Sabtu, 18 Februari 2017

SUHAIB AR-RUMI, “Ambillah hartaku, tapi biarkan aku bersama Rasulullah”.


Suhaib bin Sinan atau lebih dikenal dengan nama Suhaib ar-Rumi adalah seorang anak berwajah cerah, berambut pirang, gesit, lucu, lincah dan sorot matanya menunjukkan kecerdasan. Keberadaannya membahagiakan hati ayahnya dan melenyapkan semua duka citanya. Pada suatu kesempatan, Suhaib dan ibunya bepergian ke desa at-Tamiya di daerah Iraq. Mereka ditemani oleh beberapa pembantu dan pengawal. Tanpa disangka-sangka, desa tersebut diserang oleh pasukan Romawi. Para pengawal berhasil dilumpuhkan, kemudian harta benda mereka dirampas dan mereka sendiri ditawan. Termasuk di antara mereka adalah si kecil Suhaib. Sejak saat itu berubahlah seluruh kehidupan Suhaib. Dia dijual di pasar budak Romawi. Silib berganti tangan yang menguasainya. Dari satu majikan berpindah ke majikan yang lainnya. Demikianlah kebiasaan kehidupan para budak yang ribuan jumlahnya memenuhi istana-istana Romawi.
Ternyata Suhaib selalu menghiasi hati tuan-tuannya. Dan situ dia bisa melihat sendiri kehidupan di dalam istana-istana Romawi yang penuh dengan kebejatan moral. Dengan telinganya dia mendengar berbagai macam kejahatan dan kezhaliman. Oleh karena itu dia membenci dan menghinakan masyarakat itu. Dalam hatinya dia berkata: “Masyarakat seperti ini tidak bisa dibersihkan kecuali dengan angin topan….”.

Awal Sebuah Perjalanan

Suhaib tumbuh di negeri Romawi dan dewasa di antara para penduduknya. Kerinduannya akan hari kebebasannya tak pernah padam. Dia selalu berharap bisa kembali kepada suku bangsanya. Kerinduannya semakin memuncak tatkala mendengar seorang “dukun” nasrani berkata kepada tuannya: “Telah tiba masanya seorang nabi datang dari Makkah di jazirah Arab. Dia membenarkan risalah Isa bin Maryam dan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju terang”..
Beruntunglah, suatu ketika datang kesempatan bagi Suhaib untuk melarikan diri. Begitu lepas dari tuan-tuannya, dia langsung menuju Makkah, Ummu Qura, yang merupakan pusat kediaman bangsa Arab dan tempat munculnya nabi yang dinanti-nantikan. Selanjutnya Suhaib berdagang bersama seorang tokoh Makkah, Abdullah bin Jad’an. Dia mendapatkan untung besar, maka dalam waktu dekat menjadi kaya raya. Tapi benaknya terus mengingat kata-kata si ‘dukun’ nasrani di Romawi dulu. Dia bertanya-tanya dalam hatinya: “Bilakah ini terjadi?”

Pada suatu hari dia pulang ke Makkah dari bepergian, Segera didengarnya berita bahwa Muhammad bin Abdullah telah diutus. Dia menyampaikan da’wahnya. menyeru orang-orang agar beriman kepada Allah semata, mendorong pada keadilan dan kebenaran. “Bukankah dia yang biasa dijuluki Al min?” tanya Suhaib. “Benar”, jawab lawan bicaranya. “Di mana tempatnya? “Di rumah Arqam bin Abi Arqam di Shafa. Tapi jangan sampai orang-orang Quraisy melihatmu Engkau bisa dicincang habis oleh mereka. Apalagi engkau seorang asing. Tak ada sanak keluarga atau kaum yang melindungimu”.

Suhaib pergi dengan sangat hati-hati, Sebentar-sebentar dia menengok ke belakang, Ketika sampai di depan pintu rumah kawannya Ammar bin Yasir, dia ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya mengetuk, “Tidakkah engkau ingin sesuatu, Ammar?” tanya Suhaib. “Apa yang engkau inginkan?” Ammar balik bertanya. ‘Aku ingin menemui orang itu dan mendengarkan ajaran yang dikatakannya”.

“Aku juga begitu”, kata Ammar “Katau begitu. mari kita berangkat bersama-sama dengan berkah Allah”, Perniagaan yang Menguntungkan Suhaib bin Sinan dan Ammar bin Yasir pergi menjumpai Rasulullah dan mendengarkan seruan beliau, Cahaya iman menyinari kalbu keduanya, Mereka mengulurkan tangan untuk bai’at syahadat “Laa ilaha illallah Muhammad Rasulullah”. Seharian mereka berdua tinggal di sisi Nabi untuk mengambil tuntunannya dan mengakrabkan persahabatannya,

Suhaib, ikut memikul bagiannya dari siksaan Quraisy bersama Bilal, Ammar, Sumayyah, Yasir dan puluhan Muslimin lainnya. Seandainya penganiayaan Quraisy tersebut ditimpakan pada sebuah gunung niscaya akan runtuh. Namun orang-orang ini menerima semua itu dengan mantap dan penuh kesabaran. karena mereka tahu bahwa jalan surga penuh dengan kepedihan.
Setelah Rasulullah mengidzinkan sahabat-sahabatnya hijrah ke Madinah. Suhaib juga ingin berangkat menyertai Rasulullah dan Abu Bakar. Tapi malang, Quraisy mencium rencana itu. Mereka melarang menghalang-halangi dengan memasang pengawas di jalan-jalan untuk men cegah jangan sampai harta benda yang diperolehnya lepas dari tangan mereka.
Suhaib menanti-nanti kesempatan untuk menyusul Rasulullah serta sahabat-sahabatnya, tetapi gagal karena pengawasan terhadapnya sangat ketat. Tak mungkin dia lolos kalau tidak dengan tipu muslihat.

Pada suatu malam yang sangat dingin, Suhaib berulang kali pergi ke tempat-tempat sepi seolah-olah hendak buang hajat. Para pengawasnya berkata satu sama lain: “Tenang saja. Demi Lata dan Uzza, dia sedang sibuk dengan perutnya”. Setelah orang-orang itu kelihatan tidur kembali, pelan-pelan Suhaib merangkak menjauh. Dia langsung menuju ke arah Madinah. Para pengawas Quraisy baru menyadari setelah Suhaib tak kunjung kembali. Mereka terbangun dengan kebingungan, kemudian bergegas mengejar dengan kuda-kuda mereka. Suhaib berhasil ditemukan di jalan menuju Madinah. Melihat datangnya bahaya. Suhaib segera mencari tempat yang menguntungkan, lalu menyiapkan busur dan panah. Ia menggertak: “Hai orang-orang Quraisy, kalian tahu aku sangat mahir membidik dengan panah. Jangan harap kalian dapat menyentuhku sebelum habis anak panah di bahuku ini, Satu bidikan untuk satu orang bagi kalian. Akan kugunakan pula pedangku yang tajam ini selama masih berada di tanganku”. Salah satu dari mereka berkata: “Demi Tuhan, kami tidak bisa membiarkan engkau pergi bersama hartarnu, Dulu engkau datang kemari dalam keadaan miskin lalu menjadi kaya raya”.
Suhaib berusaha menawar: Apakah kalian bersedia melepaskanku kalau harta benda itu kutinggalkan?”
“Ya”, jawab mereka. Tanpa pikir panjang dia menunjukkan tempat penyimpanan hartanya di Makkah. Mereka pun pergi menyambutnya dan membiarkan Suhaib pergi. Sesampaikan di Quba’, Rasulullah menyambutnya dengan wajak berseri seraya berkata berulang-ulang: “Ya, Abu Yahya (maksudnya Suhaib ar-Rumi), untung besar perniagaanmu”. Demikianlah sepenggal kisah seorang sahabat yang tertoreh dalam sebuah perjalanan sejarah. Begitu besar cinta mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya. Tak sedikit yang telah mereka korbankan. Semoga kita masih tersisa warisan dan semangat tekad mereka untuk senantiasa berkorban demi Allah dan Rasul-Nya.

0 komentar: