
Kesederhanaan kalimat tak berarti mudah untuk selalu dilaksanakan. Manusia mempunyai sifat mencintai kemudahan namun cenderung mengeluh saat menjumpai sebuah kesulitan. Namun bukankah semua yang terjadi didunia ini atas kehendak Allah swt? Seperti dalam sebuah Firman-Nya:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا
فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ
يَسِيرٌلِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
Surah diatas menjelaskan bahwa tidak suatu pun kejadian yang menimpa, melainkan telah tertulis dalam kitab Lauhul Mahfuzh. Seorang mukmin seharusnya tidak larut dalam kesedihan saat tertimpa musibah, demikian pula sebaliknya, yakni tidak bergembira yang terlalu berlebihan saat mendapatkan kesenangan.
Mengapa Allah melarang untuk bergembira dan sedih secara berlebihan? Pertanyaan inipun dijawab dalam sebuah Firman-Nya :
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ
تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا
شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا
تَعْلَمُونَ
Sebenarnya surah diatas menjelaskan kelemahan nalar manusia. Keterbatasan akal dan pikirannya terkadang membuat mereka tak mampu menemukan kebenaran yang hakiki, Sebab secara umum manusia menilai baik dan buruknya sesuatu sebatas panca indranya saja, dan terlupa bahwa Allah itu maha mengetahui. Manusia yang penuh keterbatasan dan kelemahan semestinya selalu berprasangka baik kepada seluruh takdir Allah, sebab berprasangka baik kepada Allah merupakan sebuah sunnah Rasulullah saw, seperti dalam sebuah hadist beliau :
لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Prasangka baik kepada Allah sejatinya menyempurnakan sebuah rencana ataupun rancangan yang dibuat oleh-Nya. Prasangka baik akan selalu membawa manusia untuk senantiasa bertawakkal kepada Allah dalam segala hal, dan prasangka baik pula yang selalu menghantarkan anugrah kepada seorang hamba.
Seperti dalam sebuah kisah seorang budak yang mendapatkan jatah satu hari libur pada hari jum’at, namun budak tersebut mempergunakan hari libur dari tuannya itu untuk bekerja keras. Hingga pada suatu hari, hasil kerja keras itu membuat dirinya mampu mengumpulkan uang untuk membayar kemerdekaannya sebagai budak.
Ketika Ia hendak membayar kemerdekaan dirinya, tuannya pun berkata “ambil dan terimalah uang itu, gunakan untuk modal kehidupanmu yang baru sebagai orang yang merdeka. Sang budak pun seraya berkata “ aku tidak tahu, apakah kebebasanku ini adalah sebuah anugrah atau musibah, aku hanya berbaik sangka kepada Allah”.
Setelah memulai kehidupan barunya, sang budak menikah dan dikarunia seorang anak lelaki. ketika anak lelakinya beranjak dewasa, si mantan budak berkata pada anaknya : “Wahai anakku, tiada yang lebih mulia dibandingkan syahid dalam membela agama Allah, oleh karenanya, marilah kita mempersiapkan diri untuk berjuang”. Akhirnya bapak dan anak itu membeli seekor kuda perang yang sangat gagah. Sampai-sampai tetangga mereka merasa keheranan, bagaimana mungkin si mantan budak dan anaknya mampu membeli kuda sebaik itu. Si mantan budak pun menjelaskan kepada mereka bahwa kuda yang dibelinya itu adalah hasil dari kerja kerasnya selama bertahun-tahun.
Para tetangganya pun berkata: “sungguh bodoh tetanggaku ini, uang hasil jerih payah seumur hidup bukannya digunakan untuk modal usaha, malah untuk membeli kuda”. Si mantan budak pun berkata “ aku tidak tahu, apakah kuda ini adalah anugrah atau sebuah musibah, aku hanya berbaik sangka kepada Allah”.
Keesokan harinya kuda milik si mantan budak itupun hilang, tak ada didalam kandangnya. Si mantan budak pun kembali berkata “aku tidak tahu, apakah hilangannya kuda ini adalah sebuah anugrah atau musibah, aku hanya berbaik sangka kepada Allah”.
Setelah mengetahui bahwa kuda miliknya hilang, si mantan budak kembali bekerja keras bersama anaknya untuk kembali menabung, agar kelak bisa membeli kuda lagi. Namun tiga hari setelah kuda itu hilang, kandang milik mereka menjadi gaduh, dan setelah mereka melihatnya, ternyata kuda mereka telah kembali, namun kali ini ada belasan kuda liar yang ikut bersamanya, sehingga jika 3 hari yang lalu mereka kehilangan seekor kuda, kini kuda mereka telah kembali dengan membawa kuda-kuda liar yang menjadi hak milik mereka. Lalu kembali si mantan budak berkata ”aku tidak tahu, apakah kuda-kuda ini anugrah atau musibah, aku hanya berbaik sangka kepada Allah”.
Kisah diatas adalah sebuah contoh sempurna akan arti kerja keras dan bertawakkal atas segala takdir Allah swt. Allah menyempurnakan rancangannya kepada manusia melalui prasangka manusia itu sendiri kepada Allah, sebagaimana yang disinyalir dalam sebuah hadist :
“Aku (akan berbuat) menuruti prasangkaan hamba-Ku kepada-Ku” (HR. Muslim)
Ibnu Usaimin mengatakan bahwa makud dari hadist ini adalah Allah akan berbuat mengikuti prasangkaan para hamba-Nya terhadap diri-Nya. Apabila manusia berprasangka baik, maka Allah akan melakukannya, demikian juga jika manusia berprasangka buruk, maka Allah akan melakukannya pula sesuai dengan prasangka buruk hamba-Nya itu. Seorang mukmin yang berprasangka baik kepada Allah harus meyakini bahwa Allah akan menjawab seruannya, mengabulkan doa-doanya, mengampuni dosa-dosanya dan menunaikan janji-janjinya, serta apa saja yang sesuai dengan keagungan dan kemulian-Nya yang menjadi konsekuensi dari nama-nama-Nya yang indah serta sifat-sifat-Nya yang maha sempurna. Seorang muslim juga harus beruaha meninggakan segala perbuatan maksiat agar Allah swt selalu menunjukkan jalan yang lurus baginya.
Ibrah lain yang tersirat dalam kisah mantan seorang budak adalah teladan dalam membelanjakan harta kekayaan. Orang yang membelanjakan hartanya untuk kebaikan dijelaskan dalam al-Qur’an dengan sebutan Fisabilillah.
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى
التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Dalam tafsir Al sa’di menjelaskan bahwa hal yang paling agung dan terutama dalam berjihad adalah mengeluarkan harta dijalan Allah swt. Menginfakkan harta dijalan ini merupakan jihad dijalan Allah, dan hukumnya adalah fhardu sebagaimana jihad dengan fisik. Berinfaq harta dijalan Allah seperti menguatkan kaum mukmin dalam mengalahkan kaum musyrikir dan kafir, sehingga dapat menegakkan agama Allah dan memperkokohnya. Berjihad dijalan Allah tidak akan terlaksana kecuali dengan adanya infaq harta, maka infaq harta itu ibarat ruh bagi jihad. Karena itulah dalam berbagai ayat Allah menegaskan tentang perintah jihad, dengan mendahulukan perintah jihad dengan harta.
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad dijalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan atas orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka, Allah menjanjikan pahala yang baik (surga), dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar” (QS. An-Nisa : 95)
0 komentar: