Kemelut dunia dan deru pusaran kehidupan terus bergejolak. Semua ini hanya dapat dihadapi dengan jiwa yang tenang, jiwa yang sakinah dan muthmainnah. Jiwa besar dengan semangat baja jua yang sanggup menempuh arena hidup ini. Jasad boleh terhempas dan terpelanting ke kiri atau ke kanan, namun jiwa dengan semangat khasnya harus tetap menyala, bathin tidak boleh binasa.
Semangat tidak pantas bila harus patah atau menyerah kalah di hadapan bayang-bayang ketakutan hanya karna menghadapi gelombang-gelombang kenyataan. Kenyataan harus dihadapi dengan kesadaran, kesadaran bahwa perahu akan terus maju mendekati dermaga impian justru dengan hempasan ombak.
Nah, dalam upaya tegak dan tegarnya jiwa agar tetap konsisten mengambil sikap yang benar dalam situasi dan di manapun:
a. Mu’ahadah (Mengingat Perjanjian)
Hayati dan resapilah bahwa hidup ini adalah sebuah perjanjian kepada Allah:
“Dan tepatilah perjanjian kepada Allah jika kamu berjanji”. (QS. an-Nahl : 91).
Katakanlah, wahai jiwaku, bukankah engkau telah berikrar tidak akan menghamba selain kepada Allah, tidak akan minta meminta pertolongan selain kepada-Nya. Tidakkah engkau telah berjanji untuk tetap komitmen kepada shiratul mustaqim yang terbebas dari kerumitan dan liku-liku perjalanan. Tidakkah engkau telah menyatakan untuk berpaling dari jalan orang-orang sesat dan dimurkai Allah? Kalau memang demikian, hati-hatilah jiwaku. Janganlah kau langgar janjimu setelah Dia kau jadikan sebagai pengawasmu. Janganlah kau mundur dari jalan yang telah ditetapkan oleh Islam setelah engkau jadikan Allah sebagai saksimu hanya karena hasutan manusia-manusia lemah. Bukankah ini perjanjian yang teragung??? Jalanlah ke depan dengan kepala tegak, bertenaga iman yang kuat membaja. Jangan pernah bingung dan linglung karena jalan ini amat agung. Seharusnya kita malu kepada Masyitah yang tetap tabah walau harus dilempar ke bejana pembakaran. imannya mengalahkan dan memperkuat sifat lemah fisiknya. Bandingkan pula ketegarannya kepada “kebencian” para pejuang sekuler, yang gampang surut karena ancaman dan mudah mabuk karena sogokan.
b. Muraqabah (Merasa diawasi oleh Allah)
Sebelum memulai suatu pekerjaan dan disaat mengerjakannya cobalah memeriksa diri Apakah amal dan ketaatan itu ditunjukan demi kepentingan pribadi, gengsi diri, tak suka orang lain mengungguli, mencari popularitas, ataukah karena dorongan ridha Allah dan menghendaki pahala-Nya?
Dengan muraqabah kepada Allah pelaksanaan ketaatan niscaya muncul dari hati yang bersih, ikhlas. Dengan muraqabah kepada Allah, ketika tergelincir dalam maksiat timbullah rasa takut, penyesalan dan bertaubat kemudian meninggalkannya. Muraqabah kepada Allah tatkala tertimpa musibah akan memunculkan sikap ridha dan lapang dada terhadap ketentuan-Nya. Muraqabah dalam menghadapi tantangan-tantangan berarti akan memicu lahirnya berbagai ide-ide, strategi-strategi barru dan beragam aktivitas lainnya. Ibarat air bila ia ditekan dan dibentur lebih keras maka ia akan muncrat, menyebar lebih luas dan lebih memberikan manfaat yang lebih banyak. Semangat benar-benarakan berlipat-lipat kekuatannya karena seorang hamba merasa Yang Maha bijaksana, Maha Kaya, Maha Penolong sedang mengawasinya:
“Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk shalat) dan melihat pula perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud”. (QS. Asy-Syura 218-219).
c. Muhasabah (lntrospeksi Din)
Penumbuhan sikap instropeksi ini akan mengiringi berkembangnya mentalitas tawadhu’ sekaligus menekan kesombongan. Kesombongan, merendahkan orang lain dengan alasan amal ibadahnyalah yang lebih baik dari yang lainnya. Lalu memuncak pada anggapan bahwa keben aran itu selalu berpihak kepadanya, sementara kesalahan dan alpa hanyalah pada orang lain. “Gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan tampak”. Begitu pepatah lama menggambarkan hal tersebut. Dengan muhasabah, justru merupakan jalan meraih kemuliaan bermahkota tawadhu’. Dengan muhasabah akan terbuka pintu kebajikan karena akan mudah menerima masukan dari berbagai arah. Sifat tawadhu’ yang mengundang rasa simpatik orang lain penuh penghargaan terhadap kelebihan orang lain. Dengan muhasabah mendorong gerak untuk terus maju setelah menyadari diri masih dalam kekurangan. Benar kata Rasulullah saw.:
Artinya: Berbahagialah orang yang disibukkan oleh aibnya sendiri dari pada aib orang lain. (HR. Bazzar dengan isnad yang hasan).
d. Mu’aqabah (Pemberian Sanksi)
Sebuah tindak lanjut dari muhasabah adalah mu’aqabah terhadap kesalahan pribadi. Generasi salaf telah memberikan teladan pada kita: Suatu ketika Umar ra. pernah disibukkan oleh suatu urusan sehingga waktu Maghrib lewat sampai muncul dua bintang. Maka setelah melaksa..nakan shalat Maghrib beliau memerdekakan dua orang budak. Jika watak ini menjadi perhiasan setiap hamba yang taat atau seorang da’i, akan sangat berperan dalam rangka mnyinari jalan da’wah karena ketika para da’i telah memulai dari dirinya sendiri sebuah kedisiplinan dan kesungguhan. Maka pada gilirannya masa pendengarpun tidak akan menyamakan nasihat mereka seperti tontonan, melainkan difahami dengan benar sebagai tuntunan
e. Mujahadah (Upaya yang sungguh-sungguh)
Ketekunan, kesungguhan, kerja keras dan semangat pantang menyerah, merupakan trik-trik yang hampir selalu dimiliki oleh mereka yang kerap mencapai sukses gemilang. Baik sukses menurut ukuran awam dengan standar materi. Apalagi kesuksesan yang bersifat ukhrawi tentu lebih menuntut kesungguhan yang lebih besar. Mengapa demikian? Sebab standar kesuksesan ukhrawi bersifat integratif. Yakni perpaduan antara kebersihan niat, keshahihan pemahaman, kualitas kerja nyata dan akhlaqiyah yang terjaga. Sementara kesuksesan awam tolok ukumya sebatas ukuran matematis, tanpa peduli niat dan cara. Seorang pengusaha yang mendapat keuntungan berlipat ganda walau dengan manipulasi terselubung sudah cukup Untuk dianggap sukses. Termasuk dianggap lebih sukses dari pengusaha yang jujur tapi lambat perkembangan keuntungan materinya. Menyadari mujahadah untuk prestasi ukhrawi jauh lebih berat dari kerja keras untuk prestasi duniawi, maka selayaknyalah motivasi mujahadah tersebut menjadi lebih kuat semangat kerja kaum sekuler dan atheis. Sehingga dengan demikian al haq-pun akan terus berkembang mendominasi. Bukan sebaliknya. Adalah janji Allah, bahwa Allah pasti memberi petunjuk dan way out terhadap kaum Mukminin atas segenap problem dan tantangan mereka, jika mereka tetap bekerja keras. Termasuk di dalamnya adalah keluar dari tipu daya orang-orang yang tert ipu oleh hawa nafsunya.
“Dan orang-orang yang berjihad di jalan Kami, maka akan kami tunjukkan jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah senantiasa bersama para Muhsinin”. (QS. al-Hujurat 69).
Yakinlah bahagia dan sa’adah hanya akan dirasakan oleh orang yang membela keyakinan, kebenaran dan keadilan dengan kerelaan berkorban dan kuat menahan dera dan derita perjuangan. Tetaplah tegar.
Semangat tidak pantas bila harus patah atau menyerah kalah di hadapan bayang-bayang ketakutan hanya karna menghadapi gelombang-gelombang kenyataan. Kenyataan harus dihadapi dengan kesadaran, kesadaran bahwa perahu akan terus maju mendekati dermaga impian justru dengan hempasan ombak.
Nah, dalam upaya tegak dan tegarnya jiwa agar tetap konsisten mengambil sikap yang benar dalam situasi dan di manapun:
a. Mu’ahadah (Mengingat Perjanjian)
Hayati dan resapilah bahwa hidup ini adalah sebuah perjanjian kepada Allah:
“Dan tepatilah perjanjian kepada Allah jika kamu berjanji”. (QS. an-Nahl : 91).
Katakanlah, wahai jiwaku, bukankah engkau telah berikrar tidak akan menghamba selain kepada Allah, tidak akan minta meminta pertolongan selain kepada-Nya. Tidakkah engkau telah berjanji untuk tetap komitmen kepada shiratul mustaqim yang terbebas dari kerumitan dan liku-liku perjalanan. Tidakkah engkau telah menyatakan untuk berpaling dari jalan orang-orang sesat dan dimurkai Allah? Kalau memang demikian, hati-hatilah jiwaku. Janganlah kau langgar janjimu setelah Dia kau jadikan sebagai pengawasmu. Janganlah kau mundur dari jalan yang telah ditetapkan oleh Islam setelah engkau jadikan Allah sebagai saksimu hanya karena hasutan manusia-manusia lemah. Bukankah ini perjanjian yang teragung??? Jalanlah ke depan dengan kepala tegak, bertenaga iman yang kuat membaja. Jangan pernah bingung dan linglung karena jalan ini amat agung. Seharusnya kita malu kepada Masyitah yang tetap tabah walau harus dilempar ke bejana pembakaran. imannya mengalahkan dan memperkuat sifat lemah fisiknya. Bandingkan pula ketegarannya kepada “kebencian” para pejuang sekuler, yang gampang surut karena ancaman dan mudah mabuk karena sogokan.
b. Muraqabah (Merasa diawasi oleh Allah)
Sebelum memulai suatu pekerjaan dan disaat mengerjakannya cobalah memeriksa diri Apakah amal dan ketaatan itu ditunjukan demi kepentingan pribadi, gengsi diri, tak suka orang lain mengungguli, mencari popularitas, ataukah karena dorongan ridha Allah dan menghendaki pahala-Nya?
Dengan muraqabah kepada Allah pelaksanaan ketaatan niscaya muncul dari hati yang bersih, ikhlas. Dengan muraqabah kepada Allah, ketika tergelincir dalam maksiat timbullah rasa takut, penyesalan dan bertaubat kemudian meninggalkannya. Muraqabah kepada Allah tatkala tertimpa musibah akan memunculkan sikap ridha dan lapang dada terhadap ketentuan-Nya. Muraqabah dalam menghadapi tantangan-tantangan berarti akan memicu lahirnya berbagai ide-ide, strategi-strategi barru dan beragam aktivitas lainnya. Ibarat air bila ia ditekan dan dibentur lebih keras maka ia akan muncrat, menyebar lebih luas dan lebih memberikan manfaat yang lebih banyak. Semangat benar-benarakan berlipat-lipat kekuatannya karena seorang hamba merasa Yang Maha bijaksana, Maha Kaya, Maha Penolong sedang mengawasinya:
“Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk shalat) dan melihat pula perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud”. (QS. Asy-Syura 218-219).
c. Muhasabah (lntrospeksi Din)
Penumbuhan sikap instropeksi ini akan mengiringi berkembangnya mentalitas tawadhu’ sekaligus menekan kesombongan. Kesombongan, merendahkan orang lain dengan alasan amal ibadahnyalah yang lebih baik dari yang lainnya. Lalu memuncak pada anggapan bahwa keben aran itu selalu berpihak kepadanya, sementara kesalahan dan alpa hanyalah pada orang lain. “Gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan tampak”. Begitu pepatah lama menggambarkan hal tersebut. Dengan muhasabah, justru merupakan jalan meraih kemuliaan bermahkota tawadhu’. Dengan muhasabah akan terbuka pintu kebajikan karena akan mudah menerima masukan dari berbagai arah. Sifat tawadhu’ yang mengundang rasa simpatik orang lain penuh penghargaan terhadap kelebihan orang lain. Dengan muhasabah mendorong gerak untuk terus maju setelah menyadari diri masih dalam kekurangan. Benar kata Rasulullah saw.:
Artinya: Berbahagialah orang yang disibukkan oleh aibnya sendiri dari pada aib orang lain. (HR. Bazzar dengan isnad yang hasan).
d. Mu’aqabah (Pemberian Sanksi)
Sebuah tindak lanjut dari muhasabah adalah mu’aqabah terhadap kesalahan pribadi. Generasi salaf telah memberikan teladan pada kita: Suatu ketika Umar ra. pernah disibukkan oleh suatu urusan sehingga waktu Maghrib lewat sampai muncul dua bintang. Maka setelah melaksa..nakan shalat Maghrib beliau memerdekakan dua orang budak. Jika watak ini menjadi perhiasan setiap hamba yang taat atau seorang da’i, akan sangat berperan dalam rangka mnyinari jalan da’wah karena ketika para da’i telah memulai dari dirinya sendiri sebuah kedisiplinan dan kesungguhan. Maka pada gilirannya masa pendengarpun tidak akan menyamakan nasihat mereka seperti tontonan, melainkan difahami dengan benar sebagai tuntunan
e. Mujahadah (Upaya yang sungguh-sungguh)
Ketekunan, kesungguhan, kerja keras dan semangat pantang menyerah, merupakan trik-trik yang hampir selalu dimiliki oleh mereka yang kerap mencapai sukses gemilang. Baik sukses menurut ukuran awam dengan standar materi. Apalagi kesuksesan yang bersifat ukhrawi tentu lebih menuntut kesungguhan yang lebih besar. Mengapa demikian? Sebab standar kesuksesan ukhrawi bersifat integratif. Yakni perpaduan antara kebersihan niat, keshahihan pemahaman, kualitas kerja nyata dan akhlaqiyah yang terjaga. Sementara kesuksesan awam tolok ukumya sebatas ukuran matematis, tanpa peduli niat dan cara. Seorang pengusaha yang mendapat keuntungan berlipat ganda walau dengan manipulasi terselubung sudah cukup Untuk dianggap sukses. Termasuk dianggap lebih sukses dari pengusaha yang jujur tapi lambat perkembangan keuntungan materinya. Menyadari mujahadah untuk prestasi ukhrawi jauh lebih berat dari kerja keras untuk prestasi duniawi, maka selayaknyalah motivasi mujahadah tersebut menjadi lebih kuat semangat kerja kaum sekuler dan atheis. Sehingga dengan demikian al haq-pun akan terus berkembang mendominasi. Bukan sebaliknya. Adalah janji Allah, bahwa Allah pasti memberi petunjuk dan way out terhadap kaum Mukminin atas segenap problem dan tantangan mereka, jika mereka tetap bekerja keras. Termasuk di dalamnya adalah keluar dari tipu daya orang-orang yang tert ipu oleh hawa nafsunya.
“Dan orang-orang yang berjihad di jalan Kami, maka akan kami tunjukkan jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah senantiasa bersama para Muhsinin”. (QS. al-Hujurat 69).
Yakinlah bahagia dan sa’adah hanya akan dirasakan oleh orang yang membela keyakinan, kebenaran dan keadilan dengan kerelaan berkorban dan kuat menahan dera dan derita perjuangan. Tetaplah tegar.
0 komentar: