Sabtu, 29 April 2017

Transendensi Ubudiyah Dan Budaya Politik Muslim

 
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya dan Janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Muslim". (QS 3:102).

Relevansi telaahan ayat di atas bila disimak secara jeli sangatlah fundamental bagi pemeluk agama (Islam), karena definisi taqwa (baca: eksis terhadap kebenaran/ keadilan) pada premis pertama, secara otomatis equalitas terhadap fenomena Muslim (orang Islam/Selamat) dan pada premis kedua makna relatif dari kematian itu sendiri (lihat QS. 3:169) adalah kerusakan, kehancuran, kebinasaan, kerusakan eksternal tatanan masyarakat dan praktis merupakan akibat kausal dari tidak Muslim-nya (quantitas) yang notabene tidak “taqquun”. Agama secara epistemologis (sangskrit) dapat bermakna A (tidak) dan Gama (sesat), dan ekspresi esensial dari agamä (Islam) adalah ubudiyah.

Makna Holistik  
 
Konteks Ubudiyah dalam Islam tidaklah berisfat parsialitas akan tetapi lebih dari itu. Secara etimologis dari makna harfiah ubudiyah berasal dari kata dasar abdi (baca:sembah), dimanifestasikan dalam bentuk amal (kerja) dan tanpa adanya unsur-unsur kepamrihan (mardhatillah). Relief aplikasi ubudiyah itu sendiri pada dasarnya telah bersifat jamak dan dalam pelaksanaannya haruslah universal (holistik) lihat QS 1:208 masuklah kamu ke dalam Islam seluruhnya.

Ibadah sebagai suatu rasa committed-nya penganut agama Islam atau selamat tidak hanya disekat oleh dimensi ruang yang melingkupinya maupun dimensi waktu yang menjatahnya. Akan tetapi implementasi tata aturan hukum (fuqaha) terhadap ibadah. dalam akses pengamalannya di dua dimensi tadi, pada setiap individual Muslim (orang yang selamat) bersifat singkretis. Dan hal tersebut di luar dari pengutamaan nilai-nilai monumentalisme budaya yang sangat tidak substansial. Sekalipun pergerakan Islam pasca periode Makiyah memang dalam aksis budaya, namun tidak mustahil bahwa progresi revolusi kultural Islam diorganisir secara politis vis a vis (non konvensional), yang dalam terminologinya kita kenal dakwah bil lisaan.

Selanjutnya pada periode Madaniyah (fase pematangan ideologi), penetrasi Islam masih tetap mengalami antitese politis. di mana ruang lingkup interaksi sosio kemasyarakatan yang pada saat itu masih berada pada posisi pra-kondisi “negara Islam” (wacana demokrasi). Namun belakangan sejarah mencatat bahwa konstelasi politik sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam pemeluknya), sempat tercipta dan berjalan, demokrasi politik dan aksesnya dalam beberapa parameter, yang merupakan aksentuasi ubudiyah yang lahir atas dasar konvensi- konvensi faksional dan kita kenal kemudian dengan terminologi “Madinah Charter” ), Sedang di lain pihak, dalam perkembangannya kemudian bila akseptasi/penerimaan Islam dalam praksasnya (sebagaimana kita lihat perkembangan interaksi sosial-politik Islam pada fase khulafa maupun di belahan dunia lainnya) secara sedemikian parsial (mengkristal) kontemporer, maka akan berkonsekuensi pada pelencengan-pelencengan dan sekaligus mematikan nilai-nilai progresivitas agama Tauhidiyah tersebut (QS. 2:159). Kendati entry point Islam / tahap rembesan mencoba masuk dalam tahap pemaharnan secara imanental‘).

Rukun Islam/Rukun Iman di manapun konsepsi pencerahan berada dan apapun unsur aliansi yang mempengaruhinya, secara pragmatis masih sangat mafhum terhadap konstelasi poleksosbud setempat dengan nuansa sosial yang masih sangat multikompleks. Dan hal tersebut bukan berarti ia beranjak dalam terminologi “mengalah untuk kalah”. Dalam perspeksi juang jangka pendek (lihat proses konvensi Hudaibiyah prilaku da’wah yang dilakoni oleh sembilan Sunan dalam sejarah klasik) memang agak berkesan sedikit setback, akan tetapi langkah tersebut adalah hanya semata-mata Sebagai tactical aproach tanpa menanggalkan prinsip-prinsip strategis. Mengingat Islam bila kita cermati secara lebih arif dalam kajian-kajian ayati “kandungan” atau implisit dialektika historis, akan kita ketahui betapa Islam agama penyelamat selalu berorientasi pada nilai-nilai juang jangka panjang tanpa bersikap evolutif, mengingat pula Islam mengemban visi dan misi pengutamaan keselamatan alam beserta seluruh isinya “Rahmatan lil ‘Alamiin”.

Kalaupun ada upaya-upaya depolitisasi kehidupan Islam di situasi tertentu adalah permasalahan lain (lihat betapa gagasan Khaldunian menampakkan sisi keputus asaannya). Dan di lain pihak secara pragmatis (persuasi etika dan moral) Islam selalu mampu menangkal setiap interaksi perusak (destruktif) di keempat parameter tadi maupun unsur-unsur SARA pada khususnya dalam bentuk-bentuk solusi yang lebih baru dan futuristik (orientasi masa depan). Hal tersebut dapat dilihat manakala pemahaman dan pelaksanaan ubudiyah Islam kita tarik pada telaahan-telaahan secara transedental) (pencermatan dan pemahaman secara lebih maju).

Politisasi Islam

Secara dialektika historis, (Sejurus Qur’an dengan kitab-kitab sebelumnya, taurat-Zabur dan Injil) faham-faham ilahiyat yang diamanatkan melalui Rasul (utusan-utusan) tidaklah berkehendak memaksakan distingsi (jarak) antara aras positif terhadap negatif berada di atas segalanya. Akan tetapi sedikit banyak dan paling tidak, berupaya untuk menyeimbangkan ruang lingkup kinerja dan aktivitas mahluk (ciptaan) dalam satu kesatuan káusal “samaawaati wal ardh”. Allah menciptakan mahluk-Nya adalah semata-mata hanya untuk beribadah kepada-Nya (. Addzariyaat : 56) di mana konteks ubudiyah (Illa Liya’bud uun) tadi adalah tidak semata-mata hanya bersenyawa dan masyuk dalam nilai-nilai eksluslvisme sektoral tradisionalisme, ritualisme, suffisme), rutinisasi ceremonial, maupun pesan-pesan moral semata. Hingga pada gilirannya substansi Islam sebagai suatu pandangan hidup (poleksosbud), berdampak Semakin bias dan terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu; politik kekuasaan manipulasi praktik konsumsi sosial klinik penyakit bathinisme keserakahan ekonomii sektarianisme religius dll.

Terlepas konteks pengabdian tadi yang signifikan terhadap keadilan sosial, kebenaran, kesejahteraan sosial, telah ikut hanyut terpolusi oleh tata nilai budaya alienatif (barat/Yahudi) sebagaimana penganut agama selamat ala “Islam Orientalis” yang selama ini kita simak perkembangannya. Yang jelas presedensiasi secara lebih mendasar akan ajaran Islam demi terciptanya suatu tatanan masyarakat yang “baldatun thayibatun wa rabbun ghafuur” adalah merupakan amanah keharusan bagi setiap insan sebagai khalifatu fil ardh. Untuk itulah fragmentasi gerakan Islam yang esensinya mengutamakan kemaslahatan ummat harus dimodulir dalam anasir-anasir politik. Tanpa upaya tersebut kesuburan pelaksanaan ibadah secara lebih luas takkan berjalan sebagaimana mestinya, dan pada akhirnya agama hanya berada pada posisi “simbol-simboi mitologi”.

Secara jujur kita akui fenomena budaya politik Islam dalam bingkai realitas sejarah (klasik) maupun kontemporer), yang umumnya penegakan nilai-nilai tahuhidiyah (persatuan dan kesatuan bangsa dalam skala politik) mengalami pasang surut, namun yang menjadi persoalan adalah sejauh manakah fase-fase kompromis dan tenggangan Islam terhadap tantangan multidimensi yang menghadang tanpa bersikap diametral, adalah dengan menyikapi secara politik kebijakan di manapun ia berakses Sedang sifat-sifat militansi para penganutnya (Mustaqimin) yang tersirat dari ketetapan yang sudah tersurat dan merupakan suatu perintah wajib atau fardhu (kifayah/ menyeluruh), ditepis demi kepentingan sektoral sedang mereka (ada sebagian Muslim) berada di dalamnya dan dengan dalihnya demi kepentingan kantung nasi (survival), adalah merupakan “pe-er perang” bagi kita, tanpa secara vulgar ataupun anarkhis dalam penerapannya.

Kekhawatiran Barat Akan Islam 
 
Ada beberapa pejuang yang kalau boleh disebut “mujahidin” telah tampil ke permukaan tanpa persepsi memihak kepada kebenaran diktatorial dalam arti peperangan itu sendiri bukanlah berarti mutlak bermakna pembunuhan.Seorang politikus dalam sejarah kontemporer di Turki, Kemal Attaturk, melihat betapa pengebirian kehidupan beragama mengalami konstelasi represif dari ulah tangan-tangan politik kekuasaan yang saat Itu berkuasa. Serta merta berupaya secara lebih progres kembali menegakkan cita-cita Islam yang sempat tenggalam. Alhasil berkat kegigihan eksistensal perjuangan mereka (kemalis), melalui gerakan budaya keagamaan yang dipolitisir. Turki sempat mengenyam pula kehidupan politik demokratis di masa fase rezim Kemal Attaturk. Kemal melihat dinamika konstalasi demokrasi politik di masa pemerintahan kesultanan Utsmani berjalan stagnan. dan kondisi politik yang sangat represif tersebut dapat berjalan dengan mulusnya karena didukung atas dasar legitimasi “dewan keagamaan”. Oleh karenanya dengan kondisi terebut menjadikan satu motivator bagi wacana perjuangannya beserta rekan-rekan seperjuangannya.

Sosok pendiri dari pejuang-pejuang negeri ini melihat tahapan pendekatan Islam secara pragmatik-politik (perjuangan) terhadap pendekatan paham kebangsaan adalah melalui pendekatan ekonomi kerakyatan. Karena dalam alur-alur kajian teologian. Islam sangat menentang praktik-praktik akumulasi modal yang bersimbiosis dalam bentuk praksis parasitis notabene produk kapitalisme/penjajahan (lihat Amanah 223).

Tak heran para tokoh dari perjuangan tersebut yang kebetulan mayoritas Muslimin-Muslimat, di samplng memang didukungnya oleh unsur-unsur faksionalistik yang konvergen dalam nilai-nilai perjuangan serta dilanjutkan oleh para pewarisnya dalam fase perjuangan di kemudian hari sangat tidak kompromis terhadap praktik-praktik penindasan yang dilakukan oleh kolonialisme (Belanda maupun sekutunya dalam praktik kekinian). Dan hal tersebut masih tetap eksis serta similar terhadap ekspresi ubudiyah kaffatan. Sekalipun belakangan eskploitasi/penghisapan aset-aset ekonomi rakyat dalam bentuk “drainage” sumber daya alam (domestik) yang bahkan masih terus berjalan hingga hari ini. dalam bentuk metamorphosa baru, neokolonialisme, adalah merupakan tantangan bagi kita (generasi muda ya) untuk bersikap. Dan tanpa berasumsi pnoyektif terhadap dinamika Islam, apakah ia sebagai agama yang terkungkung maupun mengungkungi negara.

Yang jelas, Islam masih tetap menyimpan picu pendobrak bagi kalangan pemeluknya dari agama lainnya yang seorientasi dan preseden anti penindasan khususnya di masa-masa mendatang. Oleh kàrenanya tak heran ada satu kekhawatiran saat ini khususnya di kalangan-kalangan pemikir barat (kolonial), bahwa saat ini Islam-lah sebagai musuh yang paling ditakuti kolonialisme setelah pasca runtuhnya Uni Sovyet (sosialisme). Terlebih-lebih sinyalemen tersebut semakin dipertajam oleh adanya konspirasi politis antara Islam-Konfusianisme.

Mengapa demikian? Seperti disitir oleh Roger Garaudy (Huntington 1993), bila konvergensi (pertemuan) antara Islam dengan kawasan ideologi yang berlaku di Indo-china semakin menampakkan relief progresif, maka tak heran pula di lain pihak ancaman aras luar negeri akan mematikan alur hidup kapitalisme dan imperialisme mondial dalam segala bentuk manifestasinya.

Bila demikian konklusinya, akankah muncul sosok mustakimin dan syuhada (pesaksi) yang benar-benar revolusioner dalam disiplin Individual maupun kolektif di tengah-tengah kita, mengingat tantangan selaku motivator gerak telah berada di hadapan kita, tanpa selalu berimage maupun pada situasi dan kondisi tertentu berharap akan datangnya “pemimpin pembawa petunjuk’. Wallahu a’lam bishawab

Related Posts:

0 komentar: