Senin, 20 Februari 2017

Wanita, Antara Mitos dan Realitas


Socrates, seorang pemikir yang hidup di tengah peradaban Yunani, Sebuah peradaban tertua di dunia, sempat berkata: “Wanita adalah sumber besar dari kekacauan dan perpecaban di dunia. Ia bagai pohon dafali yang dari luar terlihat sangat indah, tapi bila burung gereja mematuknya pasti ia mati. Dalarn kitab suci Cina, wanita, konon dinamakan “Air yang celaka”, karena ia akan mengikis habis segala keberuntungan yang baik. Di Cina, kata Nazhat dan Kurshid Ahmad, wanita selalu dipandang rendah dari laki-laki dan dia diidzinkan untuk tidak berlaku baik. 

Kemudian katanya, Wanita direndahkan dan sangat hina, ia tidak berhak memiliki anak. Laki-Laki bebas untuk mendapatkan wanita, menggantikan istri, mencerai dan mencampakkannya kapan saja diinginkan. Bukan hanya itu, laki-laki pun bebas untuk berbuat apa saja terhadap istrinya, tidak akan ada yang melarang. Sekalipun tubuh si istri dijualnya pada laki-laki lain.
Profesor India dalam bukunya “Status Wanita dalam Mahabharata “, menuliskan: “Tidäk ada makhluk yang lebih banyak dosanya melebihi wanita. Wanita adalah bahan bakar.
Dia bagaikan pisau Cukur yang tajain tepinya. Seluruh tubuhnya sangat menjijikkan.
Dalam Agarna Yahudi, berdasarkan pada Hebrew Scripture, (kitab Yahudi), kaum wanita dipandang selalu berada di bawah kutukan para dewa. Sejak kelahirannya, seorang wanita, dia tclah berdosa dan akan berlangsung terus hingga dia meninggal dunia. 

Di zaman Jahiliyah, Sebagaimana dilukiskan Muhammad Kidway dalam bukunya, “The Women “ Menurutnya, nasib wanita waktu itu benar-benar mengenaskan. Jika malam mereka hanya jadi alas tidur dan siang hanya jadi alas kaki Laki-laki. Wanita yang sedang “datang bulan” dianggap tak layak berada dalam satu majelis dengan laki-laki. Kata mereka, wanita demikian dianggap najis, lebih cocok disatukan dengan unta di kandang belakang. Mitos-mitos wanita sebagai makhluk yang hina, sumber bencana, pemicu kekacauan, makhluk yang lebih banyak dosanya, makhluk pembawa sial, dan beragam mitos negàtif lainnya yang menyudutkan wanita ke posisi yang tidak menguntungkan nampaknya kini mulai terkikis dari panggung sejarah peradaban dunia. 

Sekalipun tentunya, behlum utuh sepenuhnya hilang dan terhapus. Namun demikian, nampaknya wanita sekarang patut bersyukur. Tidak dapat dipungkiri, kemajuan dan perkembangan gerakan yang memperjuangkan persamaan cukup berhasil. Maka tidaklah berlebihan bila John Naisbit dan Patricia Aburdene menyebut abad kini sebagai abad kebangkitan wanita. Gerakan emansipasi yang kini banyak dikumandangkan, nampaknya memang sulit dibendung. Gema dan gaungnya merebak ke seluruh pelosok dunia. Mitos-mitos yang menyudutkan terlihat tak lagi begitu jelas. Eksistensi kaum wanita kelihatan partisipasi dan peranannya dalam lingkup aktivitas yang sulit dihitung dengan jari. Wanita tak lagi dianggap Sebagai makhluk yang merugikan. 

Hampir dalam berbagai sektor aktivitas, wanita sudah nampak peran dan partisipasinya. Namun demikian bukanlah tanpa rintangan dan tantangan yang menghadang. Masih banyak faktor yang mesti diperjuangkan kaum wanita. Beragam kendala pun muncul untuk diantisipasi, tentunya ini memerlukan solusi yang akurat dan tepat, sehingga emansipasi yang ditiupkan tidak menjadi bumerang bagi diri kaum wanita Terutama kendala ini menyangkut konsepsi emansipasi yang belum jelas. Betapa ini dapat kita lihat dalam realitas, kaum wanita dengan emansipasi yang dipegangnya masih tertatih-tatih mencari bentuk dan model. Sehingga kelernahan ini dimanfaatkan oleh kalangan terkait yang berkepentingan.

Kaum Kapitalis misalnya, emansipasi telah dimanipulasi sedemikian rupa, guna kepentingan komersial bisnisnya. Kita dapat saksikan bagaimana kaum wanita dieksploitasi tenaganya den gan upah murah, tubuhnya dipamerkan sebagai model iklan guna meraih konsumen. Maka konteks ini sebenamya substansi emanipasi wanita menjadi hilang dan lenyap. Mengapa tidak? Emansipasi yang seharusnya mengangkat harkat martabat dan kehormatan kaum wanita telah diinjak-injak tanpa banyak disadari kaum wanita. Akibat konsepsi yang tidak jelas ini. berakibat pula pada sikap prilaku yang lepas kendali di sebagian kaum wanita. Akibat kronisnya dapat kita tebak; emansipasi tidak lagi berjalan pada rel-rel emansipasi yang hakiki. Nilai-nilai kodrati kewanitaan tak sedikit dilanggarnya, tentu hal ini menjadi faktor yang harus diluruskan guna mencapai emansipasi wanita yang sesungguhnya, tanpa harus terjebak pada emansipasi yang semu. 

Konsepsi emansipasi wanita yang tak jelas pun berakibat pula pada keharmonisan keluarga dan rumah tangga. Tidak Sedikit, keluarga terabaikan. Anak terlantar dan kurang kasih-sayang. Terkadang percekcokan suami dan istri pun sering menjadi dampak negatif akibat ketidak jelasan arah dan tujuan emansipasi. Bila hal ini tidak segera diantisipasi, bukan mustahil, emansipasi akan berubah menjadi eksploitasi yang tentunya amat merugikan. Emansipasi wanita bukanlah upaya dan langkah yang hendak menjerumuskan kaum wanita kepada jenis perbudakan. Tentu hal ini kita setuju. Namun bukanlah hal mustahil, bila tanpa arah, maka hal ini akan terjadi.
Emansipasi yang seharusnya membebaskan dari perbudakan, Justru menjerumuskan pada perbudakan baru”. Karena itu, tak ragu lagi agar hal ini tak terjadi, maka arah dan tujuan serta konsepsi emanipasi yang jelas yang tentunya tidak keluar dari kodrat kewanitaan haruslah terus diupayakan semaksimal mungkin. Kegagalan merumuskan konsepsi dari kesalahan menjabarkannya, akan membawa konsekuensi amat berat. Haruskah kita mengambil risiko dengan “harga’ yang amat mahal? Kita tentu tidak berharap demikian. Karenanya, agenda ini penting demi tercapainya emansipasi wanita yang hakiki dan sejati. (Jalaluddin Rakhmat dalam “Islam Aktual”)
Di Barat, akibat konsepsi emansipasi yang tanpa memandang kodrat-kodrat kewanitaan, akibatnya te!ah dapat kita lihat. Wanita telah dimanfaatkan sedemikian rupa tak ubahnya sebuah “mainan” yang menarik. Kasus-kasus perkosaan, pelecehan seksual, korban keganasan kaum pria, obyek kekerasan dan kejahatan nampaknya ini rnemberikan indikasi dari kegagalan Barat merumuskan dan menjabarkan konsepsi emansipasi yang hakiki dan sejati. 

Tentu hal ini tidaklah kita harapkan. Untuk tidak terjadi demikian jelas perlu segera diusahakan dan diupayakan, tentunya bukan hanya oleh kaum wanita. Kaum laki-laki pun harus bertanggungjawab membantu solusinya. Atau dalam makna yang lebih makro, bahwa persoalan ini mesti menjadi tanggungjawab bersama; pemerintah, agamawan, ilmuwan, juga semua kalangan yang terkait.

Dalam Islam, wanita patut kita bela dan kita perlakukan dengan cara baik, adalah suatu keharusan. Untuk ini, patut kita simak sabda Nabi saw: Allah memerintahkan kepada ktla untuk memperlakukan wanita secara baik, sebab mereka itu adalah ibu-ibu kita, saudara perempuan kita, dan juga bibi kita. (al-Hadits).

Rasulultah saw. seorang pemimpin dunia yang bijak, senantiasa mengarahkan ummatnya untuk menghormati wanita. “Takutlah kepada Allah, dan hormatilah kaum wanita”. (HR. Muslim,). Bahkan lebih jauh, beliau telah berkata pula: Sebaik-baik kalian adalah yang selalu berbuat balk terhadap isri-istri kalian. (al-Hadits). Berpijak pada hal ini, tentu tidaklah beralasan bila kita membiarkan mereka (baca: wanita) terjebak pada emansipasi yang semu dan kamuflase belaka. Namun sudah menjadi kemestian, turut memberikan solusi yang tepat tentang konsepsi emansipasi wanita yang sebenarnya. Bila tidak, maka bukan mustahil kaum wanita akan kebingungan menempatkan dirinya. Akibat kronisnya, kekacauan peran (role confusion) pun bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. bila ini terjadi, maka emansipasi wanita tak lebih dari memberatkan diri wanita itu sendiri. Tentu hal ini bukanlah yang kita inginkan.

0 komentar: