkata pada sahabat yang mengadu : “kalaupun mereka yang tidak ikut adalah orang yang baik, Allah pasti susulkan kepada kita, namun jika merka yang tidak ikut adalah orang yang tidak baik, Allah telah mengistirahatkan kita dari keberadaan mereka.

Salah satu yang tidak terlihat dalam rombongan Rasulullah saw adalah Abu Dzar Al-Gifari ra. Kemudian ada salah seorang diantara rombongon yang mengeluarkan kata yang tidak baik terhadap Abu Dzar dengan menuduh bahwa Abu Dzar pemalas karna tidak mau berangkat. Keperang tabuk. Namun tuduhan itu dibantah oleh sahabat lain dengan mengatakan bahwa Abu Dzar itu adalah seseorang yang mulia, beliau adalah orang shaleh, dan pasti dia akan hadir bersama kita.

Masih dalam perjalanan menuju ke Tabuk, terlihatlah dari jauh seseorang yang berjalan sendirian dengan seekor keledai yang lemas tidak berdaya. Kemudian Rasulullah menunjuk kearah bayang-bayang orang itu memastikan bahwa dia adalah Abu Dzar. Dan ketika bayang itu semakin dekat kearah rombongan, terlihat jelaslah sosok yang menampakkan wajah Abu Dzar. Sesampainya Abu Dzar kedalam rombongan, Rasulullah pun mengungkapkan sebuah kalimat untuk Abu Dzar. Rasulullah saw berkata : “Samsyi wahdaq, Wasamuutu wahdaq, Watub’atu Wahdaq” yang artinya : Kamu berjalan sendiri wahai Abu Dzar, kamu akan meninggal sendirian, dan kau juga kelak akan dibangkitkan sendirian.

Zuhudnya terhadap Dunia

Kemenangan demi kemenangan dalam setiap peperangan serta perluasan wilayah pendudukan, semakin membuat kaum muslimin hidup dalam kemapanan dan kemakmuran, namun tidak dengan seorang Abu Dzar. Ia jutru menyumbangkan seluruh kekayaan jihadnya dan memutuskan untuk hidup sederhana. Tak ada esdikitpun harta yang diinginkannya, kecuali makanan secukupnya untuk kehidupan sehari-hari, karna Abu Dzar memegang teguh prinsip untuk tidak menyimpan harta. Abu Dzar berikhtiar seperti itu karna dia sangat memegang teguh hadist nabi yang berbunyi : 
لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
Artinya : "Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal, niscaya Dia akan memberi rizki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rizki terhadap burung, ia pergi dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang". (HR. Ibnu Majah no. 4154)

Dan Abu Dzar menganggap bahwa siapapun yang suka mengumpul harta kemudian menyimpannya, adalah orang yang kurang bertawakkal kepada Allah swt.

Sepeninggal Rasulullah saw, Abu Dzar memilih hidup dipedalaman selama kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Saat kursi kekhalifaan bergulir kepada Utsman bin Affan, Abu Dzar sempat tinggal di Syam, yang kala itu dipimpin oleh gubernur Muawiah bin Abu Sufyan. Melihat masyarakat syam yang hidup dalam kemewahan, hati nurani Abu Dzar memberontak. Dan pada saat itu sang gubernur Muawiah bin Abu Sufyan merasa tidak nyaman karna Abu Dzar mengajarkan kepada masyarakat untuk tidak boleh menyimpan harta. Oleh karenanya, Muawiah pun mengirim surat kepada Khalifah Utsman bin Affan, yang kemudian direspon oleh sang Khalifah dengan cara memanggil Abu Dzar untuk kembali ke kota Madinah. Namun permohonan Khalifah Utsman bin Affan ditolak mentah-mentah oleh Abu Dzar Al-Gifari. Beliau jutru memilih pindah ke Robazah, sebuah wilayah kosong yang berjarak 200 kilometer dari kota Madinah. Di Robazah inilah Abu Dzar menghabiskan sisa hidup bersama keluarganya dengan segala kesederhanaan. Bahkan hingga ajal datang menjemputnya, Abu Dzar tidak memiliki kain untuk mengkafani jenazahnya. Dipengasingan inilah jenazahnya ditemukan oleh rombongan dagang yang melintas. Hampir saja kuda kafilah dagang itu menginjak jenazah Abu Dzar sebab mereka mengira kalau jenazah itu hanyalah sebuah gundukan. Berteriaklah istri Abu Dzar bahwa jenazah itu adalah suaminya yang merupakan sahabat Rasulullah saw.

Dan diantara kafilah dagang itu terdapat pula seorang sahabat mulia Abdullah bin Mas’ud yang ahli ilmu agama dan juga pedagang. Ia lalu menghentikan rombongan kafilah dagang itu, kemudian turun dari tunggangannya menangisi jenazah Abu Dzar sambil berkata : ” Benar kata Rasulullah ya Abu Dzar, bahwa engkau akan meninggal sendirian dan kelak akan dibangkitkan sendirian”.

Minggu, 05 Maret 2017

ABU DARDA, Ibrah Terbaik Bagi Orang Yang Tertipu Dunia

Nama lengkapnya Uwaimir bin Qais bin Umayyah bin al-Harits al-Anshari, lahir di kota Madinah. Abu Darda, ia lebih dikenal tumbuh dan dibesarkan di tengah keluarga hartawan, Karenanya tak heran bila setelah dewasa ia tertarik untuk terjun di dunia perdagangan. Dan di dunia ini Abu Darda meraih sukses, Namanya terkenal sebagai saudagar terkemuka dan disegani di Madinah.

Kesuksesan Abu Darda tidak Semata karena kondisi dan posisi keluargnnya yang memang kaya dan terpandang, tapi ia memiliki pembawaan dan sifat yang baik. Ulet, dan berkemauan keras, cermat, jujur dan teguh dalam memegang prinsip. Inilah yang banyak berperan mengantarkan kesuksesannya.

Memasuki Dunia Baru

Abu Darda termasuk orang yang tak ambil pusing terhadap Islam di masa awal da’wah Islam bergema di kotanya. Perhatiannya lebih banyak tesita oleh agenda dan aktivitas bisnis yang Ia tekuni. Namun gemuruh da’wah Islam yang memperoleh sambutan hampir seluruh penduduk Madinah saat itu, akhirnya menawan dan sekaligus rnenjadikannya tertarik pada Islam.
Ajaran Islam yang ia dapati lewat perkataan langung atau sikap Rasulullah, benar-benar merasuk ke dalam hati dan fikirannya, Ia tumbuh menjadi Muslim yang sangat kuat berpegang pada Islam, taat dan berlomba dengan para sahabat lainnya dalam mengabdikan diri untuk Islam.

Abu Darda terkenal sebagai sahabat yang memiliki kedalaman ma’rifah tentang keagungan Allah. Ia Seringkali bertafakkur tentang alam semesta ini, beribadah, berdzikir hingga tenggelam dalam lautan cinta kepada Allah swt. Jiwanya terbang merindukan perjumpaan dengan Sang Khaliq. Iman baginya bukan sekedar ucapan lisan, bukan pula sekedar pengakuan hati, tapi harus dilanjutkan dengan kesediaan mengorbankan segalanya untuk menggapai ridha-Nya.


Seseorang pernah bertanya pada Ibu Abu Darda tetang kesukaan anaknya. Ibunya menjawab: “Bertafakkur, mencari ibrah dan hikmah dari berbagai peristiwa yang teijadi dialam semesta”.
Abu Darda sedang memasuki dunia kehidupan baru setelah masuk islam. Demi memfokuskan perhatiannya dalam beribadah dan menghadirkan diri sepenuhnya untuk Islam, meninggalkan dunia perniagaan. Jadwal kegiatannya berbisnis berubah sama sekali dengan kegiatan penuh beribadah kepada Allah swt. Jiwa dan fikirannya terwarnai dengan kedekatan dan kerinduannya kepada Allah swt. Hari-harinya lebih banyak diisi dengan berkhalwat, tilawatulQur’an, dzikir dan tafakkur.

Hati-hati Membentengi Diri

Ancaman Allah dalam surat al-Humazah amat terkesan pada diri Abu Darda: 

وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍالَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُيَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُكَلَّا ۖ لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ

“Celakalah bagi setiap pencela dan penghina. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Ia ,menduga bahwa hartanya itu akan terus mengekalkan dirinya. Sungguh jangan bersikap demikian karena kelak pasti Ia akan dicampakkan ke dalam neraka Huthamah”. (QS. al-Humazah 1-4).

Abu Darda sangat berhati-hati membentengi diri, hingga seakan-akan syetan tak ada lagi celah merayu hatinya - Terutama melalui godaan harta dan kesenangan dunia. Harta baginya adalah amanah Allah, bukan tujuan hidup. Karena itu mendapatkannya pun harus dengan cara dan jalan yang halal. Dan bagaimanapun tak boleh menyita waktu beribadah kepada Allah swt.

Suatu ketika Abu Darda bercerita tentang sikap dan pandangan hidupnya. Aku masuk Islam menjadi pengikut Rasulullah saw., sewaktu aku masih menjadi saudagar. Keinginanku agar ibadah dan perdaganganku dapat berpadu, seiring dalam langkah hidupku. Namun ternyata aku tak sanggup dan tak berhasil. Lalu kukesampingkan perniagaan dan kupusatkan perhatianku pada ibadah kepada Allah. Aku tak gembira dengan keuntungan ratusan dinar setiap hari, walau seandainya tempat perniagaanku di dekat masjid. Maaf perhatikan, bukannya aku mengharamkan jual beli, bukan. Tapi aku pribadi lebih menyukai agar diriku tak tergolong pada para pedagang yang perdagangannya melalaikannya dari dzikrullah”. Menurut Abu Darda, aktivitas ibadah dan dzikrullah merupakan benteng yang paling kokoh melindungi diri dari fitnah. Abu Darda yakin bahwa kunci keruntuhan yang begitu cepat di berbagai negeri adalah karena mereka mengabaikan perintah Allah swt. Harta adalah satu sebab yang seringkali menjerumuskan seseorang dalam jurang lalai. Sehingga Allah melepaskan kendali rahmat dan lindungannya terhadap mereka.

Pernah terdengar do’a Abu Darda: “Ya Allah lindungilah aku dari hati yang kebingungan dan bercabang-cabang”. “Apa yang engkau maksud dengan hati yang bercabang-cabang?” tanya seseorang yang kebetulan di sampingnya. “Hati yang terpecah karena harta yang melimpah, kekayaan yang ada hampir di setiap lembah. Orang yang tak pernah puas dengan dunia, maka tak ada dunia baginya”.

Ada lagi yang penting untuk direnungkan, perkataan Ahbu Darda ketika menjabat hakim Syiria pada zaman kekhalifaan Utsman bin Affan. Ia memberi ceramah pada penduduk. Katanya: Wahai penduduk Syiria, kalian adalah penduduk seagama. Satu keluarga dalam negara. Satu front dalam barisan pembela. Tapi aku merasa heran atas tingkah kalian yang lupa daratan. Kalian kumpulkan makanan yang tak kalian singgahi. Kalian bangun gedung-gedung megah yang takkalian makan. Kalian bercita-cita tapi bak impian belaka, Beberapa kurun lalu kaum ‘Ad yang pernah menghuni daerah Aden dan Oman juga berbuat seperti kalian. Mengumpulkan dan menimbun kekayaan. Mereka berangan-angan, tapi hanyut dalam impian. Mereka membangun dan membangun. Mengenaskan, akhimya semua menjadi hancur binasa. Cita-cita mereka hanya fatamorgana. Gedung-gedung indah tak lebih hanyalah tumpukan sampah. Terlepas dari pandangan dan sikap pribadinya yang terkesan ekstrem, namun berbagai hikmah, prinsip hidup dan keteguhannya dalam berislam tetap merupakan teladan. Di saat kondisi zaman dilanda faham dan budaya materialistik yang begitu deras, keteladanan Abu Darda pentinq untuk kembali menjadi acuan. Kekhawatirannya tentang ancaman fitnah dunia kini makin terasa. Ternyata dunia merupakan perangkap syetan yang dapat mengikat manusia dari melakukan Ibadah kepada Allah swt. Berapa banyak manusia yang sibuk mengisi waktu dengan aktivitas memburu harta, pagi, siang hingga larut malam. Sementara waktu-waktu luangnya lalu diisi dengan kegiatan yang justru menjauh bahkan melawan perintah Allah swt. Pikiran hingga mimpinya terkuras pada upanya menghasilkan harta dan menikmati kesenangan dunia. Kelalaian demi kelalaian terus menjerumuskan seseorang pada jurang yang semakin dalam. Mengisi jenak-jenak usia yang semakin menapak mendekati kematian. Inilah kondisi yang amat dikhawatirkan oeh Abu Darda.

Selasa, 28 Februari 2017

Uwais Al- Qarni, Fenomenal Hingga ke Langit

Dia bukan sosok terkenal dimasyarakatnya. Dia hidup di zaman Rasulullah saw, akan tetapi tak pernah berjumpa dengan sang Nabi. Namun dibalik pribadi sederhananya, ia ternyata amat fenomenal dilangit karna kesalehannya. Rasulullah menyebutnya sebagai Tabi’in atau pengikut yang terbaik. Dialah Uwais Al Qarni. Nama lengkapnya adalah Uwais bin Amir, bin Jusin al Qarni, al Murodi, al Yamani. Ia berasal dari suku Qarn di Yaman, yang berada di sebelah selatan Saudi Arabia.

Tidak ada yang istimewa dari kehidupannya, ia hanyalah orang biasa, yang sehari-hari berdagang dan menggembala unta. Saat Islam mulai menyebar keseluruh wilayah Arab, Rasulullah saw juga mengutus beberapa sahabat untuk menyerukan Islam ke Yaman. Melalui utusan Rasulullah saw inilah Uwais tercatat menerima Islam sebagai keyakinan barunya.

Kesungguhannya mempelajari Islam membuktikan kecintaanya terhadap agama yang dibawah Rasulullah saw. Hari-hari berikutnya, Uwais menjalani hidup Islam sebagai nafas barunya. Meski terpisah ribuan kolometer dengan Rasulullah saw, ia selalu menunaikan sunnah Nabi saw. Jarak yang jauh antara dirinya dan nabi tak menghilangkan hasratnya untuk bertemu dengan Rasulullah saw. Ia bahkan sangat ingin segera ke Madinah untuk menemani perjalanan jihad Rasulullah saw. Akan tetapi ia harus menahan keinginan besar tersebut, sebab ibunda yang telah lanjut usia hanya menggantungkan hidupnya pada sang putra tercintanya Uwais al Qarni.

Uwais hanya bisa memendam hasratnya dan memilih untuk membaktikan hidupnya pada sang ibu. Dengan penuh sabar dan cinta, Uwais merawat dan memenuhi keperluan ibunya. Sang bunda yang mengetahui keinginan anaknya, akhirnya merestui Uwais untuk bertatap wajah dengan Rasulullah saw. Dengan berbekal seadanya Uwais pun menemui sang Rasul yang amat dirindukannya. Kecintaannya pada sang Nabi membuat Uwais mampu mengalahkan sulitnya perjalanan yang dilaluinya, hingga akhirnya Diapun tiba di Madinah Al Munawwarah.

Namun setelah sampai di Madinah Al munawwarah, harapan Uwais untuk bertemu dengan sang Rasul hilang seketika, tatkala mengetahui bahwa Rasulullah saw sedang tidak berada di Madinah. Uwais pun harus bergegas pulang ke Yaman hendak membaktikan diri pada ibundanya.

Melalui wahyu, Rasulullah saw mengetahui kedatangan Uwais ke Madinah yang hendak menemuinya. Rasulullah pun menceritakan sosok Uwais kepada para sahabat. Dan inilah yang membuat Uwais akhirnya terkenal. Keberadaan Uwais terus dicari, bahkan hingga memasuki kekhalifahan Umar bin khattab.

Dimasa kekhalifaan Umar bin Khattab ra, setiap datang rombongan (sebagai pedagang dan tamu Allah) dari Yaman, Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab sendiri selalu berteriak kepada mereka, “Apakah ada diantara kalian Uwais, Apakah ada diantara kalian Uwais”, sehingga orang-orang atau rombongan terebut mencari tahu siapa Uwais, sebab bahkan mereka pub tidak pernah mendengar seseorang yang hebat bernama Uwais dari Yaman.

Dan pada suatu saat, ketika Umar bin Khattab berhasil menemukan seseorang dari Yaman yang telah lama dicarinya, Iapun bertanya, apakah anda bernama Uwais, apakah anda berasal dari Qarn, apakah anda dari Murod, apakah anda punya ibu yang buta, apakah anda punya belang dibadan anda karna sebuah penyakit, yang kesemua dari pertanyaan itu dibenarkan oleh Uwais dengan menambahkan jawaban, “Aku pernah diberi ujian oleh-Nya, namun aku berdoa pada Allah hingga penyakit itu di sisakan hanya di pusarku, sebagai tempat aku bersyukur dengan jalan mengingat bahwa Allah pernah menyembuhkan aku dari penyakit ini atas doaku, atas kenikmatan Allah saw”. Mendengar jawaban itu, Umar pun semakin yakin bahwa sosok yang ada didekatnya itu adalah Uwais al Qarni yang selama ini dicarinya, Tak tangung-tanggung, Umar pun meminta agar Uwais mendoakannya ampunan.

Mendengar permintaan Umar, Uwais merasa heran dan berkata, “Seharusnya anda yang memintakan doa untukku, sebab anda adalah salah seorang sahabat Nabi, anda hidup bersama Rasulullah di Madinah, sedangkan aku bukan sahabat Rasulullah”.

Meski jawaban Uwais sangat logis, Umar tetap meminta Uwais untuk mendoakannya, sebab ia terinspirasi dari kalimat yang diucapkan oleh Rasulullah, bahwa Uwais adalah sosok Tabi’in yang terkenal hingga kelangit, hingga ciri dan fisk Uwais pun digambarkan oleh Rasulullah melalui wahyu, kemudian disampaikan kepada para sahabat.

Sejak saat itu, Uwais menjadi orang yang terkenal dimasyarakatnya. Bahkan selain Umar bin Khattab, banyak pula orang yang mencari dirinya hanya untuk meminta agar Uwais mendoakannya. Melihat fenomena yang terjadi pada dirinya, Uwais tidak menjadi sombong akan ketenaran dirinya, malah Ia memiih untuk tidak terkenal dengan mengasingkan diri dan hidup dalam kesederhanaan.

Sejarah tak banyak mencatat tentang keberadaan Uwais, namun dikisahkan bahwa setiap ketenaran menghampirinya, Uwais kembali berpindah dari satu tempat ketempat yang lain untuk mengasingkan diri. Sejarah mencatat Uwais terakhir bermukim di Khufa di zaman kekhalifahan Ali bin Abi Thalib ra. Disebutkan dalam syiar a’lamin mubalah bahwa Uwais al Qarni jikalau berniat melaksanakan Qiyamullail pada sebuah malam, maka ia terlebih dahulu berniat memanjangkan sujudnya. Dan ketika ia melaksanakan hajat itu, beliau pun memanjangkan sujud disetiap shalat malamnya. Adapun kebiasaan mulia yang dimiliki Uwais adalah, meski dia bukanlah seseorang yang kaya, namun dia selalu menyumbangkan apa yang tersisa dari barang yang dimilikinya, walaupun itu berupa sisa makan dan minuman yang mungkin orang lain membutuhkannya. Ia tidak suka menumpuk kekayaan yang mungkin mubazir dalam hidup seseorang. Hal inilah yang harus menjadi ibrah bagi kaum muslimin bahwa disetiap harta halal yang kita miliki pasti ada jatah seseorang.

Bulan safar tahun 37 Hijriah, terjadi perang Hittim yang melibatkan dua kubu umat muslim antara Ali bin Abi thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Di peperangan ini kehadiran Uwais kembali dicatat sejarah, karena ia datang terlibat untuk menggenapkan pasukan yang berbai’at kepada Ali bin Abi Thalib. Di perang inilah napas terakhir seorang Uwais al Qarni dihembukan, dan syahid pun datang menjemput beliau sekaligus melengkapi kemuliannya. Subhanallah, Indahnya hidup Uwais!

Senin, 20 Februari 2017

Abu Hurairah, Kontroversinya sebagai perawi hadist

Siapapun yang mempelajari Agama Islam, khususnya mengenai ilmu Hadits, hampir pasti akan menjumpai nama Abu Hurairah. Sebab nama sahabat dekat Nabi Muhammad saw. Ini dikenal sebagai perawi hadits yang amat luas ilmunya dan kuat hafalannya. Dan ucapan beliau ini menurut keterangan dalam kitab Ulum al-Hadits wa Mustalahuhu telah lahir sebanyak 5.374 buah hadits. atau menurut al Kirmani ada 5.364 hadits riwayat Abu Huraiah. Meskipun demikian. kontroversi mengenai reputasinya sebagai perawi hadits juga muncul, terutama seperti yang dihembuskan oleh para orientalis. Mereka ini pada awalnya meragukan kejujuran Abu Hurairah yang kemudian merembet pada tingkat kebenaran hadits yang dibawanya. Logika sederhananya adalah, mengapa Abu Hurairah yang hidup bersama Nabi hanya selama kurang dari empat tahun mampu meriwayatkan sebanyak 5.374 hadits? Bukankah para sahabat lain dari kaum Muhajirin serta kaurn Anshar yang lebih lama hidup bersama Nabi tidak sebanyak itu meriwayatkan hadits? Kontroversi ini akan terjelaskan secara jernih setelah kita kaji pendapat orientalis dan ulama Muslim. Namun sesungguhnya jika kita bersedia mencermati dengan seksama riwayat Abu Hurairah maka kontroversi itu otornatis sirna. Sebab sikap curiga terhadap kejujuran Abu Hurairah hanya bermula dari tidak dipahaminya secara jelas sejarah hidup beliau, terutama pada sebab mengapa beliau sampai meriwayatkan banyak hadits. Oleh karena itu terlebih dahulu dikemukakan riwayat hidup beliau.

Riwayat Hidup Abu Hurairah
Nama Abu Hurairah sebenamya merupakan nama panggilan (kuniyah) saja dan nama aslinya: Abdu Syamsin ibn Sakhr ad-Dausy (Budak matahari anak Sakhar warga kabilah Daus), dari negeri Yaman. Konon ceritanya Sewaktu Abdu Syamsin menggembala kambing menèmukan seekor kucing yang kemudian dimosukkannya ke saku baju luarnya. Ketika keluarganya mendengar suara kucing tadi mereka bertanya itu suara apa yang dijawab suara kucing. Lalu mereka memanggil orang yang dilahirkan pada tahun 21 SH (Sebelum Hijrah) dari ayah Sakhar dan ibu Maemunah itu dengan julukan Abu Hurairah (Ayah kucing betina), Nama lain pemberian Nabi setelah beliau masuk Islam adalah Abu Hirr (Ayah kucing jantan) serta Abdurrahman (Hamba yanq pemurah) ibn Sakhr.

Masuk lslamnya Abu Hurairah berada di tangan Thufail ibn Amr ad-Dausy. Menurut sebuah riwayat sebuah riwayat hal itu terjadi jauh sebelum perang Khaibar. Namun menurut riwayat lain Abu Hurairah masuk Islam pada tahun ke-7 Hijrah ketika berusia lebih kurang 30 tahun saat mengikuti Nabi pada perang Khaibar. Kompromi dari kedua riwayat tadi adalah bahwa secara syahadah Abu Hurairah telah masuk Islam sebelum perang Khaibar dan baru secara kenyataan bersarna Nabi setelah berhijrah mengikuti Nabi waktu perang Khaibar sehingga banyak orang menyangka baru pada saat itu juga.

Suatu hari beliau diutus oleh kaumnya untuk menemui Nabi. Saat bertemu dan hati ke hati itu menjadi amat tertariklah hatinya kepada kepribadian Nabi sehingga usai itu Abu Hurairah memutuskan untuk berkhidmat (menjadi khadam, pembantu) kepada Rasululah, yaitu dengan hidup bersamanya tinggal di masjid. Demikianlah yang terjadi, Abu Hurairah hidup bersama lebih kurang 70 orang sahabat lain di masjid yang dikenal sebagai Ahl al Suffah (warga kolong masjid). Selama hampir empat tahun, selagi Nabi rnasih hidup, Abu Hurairah selalu bersama Nabi tanpa mau menikah. Sebab segenap waktu yang ada selalu diusahakan bisa bersama Nabi baik pagi, siang, sore, maupun malam agar jangan sarnpai tertinggal dari palajaran, peristiwa ataupun prilaku Nabi, Di kalangan Ahl as.Suffah sendiri peran Abu Hurairah amat menonjol. Pernah beliau diangkat Nabi sebagai Kepala Jama’ ah Ahl as-Suffah karena motivasinya yang melebihi orang lain. Karenanya setiap saat beliau bisa berjumpa dengan Nabi untuk mendengarkan nasihat dan wejangan mengenai beragam hal, Sejak awalnya Abu Hurairah memang berniat melazimi/mengikuti Rasulullah saw, untuk mendapatkan ilmu agama sebanyak-banyaknya. Kemanapun Nabi berada, di masjid. di rumah, pergi berperang selalu beliau mengikuti. Boleh dikata hanya di waktu tidur saja Abu Hurairah tidak bersama Nabi. Sungguh himmah (cita-cita) serta keinginan beliau untuk mendapatkan ilmu sangatlah tinggi. 

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa keinginan untuk memaharni ilmu agama yang banyak itu sampai dengan meminta kepada Nabi untuk mendoakannya agar ilmu dan hafalan yang telah diperolehnya tidak terlupa. Rasul menyuruh Abu Hurairah membentangkan selendang seraya berkata: “Letakkan selendang pada dadamu”, Kemudian Rasul berdoa. Sesudah itu tidak melupakan hadits/ ilmu yang diperolehnya dari Nabi. Pantaslah jika Abu Hurairah memiliki ilmu yang sangat banyak. dalam riwayat disebutkan dua bejana, karena intensitasnya bersama Nabi sangat tinggi. Setelah Nabi meninggal, barulah Abu Hurairah bersedia menikah. Yakni tak lama selelah kaum Muslimin memperoleh kemenangan dan kesejahteraan dengan harta rampasan yang melimpah. Abu Hurairah memperoleh bagian berupa sebuah rumah, harta serta seorang istri. Walaupun begitu, semua kenikmatan yang diperolehnya itu tidak sedikit pun mengubah kepribadiannya yang mulia. Beliau tak pernah melupakan masa lalunya,
Pernah Abu Hurairah bercerita: “Aku dibesarkan oleh ibuku dalam keadaan yatim, kemudian aku berhijrah datam keadaan miskin. Aku pernah rnengambil upah di perkebunan Bani Ghazwan hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Aku pernah pula menjadi khadam (pelayan) menurunkan serta menaikkan keluarga dari dan ke atas kendaraannya. Kemudian aku dikawinkan Allah dengan seorang perempuan”.

Ketika Khalifah Muawiyoh bin Abu Sufyan berkuasa, Abu Hurairah dipercaya menduduki jabatan Walikota Madinah lebih dari satu periode. Keluasan ilmu dan keluwesan pemerintahannya tidak ada yang menandingi pada waktu itu. Sungguh dalam pribadi Abu Hurairah terkumpul kekayaan akan ilmu, taqwa serta sifat wara’. Siang hari beliau berpuasa. Malam hari beribadat sepertiga malam. Kemudian dibangunkannya istrinya yang kemudian si istri beribadat sepertiga malam pula. Sesudah itu istrinya membangunkan anak perempuannya sehingga gadisnya beribadat di sepertiga malam terakhirnya. Karena itu dalam rumah tangga Abu Hurairah tidak putusnya orang beribadat sepanjang malam. Akhirnya Abu Hurairah wafat dalarn usia tua saat Marwan bin Hakam menjadi Walikota Madinah.

Kontroversi Reputasinya Sebagai Perawi Hadits

Kalau bukan karena pendapat dan celaan kaum orientalis sebenarnya kontroversi ini tidak pernah terjadi. Namun dengan celaan itu selain menimbulkan sikap kritis juga secara tidak langsung justru meneguhkan reputasi Abu Hurairah sebagai perawi hadits. Sikap kritis dan keraguan terhadap beliau ini sekadar metoda untuk lebih meyakini reputasinya. Di antara banyak orientalis terdapat tiga tokoh pemicu kontroversi yakni Ignaz Glodziher, Sprengerr serta Juynboll. Secara ringkas pendapat dan Celaan mereka akan dibantah secara logis berdasarkan rujukan yang ada dengan rincian sebagai berikut:

A. Ignaz Goldziher.

‘Para sahabat menaruh curiga dan syak wasangka kepada Abu Hurairah yang telah membanyak-banyakkan hadits Nabi Muhammad saw”. (Encyclopaedia of Islam dalam judul Mohamadanisme). Pendapat lgnaz Goldziher Itu berdasarkan hadits Abu Hurairah yang artinya: Sesungguhnya kamu akan mengatakan bahwa Abu Hurairah telah memperbanyak hadits Rasulullah dan kamu akan menanyakan mengapa orang Muhajirin dan Anshar tidak menceritakannya dari Rasulullah sebagaimana Abu Hurairah? Sesungguhnya saudara-saudara saya dan kaum Muhajirin terlalu sibuk berdagang di pasar padahal saya selalu melazimi Rasul, bukan hanya karena mengenyangkan perut bahkan saya hadir saat mereka tidak hadir dan saya hafal (hadits) saat mereka lupa. Sedangkan saudara-saudara saya dari kaum anshar tertalu sibuk dengan hartanya padahal saya orang termiskin di antara orang miskin Ahl as-Suffah, sehingga saya selalu menghafal saat mereka melupakan. (Fath al-Bari, V: 130.131).

Hadits Abu Hurairah ini menyiratkan rasa takjub sahabat karena rentangan masa bergaulnya dengan Nabi relatif pendek (kurang dari 4 tahun) namun amatlah intensif. Dipahami benar oleh para sahabat bahwa selama masa bergaulnya itu Abu Hurairah tidak pernah berpisah sejengkal pun dari Nabi kecuali saat tidur. Goldziher telah berpendapat salah. para sahabat menaruh curiga dan syak wasangka terhadap Abu Hurairah. Hal yang terjadi bukan begitu. Sebab seandainya Abu Hurairah telah memperbanyak hadits pastilah akan mendapat protes keras dan teguran dari para sahabat. Dalam riwayat tak satu pun yang memprotesnya. Oleh karena itu muatan hadhts tadi adalah rasa takjub para sahabat kepada intensitas pergaulan Abu Hurairah bersama Rasulullah untuk kemudin memakluminya.

B. Sprenger “Abu Hurairah adalah orang alim yang sangat pembohong”. (Shorter Encyclopaedia of Islam)

Ungkapan Sprenger ini kentara berlebihan dan penuh kebencian. Menurut ilmu Hadits, sebuah hadits dapat diterima bila sanadnya/perawinya orang yang adil lagi tsiqah serta muatannya tidak bententangan dengan al-Qur’an. Para ahli juga bersepakat bahwa para sahabat termasuk golongan orang yang tidak perlu lagi diteliti dan diselidiki sejarah hidupnya karena mereka tergolong as-Sabiqunal-Awwalun yang telah diberi penilaian baik langsung oleh al-Qur’an.
Kalau toh harus diteliti keadilan para perawi, tentunya rangkaian setelah sahabat, yakni tabi’in ataupun tabiiat-tabiin; bukan pada Abu Hurairah melainkan perawi-perawi sesudahnya. Sebab sandaran hadits selain kepada Abu Hurairah juga kepada banyak sahabat lain seperti Ibn Umar, Anas bin Malik, Aisyah, Jabir, dll

C. Juynboll: “Kejujuran Abu Hurairah perlu diragukan, mungkin sekali berbuat dusta karena kejujurannya masih diperdebatkan”. (Shorter Encyclopaedia of Islam dalam judul “Hadith”)

Banyak kitab hadits dan kitab tarikh yang masyhur lagi terpecaya seperti Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, al- Isabah, al-isti‘ab, Tahzib al-Asma, Rijal Haula ar-Rasul yang memuat dengan jelas lagi gamblang akan kehidupan Abu Hurairah baik keluasan ilmunya, kabilah dan nasab keturunannya, sifat dan karakterya serta kelahiran dan wataknya. Dalam kitab-kitab tersebut tidak ada satu riwayat pun yang menunjukkan kedustaan Abu Hurairah. Pendapat Juynboll paling mungkin muncul disebabkan dia kurang menguasai secara jernih sejarah hidup Abu Hurairah terutama pada sebab mengapa Abu Hurairah sampai meriwayatkan banyak hadits. lntensitasnya bersama Rasul tidak dia pahami. Sementara seperti kita pahami jiwa Abu Hurairah digugah oleh ayat 159 surat al-Baqarah:

Sesunguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua makhluk”.

Para orientalis tersebut di atas berpendapat dengan dasar sangkaan buruk (suuzhan) kepada Abu Hurairah sebagai perawi hadits. Sebenarnya celaan para orientalis seperti itu tidak hanya kepada Abu Hurairah melainkan juga kepada tokoh, ulama dan pemimpin Islam yang lain. Tujuannya agar dasar syari’at Islam tidak bisa tegak berdiri. Khususnya kepada Abu Hurairah, celaan dan perendahan martabatnya ini berkaitan dengan peranannya yang besar dalam soal Ilmu Haidts untuk tegaknya hukum dan syar i’ at Islam. Seolah yang mereka terapkan metode ilmiah namun sesungguhnya pendapat mereka tidak beralasan dan tanpa bukti. Ulama Muslim juga punya pendapat mengenai Abu Hurairah ini yang secara diametral bertentangan dengan pendapat para orientalis. Pendapat Imam Syafi’i: “Abu Hurairah adalah salah seorang sahabat yang paling banyak menghafal (hadits) di antara para sahabat di masa itu”. Sementara pendapat lmam Bukhari; “Yang meriwayatkan hadits dari Abu Hurairab sebanyak 800 orang ahli ilmu dan beliau termasuk salah seorang yang paling menonjol’. Pendapat Ibn Katsir: “Abu Hurairah adalah seorang yang jujur. banyak menghafal (Hadits), ahli agama, ahli ibadat seorang zuhud dan beramal salih”. (As-Sunnah; 433-434).

Akan halnya Abu Hurairah yang bergaul dengan Nabi selarna kurang dari empat tahun tetapi sudah bisa menghafal dan meriwayatkan hadits sebanyak 5.374 buah, kita ummat Islam tidak perlu ikut su’uzhan serta merasakan aneh. Bukankah tidak sedikit orang Indonesia yang bisa menghafal seluruh al-Qur’an (6.326 ayat) yang bukan bahasanya sendiri dalam jangka waktu 2 hingga 3 tahun saja? Itulah pada hafidz. Hal itu sungguh bergantung pada minat dan dorongan yang dimiliki seseorang. Oleh karena itu bukan hal sukar bagi Abu Hurairah untuk menghafal banyak hadits karena beliau mendengar, melihat. mengalami serta menghayati langsung semua aktivitas sehari-hari Rasulullah saw. dalam waktu hampir empat tahun. Lebih-lebih motivasi, himmah dan keinginan beliau untuk menguasai banyak ilmu dari Rasul sudah dikenal amat kuatnya.

Penutup

Secara ringkas uraian di atas bisa disimpulkan dalam dua pernyataan beriikut:

a. Riwayat hidup Abu Hurairah sebagai sahabat dekat Nabi Muhammad saw. amat gamblang lagi tegas baik mengenai kabilah dan nasab keturunannya, keilmuannya, sifat dan karakternya maupun mengenai kelahiran serta wataknya. Tiada kedustaan sedikitpun mengenai hal itu yang bersumber dari kitab hadits dan kitab tarikh yang terpercaya.

b. Kontroversi mengenai reputasinya sebagai perawi hadis hanya muncul dari pendapat pribadi (subjektif) para orientalis yang disemangati oleh sangkaan jelek (.su’uzhan). Lebih jauh lagi, usaha para orientatis untuk mencela dan merendahkan martabat Abu Hurairah adalah untuk merongrong tegaknya syari’at Islam.

Sabtu, 18 Februari 2017

SUHAIB AR-RUMI, “Ambillah hartaku, tapi biarkan aku bersama Rasulullah”.

Suhaib bin Sinan atau lebih dikenal dengan nama Suhaib ar-Rumi adalah seorang anak berwajah cerah, berambut pirang, gesit, lucu, lincah dan sorot matanya menunjukkan kecerdasan. Keberadaannya membahagiakan hati ayahnya dan melenyapkan semua duka citanya. Pada suatu kesempatan, Suhaib dan ibunya bepergian ke desa at-Tamiya di daerah Iraq. Mereka ditemani oleh beberapa pembantu dan pengawal. Tanpa disangka-sangka, desa tersebut diserang oleh pasukan Romawi. Para pengawal berhasil dilumpuhkan, kemudian harta benda mereka dirampas dan mereka sendiri ditawan. Termasuk di antara mereka adalah si kecil Suhaib. Sejak saat itu berubahlah seluruh kehidupan Suhaib. Dia dijual di pasar budak Romawi. Silib berganti tangan yang menguasainya. Dari satu majikan berpindah ke majikan yang lainnya. Demikianlah kebiasaan kehidupan para budak yang ribuan jumlahnya memenuhi istana-istana Romawi.
Ternyata Suhaib selalu menghiasi hati tuan-tuannya. Dan situ dia bisa melihat sendiri kehidupan di dalam istana-istana Romawi yang penuh dengan kebejatan moral. Dengan telinganya dia mendengar berbagai macam kejahatan dan kezhaliman. Oleh karena itu dia membenci dan menghinakan masyarakat itu. Dalam hatinya dia berkata: “Masyarakat seperti ini tidak bisa dibersihkan kecuali dengan angin topan….”.

Awal Sebuah Perjalanan

Suhaib tumbuh di negeri Romawi dan dewasa di antara para penduduknya. Kerinduannya akan hari kebebasannya tak pernah padam. Dia selalu berharap bisa kembali kepada suku bangsanya. Kerinduannya semakin memuncak tatkala mendengar seorang “dukun” nasrani berkata kepada tuannya: “Telah tiba masanya seorang nabi datang dari Makkah di jazirah Arab. Dia membenarkan risalah Isa bin Maryam dan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju terang”..
Beruntunglah, suatu ketika datang kesempatan bagi Suhaib untuk melarikan diri. Begitu lepas dari tuan-tuannya, dia langsung menuju Makkah, Ummu Qura, yang merupakan pusat kediaman bangsa Arab dan tempat munculnya nabi yang dinanti-nantikan. Selanjutnya Suhaib berdagang bersama seorang tokoh Makkah, Abdullah bin Jad’an. Dia mendapatkan untung besar, maka dalam waktu dekat menjadi kaya raya. Tapi benaknya terus mengingat kata-kata si ‘dukun’ nasrani di Romawi dulu. Dia bertanya-tanya dalam hatinya: “Bilakah ini terjadi?”

Pada suatu hari dia pulang ke Makkah dari bepergian, Segera didengarnya berita bahwa Muhammad bin Abdullah telah diutus. Dia menyampaikan da’wahnya. menyeru orang-orang agar beriman kepada Allah semata, mendorong pada keadilan dan kebenaran. “Bukankah dia yang biasa dijuluki Al min?” tanya Suhaib. “Benar”, jawab lawan bicaranya. “Di mana tempatnya? “Di rumah Arqam bin Abi Arqam di Shafa. Tapi jangan sampai orang-orang Quraisy melihatmu Engkau bisa dicincang habis oleh mereka. Apalagi engkau seorang asing. Tak ada sanak keluarga atau kaum yang melindungimu”.

Suhaib pergi dengan sangat hati-hati, Sebentar-sebentar dia menengok ke belakang, Ketika sampai di depan pintu rumah kawannya Ammar bin Yasir, dia ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya mengetuk, “Tidakkah engkau ingin sesuatu, Ammar?” tanya Suhaib. “Apa yang engkau inginkan?” Ammar balik bertanya. ‘Aku ingin menemui orang itu dan mendengarkan ajaran yang dikatakannya”.

“Aku juga begitu”, kata Ammar “Katau begitu. mari kita berangkat bersama-sama dengan berkah Allah”, Perniagaan yang Menguntungkan Suhaib bin Sinan dan Ammar bin Yasir pergi menjumpai Rasulullah dan mendengarkan seruan beliau, Cahaya iman menyinari kalbu keduanya, Mereka mengulurkan tangan untuk bai’at syahadat “Laa ilaha illallah Muhammad Rasulullah”. Seharian mereka berdua tinggal di sisi Nabi untuk mengambil tuntunannya dan mengakrabkan persahabatannya,

Suhaib, ikut memikul bagiannya dari siksaan Quraisy bersama Bilal, Ammar, Sumayyah, Yasir dan puluhan Muslimin lainnya. Seandainya penganiayaan Quraisy tersebut ditimpakan pada sebuah gunung niscaya akan runtuh. Namun orang-orang ini menerima semua itu dengan mantap dan penuh kesabaran. karena mereka tahu bahwa jalan surga penuh dengan kepedihan.
Setelah Rasulullah mengidzinkan sahabat-sahabatnya hijrah ke Madinah. Suhaib juga ingin berangkat menyertai Rasulullah dan Abu Bakar. Tapi malang, Quraisy mencium rencana itu. Mereka melarang menghalang-halangi dengan memasang pengawas di jalan-jalan untuk men cegah jangan sampai harta benda yang diperolehnya lepas dari tangan mereka.
Suhaib menanti-nanti kesempatan untuk menyusul Rasulullah serta sahabat-sahabatnya, tetapi gagal karena pengawasan terhadapnya sangat ketat. Tak mungkin dia lolos kalau tidak dengan tipu muslihat.

Pada suatu malam yang sangat dingin, Suhaib berulang kali pergi ke tempat-tempat sepi seolah-olah hendak buang hajat. Para pengawasnya berkata satu sama lain: “Tenang saja. Demi Lata dan Uzza, dia sedang sibuk dengan perutnya”. Setelah orang-orang itu kelihatan tidur kembali, pelan-pelan Suhaib merangkak menjauh. Dia langsung menuju ke arah Madinah. Para pengawas Quraisy baru menyadari setelah Suhaib tak kunjung kembali. Mereka terbangun dengan kebingungan, kemudian bergegas mengejar dengan kuda-kuda mereka. Suhaib berhasil ditemukan di jalan menuju Madinah. Melihat datangnya bahaya. Suhaib segera mencari tempat yang menguntungkan, lalu menyiapkan busur dan panah. Ia menggertak: “Hai orang-orang Quraisy, kalian tahu aku sangat mahir membidik dengan panah. Jangan harap kalian dapat menyentuhku sebelum habis anak panah di bahuku ini, Satu bidikan untuk satu orang bagi kalian. Akan kugunakan pula pedangku yang tajam ini selama masih berada di tanganku”. Salah satu dari mereka berkata: “Demi Tuhan, kami tidak bisa membiarkan engkau pergi bersama hartarnu, Dulu engkau datang kemari dalam keadaan miskin lalu menjadi kaya raya”.
Suhaib berusaha menawar: Apakah kalian bersedia melepaskanku kalau harta benda itu kutinggalkan?”
“Ya”, jawab mereka. Tanpa pikir panjang dia menunjukkan tempat penyimpanan hartanya di Makkah. Mereka pun pergi menyambutnya dan membiarkan Suhaib pergi. Sesampaikan di Quba’, Rasulullah menyambutnya dengan wajak berseri seraya berkata berulang-ulang: “Ya, Abu Yahya (maksudnya Suhaib ar-Rumi), untung besar perniagaanmu”. Demikianlah sepenggal kisah seorang sahabat yang tertoreh dalam sebuah perjalanan sejarah. Begitu besar cinta mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya. Tak sedikit yang telah mereka korbankan. Semoga kita masih tersisa warisan dan semangat tekad mereka untuk senantiasa berkorban demi Allah dan Rasul-Nya.