Selasa, 29 Oktober 2013

ABU HANIFAH AN NU’MAN Mulia di hadapan Allah Mulia di hadapan Manusia


Berjuta kisah mulia dan agung selalu tak pernah berhenti mengalir dari muara sejarah Islam. Tak berlebihan bila Ia diebut sebagai teladan terbaik bagi seluruh ummat manusia. Ia memang memiliki ciri kesempurnaan tersendiri. Takkan terulang pada sejarah hidup manusia setelahnya. Ia menjadi bukti bagi kita, akan keampuhan tongkat estafet .perjuangan yang kini tengah kita perjuangkan. Kali ini mari kita mencoha untuk merenungi prihidup Abu Hanifah An Nu’man, salah serang Imam madzhah yang hidup di zaman setelah shahahat, zaman tabi’in dan tetap mewarisi akhlaq-akhlaq mulia mereka.

Abu Hanifah an Numan lahir pada tahun 80 H (660 M) dan tinggal di kota Kufah. Selama hidupnya, bel iau berhasil melaksanakan prinsip tawazun (keseimbangan). Di samping sebagai seorang faqih dengan kemampuan intelktualitasnya yang cemerlang, Abu Hanifah mengkhususkan waktu untuk mencari nafkah dengan berdagang selain terkenal sebagai ahli ibadah. Beliau adalah orang pemurah, berhudi pekerti luhur dan selalu memuliakan orang lain.

Beliau adalah orang yang menjadi “tangan di atas” (pemberi), bukan penenima. Ketika Khalifah Abu Ja’far al-Manshur, yang terkenal jarang sekali memberi kepada orang lain, menawarkan harta sebanyak 30.000 dirham kepada Abu Hanifah, namun beliau menolaknya dengan halus.

Beliau berkata: “Wahai khalifah, aku orang asing di Baghdad, aku tak memiliki tempät yang aman untuk menjaga harta tersebut. Simpanlah harta itu di Baitul Maal sehingga kelak jika aku membutuhkannya aku dapat meminntanya darimu”. Di Kufah, Abu Hanifah adalah seorang pedagang yang sangat dipercaya oleh masyarakatnya karena sikap amanah, kemurahan hati dan kejujuran yang beliau miliki.

Sikap-sikap itulah yang senantiasa menjadikan dagangan beliau laku keras. Dan lewat usaha ini, Allah menganugerahkan rizki yang melimpah kepada Abu Hanifah. Setiap menjelang akhir tahun beliau selalu menghitung laba yang diperoleh lewat dagangannya. Keuntungan tersebut kemudian beliau pisahkan secukupnya untuk nafqah diri dan keluarganya, lalu sisanya beliau belikan kebutuhan bagi para huffazh al-Qur’an, muhadditsin, fuqaha, dan thullabul ‘ilmi berupa pakaian dan makanan untuk mereka. ini adalah keuntungan barang dagangan kalian yang Allah berikan kepada kalian lewat aku. Demi Allah, aku tidak memberikan sedikitpun hartaku kepada kalian, harta itu hanya merupakan kemurahan Allah kepadaku untuk kalian”, demikian tutur Abu hanifah kepada mereka.

Banyak riwayat yang menceritakan kedermawanan serta kebaikan budi pekerti Abu Hanifah. Di antaranya, suatu ketika beliau pernah menyaksikan salah seorang shahabatnya di sebuah majlis mengenekan pakaian yang agak lusuh. Dimotivasi dengan rasa ukhuwah yang ada dalam jiwanya, beliau merasa iba sekali dengan penampilan shahahatnya seperti itu dan merasa berkewajiban untuk membantunya. Namun demikian, Abu Hanifah tetap menjaga kehormatan shahabatnya di hadapan orang lain sehingga beliau menahan diri untuk menawarkan bantuan kepadanya sampai ketika orang-orang lain telah pergi dan shahahatnya dalam keadaan seorang diri. Setelah merasa tidak ada yang mengetahuinya lagi, beliapun berkata kepadanya: “Akhi, angkatlah Sejadah ini, dan ambillah apa yang ada di bawahnya”. Setelah sajadah itu diangkat ternyata di bawahnya terdapat uang sebanyak seribu dirham. “Ambillah uang itu dan gunakanlah untuk membeli pakaian”, ucap Abu Hanifah. Akan tetapi shahabatnya itu berkata: “Aku adalah orang yang mampu, Allah telah memberiku ni’mat dan aku tidak butuh dengan uang itu”. Mendengar penolakan shahahatnya itu, dengan tegas Abu Hanifah kemudian menasihatinya: “Bila Allah telah memberi ni’mat, mana bekas-bekas ni’mat-Nya?”. Tidakkah engkau mendengar Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya Allah cinta menyaksikan bekas nimat-Nya pada hambaN ya”. Karena itu, engkau harus memperbaiki penampilanmu, sehingga engkau tak membuat shahahatmu ini bersedih karena penampilanmu”.

Diriwayatkan pula bahwa setiap kali beliau mengeluarkan infàq untuk keluarganya, maka beliau keluarkan pula infaq untuk orng lain yang membutuhkannya dengan jumlah yang sama. Apabila beliau mengenakan baju baru, maka ia berikan pula pakaian kepada orang-orang miskin seharga pakaian yang beliau pakai. Dan bila diletakkan makanan di hadapannya, beliau memotong bagian yang lebih besar darinya dan kemudian beliau berikan kepada orang-orang miskin. Abu Hanifah juga telah berjanji kepada dirinya sendiri, untuk bersedeqah dengan satu dinar emas setiap mengucapkan sumpah dengan nama Allah.

Hafs bin Abdurrahman, adalah salah seorang mitra dagang Abu Hanifah. Abu Hanifah selalu menyiapkan barang dagangan untuknya agar dijual di kota-kota Iraq. Suatu ketika Abu Hanifah menyiapkan barang yang cukup banyak, dan beliau memberitahukan kepada Hafs bahwa pada baju-baju tertentu ada cacatnya. “Jika engkau ingin menjualnya, maka jangan lupa jelaskan kepada pembeli tentang cacat-cacat yang ada pada pakain itu”, pesan Abu Hanifah. Semua barang itu akhirn ya terjual habis oleh Hafs, namun ternyata ia lupa memberitahu kepada para pembeli tentang cacat yang ada pada beberapa pakaian sebagaimana pesan Abu Hanifah.

Setelah menyadari kesalahan itu, Hafs berusaha Untuk mengingat dan mencari siapa saja orang yang telah membeli pakaian tersebut, tapi usaha itu sia-sia. Akhirnya, masalah tersebut diketahui oleh Abu Hanifah, sehingga beliau juga turut berusaha kembali mencari pembelinya. Namun usaha tersebut juga tidak berhasil. Sejak saat itu Abu Hanifah selalu gelisah dan murung. Akhirnya, Untuk menebus kesalahan itu beliau sedeqahkan seluruh hasil penjualan barang dagangannya dan karena kekecewaannya yang mendalam kepada Hafs, sejak saat itu beliau juga telah memutuskan untuk tidak berhubungan bisnis lagi dengan Hafs.

Keharuman Akhlaqnya

Selain dermawan, Abu Hanifah juga memiliki keharuman akhlaq dalam bergaul dan terkenal sangat berhati-hati dalam berbicara. Sikap mulia Abu Hanifah ini pernah diuji oleh Abdullah bin Mubarak ketika berkata kepada Sofyan Tsauri: “Wahai Sofyan, Abu Hanifah sangat menjauhi ghihah! Aku tak pernah mendengar ia mengatakan sesuatu yang buruk tentang musuhnya sekalipun”. Kemudian Sofyan mengatakan; “Sesungguhnya Abu Hanifah sangat pandai memelihara kebaikannya dan apa yang dapat menghilangkannya”.

Abu Hanifah selalu ingin mengungkapkan perasaan kasih sayangnya terhadap orang lain sekalipun tidak dikenalnya. Dalam beberapa kesempatan, seringkali bila beliau melewati seseorang, kemudian beliau duduk di sampingnya tanpa ada keperluan tertentu. Lalu beliau menanyakan keadaan orang tersebut. Tujuannya adalah untuk membantu bila orang itu dalam kesulitan, menjenguknya bila ia dalam keadaan sakit dan memenuhi kebutuhannya bila ia mempun yai keperluan.

Hubungannya Dengan Allah


Di samping semua sikap-sikap mulia itu, Abu Hanifah juga terkenal sebagai orang yang kuat beribadah. Beliau rajin berpuasa pada siang hari dan selalu melakukan qiyamullail, membiasakan istighfar di waktu sahur dan sangat akrab dengan al-Qur’an dan mentadabburi ayat-ayatnya sampai-sampai suara tangisnya terdengar oleh tetangganya. Beliau sangat merasakan kesan dan kecintaannya yang begitu mendalam terhadap al-Qur’an, sehingga beliau senantiasa menangis bila membaca ayat-ayat Allah itu.

Suatu ketika beliau pernah mendengar pembicaraan orang terhadap dirin ya: “Orang yang kalian lihat ini,tidak tidur di waktu malam”. Perkataan tersebut ternyata sangat menyinggung perasaan Abu Hanifah, sehingga beliau berkata: “Aku dalam pandangan mereka tidak sesuai dengan apa yang sesungguhnya aku perbuat. Demi Allah, sejak saat ini manusia takkan bicara lagi tentang diriku apa yang tidak aku lakukan”. Sejak itulah, Abu Hanifah senantiasa menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah dan taqarrub ilallah.

Bila saat kegelapan malam mulai merayap di muka bumi, dan matahari terus terbenam , Abu Hanitàh segera mengenakan pakaian yang terbaik dan merapikan janggutnya. Lalu beliau memakai wangi-wangian dan berhias sebaik-baiknya menyambut malam tiba. Kemudian beliau pergi menuju mihrab dan menghabiskan waktu malamnya untuk berdiri melakukan shalat menghadap rabbnya, duduk bersandar menghabiskan juz demi juz lembaran-lembaran kitabullah, atau mengangkat kedua tangannya dengan penuh tawadhu untuk bermunajat kepada Rabbul Jalil, memohon ampunan dan mengharap ridhaNya.

Diriwayatkai pula bahwa Abu Hanifah pernah bangun semalam suntuk dan terus menerus mengulang-ulang firman Allah Azza Wa Jalla: “Balis-saa’atu mau’idhuhum, was-saa’atu adhaa wa amarr”. Beliapun menangis lantaran takut akan adzab Allah, sehingga tangisnya menyayat hati orang yang mendengarnya.

Selain itu, dikisahkan pula bahwa dalam waktu yang cukup lama beliau sering melakukan shalat shubuh dengan menggunakan wudhu’ yang dilakukannya untuk shalat isya’. Dan setiap pembaca surat az-Zilzaal badan dan hatinya gemetar karena takut. Sambil memegang janggutnya, beliau melantunkan bait-bait do’a dengan penuh kesedihan dan tangisan pilu. Beliau berdo’a: “Wahai yang membalas kebajikan walaupun sekecil biji dzarah……

Wahai yang membalas kejahatan walaupun sekecil biji dzarah………,
Selamatkanlah hamba-Mu Nu’man dan api neraka………,
Jauhkanlah antara dirinya dan segala yang mendekatkannya ke Neraka……….,
Masukkanlah ia ke dalam luasnya kasih sayang-Mu, wahai Yang Maha Pengasih…….

Imam Abu Hanifah, telah mencurahkan semua hidupnya demi kehidupan dan perjuangan Islam serta men inggalkan mutiara-mutiara dan warisan nilai-nilai perjuangan bagi generasi ini. Semua itu beliau laksanakan karena panggilan rabbnya. Dan setelah semuanya beliau laksanakan, beliaupun dipanggil kembali ke pangkuan rabb. Beliau wafat tahun 150 H. Menjelang wafatnya, beliau sempat berpesan agar kelak dikuburkan di atas tanah yang baik serta dihindarkan dari tanah yang bernilai syuhhat. “Wahai jiwa yang tenâng, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas dan diridhaiNya: (QS. al-Fajr 27-28). Subhanallah .... Rahimmakallahu Yaa Abaa Hanifah.

A.Tanwier Hady

0 komentar: