Minggu, 07 Mei 2017

Menjadikan Makan Sebagai Ibadah

Semenjak kedatangan Islam yang dibawa Muhammad saw. manusia benar-benar merasakan kehidupan yang sejati. Bagaimana tidak, kedatangan Islam itu mampu merombak dan menata semua tatanan hidup manusia dan masalah yang paling sepele hingga yang paling rumit, Barangkali pasti anda tidak akan menemukan ajaran lain selengkap ajaran Islam ini. Masalah makan misalnya, tentu orang awam tidak menyangka bahwa urusan makanan ternyata juga diatur sedemikian rupa dalam Islam. Yang demikian itu tidak lain karena Islam menghendaki keteraturan dalam segala hal, termasuk makan, sehingga manusia mendapatkan kemaslahatan dari hal makan

Islam menetapkan sebelum makan, seseorang terlebih dulu harus memastikan babwa makanan itu halal zat dan substansi batiniyahnya. Artinya, makanan yang hendak dimakan mesti halal, benar cara memperolehnya, bukan basil curian/korupsi dsb. Makanan itu juga bukan termasuk sesuatu yang membahayakan dan diharamkan oleh agama, misalnya bangkai (daging hewan yang mati tidak disembelih secara benar menurut Islam), darah (saren) dll. Selanjutnya makanan tersebut hendaknya yang memenuhi standart kesehatan, yakni baik dan bergizi. Karena yang demikian itu juga penting untuk urusan pemenuhan hak-hak organ tubuh manusia.

Prihal makan dan adab atau aturan-aturannya dalam Islam bisa kita lihat dalam Kitabullah, Hadits Nabi, maupun berbagai literatur Islam yang membicakan masalah itu. Pada media ini hanya akan menyinggung salah satu adab dalam makan,, yakni dzikir di kala makan. Dalam pengertian bahwa sesungguhnya makan merupakan satu dari rangkaian aktivitas ibadah manusia kepada Allah, tidak sekedar hanya untuk memenuhi kebutuhan nafsu belaka, sehingga dzikir ketika akan, sedang, dan setelah makan sebagaimana diajarkan Allah dan Rasul-Nya, adalah satu kemestian jika ingin aktivitas makan tersebut bernilai ibadah. Prinsip hidup untuk makan seperti diyakini orang-orang kafir tidak berlaku bagi seorang Muslim. Jelas sekali Allah menerangkan.

“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia itu kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. (adz-Dzariyat: 56).

Gerak dan diam, bangun dan tidur manusia, bila mengacu ayat tadi merupakan rangkaian ibadah. Jadi, makan pun bila diniatkan untuk ibadah dan dilakukan sebagaimana aturan Allah adalah ibadah. Karena itu cobalah kita hayati makna-makna penegasan Allah dan Rasul-Nya dalam rangka mengingatkan manusia bahwa makan adalah aktivitas ibadah kepada Allah yang penting.

Hai orang-orang yang beriman, jangantah kamu mengharamkan apa-apa yang telak dihalalkan Allah bagimu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah, makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah rezekikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. (al-Maidah: 87-88).

Aisyah ra berkata:

Rasulullah saw bersabda. Jika salah seorang di antara kamu akan makan, hendaklah membaca Bismillah dan jika ia lupa membaca pada mulanya, hendaknya membaca Bismillahi awwalahu waakhirahu. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Wahsyi bin Harb ra berkata. “Shahabat Nabi saw. mengadu, Ya Rasutullah, kami makan tapi tidak merasa kenyang. Jawab Nabi. Mungkin kamu makan sendiri-sendiri. Jawab mereka, Ya,, Benar. Bersabda Nabi saw. Berkumpullah kalian pada saat makan dan bacalah bismillah, niscaya makanan itu akan diberi barakah oleh Allah. (HR. Abu Dawud).

Abu Umamah ra berkata, “Jika Nabi saw. selesai makan dan memberesi hidangannya, beliau membaca, Alhamdullahi hamdan katsiran thayyiban mubaarakan fihi ghaira makfiyyin wa laa mustaghnan anhu rabbana. (Segala puji bagi Allah, pujian yang terbaik, yang baik berkat. Tiada terbalas, dan tak dapat tidak, tentu kami membutuhkan-Nya, ya Tuhan kami). (HR. Bukhari).

Mu’adz bin Anas ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang makan lalu membaca, Alhamdulillahi ladzi ath,’amani hadza warazaqanihi min ghaira haulin minni wala quwwatin. (Segala puji bagi Allah, yang telah memberikan makanan ini, dan memberikan rizki-Nya kepadaku dengan tiada daya dan kekuatan dariku). Diampunkan dosa-dosanya yang telah, lalu. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Ketika manusia makan dengan disertai dzikrullah, maka Allah akan meniberikan barakah (yaitu kebaikan lahir batin) pada makanan tersebut. Sehingga dengan barakah itu manusia merasakan nikmatnya makan dan timbullah ketenangan seusai makan, dan tentunya, manusia akan makin bertambah syukur, tunduk dan taqarubnya kepada Sang Pemberi makan, Allah swt.
Sebaliknya bila orang tidak peduli dengan esensi makan seperti ini, yang terjadi adalah bahwa makannya itu tidak lain hanya untuk kesenangan nafsu dan pelampiasan rasa lapar dan dahaga saja. Pada yang demikian itu, Allah sama sekali tidak butuh untuk memberikan barakah-Nya. Bahkan Allah akan murka dan tidak rela makanan pemberian-Nya dimakan sia-sia bukan dalam rangka ibadah.

Barangkali hanya karena kasihan Allah saja yang menjadikan Ia tetap memberikan makanan kepada manusia sekalipun mereka tak beriman dan tidak punya rasa syukur. Sesuai kodrat, barangsiapa bekerja, Ia akan mendapat hasil, siapa pun orangnya. Pada waktunya nanti, ketidakrelaan Allah terhadap manusia yang kufur memang bisa saja tertumpah dalam bentuk bencana dan sejenisnya. Seperti merebaknya berbagai penyakit yang menjangkiti binatang ternak yang sering dikonsumi manusia.

Dan (ingatlah) ketika Rabb-Mu memaklumkan kepada manusja, Sesungguhnya jika kamu bersyukur,, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih. (QS. Ibrahim : 7).

Makanlah dengan rasa syukur, bila tidak anda akan dimakan adzab kekufuranmu. Wallahu a’lam

Purwanto

0 komentar: