Kamis, 27 April 2017

Pernikahan Dini Dan nikah Sirri Menurut Ajaran Islam

 
Muqaddimah

Kalau kita memperhatikan ciptaan Allah, baik yang mikro maupun yang makro maka kita dapati keagungan dan kesempurnaan Dzat Yang Maha Pencipta itu. Betapa tidak, alam raya nan luas terbentang ini penuh dengan keharmonisan, tawazun dan keseimbangan, tidak ada ketimpangan dan kerancuan padanya (al-Mulk/67:3,4). Semua serasi dan berpasang-pasangan (adz-Dzariy at/51 :49; Yasin/36:36).

Langit dan bumi, bulan dan matahari, jantan dan betita, untuk manusia lelaki dan wanita, semua berpasang-pasangan menurut sunnatullah. Tidak perlu ada pengubahan dan penggantian, semua berjalan dengan scrasi (Fathir/35:43; al-Ahzab/33:62). Karena manusia makhluk yang istimewa yang dibekali akal dan nafsu, hak memilih dan memihak, yang nantinya kesemuanya itu akan dipertanggungjawabkan, maka Allah swt memberinya peraturan khusus. Hubungan antar pasangan manusia tidak dibiarkan begitu saja secara alami. Islam menetapkan ketentuan dan peraturan melalui lembaga pernikahan.

Bcgitulah Islam mengatur kehidupan manusia dengan ketentuan-kctentuan yang sesuai dengan fithrah insaniyah mereka. Allah sebagai pencipta mereka, karena itu Dialah yang paling tahu secara pasti permasalahan dari hal-hal yang berkaitan dengan manusia (ar-Runt 30). Pertemuan sepasang manusia yang tidak mengikuti tuntunan Ilahi, seperti: Kumpul kebo, pelacuran, atau penyelewengan seksual secara tidak wajar, seperti Homoseksual dan lesbian; lambat atau cepat pasti akan menimbulkan kerusakan dan bencana, baik bagi pelakunya sendiri maupun bagi kemanusiaan secara umum.

Kita masih melihat kebingungan dunia modern sekarang ini yang terlepas dari tuntunan Ilahi. Mereka dlhantuai ancaman kematian yang diakibatkan oleh penyakit AIDS (Aquired Immuno Defencienc Syndrome). Dalam hal ini, Islam jauh-jauh sudah memberikan peringatan kepada manusia agar mereka berbuat wajar dan tunduk kepada peraturan Allah swt. Memang dalam mengatasi masalah yang muncul, Islam lebih banyak mengambil langkah wiqayah (pencegahan) daripada hanya menangani akibat. Oleh karena itu pernikahan dalam Islam diatur sedemikian rupa dan rinci, agar nilai-nilai kemanusiaan yang mulia itu dapat terjaga, dan itulah yang membedakan mereka dengan makhluk lain.

Tujuan dan Hikmah Pernikahan  
 
Semua ketentuan dan ketetapan dalam syari’at Islam, di samping sebagai patokan yang harus dipatuhi. juga mengandung hikmah dan pengaruh positif bagi kehidupan, baik secara fardi (individual) mauplin jama’i (kolektif). Begitu jugalah tentang pernikahan memiliki ahdaf (tujuan-tujuan) dan hikmah yang banyak, di antaranya:

1. Mendapatkan Ketenangan dan Ketentraman Jiwa

Manusia dengan segala kesibukan dan aktivitasnya sering menghadapi berbagai persoalan yang dapat menurunkan gairah hidup dan mengurangi semangat untuk berkreasi. Dengan adanya pernikahan, maka suami dan istri dapat memperbincangkan sebagian problema yang dihadapi bersama. Maka rumah tangga menjadi lembaga musyawarah dan tempat bertukar pikiran, sehingga betul-betul terwujud ketenangan dan ketentraman (ar-Rum/30:21). Gangguan yang mengarah kepada kemaksiatan harus secepat mungkin dinetralisasi. Dan sarana untuk itu di antaranya adalah keluarga.

Artinya: Dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw. Bersabda: “Seungguhnya wanita itu datang (mengahadap) dengan bentuk syaithan (penggoda) dan pergi (membelakangi) dalam bentuk syaithan (penggoda juga) Bila salah seorang diantara kamu melihat sesuatu yang menarik perhatiannya dari wanita (lain, padahal ia sudab beristri), maka hendaklah ia mendatangi istrinya. Karena sesungguhnya yang demikian itu (dapat) menolak sesuatu yang menggoda dalam hatinya. (HR. Muslim, Abu Dawud dan Timiidzi).

2. Menumbuhkan Rasa Keibuan dan Kebapakan

Pada masa remaja. biasanya pemuda dan pemudi dapat berbuat sekehendaknya, tanpa kontrol yang jelas. Tetapi begitu Ia menikah, hampir semua kegiatannya melalui pertimbangn; apalagi yang ada hubungannya dengan kehidupan bersama. Suami harus memikirkan nafaqah keluarganya. Istri tidak boleh begitu saja keluar rumah tanpa seidzin suaminya.
Sesudah anak lahir, perasaan keibuan dan kebapakan menghiasi keluarga. Masing-masing mempunyai tanggung jawab yang saling mendukung dan hal itu menunjukkan kedewasaan masing-masing pihak bertambah matang. Anak yang merupakan penyejuk hati, sering berfungsi sebagai penentram dalam keluarga. lebih-lebih bila ada konflik. Demikianlah indahnya berkeluarga (al-Furqan/25:74).

3. Mewujudkan Pembagian Tugas

Dalam kehidupan sosial, dan kelompok sosial yang terkecil tapi berpengaruh besar adalah keluarga, pasti ada hak dan kewajiban yang mengenai masing-masing anggota. Jika setiap individu berusaha menunaikan kewajibannya sebaik-baiknya, insya Allah hak-hak anggota yang lain, langsung atau tidak langsung, akan terpenuhi. Berbeda halnya bila setiap pribadi hanya mengutamakan penuntutan haknya; bukan tidak mungkin benturan dan konflik akan memperkeruh suasana. Suami berkewajiban memberi nafqah untuk keluarganya, Sedangkan Istri berkwajiban melaksanakan tugas-tugas di rumah, mengasuh dan mendidik anak serta mengatur tatanan rumah. Dengan demikian terbentuklah tauzi al-a’mal (pembagian tugas) yang teratur (an..Nisa’/4:34).

Artinya: Rasulullah saw. bersabda: Tidak ada manfaat yang didapatkan oleh seorang mu’min sesudah taqwallah ‘Azza wa Jalla yang lebih baik dari istri yang shalihah. Jika Ia (suaminya) menyuruhnya istri mematuhinya,. bila dilihat menyenangkan, kalau dibagi (nafqah atau waktu bagi yang berpoligami) istri menerimanya dengan baik, dan jika suami bepergian ia menjaga dirinya dan harta (suami)nya. (HR. Ibnu Majah).

4. M.enjaga Kelangsungan Hidup Manusia dan Memperbanyak Keturuunan Muslim

Dengan adanya pemikahan. lahirlah generasi baru yang akan melanjutkan tugas suci manusia sebagai khalifah di bumi Allah ini. Menurunnya keinginan berumah tangga di sebagian negara yang disebabkan membudayanya kebebasan seks, dapat mengakibatkan berkurangnya generasi baru dan mengancam kepunahan manusia dan bumi ini. Oleh karena Itu. Rasulullah saw. sejak awal menganjurkan agar kita memperbanyak keturunan agar jumlah kaum Muslimin dapat mengalahkan jumlah musuh-musuh Allah swt. yang senantiasa membuat kerusakan itu. Tentu saja kesemuanya itu harus dibarengi dengan usaha mempertinggi kualitas manusianya.

Artinya: "Dari Anas bin Malik ra. berkata. Nabi saw.menyuruh kita berkeluarga dan melarang (kita) membujang dengan pelarangan yang keras. Beliau bersabda Peristrilah (wanita) yang peranak lagi penyayang karena seungguhnya (dengan jumlah yang) banyak itu aku menghadapi para nabi (dengan bangga) pada hari kiamat" (HR. Ahmad dishahkan Ibnu Hibban).

5. Membentuk ikatan Antar Keluarga dan Masyarakat

Allah swt. menciptakan manusia terdiri atas laki-laki dan wanita, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar adanya komunikasi yang harmonis di antara masing-masing kelompok (al-Hujurat 13). Salah satu bentuk komunikasi dan ikatan yang legal adalah pernikahan. Dengan pernikahan, bukan hanya terbentuk ikatan antara lelaki dan wanita yang menjadi suami-istri, bahkan lebih dari itu,keluarga dari pihak suami dan sanak famili dari pihak istripun ikut menjadi bersaudara, demikian seterusnya. Akhirnya meluas dan melebarlah persaudaraan yang tidak lagi terbatas dengan sekat-sekat etnis dan batas-batas teritonial.

6. Menumbuhkan Semangat Kerja

Mas’uliyah (tanggung jawab) diemban oleh setiap orang, sesuai dengan kapasitasnya. Suami sebagai penanggung jawab bahtera keluarganya, begitu juga istri bertanggung jawab atas segala yang Ia urus dalam rumah tangganya. Dengan adanya tanggung jawab dan tuntutan yang seharusnya Ia penuhi, maka terpaculah untuk berbuat yang terbaik (an-NIsa’/4:34).

Suami dan Istri sama-sama melaksanakan tugasnya. Kesibukan masing-masing meningkat dibandingkan dengan sebelum menikah. Namun dengan mawaddah warahmah yang menghiasi kehidupan mereka, segala tugas dan aktivitas terasa ringan dan menyenangkan. Keadaan seperti ini belum tentu dirasakan oleh kalangan pembujang.

7. Menjaga Nilai-Nilai Manusiawi yang Mulia dan Terhindar dari Penyakit Kelamin

Allah swt. memuliakan manusia di atas makhluk lainnya (al-lsra’/17:70) dan memberinya peraturan-peraturan yang mendukung kemuliaannya itu. Demikian pula tentang penyaluran dorongan biologisnya, manusia tidak boleh sembarangan dan semaunya gonta-ganti pasangan (pelacuran dan perzinaan) dan menyalurkan seksual secara tidak wajar (homoseksual, lesbian dan bercampur dengan binatang). Perbuatan tersebut sangat dikutuk dalam Islam.

Artinya: "Dari ibnu Abbas ras. bahwa Nabi saw. bezsabda: “Barangsiapa yang kamu dapati melakukan perbuatan kaum Luth (momoseksual), maka bunuhlah pelakunya dan objeknya. Dan barangsiapa yang kamu dapati menggauli binatang bunuhlah dia (pelakunya) dan bunuh (juga) binatang itu" (HR. Ahmad dan Imam yang empat).

Penyimpangan prilaku seksual dan penyaluran dorongan biologis secara tidak wajar dapat menimbulkan penyakit yang sangat berbahaya, seperti Gonorhoe, syphilis, Aids dan lain-lain. Dengan pernikahan yang masyru’ (disyari’atkan) penyakit-penyakit hina dan menjijikkan Itu insya Allah akan terhindar jauh. Pernikahan Usia Dini Umumnya para fuqaha’ mensyaratkan calon mempelai lelaki harus sudah dewasa. Sedang batas minimal kedewasaan pada lelaki sebagalmana tersebut dalam hadits berikut ini:

Artinya: "Diangkat pena (tidak dibebani dosa) seseorang itu disebabkan tiga hal: Orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai Ia bermimpi (indah) dan orang gila hingga sembuh". (HR Ahmad, Abu Dawud dan Hakim).

Sedang tanda kedewasaan bagi wanita ketika datang bulan, sebagaimana riwayat berikut:

Artinya: "Hai Asma’, sesungguhnya wanita itu bila sudah haidh tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini. Beliau menunjuk ke arah muka dan dua telapak tangannya". (HR. Abu Daud).

Meskipun untuk wanita boleh dinikahkan sebelum dewasa, sebagaimana diriwayatkan..

Artinya. "Dari ‘Aisyah ra. bahwa Nabi saw. menikahlnya, padahal ia anak berusia 6 tahun, dan dibawa ke rumahnya kelika usia 9 tahun, dan tinggal bersamanya selama 9 tahun". (HR. Bukhari).

Jadi untuk wanita tidak didapatkan keterangan usia minimal boleh dinikahkan. Sedangkan untuk laki-laki batasan minimalnya adalah kedewasaan. Lalu perkembangan yang terjadi berikutnya banyak lelaki yang nikah lambat, demikan juga wanita. Alasan yang diangkat bermacam-macain, ada karena studi, belum mapan penghasilan dan lain-lain.

DR. Mushthafa as-Siba’i dalam kitabnya al-Mar’atul Muslimah Bainal Fiqh Wal Qanun menganjurkan agar para mahasiswa segera saja menikah dengan mahasiswi, insya Allah akan banyak manfaatnya. Lebih-lebih bagi wanita, sebagaimana sudah dimaklumi bahwa usia suburnya terbatas. Sehingga kalau terlambat menikah, tentu akan mempengaruhi produktivitasnya. dan pada usia tertentu kalau baru mengandung akan berisiko tinggi. Oleh karena itu, bagi para Muslimah, kalau ada yang datang melamar dan memiliki iman dan akhlaq yang baik terimalah jadi suami, tentu saja orang tua sudah dilobi terleblh dahulu. Insya Allah lebih cepat itu leblh baik dunia dan akhirat.

Nikah Sirri

Nikah sirri mengandung 3 pengertian:

1. Pernikahan tanpa Saksi 

Persaksian dalam pernikahan hukumnya wajib, sebagaimana disebutkan pada riwayat berikut ini:

Artinya: Imam Ahmad meriwayatkan dari al-Hasan, dari ‘Imran bin Hushain secara marfu (sabdanya): tidak ada nikah melainkan dengan wali dan dua saksi.
Dan dalam proses penceraian,, saksi sangat diperlukan. Firman Allah:

Artinya : Apabila mereka telah mendekati akhir ‘Iddahnya. maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi. (ath-Thalaq/65.:2).

Dengan demikian, pernikahan tanpa saksi, sebagaimana dinyatakan oleh Jumhur Ulama’ tidak shah.

2. Pernikahan Tanpa Wali

Allah swt. berfirman:

"Karena itu nikahilah mereka (para wanita) dengan seidzin wali mereka" (an-Nisa’:25).
 
Dan riwayat berikut:

Artinya: Dari Abu Burdah bin AbuMusa dari ayahnya, ía berkata. Rasulullah saw. Bersabda “Tidak ada nikah melainkan dengan wali. (HR. Ahmad dan Imam yang Empat, dishahkan oleh lbnu Madjah, Tirmidzi dan Ibnu Hibban).

Meskipun hadits-hadits yang mengharuskan adanya wali dalam pernikahan tidak lepas dari pembicaraan pada sanadnya. tetapi sebegian menjadi penguat bagi yang lain. Sehingga Jumhur Ulama selain Hanafiyah (Madzhab, pengikut Abu Hanifah) menetapkan bahwa wali sebagai syarat shahnya pernikahan).

3. Pernikahan Tanpa Surat Resmi

Artinya: Dari Anas bin Malik ra. bahwa Nabi saw. melihat pada Abdurrahman bin ‘Auf ada bekas kuning. Beliau bertanya: Apa ini? Ia menjawab: Ya Rasulullah, saya telah menikahi seorang wanita dengan (mahar) setimbang satu biji emas. Sabdanya. Mudah-mudahan Allah memberikan berkah bagimu. Adakanlah walimah, walaupun hanya dengan seekor kambing, (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari riwayat di atas dapat difaham bahwa Abdurrahnian bin Auf menikah tanpa memberitahu Nabi saw. Artinya, pernikahannya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Dan Nabi saw. tidak mempermasalahkannya. Namun, demi ketertiban, tentu saja pemerintah berwenang membuat peraturan dan ketentuan.

Khatimah

Demikianlah sedikit uraian tentang pernikahan, tujuan dan hikmahnya serta persoalan nikah Dini dan nikah Sirri ditinjau dari ajaran Islam. Dan yang sangat penting untuk diperhatikan adalah bahwa maqashid Syari’ah ‘ammah (tujuan umum Syari’at) adalah untuk kemashalatan manusia, khususnya kaum Muslimin sendiri Karena Itu, setiap kita berhadapan dengan ketentuan-ketentuan syarfah, sikap dan pandangan kita harus diarahkan oleh pemahanian tersebut. tentu saja termasuk dalam masalah pernikahan yang kita bicarakan ini. Semoga kajian ini dapat menjadi masukan bagi kaum Muslimin

Referensi :
· Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu. oleh DR. Wahb Zuhaili
· Fiqh As Sunnah, oleh Sayyid Sabiq
· Bidayatul Mujtahid oleh ibn Rusyd
· Nailul Authar oleh imam syaukani
· Subulussalam.oleh Imam Shan’ani

Related Posts:

0 komentar: