Menurut riwayat, beliau yatim sejak lahir kemudian ketika berumur 2 tahun Ia dibawa ibunya dari Palestina ke Makkah. Di kota suci ini di bawah asuhan dan bimbingan ibunya beliau mampu menghafal 30 juz al-Qur’an pada usia 9 tahun. Berbeda dengan generasi seusianya, pada diri Asy Syafi’i telah nampak kesungguhan dan kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan. Beliau pun tidak segan meninggalkan kampung halamannya dan pergi kesalah sebuah dusun bangsa Badwi Banu Hudzail untuk mcmpelajari tatabahasa Arab berikut syi’ir - syi’irnya. Meski di negeri Makkah sendiri merupakan gudangnya bahasa Arab. Namun saat itu Banu Hudzail merupakan satu-satunya dusun yang penduduknya terkenal berbahasa Arab dengan fasih dan asli.
Setelah beberapa tahun kemudian Syafi’i pun menguasai dialek bahasa Arabnya dengan fasih dan bahkan mahir dalam bermain sya’ir, karang mengarang serta pelbagai bentuk sajak kesusastraan Arab lainnya.
Selain bahasa, pelajaran yang diterirna pada saat belia ini adalah ilmu fiqih dari Imam Muslim bin Khalid az Zanny kemudian ilmu hadits dari Imam Sufyan bin Uyainah. Sedang mengenai ulumul Qur’an, beliau belajar pada Imam Ismail bin Qasthanthin. Kemudian di samping mereka, beliau sebelumnya banyak belajar kepada sejumlah ulama yang bertebaran di sckitar Masjidil Haram.
Satu hal yang sangat menakjubkan adalah menurut riwayat beliau sudah dapat mengerti tentang isi kitab al Muwatha’ karya Imam Malik dalam usia 10 tahun Sehingga berbekal dengan kecerdasan dan keindahan akhlaqnya, para gurunya pun telah memberikan ijazah kepada beliau untuk duduk sebagai mufty di kota Makkah, yang padahal waktu itu baru berusia 15 tahun.
Ghirahaya Kepada Ilmu
Bila dikatakan bahwa ilmu hanya bisa diperoleh oleh mereka yang telah lepas dari kemiskinan, maka hal itu merupakan kekeliruan. Sejarah telah menunjukkan, bahwa tidak sedikit pemikir-pemikir besar lahir justru dari lumpur kefakiran dan kemiskinan. Misalnya Imam Ahmad atau bahkan asy Syafi’i sendiri. Meski dalam keadaan kekurangan, namun cikal bakal pemikir besar ini tidak pernah membiarkan semangat dan cita-citanya hanyut dan tenggelam dalam kemiskinan’kemudian berubah mejadi seorang pencari harta dan kekayaan. Beliau pun tidak pernah mengeluh apalagi putus asa dalam menuntut ilmu. Demikian miskinnya dikabarkan beliau seringkali mencari tulang belulang dari jalan-jalan atau kertas-kertas bekas guna dapat ditulisi mengenai sejumlah ilmu yang telah diperolehnya. Dan beliau melakukan semua itu hanyalah untuk menjaga kehormatannya daripada meminjam atau meminta-minta kepada orang lain.
Bagi asy Syafi’i kemuliaan hidup itu adalah dipandang dari ilmu, amal dan akhlaknya, bukan dari sudut harta atau kemiskinan. Jadi mengapa haru merasa hina dan rendah diri hanya karena kekurangan. Kemudian diriwayatkan, mengingat setiap ilmu disalinnya kedalam tulang atau lembaran kertas, maka bcrtumpuklah sejumlah tulang belulang tersebut bercampur dengan kertas memenuhi isi rumahnya. Demikian penuhnya hingga tidak ada tempat lagi untuk melepaskan lelah dan beristirahat bagi asy-Syafi’i selain di atas tumpukan tulang belulang. Untuk menguranginya tidak ada cara lain, selain semua tulang belulang tersebut dibuang setelah dihafalkan satu persatu. Maka demikianlah Syafi’i mengurung diri menghafalkan segudang ilmu yang bertumpuk di rumahnya hingga kemudian kosong dalam beberapa hari.
Berbekal dengan kepahitan hidup yang dialaminya ini, membuat kecerdasan beliau semakin meningkat dan tajam. .Betapa tidak, segudang pengetahuan yang memenuhi isi rumahnya sekarang berpindah dalam tempurung kepala yang sangat kecil. Dengan demikian maka tidak heran, bila kelak asy-Syafi’i mampu menghafal ribuan hadits tanpa perlu kepada tulisan.
Guru dan Muridnya
Bagi asy Syafi’i kemuliaan hidup itu adalah dipandang dari ilmu, amal dan akhlaknya, bukan dari sudut harta atau kemiskinan. Jadi mengapa haru merasa hina dan rendah diri hanya karena kekurangan. Kemudian diriwayatkan, mengingat setiap ilmu disalinnya kedalam tulang atau lembaran kertas, maka bcrtumpuklah sejumlah tulang belulang tersebut bercampur dengan kertas memenuhi isi rumahnya. Demikian penuhnya hingga tidak ada tempat lagi untuk melepaskan lelah dan beristirahat bagi asy-Syafi’i selain di atas tumpukan tulang belulang. Untuk menguranginya tidak ada cara lain, selain semua tulang belulang tersebut dibuang setelah dihafalkan satu persatu. Maka demikianlah Syafi’i mengurung diri menghafalkan segudang ilmu yang bertumpuk di rumahnya hingga kemudian kosong dalam beberapa hari.
Berbekal dengan kepahitan hidup yang dialaminya ini, membuat kecerdasan beliau semakin meningkat dan tajam. .Betapa tidak, segudang pengetahuan yang memenuhi isi rumahnya sekarang berpindah dalam tempurung kepala yang sangat kecil. Dengan demikian maka tidak heran, bila kelak asy-Syafi’i mampu menghafal ribuan hadits tanpa perlu kepada tulisan.
Guru dan Muridnya
Meski telah menduduki kursi mufty di Makkah. Namun asy Syafi’i yang saat itu sudah menjadi pemuda cerdas tetap harus menuntut ilmu dan bahkan kursi itu ditinggalkannya kemudian mengembara mengunjungi Madinah, Iraq, Yaman, Persia dan Mesir. Selain beberapa imam di atas, beliau pun berguru kepada sejumlah ulama fiqih dan hadits terkemuka di zamannya, di antaranya adalah imam Malik, Ibrahim bin Sa’id, Yahya bin Hasan, Waqi’ Fudhail bin ‘Iyadh, dan Muhammad bin Syafi’. Meski banyak namun yang lebih dekat dengn hati beliau adalah Imam Malik bin Anas. Tentang hal ini beliau berkata: “Imam Malik guru saya, daripadanya saya belajar, dan tidak ada seorang yang dapat menentramkan perasaan saya dalam pelajaran selain daripada Imam Malik, dan saya menjadikan dia sebagai huijah antara saya dengan Allah”.
Dengan bertambahnya guru maka bartambah pula pengetahuan imam Syafi’i. Beliau akhirnya merupakan sosok imam besar, terkemuka dalam ilmu hadits, tafsir, fiqih dan sastra Arab.
Di antara shahabat atau muridnya adalah Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid bin al Yaman al Kalbi, al Hasan bin Muhammad az Za’farani, Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani,Abu Ali Hasan bin Ali al Karabisy, Yusuf bin Yahya al Buwaithi, Abu Ibrahim Ismail bin Yahya al Muzanni, ar Ra’bi bin Sulaiman, Harmalah bin Yahya, Yunus bin Abdul Ala ash Shadafy, dan Ahmad bin Shibthi. Mereka pun semua menjadi ulama-ulama besar, tokoh-tokoh penting, terkenal dan terkemuka di zamannya.
Pujian Ulama
Dengan bertambahnya guru maka bartambah pula pengetahuan imam Syafi’i. Beliau akhirnya merupakan sosok imam besar, terkemuka dalam ilmu hadits, tafsir, fiqih dan sastra Arab.
Di antara shahabat atau muridnya adalah Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid bin al Yaman al Kalbi, al Hasan bin Muhammad az Za’farani, Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani,Abu Ali Hasan bin Ali al Karabisy, Yusuf bin Yahya al Buwaithi, Abu Ibrahim Ismail bin Yahya al Muzanni, ar Ra’bi bin Sulaiman, Harmalah bin Yahya, Yunus bin Abdul Ala ash Shadafy, dan Ahmad bin Shibthi. Mereka pun semua menjadi ulama-ulama besar, tokoh-tokoh penting, terkenal dan terkemuka di zamannya.
Pujian Ulama
Merupakan suatu kewajaran bila seandainya sekalian murid Imam Syafi’i menjadi tokoh-tokoh penting dan ahli-ahli ilmu yang ternama. Hal itu tiada lain mengingat diri Imam Syafi’i sendiri merupakan gudangnya ilmu, lambang kecerdasan dan kuncinya pengetahuan. Berkata Imam Malik bin Anas, “Tidaklah datang kepada seseorang dari bangsa Quraisy yang keadaannya lebih pandai daripada ini, yakni Imam Muhammad bin Idris asy Syafi’i”. Juga berkata Yunus bin Abdul A’la, “Adalah Imam Syafi’i jika menjelaskan tafsir al-Qur’an, seakan-akan beliau menyaksikan sendiri turunnya”.
Pengakuan yang lebih tentang kecerdasan Imam Syafi’i ini datang dari Imam Hilal bin al A’la ar Raqy. “Para ahli hadits itu adalah sebagai anak buah Imam Syafi’i. Kanena beliaulah yang membuka kunci bagi mereka”.
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal, “Aku belum pernah mengerti akan nasikh - mansukh hadits-hadits Nabi saw. melainkan sesudah aku duduk belajar kepada Imam Syafi’i”. Juga berkata Imam Muhammad bin Abdul Hakam, “Imam Syafi’i itu seorang ahli hadist, ahli atsar, ahli lughah,, ahli fikir yang halus lagi sehat dan ahli amal yang utama”. Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih mengetahui tentang ushul fiqih serta fiqihnya, selain daripada Imam Syafi’i”.
Dan berkata lmam al Mubarrad, “lmam Syafi’i adalah sepandai-pandainya orang tentang syi’ir, sepintar-pintarnya orang tentang kcsusastrsan Arab, secerdik-cerdiknya orang tentang fiqih dan semahir-mahirnya orang tentang qira’at”.
Berkenaan dengan jasanya terhadap Islam dan kaum Muslimin, berkata Abu Zur’ah, “Aku belum pernah melihat seorang yang lebih besar jasanya terhadap Islam selain daripada Imam Syafi’i.
Pengakuan atau pujian yang sama juga datang dari Imam Ishaq bin Rahuwaih, Muhammad al Kufy, Muhammad bin Muslim, Abu Tsaur, Qasim bin Salam, Nasa’i Yahya bin Ma’in, al Muzanni, dll.
Madzhab Dan Pengaruhnya
Pengakuan yang lebih tentang kecerdasan Imam Syafi’i ini datang dari Imam Hilal bin al A’la ar Raqy. “Para ahli hadits itu adalah sebagai anak buah Imam Syafi’i. Kanena beliaulah yang membuka kunci bagi mereka”.
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal, “Aku belum pernah mengerti akan nasikh - mansukh hadits-hadits Nabi saw. melainkan sesudah aku duduk belajar kepada Imam Syafi’i”. Juga berkata Imam Muhammad bin Abdul Hakam, “Imam Syafi’i itu seorang ahli hadist, ahli atsar, ahli lughah,, ahli fikir yang halus lagi sehat dan ahli amal yang utama”. Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih mengetahui tentang ushul fiqih serta fiqihnya, selain daripada Imam Syafi’i”.
Dan berkata lmam al Mubarrad, “lmam Syafi’i adalah sepandai-pandainya orang tentang syi’ir, sepintar-pintarnya orang tentang kcsusastrsan Arab, secerdik-cerdiknya orang tentang fiqih dan semahir-mahirnya orang tentang qira’at”.
Berkenaan dengan jasanya terhadap Islam dan kaum Muslimin, berkata Abu Zur’ah, “Aku belum pernah melihat seorang yang lebih besar jasanya terhadap Islam selain daripada Imam Syafi’i.
Pengakuan atau pujian yang sama juga datang dari Imam Ishaq bin Rahuwaih, Muhammad al Kufy, Muhammad bin Muslim, Abu Tsaur, Qasim bin Salam, Nasa’i Yahya bin Ma’in, al Muzanni, dll.
Madzhab Dan Pengaruhnya
Dalam kitab ushul fiqihnya, ar Risalah, ditegaskan bahwa madzhab beliau berdasar kepada al-Qur’an. Kemudian as Sunnah, Ijma, Qiyas dan istidhlal. Pengambilan jalan terakhir ini adalah bilamana setelah tidak ditemukan keterangan dari al-Qur’an, as Sunnah atau tidak juga dari jalan Ijma’ dan qiyas. Atas keempat dasar ini, Imam Syafi’i menegakkan madzhabnya. Beliau pun mengikis taklidisme, bid’ah, khurafat dan takhayyul yang sewaktu-waktu akan menghancurkan Islam dan membutakan kaum Muslimin. Meski sebagai seorang Imam Madzhab, namun beliau tidak pernah menganjurkan sekalian mengikutnya untuk bermadzhab kepada pemikirannya. Bahkan dengan tegas dikatakan, “telah sepakat bagi manusia, bahwa barangsiapa yang mendapati satu sunnah, maka ia tidak boleh meninggalkan .sunnah tersebut, karena hendak mengikuti perkataan orang lain”. Demikian kerasnya pendirian Syafi’i beliau pun berkata, “Hendaklah disaksikan, bahwa Aku apabila ada hadits dari Nabi saw, yang sudah sah, sedang aku tidak mengambilnya, maka sesungguhnya akal fikiranku sudah hilang”. Di samping itu beliau pun menentang istihsan dan memudah-mudahkan perkara dengan akal
Dalam hal Qiyas, beliau memberi teladan untuk tidak digunakan dengan bebas. Dikabarkan, lmam Ahmad pernah berkata, “Saya pernah bertanya kepada Imam Syafi’i dari hal qiyas, maka beliau menjawab, “di kala keadan darurat”. Bahkan dikatakan, “Saya tidak akan meninggalkan Hadits dari Rasul saw. lantaran hendak memasukkan hukum qiyas”.
Madzhab Imam Syafi’i ini kemudian dilanjutkan oleh sekalian shahabat, murid dan para pengikutnya. Dari Mesir pengaruhnya berkembang ke wilayah Iraq, Khurasan, Pakistan, Tauran, Syam, Yaman, Damascus, Persia, Hijaz, India, sebagian dari daerah-daerah Afrika, Andalusia dan bahkan menjejaki wilayah Asean, termasuk Tailand, Philipina, Malaysia, Singapura dan Indonesia. Perluasan madzhab ini jauh lebih pesat dibanding dengan madzhab lainnya. Kendati demikian dalam perkembangan berikutnya banyak sejumlah kebatilan yang berusaha mencampur baurkannya dengan ajaran Imam Syafi’i.
Tentang kemungkinan yang akan terjadi ini jauh-jauh Imam Syafi’i sudah mengisyaratkan dengan fatwanya, “Apabila telah shahih hadits kemudian menyalahi madzhabku, maka ikutilah dia dan buang madzhabku”. Dalam riwayat lain dikatakan, “Apabila telah shahih hadist maka ikutilah madzhabku”.
Karya Imam Syafi’i
Dalam hal Qiyas, beliau memberi teladan untuk tidak digunakan dengan bebas. Dikabarkan, lmam Ahmad pernah berkata, “Saya pernah bertanya kepada Imam Syafi’i dari hal qiyas, maka beliau menjawab, “di kala keadan darurat”. Bahkan dikatakan, “Saya tidak akan meninggalkan Hadits dari Rasul saw. lantaran hendak memasukkan hukum qiyas”.
Madzhab Imam Syafi’i ini kemudian dilanjutkan oleh sekalian shahabat, murid dan para pengikutnya. Dari Mesir pengaruhnya berkembang ke wilayah Iraq, Khurasan, Pakistan, Tauran, Syam, Yaman, Damascus, Persia, Hijaz, India, sebagian dari daerah-daerah Afrika, Andalusia dan bahkan menjejaki wilayah Asean, termasuk Tailand, Philipina, Malaysia, Singapura dan Indonesia. Perluasan madzhab ini jauh lebih pesat dibanding dengan madzhab lainnya. Kendati demikian dalam perkembangan berikutnya banyak sejumlah kebatilan yang berusaha mencampur baurkannya dengan ajaran Imam Syafi’i.
Tentang kemungkinan yang akan terjadi ini jauh-jauh Imam Syafi’i sudah mengisyaratkan dengan fatwanya, “Apabila telah shahih hadits kemudian menyalahi madzhabku, maka ikutilah dia dan buang madzhabku”. Dalam riwayat lain dikatakan, “Apabila telah shahih hadist maka ikutilah madzhabku”.
Karya Imam Syafi’i
Sebagai seorang ulama yang produktif, beliau pun telah melahirkan sejumlah karya bermutu, diantaranya, Kitab al Hujjah yang merupakan qaul qadim, Ar Risalah, al Musnad, al Um, Jami’ul Ilmi, lbthalul Ihsan, ar Rad al Muhammad bin Hasan, Siyarul Ausa’i, Ikhtilaful Hadits, al Fiqih, al Mukhtasharul Kabir, al Mukhtasharul Shaghir, al Fara’idh, dll.
Tentang kesungguhannya dalam menyusun karangannya ini, Imam Syafi’i terkadang sering melupakan makan dan tidur malam. Seperti yang disaksikan oleh ar Rabi bin Sulaiman, ia berkata, “Aku tidak melihat Imam Syafi’i makan di siang hari dan tidur di malam hari, di kala beliau mengarang kitab-kitab”. Demikianlah sekilas perjalanan hidup Imam Syafi’i tokoh hadits dan mujtahid agung. Beliau wafat di Mesir, 30 Rajab 204 H/830 M. Semoga Allah merahmatinya serta sekalian hamba-Nya.
Tentang kesungguhannya dalam menyusun karangannya ini, Imam Syafi’i terkadang sering melupakan makan dan tidur malam. Seperti yang disaksikan oleh ar Rabi bin Sulaiman, ia berkata, “Aku tidak melihat Imam Syafi’i makan di siang hari dan tidur di malam hari, di kala beliau mengarang kitab-kitab”. Demikianlah sekilas perjalanan hidup Imam Syafi’i tokoh hadits dan mujtahid agung. Beliau wafat di Mesir, 30 Rajab 204 H/830 M. Semoga Allah merahmatinya serta sekalian hamba-Nya.
0 komentar: