Jumat, 23 Juni 2017

Ainul Mardiah, Siapakah Dia?

Ainul Mardhiah adalah seorang bidadari yang paling cantik di surga yang Alloh ciptakan untuk sesiapa yang mati syahid berjuang di jalan Alloh. Secara bahasa Ainul Mardhiah berarti mata yang diridhai. Atau setiap pandangan yang melihatnya pasti akan menemukan keridhaan di hati. Kisah Ainul Mardhiah diceriterakan dalam Hadits Nabi riwayat Tirmidzi yang dalam bahasa saya seperti ini:

Ketika pagi hari di bulan Ramadhan, Nabi sedang memberikan targhib (semangat untuk berjihad) kepada pasukan Islam. Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya orang yang mati syahid karena berjihad di jalan Alloh, maka Alloh akan menganugerahkannya Ainul Mardhiah, bidadari paling cantik di surga”. Salah satu sahabat yang masih muda yang mendengar cerita itu menjadi penasaran. Namun, karena malu kepada Nabi dan sahabat-sahabat lain, sahabat ini tidak jadi mencari tahu lebih dalam mengenai Ainul Mardhiah.

Waktu Zuhur sebentar lagi, sesuai sunah Rasul, para sahabat dipersilakan untuk tidur sejenak sebelum pergi berperang. Bersama kafilah perangnya pun sahabat yang satu ini tidur terlelap dan sampai bermimpi. Di dalam mimpinya dia berada di tempat yang sangat indah yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Dia pun bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Ia pun bertanya kepada wanita tersebut, “Di manakah ini?”. “Inilah surga.”, jawab wanita itu. Kemudian sahabat ini bertanya lagi, “Apakah Anda Ainul Mardhiah?”. “Bukan, saya bukan Ainul Mardhiah. Kalau Anda ingin bertemu dengan Ainul Mardhiah, dia sedang berada di bawah pohon yang rindang itu.”

Didapatinya oleh sahabat itu seorang wanita yang kecantikannya berkali-kali lipat dari wanita pertama yang ia lihat. “Apakah Anda Ainul Mardhiah?” “Bukan saya ini penjaganya. Kalau Anda ingin bertemunya di sanalah singgasananya.”

Lalu sahabat ini pun pergi ke singgasana tersebut dan sampailah ke suatu mahligai. Didapatinya seorang wanita yang kecantikannya berlipat-lipat dari wanita sebelumnya yang sedang mengelap-ngelap perhiasan. Sahabat ini pun memberanikan diri untuk bertanya.

“Apakah Anda Ainul Mardhiah?” “Bukan, saya bukan Ainul Mardhiah. Saya penjaganya di mahligai ini. Jika Anda ingin menemuinya, temuilah ia di mahligai itu.”

Pemuda itu pun beranjak dan sampailah ke mahligai yang ditunjukkan. Didapatinya seorang wanita yang kecantikannya berlipat-lipat dari wanita sebelumnya dan sangat pemalu. Pemuda itu pun bertanya.

“Apakah Anda Ainul Mardhiah?” “Ya, benar saya Ainul Mardhiah,” ujarnya pelan dengan malu-malu. Pemuda itu pun mendekat, tetapi Ainul Mardhiah menghindar dan berkata, “Maaf, Anda bukan seseorang yang mati syahid.”

Seketika itu juga pemuda itu terbangun dari mimpinya. Dia pun menceritakan ceritanya ini kepada seorang sahabat kepercayaannya yang dimohonkan untuk merahasiakannya sampai ia mati syahid. Komando jihad pun menggelora. Sahabat ini pun dengan semangatnya berjihad untuk dapat bertemu dengan Ainul Mardhiah. Ia pun akhirnya menemui syahid.

Di petang hari ketika buka puasa, sahabat kepercayaan ini menceritakan mimpi sahabat yang mati syahid ini kepada Nabi. Nabi pun membenarkan mimpi sahabat muda ini dan Nabi bersabda, “Sekarang ia bahagia bersama Ainul Mardhiah”.

Agungnya Ainul Mardhiah ini pun menginspirasi tim nasyid UNIC untuk menciptakan lagu khusus dengan judul Ainul Mardhiah dengan lirik yang sangat menyentuh berikut ini :


Wallahu ‘Alam
(sumber: eramuslim.com)

Sabtu, 06 Mei 2017

20 Wasiat Istri Yang Mendambakan Eratnya Ikatan Suci Pernikahan
 
Wahai ukhti tercinta

Tak seorang pun di antara kita yang tak membutuhkan nasehat, bahkan saya berkeyakinan bahwa seseorang yang menulis nasehat, sesungguhnya dialah orang yang paling membutuhkan nasehat tersebut dan saya terpanggil untuk menggoreskan nasehat ini. Sekarang saya memperingatkan kalian. besok kalianlah yang menasehati saya. Sebab sebuah peringatan, nasehat dan bimbingan bertujuan untuk al-Ishlah (perbaikan) dan al-Bina (membangun).

Bila kita menengok Sebuah bangunan maka di sana terdapat seorang insinyur yang mengatur segata sesuatu dan memberikan pengarahan kepada para pekerjanya agar bekerja dengan benar dalam membangun sebuah gedung yang kokoh hingga akhirnya terciptalah sebuah bangunan megah yang kuat, kokoh dan solid Maka nasehat dan tegur sapa itu senantiasa menolong seorang Muslim dalam menjalani kehidupannya. Ia memberikan bimbingan ke arah yang positif dan membangun serta menerangi jalan menuju kebahagiaan dan kesejahteraan.

Mutiara-Mutiara Berharga Ukhti yang mulia

Di hadapanmu sekarang ada 20 nasehat yang sengaja saya anugerahkan padamu karena panggilan cintaku yang mendalam terhadapmu, di samping rasa kekhawatiranku akan hilangnya kebahagiaan dan dirimu serta dalam rangka menjaga kelanggengan dan kehamionisan ikatan suci nan kudus itu, yaitu Ikatan Pernikahan.

Ukhti yang mulia.

Bersemayam di dalam ikatan suci itu suasana keharmonisan yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan, hingga tumbuhlah dengan subur generasi-generasi yang shaleh di dalamnya.
Bertitik totak dari harapan terwujudnya Sebuah kehidupan suami istri yang bahagia, tentram penuh kedamaian. Maka kupersembahkan pada kalian mutiara-mutiara nasehat ini. Terimalah!!! Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan.

Nasehat I
Tanyakanlah pada suamimu apa yang ia senangi dan apa yang tidak ia sukai, hingga engkau dapat membahagiakannya.

Nasehat 2
Tinggalkanlah segala sesuatu di saat suami ada dirumah, jangan sibulkan dirimu dengan yang lain. 

Nasehat 3
Jagalah, agar suami tidak mendengar suaramu, kecuali kata-kata lembut yang hadir ke telinganya walaupun kalian sedang berselisih.

Nasehat 4
Janganlah pemban tumu yang melayani suami. Engkaulah seharusnya yang melayaninya.

Nasehat 5
Jauhkan dari suami segala macam gangguan. Ciptakanlah sebuah suasana yang sejuk dan jadikanlah rumahmu taman dan tempat peristirahatan yang tenang dan nyaman.

Nasehat 6
Berhiaslah dengan hiasan yang terbaik agar suamimu tak tertarik dan melirik perhiasan lain.

Nasehat 7
Apabila suami terlambat pulang, janganlah memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan dan mendebatnya tentang penyebab keterlambatannya, namun tunggulah beberapa saat hingga ia tenang, baru diskusikanlah hal itu dengan baik.

Nasehat 8
Jangan keluar rumah tangga tanpa seidzin suami. Jangan sekali-kali nampak dari dirimu hal- hal yang menjengkelkannya.

Nasehat 9
Berusahalah selalu untuk menggapai cinta dan kepercayaannya, niscaya suami akan menjadikan dirimu surganya.

Nasehat 10
Peliharalah kebersihan pakaian, rumah dan anak-anak.

Nasehat 11
Berusahalah untuk dapat merasakan kesedihannya dan suka citanya serta perasaan-perasaannya yang lain, karena sesungguhnya dirimu adalah bagian dari dirinya yang tak terpisahkan.

Nasehat 12
Jangan jadikan prasangka dan cemburu buta pisau yang menyayat-nyayat tali kasih sayang dan memporak-porandakan kehidupan kalian berdua.

Nasehat 13
Jadikanlah dirimu istri sejati yang menjadi sebab keshalehan suami dan menanjaknya aktivitasnya.

Nasehat 14
Jangan kau bebani suamimu dengan sesuatu yang tak disanggupinya. Bentangkan untuknya pola hidup sederhana, damai jauh dari kemewahan yang berlebihan.

Nasehat 15
lngatkanlah selalu pada suami akan kebaikan dan jangan banyak menuntut ataupun mengadu.

Nasehat 16
Jangan sebarkan nasehat suami di luar rumah karena tiap rumah memiliki rahasia masing-masing.

Nasehat 17
Taatilah suamimu, jangan menyalahi perintahnya. Sikap yang demikian merupakan wasiat Nabi saw.:

Seandainya aku disuruh memerintah agar orang sujud kepada selain Allah niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya”.

Nasehat 18
Ridhalah terhadap keluarga dan kedua orang tuanya. Jangan menyebut kejelekan-kejelekan mereka, niscaya suamipun ridha terhadap keluarga dan kedua orang tuamu hingga makin bertambah rasa cinta dan hormatnya pada keduanya.

Nasehat 19
Berusahalah selalu mengubah-ubah caramu (uslub) bergaul, menata rumah, jenis makanan dan cara berpakaianmu. Tingkatkanlah dirimu kearah yang lebih utama dari waktu ke waktu. Niscaya semakin subur perasaan cinta, kepercayaan dan rasa hormatnya kepadamu.

Nasehat 20
Bersabarlah atas kejelekan dan aib yang ada padanya. Nampakkanlah kebaikan-kebaikannya.
Biarkanlah ia melihat dirimu selalu dalam keadaan terbaik. Akhirnya Jadilah engkau bumi (Patuhlah!) niscaya Ia akan menjadi langitmu (Hormat padamu).

Jadikan ia surga dan nerakamu! (di antara sebab yang dapat memasukkanmu ke neraka atau surga, pen). Dan ketahuilah bahwa engkau penyebab ketentraman dan kebahagiaan di rumahmu
Semoga pula Allah memberikan taufiq padamu ke arah kebaikan dan semoga Allah senantiasa memberi kebahagiaan terhadap setiap pasangan suami istri yang mu’min dan berserah diri.

Dikutip dari Majalah Al-Ishlah No. 308 - Alih Bahasa : Amantu Billah
Anak, Antara Permata Hati Dan Fitnah
 
1. Pendahuluan

Anak adalah amanah Allah yang tak bisa dinilai dengan apapun. Tanpa anak kehidupan sebuah keluarga seperti kehilangan makna. Anak juga merupakan penerus mata rantai perjuangan dan cita-cita orang tua. Karena anak pula, Nabi Zakaria AS. menjadi gundah gulana. 

وَزَكَرِيَّا إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْدًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَ
 
Artinya: Dan (ingatlah kisah) Zakaria, tatkala Ia menyeru Rabbnya: “Ya Rabbku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris yang Paling baik". (QS. Al-Anbiya : 89).

Kerinduan Nabi Zakaria AS. akan anak akhirnya terobati dengan lahirnya Yahya AS, yang meneruskan risaiah kenabian. Anak, memang sangat ditunggu dan dinanti kehadirannya. Ia menjadi curahan kasih dan sayang orang tua. Namun di balik itu. anak terkadang menjadi salah satu “agenda persoalan” yang tiada habisnya. Dari masa ke masa, problema hidup dan kehidupan anak semakin luas dan kompleks.

Banyak orang tua yang merasa sedih, kecewa, resah dan kesal serta menyesali sikap dan prilaku anak-anaknya. Betapa tidak buah hati yang dulu selalu mereka dambakan, diasuh dan disayangi tiba-tiba menjadi seorang pembangkang. Setiap nasehat, perintah dan larangan menjadi angin lalu. Anak-anak mereka tidak Lagi menampakkan wajah manis dan santun.

Kecemasan, rasa khawatir serta rasa takut orang tua semakin menjadi-jadi ketika anak mulai beranjak dewasa. Tingkah lakunya tak lagi terkendali. Pola pergaulannya tak tentu arah. Bentuk kenakalan berubah menjadi tindak kejahatan yang tidak hanya meresahkan orang tua, tapi juga masyarakat dan bangsa.

Namun sebaliknya anak bisa menjadi makhluk yang lucu, manis dan menyenangkan hati orang tuanya. Mereka patuh dan berbakti di rumah, berprestasi di sekotah dan bergaul baik dalam lingkungan masyarakat.

2. Islam Dan Pendidikan Anak

Islam dengan tegas menjelaskan kedudukan seorang anak, Ia bisa menjadi permata dan penenang hati atau sumber fitnah bagi orang tuanya. Kelalaian orang tua dalam mendidik dan mengarahkan anak akin berakibat fatal. Anak tidak hanya menjadi fitnah, bahkan ia akan menjadi musuh. Firman Allah: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isiri-isirimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka, dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. At-Tagabun :14). 
 
Setiap orang tua Muslim tentu menginginkan anak-anaknya menjadi anak yang shaleh. Namun kenyataan menunjukkan, betapa anak justru menjadi fitnah yang suilt dicegah dalam keluarga-keluarga Muslim. Kondisi yang sangat memprihatinkan ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika orang tua mendidik dan mengarahkannya dengan baik.

Dr. Abdullah Nashih Ulwan, dalam bukunya “Tarbiyatul Aulad” menegaskan, hanya ada satu cara agar anak menjadi permata hati, yaitu pendidikan yang bersumber dari nitai-nilai Islam. Pola pendidikan sekuler tidak akan mampu memberikan dasar yang kokoh bagi pertumbuhan seorang anak. Islam telah memberikan dasar-dasar konsep pendidikan dan pembinaan anak, bahkan sejak anak masih dalam kandungan. Seorang Muslim yang mendapat pendidikan Islam sejak dini, lnsya Allah akan tumbuh menjadi insan yang mencintai Allah dan Rasul-Nya serta berbakti kepada kedua orang tuanya.

Bukti nyata keberhasilan orang tua dalam mendidik anak adalah Nabi Ibrahim as. Lewat asuhan beliau lahirlah sosok remaja Ismail as. Putra Nabi Ibrahim dari rahim Siti Hajar ini rela memenuhi perintah Allah, meskipun untuk itu Ia harus mati disembelih oleh ayahnya sendiri. Karena keikhlasannyalah akhirnya Allah menggantinya dengan seekor kibas. Keikhlasan seperti ini tak akan kita dapati melalui literatur para pakar pendidikan yang berhaluan sekuler.
Para pendahulu kita juga memiliki keunikan tersendiri dalam mendidik anak. Hasil didikan mereka melahirkan sosok-sosok yang gigih dalam membela Islam dan kaum Muslimin. Sayyid Qutb misalnya; beliau dilahirkan dari rahim seorang ibu yang sederhana di desa Masha, Asiyut Mesir. lbunya, Fatimah dan jauh hari telah merancang pola pendidikan untuk anaknya. Sayyid Qutb dibesarkan dengan konsep dan cita-cita Islam yang syumul. Maka tidaklah mengherankan jika dari keluarga ini lahir para pembela Islam yang tangguh. Di antaranya Muhammad Qutb dan Aminah Qutb.

Ayahnya yang zuhud dan wara’ ikut andil mencontohkan langsung bagaimana berakhlak Islami. Sehingga Sayyid Qutb menuliskan kesan tentang ayahnya dalam kitab “Musydhadatul Qiyamah fil Qur’an”.

Semasa kecilku, ayah tanamkan ketaqwaan kepada Allah dan rasa takut akan hari akhirat. Engkau tak pernah memarahiku, namun kehidupan sehari-harimu telah menjadi teladanku, bagaimana prilaku orang yang ingat akan hari akhir

Memang, usaha-usaha mendidik anak tidaklah semudah membalik telapak tangan. Mendidik anak perlu kesabaran dan kreativitas. Sehingga tak heran jika banyak orang tua yang kewalahan dalam mendidik anak.

3. Mendidik Anak Dan Tantangannya

Upaya menancapkan pilar-pilar pendidikan anak yang bersumber dan al-Qur’an dan Sunnah sering mengalami kendala. Namnun, betapapun beratnya kendala itu, hendaknya tidak membuat orang tua berhenti menggulirkan program dan rancangan yang sudah disiapkan sejak semula. Berbagam kendala justru harus kita anggap sebagai tantangan dan ujian. Perjuangan untuk mengatasinya akan sarat dengan nilai ibadah. Tantangan dalam mendidik anak setidaknya ada dua, yaitu tantangan dari dalam (intern) dan tantangan dari luar (extern). Kedua tantangan ini saling mempengaruhi.

a. Tantangan Intern

Sumber tantangan intern yang utama adalah orang tua anak itu sendiri. Banyak orang tua yang kurang dan tidak memahami bagaimana cara mendidik anak. Keadaan akan bertambah parah bila keharmonisan rumah tangga terganggu. Padahal anak membutuhkan tempat berlindung yang aman bagi perkembangan fisik, jiwa dan pemikirannya. Sunnatullah menggariskan, bahwa pengembangan kepribadian anak haruslah berimbang antara fikriyah, ruhiyah, dan jasadiyahnya. Orang tua dituntut mampu memenuhi kebutuhan ini, terutama suami atau ayah. sebagaimana firman Allah:

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf (QS. Al-Baqarah : 233).

Program yang ideal dari para orang tua Muslim untuk mendidik anak kadang harus kandas karena minimnya sarana dan dana. Bagaimana pun anak tak hanya butuh masukan ruh seperti pelajaran shalat, do’a, membaca Qur’an. akhlak, dan aqidah. Mereka pun butuh masukan yang membuat daya fikirnya mampu berkembang secara optimal. Dan makanan untuk akal itu terkait erat dengan pengetahuan yang dimiiiki orang tua, terutama Ibu. Seorang ibu seyogyanya memahami tahap-tahap perkembangan psikologis dan lntelektual anak. Ia juga tahu kiat melarang yang tidak mematikan kreativitas anak. Pengetahuan tersebut bisa didapat dari berbagai bacaan, pengalaman, seminar, koran dan sekolah. Dan semuanya membutuhkan dana sebagai sarana.

Tantangan lain bisa berasal dari anggota keluarga. Orang tua mungkin sudah berusaha mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Namun interaksi dan intervensi dari anggota keluarga terkadang bisa “merusak suasana”. Akibatnya anak lebih dekat kepada kakek dan nenek ketimbang ayah dan ibunya.

b. Tantangan Extern

Tantangan Extern lebih luas lagi cakupannya. Berbagai informasi akan mempengaruhi perkembangan anak dari berbagai aspek. Tantangan pertama bersumber dari lingkungan rumah. Interaksi anak dengan lingkungannya tidak dapat dielakkan, anak membutuhkan teman bermain dan kawan sebaya yang dapat diajak bicara, Sedikit banyak, Informasi yang diterimanya akan terekam. Lingkungan rumah yang jauh dari nilai-nilai Islam dapat melunturkan pendidikan yang telah ditanamkan di rumah.

Seorang ibu terkejut ketika mendengar anaknya mengucapkan kata-kata yang tidak pantas. Setelah diselidiki ternyata anak tersebut meniru ucapan temannya yang orang tuanya kebetulan sering cekcok. Bagi anak yang frekuensi keluar rumahnya amat sedikit lingkungan rumah menentukan kualitas dirinya.

Lingkungan sekolah bisa menjadi tantangan kedua. Bagaimanapun guru-guru di sekolah tidak akan mampu mengawasi anak didiknya setiap saat. Interaksi anak dengan teman.-temannya di sekolah, apabila tidak dipantau dari rumah, bisa berdampak negatif. Sehingga memilihkan sekolah untuk anak, sekarang ini menjadi hal yang harus diperhatikan oleh para orang tua Muslim.

Anak-anak Muslim yang menuntut ilmu di sekolah-sekolah umum kemungkinan besar akan dipengaruhi informasi sekuler yang akan merusak pola fikir dan akhlak mereka. Apalagi mereka yang menuntut ilmu di sekobh-sekolah Nasrani. Bahkan, bukan hanya akhlak yang terkena polusi, aqidah mereka pun sedikit demi sedikit akan goyah. Minimal yang keluar dari sana adalah anak-anak Muslim yang tidak lagi mengenal agamanya secara utuh. Dan ini jelas sangat berbahaya.

Media massa juga merupakan salah satu sumber tantangan yang sulit diantisipasi. Informasi yang dilemparkan media massa baik cetak maupun elektronik memiliki daya tarik yang amat kuat. Jika tidak ada pengarahan dan pengawasan dari orang tua, anak akan menyerap semua informasi itu tanpa terkendali. Para pendidik di negeni ini pernah gusar dengan acara-acara yang ditayangkan televisi. Bukan hanya acaranya tidak sesuai dengan usia anak, tapi juga jadwal acara yang seakan sengaja direkayasa agar anak lebih tertarik dengan TV ketimbang beribadah shalat dan belajar untuk sekolah esok hari.

Penelitian di Jerman menunjukkan bahwa televisi menimbulkan rasa malas. Tidak aneh bila guru-guru SD merasa cemas, ketika prestasi anak didik mereka menurun drastis, beberapa bulan Setelah RCT1 melepaskan dekodernya. Kedua bentuk tantangan ini memberikan gambaran, betapa usaha-usaha mendidik anak berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah tidaklah mudah. Namun demikian bukan berarti tidak ada jalan keluarnya.

4. Orang Tua Dan Peranannya Terhadap Anak

Meskipun banyak faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan seorang anak, orang tua tetap memegang peranan yang sangat dominan. Sebagaimana Sabda Rasul saw.:

Setiap anak dilahirkan dalam keadaan Fitrah. Kedua orang tuanyalah yang meyahudikannya, menashranikannya atau memajusikannya (HR. Bukhari).

Namun kenyataan menunjukkan, banyak keluarga Muslim yang tidak memahami seluk beluk pendidikan anak secara Islami. Kondisi ini tidak hanya dialami oleh keluarga miskin yang berpendidikan rendah, tapi juga terlihat pada keluarga berada yang berpendidikan tinggi.
Dalam mendidik anak, orang tua hendaknya bisa berperan sesuai dengan fungsinya. Masing-masing saling mendukung dan membantu. Bib salah satu fungsi rusak, anak akan kehilangan identitas. Pembagian tugas dalam Islam sudah jelas, peran ayah tidak diabaikan, tapi peran ibu menjadi hal yang sangat penting, dan menentukan. Kini, bagaimana caranya agar orang tua dapat mendidik anaknya secara Islami agar mampu menghadapi tantangan yang ada.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para orang tua Muslim dalam mendidik anak:

a. Orang tua sebaiknya memahami apa yang dimaksud dengan pendidikan anak dan tujuannya. Bila ini sudah di dapat, usaha-usaha untuk mendidik anak.
b. Banyak membaca buku dan bertanya. Buku-buku dan tulisan mengenai pendidikan anak memberikan informasi yang berharga bagi orang tua.
c. Memahami kiat mendidik anak secara praktis. Dengan demikian, setiap gejala dalam tahap-tahap pertumbuhan anak dapat ditanggapi dengan cepat.
d. Sebelum mentransfer nilai, kedua orang tua harus melaksanakan lebih dulu dalam kehidupan sehari-hari. Karena di usia kecil, anak-anak cenderung meniru dan merekam segala perbuatan orang terdekat.
e. Bersegera mengajarkan dan memotivasi anak untuk menghafal al-Qur’an.
Kegunaannya di samping sejak dini mengenalkan Yang Maha Kuasa pada anak, juga untuk mendasari jiwa dan akalnya sebelum mengenal pengetahuan lain.
f. Menjaga lingkunpn si anak, harus menciptakan bi’ah (lingkungan) yang sesuai dengan ajaran yang diberikan pada anak.

5. Penutup

Kompleksitas masalah pendidikan anak membutuhkan peran orang tua. Sudah saatnya para orang tua mulai berbenah agar dapat memberikan pola pendidikan yang terbaik buat anak-anaknya. Wallahu alam

Kamis, 04 Mei 2017

Mukminah Sejati, Cintanya Kepada Allah dan Rasulullah
 
Sesungguhnya Mukminah sejati itu adalah wanita yang sangat mencintai Allah dan Rasul-Nva. Dia dahulukan cintanya keada Allah dan Rasul daripada cinta kqada dirinya, anaknya atau manusia lain. Bagaimana tidak demikian, Sedangkan pandangan matanya tertuju pada sabda Nabi:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
 
Artinya: Tidak (sempurna) iman seseorang (kamu)) hingga aku (Nabi saw) lebih ia cintai dari anaknya, orang tuanya dan semua manusia (HR. Bukhari dan Muslim).

Dia mengerti bahwa cintanya kepada Allah dan Rasulullah dapat mengantarkannya pada kemanisan iman, sebagaimana sabda Nabi saw :

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا
 
Artinya: ada tiga hal yang manakala hal-hal tersebut ada (pada seseorang) ia akan mendapatkan kemanisan iman, Bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya……(HR. Bukhari dan Muslim).

Mukminah yang sejati itu akan menyerahkan dirinya. hartanva, anaknya yang merupakan permata hati dan segala yang dimilikinya untuk menolong agama Allah, meninggikan bendera Islam dari terlaksananya sunnah Nabi saw. Dia tidak ragu mengorbankan segala sesuatu di jalan tersebut.
Para Salafus Shalih adalah teladan yang baik dan contoh yang indah dalam sejarah cinta ejati berikut:

1. Di tengah perjalanan pulangnya Nabi saw. dari perang uhud menuju ke Madinah Munawwarah, orang-orang keluar Untuk mencari tahu keadaan Nabi saw. dan
luarganya yang ikut serta dalam peperangan itu. Di antara kerumunan orang-orang itu ada seorang wanita dari Bani, Dinar yang pada peperangan itu terbunuh ayahnya, suammya, saudara dan anaknya. Ketika orang-orang menyampaikan kematian mereka kepadanya. dia seolah-olah tidak memperhatikannya. Ternyata kekhawatirannya terhadap keadaan Nabi saw. Telah membuatnya lupa kepada setiap orang. Karena itu, ia pun bertanya kepada orang-orang yang menyampaikan berita ituu kepadanya: “Bagaimana keadaan Rasulullah. “Dalam keadaan baik, wahai Ummu Fulan, beliau alhamdulillah dalarn keadaan seperti yang engkau inginkan”, jawab mereka.

“Tunjukkanlah kepadaku di mana beliau, hingga aku dapat melihatnya”. Maka ketika ia melihat Rasulullah saw. dalam keadaan selamat, iapun berkata sambil menyebutkan musibah yang menimpanya berupa kehilangan ayah, suami, saudara dan anaknya: “Segala musihah, selain musibah yang menimpamu (Rasulullah) adalah remeh”.

2. Demikian pula tentang kisah Ummu Sa’ad adalah contoh yang mengagumkan, yang tumbuh dari rasa cinta yang agung kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebelum Rasulullah memásuki kota Madinah. datanglah Ummu Sa’ad bin Mu’adz sambil berlari ke arah Rasul saw. yang sedang berada di atas kuda sambil memegang pelananya. Berkatalah Sa’ad: ‘‘Ya Rasulullah, itu ibu saya”. “Selamat datang untuknya”, Jawab Nabi saw. Lalu beliau berhenti. Ketika ibu itu mendekati Rasul, beliau saw. mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya putranya yang bernama Amar bin Mu’adz yang syahid pada peperangan Uhud itu. Padahal ia baru berusia 32 tahun.

Maka jawab ibu itu: “Adapun apabila aku melihatmu dalam keadaan sehat dan selamat, maka terlepaslah musibah itu”. Nabi saw. kemudian memanggil para keluarga yang terbunuh di medan Uhud dan berkata kepada Ummu Sa’ad: “Bergembiralah engkau, dan berilah kabar gembira ini kepada keluarga-keluarga mereka, bahwa orang-orang yang terbunuh di antara mereka akan saling bertemu di dalam surga dan dapat memintakan syafàat bagi keluarga mereka”.
Ibu itu berkata: “Kami rela ya Rasulullah, maka siapakah yang hendak menangisi mereka (orang-orang-orang mati) sesudah mendengar berita ini)

3. Inilah kisah Ummu Sulaim yang ikut dalam peperangan Hunain bersama Rasulullah saw. Dia membawa khanjar (belati bermata tiga) yang diikatkan pada pinggangnya, padahal saat itu ia sedang mengandung putranya yang kemudian diberi nama Abdullah bin Abi Thalhah. Maka mengadulah suaminya, Abu Thalhah kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah, Ummu Sulaim (istrinya) membawa khanjar”. Segera Ummu Sulaim menjawab: “Ya Rasul Allah, saya membawanya dengan tujuan, jika ada salah seorang musyrikin mendekatiku, aku akan tikam perutnya. atau aku akan bunuh para tawanan yang melarikan diri. atau aku akan pukul tengkuk-tengkuk orang yang melarikan diri daripadamu”. Maka tersenyumlah Rasul saw. dan berkata: “Wahai Ummu Sulaim, sesungguhnya Allah telah mencukupkan (pahalamu) dan membaguskan (amalmu)”.

4. Dan juga kisah Nusaibah binti Kaab al-Mazaniyah yang pergi bersama tentara Muslimin pada perang Uhud untuk memberi minum tentara yang kehausan dan mengobati orang yang terluka. Dia adalah salah seorang tokoh wanita dalam perang itu. Dia tiba-tiba muncul untuk membantu kaum Muslimmn dengan memalingkan wajahnya, dia serahkan pedang-pedang’ orang musyrik. Dia sangat bersemangat menghabisi musyrikin itu, menikam mereka, sehingga mereka lari tunggang langgang dan mundur ke belakang kecuali hanya tinggal kira-kira sepuluh orang yang mendesak Rasulullah saw. Mereka berputar-putar mengelilingi Nabi saw. namun tidak dapat mencapai beliau.

Di sinilah datang kesempatan bagi Nusaibah (Ummu lmarah). lapun menghunus pedangnya dan memasang busurnya, lalu menyerbu dan berputar-putar di hadapan Rasulullah. Dia lepaskan anak panah, dan memainkan pedangnya. Padahal di sekelilingnya ada tokoh-tokoh terkemuka yang tetap bertahan, yaitu: Ali, Abu Bakar. Umar, Sa’ad, Thalhah, Zubair, Abbas, suami dan anaknya sendiri. Nusaibah seorang wanita dan kaum yang paling berpengaruh dan punya ketegasan sikap. Dia tidak dapat melihat bahaya yang mendekati Rasulullah saw melainkan ia berusaha menghalangi dan membantu mengalihkannya.)

Lalu, adakah dan wanita-wanita kita yang dapat menggantikan kedudukan Ummu Imarah, Ummu Sulaim, Ummu Sa’ad dan wanita-wanita seperti mereka? Adakah di antara wanita-wanita kita di zaman sekarang ini yang membela agamanya, mempertahankan aqidahnya dan membela kekasihnya, Muhammad saw dari serangan-serangan musuh yang diarahkan kepada beliau?
Dia membela dan memperjuangkannya baik dengan ucapan, dengan tulisan dan lain-lain. Adakah di antara wanita-wanita kita yang melakukan hal tersebut? Adakah di antara wanita-wanita kita yang menjadi sebaik-baik penolong bagi orang tuanya, suaminya saudara-saudaranya, baik yang wanita atau yang pria, ataupun anak-anaknya untuk berda’wah kepada (ajaran) Allah, menghadiri majlis ilmu dan halaqah dzikir yang penuh berkah. Atau memotivasi mereka agar bersabar di medan da’wah ini serta mencurahkan waktu, tenaga, kedudukan dan harta mereka dalam bidang ini.

(Dari buku Shifat Mukminah Shadiqah-Silsilah Nashaih Muhimmah Linisa’ al-Ummah).

Kamis, 16 Maret 2017

Bahaya Nusyuz Dalam Rumah Tangga

Dalam menempuh hidup berumah tangga, selalu dihadapkan berbagai masalah yang memerlukan pemecahan. Masalah-masalah yang terjadi dalam keluarga hendaknya dipecahkan dan diselesaikan dengan baik oleh anggota keluarga terutama suami dan istri.
Oleh karena itu, agar tidak teradi perselisihan dan permusuhan di antra anggota keluarga, maka masing-masing harus menginsafi diri sebagai anggota keluarga yang memiliki kewajiban-kewajibannya. Mereka harus menunaikan hak dan kewajiban sebagaimana mestinya. Khususnya bagi suami dan istri, mereka dituntut urituk memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Islam agar tidak terjadi nusyuz di antara mereka. Nusyuz merupakan perbuatan dosa yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya dan istri pada suaminya.

Pengertian Nusyuz

Nusyuz menurut arti asal adalah tempat atau dataran yang tinggi. Kemudian kata tersebut digunakan sebagai istilah kedurhakaan di antara suami-istri. Seorang istri yang tidak patuh terhadap suaminya serta tidak menaati kewajibannya, dan suami tidak menaati hak dan kewajibannya, maka ini merupakan perbuatan nusyuz. Tegasnya, apabila Istri atau suami melanggar hak dan kewajibannya, maka mereka telah berbuat nusyuz.

lbnu Atsir mengatakan: “Telah (sering) diulang dalam hadits (tentang) penyebutan nusyuz diantara suami istti, seperti dikatakan (contoh), Na syazalil Mar’ah Ala Jauziha (seorang perempuan berbuat nusyuz terhadap suaminya)’. Maka Ia telah berbuat nusyuz, yaitu apabila ia maksiat terhadap (suami)-nya dan keluar dari ketaatannya. Dan dikatakan pula, Na syaza alaiha Zaujuha (suaminya berbuat nusyuz terhadap istrinya)’. Yaitu apabila ia berbuat kasar terhadap istrinya dan memukulnya”. (An Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, V: 55-56).

Oleh karena itu Islam melarang perbuatan nusyuz. Karena salah satu dampak daro perbuatan nusyuz ini dapat menghancukan tatanan hidup berumah tangga. Bahkan lebih dari itu, perbuatan ini juga dapat menyebabkan perceraian.

Nusyuz dari Pihak Istri
Posisi istri dalam keluarga mempunyai hak dan kewajiban yang mesti ditunaikan. Apabila Ia mampu menunaikan hak dan kewajiban sebagaimana mestinya, maka Ia termasuk istri shalihah. Tetapi scbaliknya, kalau ía melangar dan tidak mematuhi kewajibannya, maka ia termasuk istri yang nusyuz dan durhaka. Istri yang shalihah serta taat adalah yang patuh dan tunduk terhadap Allah dan Rasul-Nya, serta taat terhadap suaminya selama tidak memerintah maksiat. Ia mampu memelihara diri dari ucapannya, mampu menjaga harta suami dan anak-anaknya, serta mampu merahasiakan aib keluarganya.

Allah swt. menjanjikan pahala yang besar atas istri yang shalihah dan taat kepada Allah, Rasul-Nya, dan suaminya.

Dari sahabat Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik wanita adalah apabila kamu (suaminya) melihatnya menggembirakanmu, apabila engkau memerintahnya ia menaatinya, dan apabila ia tidak ada di hadapanmu, Ia selalu memelihara (kehomatanmu dan dirinya, serta hartamu”. Kemudian Rasulullah saw. membacakan ayat, “Arrijalu qawwamuna ... .(HR. Al-Baihaqi dan Ibnu Jarir).

Adapun istri yang nusyuz (durhaka) adalah mereka yang melalaikan hak dan kewajibannya, takabur (sombong) terhadap suaminya, dan murka terhadapnya. Apabila suami merasakan atau melihat tanda-tanda nusyuz dari istrinya maka ia harus meluruskan serta mendidiknya. Sebagaimana termaktub dalam ayat:

Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka Janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesunggguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. an-Nisa 34).

Ayat ini sebagai pelajaran bagi suami tentang cara-cara mendidik istri yang nusyuz. Bagi seorang suami yang diperlakukan nusyuz oleh istrinya, Ia harus mendidiknya dengan cara-cara sebagai berikut:
a. Memberi peringatan dan nasihat yang dapat mempengaruhi dirinya. Misalnya suami memberi peringatan agar taqwa kepada Allah, agar takut terhadap ancaman siksaan-Nya, serta mengingatkan kepadanya akibat yang akan dialaminya di dunia dan di akhirat. inilah yang dimaksud firman Allah: ‘Faidzhunna (nasihatilah oleh kamu)”.

b. Kalau dengan cara yang pertama tidak berhasil, maka ditempuh dengan cara yang kedua yaitu, suami harus memisahkan diri dari tempat tidur istrinya, atau tidak mengajak bicara tapi jangan lebih dari tiga hari. Dan cara ini adalah yang dimaksud oleh Firman-Nya: “Wahjuruhunna Fil ,Madhaji (dan pisahkanlah mereka dari tempat (tidur mereka)”.

Namun dalam melakanakan cara yang kedua ini ada batas-batas tententu yang perlu diketahui. Misalnya suami tidak boleh berlebihan ketika memisahkan dirinya sampai dl luar rumah. Karena sehubungan dengan ini ada hadits yang menerangkan:

Dari Muawiyah bin Haidah al-Kusyairi, bertanya kepada Nabi saw, : “Ya Rasulullah, apa saja hak istri kami yang harus dipenuhi?’ Beliau menjawab: “Memberinya makan, memberi pakaian, tidak memukuli wajahnya, tidak mencelanya, dan tidak memisahkan diri dari mereka kecuali di rumah. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ath Thabrani).

Mudah-mudahan perbuatan ini dapat menjadi dorongan terhadap istri sehingga Ia benar-benar sadar akan tindakannya. Tapi kalau dengan cara yang kedua ini tidak bermanfaat, maka ditempuh cara selanjutnya.

c. Suami dibolehkan mukul istrinya. kalau kebal dengan cara-cara yang pertama dan kedua. Tentunya memukul disini bukan bertujuan untuk melampiaskan nafsu suaminya melainkan sekedar didikan dan peringatan atas mereka. Sehingga Rasulullah saw. melarang seorang suami memukul istrinya dengan pukulan yang menyakitkan:

Rasulullah bersabda: Jika mereka melakukan hal tersebut(Maksiat), maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan”. (HR. Muslim).

Para ulama di kalangan sahabat yang di antaranya lbnu Abbas dan Atha bin Yasar berpendapat bahwa pukulan yang tidak menyakitkan itu dengan siwak (sejenis sikat gigi), Sedangkan Qatadah mengatakan: Pukulan yang tidak menyakilkan itu yang tidak membuat cedera.

Selain itu, dalam menjalani cara yang ketiga ini yang mesti diperhatikan adalah tidak boleh memukul Wajah. Sebab Rasulullah saw. ketika ditanya tentang apa saja hak seorang istri atas suaminya, maka beliau menjawab: Memberinya makan, memberi pakaian, tidak memukul wajahnya, tidak mencelanya , dan tidak memisahkan diri dari mereka kecuali di rumah. (HR. ath-Thabari).

Dalam hadits ini diterangkan bahwa Rasulullah saw. melarang memukul wajah. Sebab, wajah merupakan mahkota dan kecantikan wanita. Yang dimaksud dengan pukulan yang tidak menyakitkan disini bukan disebabkan oleh alat pemukulnya, melainkan cara pukulan yang mengakibatkan Si istri sakit hati. Tepatnya, segala bentuk dan cara pukulan yang menyebabkan sakit semuanya dilarang. Sekali lagi, bahwa ketiga cara Untuk menyadarkan istri di atas bukan bertujuan untuk mendiskriminasikan kaum wanita, melainkan salah satu metoda pengobatan dan didikan agar Si istri itu sadar dan taqwa kepada Allah swt. Serta harus disadari bahwa hukum syari’at Islam itu tidak lepas dari kemaslahatan bagi manusia sendiri. Namun demikian, sekalipun memukul itu dibolehkan, tetapi yang tidak memukul itu lebih baik. Karena ada hadits yang menerangkan: “Orang-orang (suami) yang baik di antara kamu adalah yang tidak pernah memukul istrinya”.

d. Apabila dengan ketiga cara di atas masih juga tidak berpengaruh, maka ditempuh çara yang terakhir yaitu dengan mengadakan perdamaian. Di antara keduanya dituntut untuk mendatangkan juru pendamai baik dari kalangan saudaranya, karib kerabatnya, atau orang luar. Karena yang menjadi pokok dengan diadakan juru pendamai ini agar diketahui celah-celah kesalahannya, kemudian persoalan-persoalan yang terjadi dapat diselesaikan dengan baik dan mendatangkan kemaslahatan.
Walaupun yang menjacli juru pendamai ini boleh siapa saja, tetapi anggota keluarga atau karib-kerabat lebih diutamakan. Sebab merekalah yang lebih tahu tentang keadaan keduanya, dan tentunya mereka pun harus dipilih orang yang sekiranya dapat menjaga rahasia atau aib keluarga suami istri tersebut, yaitu tidak menyebarluaskan kepada orang lain. Cara keempat ini adalah yang dimaksud oleh firmàn Allah:

Dan jika kamu khawatir ada perselisihan di antara keluarganya, maka utuslah seorang juru pendamai dari pihak keluarga laki-laki dan seorang lagi dari pihak istri. Apabila kedua juru pendamai itu mengadakan islah (perdamaian), maka Allah swt. akan memberi taufik kepada keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. an-Nisa’ 35).

Selanjutnya, apabila istri sudah taat pada suaminya dengan salah satu cara-cara yang tersebut di atas, maka suami tidak boleh mencari-cari jalan (celah-celah) untuk menyulitkan mereka. Tepatnya, bila dengan cara yang pertama berhasil dan bermanfaat, maka jangan dilakukan cara yang kedua dan seterusnya.

Nusyuz dari Pihak Suami
Suami yang nusyuz adalah bersikap keras terhadap istrinya, tidak mau menggaulinya, dan tidak menunaikan hak-haknya. Dalam hal ini Allah swt. menjelaskan:

Dan jika seorang wanita khawatirkan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebth baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. an-Nisa’ 128).

Konteks ayat ini menjelaskan bahwa apabila seorang istri mengetahuli atau merasakan nusyuz dari suaminya, hendaklah keduanya mengadakan perdamaian. Misalnya istri bersedia dikurangi beberapa haknya asalkan suaminya mau sadar dan taqwa kepada Allah. Tentang sebab nuzul ayat ini ada sebuah hadits yang mengisahkan:

Siti Aisyah menerangkan: ‘Ada searang laki-laki yang mempunyai istri dan ia sudah tidak banyak menginginkan darinya (kecintaan, pergaulan, dan kewajbannya). Ia hendak menceraikannya. lalu istrinya berkata: ‘Aku berikan kebebasan kepadamu dari hak-hak saya (berupa nafkah, pakaian, atau mas kawin,. maka turunlah ayat di atas tentang kejadian ini”. (HR. Baihaqi).

Oleb sebab itu, laki-laki atau suami yang baik dan shalih adalah yang tidak menyusahkan istrinya dengan cara mengambil kembali haknya yang sudah diberikan, kecuali kalau mereka melakukan pekerjaan keji dan maksiat. Serta suami yang shalih itu yang menggauli istrinya dengan baik dan benar menurut ketentuan syari’at. Kemuliaan dan keshalihan seorang istri pun dapat dilihat dan diperhatikan dari kehormatan suaminya.

Rasulullah menegaskan: Tidak ada yang dapat memuliakan istri-istri melainkan laki-laki yang mulia, dan tidak ada yang menghikannya kecuali laki-laki yang hina. (Fiqus Sunnah, II; 160).

Seorang suami yang mampu memuliakan istrinya adalah sebagai ciri kesempurnaan pribadinya yang baik. Sedangkan suami yang menghinakan istrinya merupakan ciri kerendahan dan hina pribadinya. Wallahu a’lam

Rabu, 01 Maret 2017

Fathimah Az Zahra, Sosok Keteladanan Wanita Muslimah

Peristiwa masa lalu adalah penggalan dari sejarah perjalanan kehidupan ummat manusia. Berbagai jejak telah ditapaki oleh manusia-manusia yang punya peran dalam hidupnya. Sosok dari seseorang yang telah menggoreskan namanya di pentas sejarah. kadang pantas kita ambil lbrahnya sebagai landasan pembentukan syakhshiyah diri kita. Figur-figur generasl awal dalam arti yang mengalami dan menerima langsung tarbiyah dari Rasulullah adalah sebuah pribadi yang mengagumkan dan pantas kita ambil sebagai tolak ukur prilaku kita selanjutnya.
Fathimah az-Zahra. putri Rasulullah, adalah salah satu sosok wanita yang pantas kita jadikan suri teladan bagi perjalanan hidup wanita Muslimah. Sebagai putri Rasul. dia tahu dan mengerti akan apa yang seharusnya dia lakukan, yaitu memberikan contoh bagi orang lain. Kezuhudannya. ketabahannya dan pengabdiannya kepada suami telah menjadikannya sebuah generasi yang paling berkualitas yang pernah dlsaksikan oleh ummat manuisia.

Kehidupan Masa Kecil Sebagai Putri Rasulullah
Fäthimah dilahirkan dan dibesarkan dalam rumah tangga Rasulullah di bawah pengayoman seorang bapak yang lembut dan Ibu yang penuh kasih sayang dan cinta yang murni,
Putri bungsu Rasulullah ini hadir di tengah masyarakat yang sedang mendewakan kchadiran anak laki-laki. Dia lahir kurang lebih lima tahun sebelum Bi’tsah. Bertepatan dengan kesempatan emas yang diberikan kaum Qurays kepada ayahnya, scbagai hakim untuk menyelesaikan persengketaan soal Hajar Aswad.

Masa kanak-kanak Fathimah ditakdirkan Allah pada salah satu periode da’wah Islamiyah yang penuh cobaan dan ujian. kedua orang tuanya banyak mendapatkan tantangan dan godaan.
Ketika penduduk Makkah dan sekitarnya digemparkan oleh kenabian ayahnya. Muhammad saw. dia masih berusia lirna tahun. Peristiwa yang menggoncangkan masyarakat itu mengalihkan perhatiannya dari soal-soal yang menjadi kepentingannya sendiri kepada masalah yang sedang dihadapi ayahnya. Anak seusia tersebut oleh keadaan telah dihadapkan pada benturan hebat dan pertarungan sengit antara kekualan paganisme (keberhalaan) yang sudah mengakar
dalam pikiran-pikiran manusia seama berabad-abad. dengan agama baru yang mulai tumbuh.

Suatu pertarungan yang tak kenal henti antara ajaran Allah dan Rasul-Nya dengan kepercayaan nenek moyang bangsa Quraisy walaupun Fathimah sebagai anak-anak masih layak bermain. namun dari hari ke hari dan setapak demi setapak Ia terbiasa menyakslkan ketegangan suasana Makkah yang makin panas. Lama kelamaan Ia merasakan jalannya proses perubahan yang terjadi sekitar kehidupan keluarganya, dan akhirnya secara tidak sadar Ia rneninggalkan kebiasaan yang lazim pada anak-anak. Kehidupan ayah dan ibunya mempercepat kesanggupannya menghadapi hal-hal baru yang memberatkan pundaknya. Allah menghendaki agar dia dapat menempati kedudukan semestinya sebagai putri seorang nabi. Dia turut merasakan kesendirian dan keterpencilan ayahnya dari masyarakat Quraisy.

Sebelum bi’tsah kenabian ayahnya Ia tidak pernah merasakan kehidupan terpencil seperti yang dialami keluarganya setelah bi’tsah. Akan tetapi keterpencilan keluarga Rasulullah dari masyarakat Quraisy yang bathil itu sesungguhnya adalah kebebasan. Kebebasan dari kepercayaan buta kekabilahan serta kebebasan dari segala yang memerosotkan martabat manusia.
Ia meninggalkan teman-teman sebayanya mengikuti ayahnya ke dalam kancah perjuangan menghadapi musuh-musuh kebenaran Allah. Ia selalu menyertai ayahnya pergi mendatangi tempat-tempat orang Quraisy berkumpul dan mengajak mereka berteman kepada Allah dan meninggalkan keberhalaan. Pada saat itu Fathimah menyaksikan sendiri penghinaan dan kejahatan apa saja yang dilakukan oleh kaum musyrikin Quraisy terhadap ayahnya. Ketika pada suatu saat dia bersama ayahnya dikeroyok oleh mereka yang kemudian datang Abu Bakar menolongnya dengan merelakan tubuhnya dijadikan pelampiasan kemarahan orang Quraisy. Peristiwa lain yang membuat hatinya makin pedih dan merasakan kepedihan hati ayahnya adalah ketika pada suatu hari ayahnya sedang bersujud di Ka’bah. Ketika itu datanglah Uqbah bin Abi Mu’ith membawa kotoran sembelihan binatang kemudian menaruhnya di atas punggung beliau. Rasulullah diam tanpa mengangkat kepala sehingga Fathimah datang membersihkannya.

Perkawinan Fathimah Dengan Ali bin Abi Thalib

Perkawinan Fathimah. putri bungsu Rasulullah saw ini merupakan sebuah contoh yang ideal tentang sikap seorang Muslimah dan sekailgus pelajaran yang paling berharga bagj wanita Islam. Sebagai seorang putri Rasul, Ia tidaklah menuntut mahar yang tinggi sebagaimana tradisi masyarakatnya
pada waktu itu. Ia kawin dengan Ali karena agama. prinsip dan ketulusan, bukan karena harta dan kekayaan serta kepentingan dunia. Mereka kawin dengan mahar yang sederhana mengenyampingkan nilai materi dan mengutamakan nilai kemanusiaan. Ketika Ali meminang Fathimah. Ia bukanlah seorang saudagar kaya melainkan hanyalah seorang pejuang yang terkenal gagah berani. Sebagati mas kawinnya. Ia menjual baju besinya kepada Ustman bin Affan seharga 480 Dirham. Mahar Itu sangat sederhana. tapi justru ltulah yang menambah kemuliaan Fathimah serta memantapkan prinsip Islam bagi wanita Muslimah, di samping memberi pelajaran untuk menyelesaikan suatu persoalan yang cukup pelik yang dihadapi masyàrakat dalam masalah perkawinan. yaitu problema mahalnya mahar dan bangga akan hal Itu.

Kehidupan Rumah Tangga Fathimah Putri Rasulullah

Perjalanan hidup yang panjang dan penuh tantangan telah menjadikan Fathimah sebuah sosok pribadi yang punya ketahanan mental yang cukup kuat. Sebagai seorang putri nabi. dia tak pernah sekalipun berlebih-lebihan dalam mendapatkan kesenangan dunia. Kezuhudannya dalam mengonsumsi dunia pantas kita ambil sebagai Ibrah buat kita. Perkawinan dan bangunan rumah tangga yang pondasinya diletakkan sendiri oleh Rasulullah Itu seakan memang sengaja dlsiapkan untuk potret sebuah keluarga sakinah yang penuh cinta dan kasih sayang dan sekaligus contoh keluarga yang syarat dengan perjuangan.

Kehidupan Fathirnah bersama suaminya, Ali bin Abi Thalib demikian rukun. serasi dan saling mencintai dan penuh pengertian meskipun nasibnya jauh berbeda dibanding dengan kakak-kakaknya bila dltinjau dari pemenuhan materi. Akan tetapi dari segi kerohanian dan ilmu pengetahuan. Ia memperoleh keberuntungan yang luar biasa. Antara lain berkat bimbingan suaminya yang sanggup dan mampu menerapkan ajaran-ajaran Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari. Ali bin Abi Thalib sebagai seorang keluarga Rasul yang telah banyak menimba ilmu dari beliau.

Fathimah pindah ke rumah suaminya bukan mendapat kasur empuk dan perkakas rumah tangga yang mewah, melainkan beberapa lembar kulit kambing. bantal terbuat dari serabut kurma. dua buah batu gilingan gandum dan dua buah wadah air. Untuk meringankan pekerjaan rumah tangganya yang berat seperti menggiling gandum, mencuci pakaian dan lain sebagainya, Ia tidak mampu membayar seorang pembantu. Semua pekerjaan ditanganinya sendiri. Kadang bila ada kesempatan suaminya membantu mengerjakannya.

Sejarah telah mengungkapkan kepada kita gambaran kehidupan sebuah keluarga yang unik. Anggota keluarga tersebut terdiri dari Fathimah dan suami serta beberapa orang anak. Keluarga ini hidup di bawah naungan Rasulullah. Pernah dikisahkan bahwa beliau datang ke rumah Fathimah, waktu itu Ia sedang menggiling gandum sambil menangis. Tatkala Rasulullah melihat. beliau bersabda: “Wahai Fathimah. tabahlah menghadapi kepahitan dunia sekarang demi kesenangan akhirat besok”. Pada kesempatan lain beliau juga datang ke rurnah Fathimah. saat itu Ia sedang menggiling gandum dengan suaminya. Ali. lalu Rasulullah berkata: “Siapa diantara kalian yang akan saya gantikan?’ Ali menjawab: Fathimah, karena Ia terlalu capai”. Kemudian Fathimah berdiri dan digantikan oleh Rasul.

Di samping itu terdapat bentuk lain yang diungkapkan sejarah tentang kepahitan kehidupan keluarga Fathimah. Dalam suatu riwayat; ketika Rasul saw. dan jamaah di masjid menunggu Bilal untuk adzan, Bilal datang terlambat, kemudlan Rasulullah bertanya: “Apa yang membuatmu terlambat wahai Bilal? Bilal menjawab: Saya melihat Fathimah menggiling gandum. sementara Hasan di sampingnya menangis. lalu saya katakan padanya ‘Mana yang kamu sukai. kalau kamu mau saya yang menggendong anakmu atau saya menggiling gandum’. Fathimah berkata Saya kasihan terhadap anak saya. Maka saya menggantikannya menggiling gandum. itulah yang membuat saya terlambat. Kemudlan Rasul bersabda: “Mudah-mudahan Allah memberkahinya dan memberkahimu.

Fathimah, Cermin Pengabdian Istri Shalihah

Dari Abu Warad bin Tsamamah berkata. Ali berkata kepada lbnu A’bad, “Maukah saya ceritakan tentang saya dan Fathimah binti Rasulullah saw. yang dirinya adalah anggota keluarga yang paling dicintai Rasulullah saw. Saya berkata: Tentu. Ali berkata; Ia menggiling tepung sampai membekas di tangan, Ia mengambil air dengan geraba hingga membekas di pundaknya. dan Ia menyapu rumah hingga bajunya berdebu. Suatu ketika Rasulullah dihadiahi pembantu oleh seseorang. Maka saya berkata kepada Fathimah: “Bagaimana kalau engkau datang menemui ayah. meminta pembantu”. Maka berangkatlah Ia menemui Rasulullah saw. akan tetapi Ia mendapatkan beliau dalam keadaan sibuk. Ia pun kembali. Esok harinya datanglah Rasulullah saw. kepadanya seraya berkata “Engkau perlu apa wahai Fathimah” Ia terdiam. Maka aku katakan: ‘Wahai Rasulullah, saya yang akan menyampaikannya. Ia menggiling tepung hingga membekas di tangannya. mengambil air dengan geraba hingga membekas di pundaknya. Ketika ada pembantu datang, saya menyuruhnya agar datang kepada engkau ya Rasulullah. untuk meminta pembantu ituu agar Ia tak mengerjakan pekerjaan berat yang selama ini Ia kerjakan.

Ia (Rasulullah saw.) berkata “Bertaqwalah kepada Allah wahai Fathimah, tunaikan kewajiban Rabbmu. kerjakan tugas rumah tanggamu. dan tatkala engkau metetakkan tubuhmu (mau tidur) bacalah tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, dan takbir 33 kali. semua berjumlah seratus dan itu lebih baik dari seorang pembantu (bagimu)”. Fathimah berkata: Saya ridha kepada Allah dan Rasul-Nya dan tidak perlu lagi seorang pembantu. Demikianlah sikap seorang istri shalihah. putri seorang manusia mulia. pemilik keturunan suci dan terhormat sekailgus pemimpin ummat, bersabar dalam melayami suami, betapapun beratnya. Tidak pernah marah dan mengeluh. tidak sombong dan tinggi hati. Ia melayani suami dengan tangannya sendiri. Tidak menuntut menyewa pembantu yang akan menambah beban suami dan menyulitkan hidupnya.

Demikianlah sekilas tentang perjalanan hidup Fathimah, putri bungsu Rasulullah saw. Sebagai seorang putri Rasul. Fathimah mampu menjalankan perannya untuk dijadikan figur bagi kaumnya. Baik sebagai seorang remaja. maupun sebagai seorang istri sekaligus sebagal ibu dan pendidik bagi putra putrinya. Perjalanan hidupnya penuh dengan kisah-kisah menarik yang mencerminkan pengabdiannya dalam menggapai ridha-Nya. Wallahua’lam.
Zainab Binti Jahsy, Wanita shalihah yang bertaqwa, jujur dan meyakini kebenaran agama


Ummul Mu’minin Zainab Binti Jahsy bin Rabab, bin Ya’mar adalah anak dari Umaimah binti al-Muthalib, bibi Rasullulah. Dulunya dia bernama Barrah, setelah diperistri Rasulullah maka beliau mengganti dengan nama Zainab.

Ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ketika Rasulullah saw. meminang Zainab untuk Zaid bin Haritsah. bekas budak Rasulullah sekaligus kesayangan beliau, maka Zainab dan keluarganya tidak menyukai pinangan tersebut. Zainab berkata: “Aku tidak ingin menikah dengannya’. Mungkin hal itu sangatlah wajar, karena Zainab adalah seorang wanita yang berparas cantik lagi berdarah bangsawan, sementara Zaid hanyalah seorang bekas budak, meskipun pada saat itu Rasulullah telah mengangkat sebagai anak angkat.

Mendengar ucapan Zainab. Rasulullah tetap menegaskan agar Zainab tidak menolak diperistri Zaid. Hanya Allah yang tahu akan sikap Rasulullab tersebut. Ternyata, tatkala keduanya masih terlibat dalam pembicaraan hal itu, turunlah firman Allah yang berbunyi: 

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Artinya“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mu‘min dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mu’minah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata”(QS. al-Ahzab 36)

Dengan turunnya ayat tersebut menyadarkan Zainab. Kemudian ia pun menikah dengan Zaid sebagai perwujudan ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Sikapnya yang luhur telah mencerminkan keteguhannya dalam melaksanakan syari’at Islam, yang sekaligus menunjukkan kecerdasan dalam menentukan suatu sikap yang amat terpuji dan mampu menepis hawa nafsunya uñtuk memandang nasab dan kedudukan. Pernikahannya Dengan Rasulullah Kendati Zainab telah menjadi istri Zaid, kehidupan suami istri itu, sama sekali tidak harmonis. Zainab sukar melupakan kemuliaan dirinya sebagai wanita berdarah bangsawan. perbedaan di antara keduanya, tetap menjadi perenggang kehidupan suami istri tersebut. Sampai akhimya ketika dirasakan ikatan pernikahan itu tidak bisa dipertahankan lebih lama lagi, pergilah Zaid kepada Rasulullah saw. mengadu dan meminta idzin untuk menceraikan Zainab. Rasulullah menasehatinya: Tahanlah istrimu dan takutlah kepada Allah”. Perceraian Zaid dengan Zainab yang telah beliau usahakan agar tidak sampai terjadi, bahkan beliau berularig-ulang menyuruh Zaid supaya mempertahankan istrinya dan lebih bersabar lagi, terbukti tidak dapat dicegah lagi. Tiada kekuatan apapun yang dapat merintangi terjadinya sesuatu yang telah dikehendaki Allah.
Di balik peristiwa tersebut, ternyata Allah menghendaki agar Rasulullah menjadi orang pertama yang mendobrak tradisi jahiliyah yang mengharamkan pernikahan dengan bekas istri anak angkat. Sebagaimana dalam Firman-Nya: 
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ ۖ فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا ۚ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا

Artinya : “Dan ingatlah, ketika kamu berkata kepada orang yang telah Allah limpahkan ni’mat kepadanya, “Tahanlah terus istrimu dan bertawakallah kepada Allah’, Sedang kamu menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakan-Nya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang Mu’min untuk (mengawini) Istri-Istri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi “(QS. al-Ahzab 37).

Demikianlah, Zainab pada akhirnya diperistri oleh Rasulullah saw. setelah habis masa iddahnya, Allah menikahkan Zainab dengan Rasulullah, dengan ketentuan dalam kitab-Nya, tanpa wali dan tanpa saksi. Allah telah menikahkanku dari atas langit yang ketujuh”. Demikianlah ungkapnya.

Mu’minin Yang Penyayang dan Tekun Beribadah

Sebagal Istri Rasulullah, Zainab binti Jahsy telah menampilkan sosok wanita yang shalihah. Setidaknya itulah yang digambarkan Aisyah ra.: °Aku tidak pernah melihat seorang perempuan yang keyakinan agamanya lebih baik daripada Zainab. Demikian juga ketaqwannnya kepada Allah, kesungguhan kata-katanya, keberatan hubungan persaudaraannya dan banyaknya shadaqah yang dinfaqkannya. Ia bekerja keras untuk dapat bershadaqah dan lebih mendekatkan diri kepada Allah Azza wajallah”.
Ketika Aisyah ra, mendengar berita tentang kematian Zainab denqan sedih ía berucap: “ wanita terpuji dan tekun beibadah telah pergi ,Dialah tempat bernaung bagi anak-anak yatim dan kaum janda”. Dengan tangannya sendiri, Ia ukan pekerjaan apa saja agar dapat bershadaqah kepada kaum fakir miskin. Ia menyamak dan menjahit, hasilnya diinfaqkan di jalan Allah.

Penutup 

Sebuah figur istri Rasulullah yang pantas kaum muslimah contoh. Sosok wanita shalihah yang begitu taat pada ketetapan Allah dan Rasul-Nya, sehingga dengan semua itu Allah memberikan dia sebuah ni’mat yang tidak semua orang bisa mendapatkannya. Allah menikahkannya dengan Rasulullah, manusia pilihan-Nya, sehingga menjadikan dia wanita yang utama di antara kaumnya. Di sisi lain, dia masih senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada Allah. Dengan daya upayanya yang dapat dia kerjakan, tekatnya untuk berinfaq mendorong dia untuk terus berkarya demi membantu fakir miskin.

Minggu, 26 Februari 2017

Ummu Salim

Di zaman Jahiliah Ummu Salim menikah dengan Malik Ibnu Annadhar Annajjari. Dan perkawinan itu ia memperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama Anas. Setelah Allah swt. mendatangkan Islam Ummu Salim memeluk agama baru itu bersama-sama dengan orang-orang Anshar yang pertama-tama masuk Islam. Sebagai seorang yang beriman ia berhasrat untuk menyiarkan da’wah Islam dan sebagai seorang istri ia menginginkan kebajikan bagi suaminya. Tetapi pada diri suaminya bergejolak nafsu sombong jahiliah. Laki-laki itu marah menolak mentah-mentah ajakan istrinya, kemudian meninggalkan istrinya. pergi ke negeri Syam. dan tewas di sana.

Ummu Salim lalu berketetapan dalam hati: Aku takkan kawin lagi sebelum Anás dewasa serta menghadiri majlis-majlis. Itulah yang menjadikan Anas kemudian berkata: “Semoga Allah swt. membalas budi baik ibunya itu dengan kebaikan. sesungguhnya beliau telah berb uat baik selama mengasuhku”.
Kemudian pada suatu hari datanglah Abu Thalhah melamar Ummu Salim, padahal ketika itu Abu Thalhah masih musyrik. Berkata Abu Thalhah kepadanya: “Nah. kini Anas telah menghadiri majlis-majlis dan ikut pula berbicara”. Ummu Salim menjawab: “Hai Abu Thalhah. sesungguhnya aku suka kawin dengan kau. Orang seperti anda ini tak pantas ditolak lamarannya. Tetapi patut disayangkan anda seorang kafir, sedang aku seorang Muslimah. Tidak dibolehkan aku kawin dengan anda”. Berkatalah Abu Thalhah dengan penuh keheranan: “Mengapa tidak’?” Lalu tambahnya: “Hendak kau campakkankah emas dan perak”?

Dengan penuh keyakinan Ummu Salim menjawab: “Aku tidak menghendaki emas dan perak. Anda seorang yang menyembah sesuatu yang tidak dapat mendengar, tidak dapat melihat dan tidak dapat menolong anda sedikitpun. Tidak malukah anda. hai Abu Thalhah, anda menyembah sebungkah kayu yang tercabut dari akarnya dari bumi. Masuklah dan peluklah Islam. dan itulah maskawin yang kumintà. Tidak kuminta mas kawin yang lain. Terkena oleh kata-kata yang meluncur dengan penuh perasaan dan keimanan ini, tergoncanglah nilai-nllai yang selama ini dipegang Abu Thalhah, lalu berubahlah arahnya. Tiada jalan lain baginya selain menyatakan: “Siapakah yang akan membawaku kepada Islam, wahai Umrnu Salim?”. “Rasulullah saw.”, sahut Ummu Salim, “Temuilah beliau”. Maka pergilah Abu Thalhah menemui Rasulullah saw. yang ketika itu sedang duduk bersama para shahabatnya. Ketka dilihatnya kedatangan Abu Thalhah. beliau berkata: ‘lihatlah Abu Thalhah datang kepada kalian dengan cahaya Islam tampak memancar dari matanya. Maka Abu Thalhah menyatakan ke Islamannya di hadapan Nabi saw, dan menceritakan kepada beliau apa yang dikatakan oleh Ummu Salim. Lalu Nabi saw. menikahkannya dengan Ummu Salim.

Pada umumnya yang merupakan persoalan utama bagi seorang wanita biasanya ialah agar ia dapt berbangga dengan jumlah maskawinnya dan harta kekayaan yang diperolehnya dari suatu perkawinan, namun tiadalah demikian dengan Ummu Salim.Ia telah menetapkan suatu tradisi baru. sehingga ia pada akhirnya menjadi kebanggaan bagi ummat Islam. Tsabit Albanani berkata: “Tidak pernah kami ketahui bahwasanya ada maskawin yang lebih agung nilainya daripada maskawin yang diterima Ummu Salim. Ia rela dengan Islam sebagai maskawin”.
Ummu Salim hidup bersama Abu Thalhah sebagai suami istri yang saling kasih mengasihi satu sama lain. Ia setia kepada suami. mematuhi segala perintahnya, memelihara amanat dan menjaga harta suaminya. Kebahagiaan mereka bertambah setelah mereka dianugerahi oleh Allah swt. seorang anak laki-laki yang sehat dan bagus rupanya. yang amat disayangi oleh Abu Thalhah.

Allah swt. berkehendak menurunkan cobaan kepada kedua suami istri yang berbahaga itu terhadap buah kecintaan dari jantung hati mereka agar Ummu Salim menanggalkan sesuatu yang tercatat dalam sejarah. Sesuatu yang abadi. suatu suri teladan dari seorang wanita Muslimah, yaitu peristiwa ketika anaknya tersayang itu jatuh sakit. yang dari waktu ke waktu sakitnya semakin parah. Keadaan itu benar-benar sangat menyedihkan mereka. Dalam pada itu Abu Thalhah selalu pulang pergi menemui Rasulullah saw. dan sepulangnya Selalu ia bertanya tentang keadaan anaknya.

Pada suatu hari Abu Thalhah pergi pula menemui Rasulullah saw. Pada saat itulah datang Sang Maut merenggut nyawa Si anak. Apakah kemudian yang diperbuat oleh si ibu yang kehilangan anaknya yang merupakan buah hatinya itu? Kebanyakan wanita lalu mengeruhkan suasana rumah-tangga mereka tanpa suatu alasan yang berarti. Sebagian lagi mereka menjadikan suatu peristiwa kecil yang sepele menjadi bencana besar dan menghebohkannya dengan jerit tangis tiada putus-putusnya bahkan tidak jarang sambil mencabik- cabik baju dan memukul-mukul badan sendiri. Tetapi lain halnya dengan prilaku Ummu Salim. Sesungguhnya ia tergolong jenis wanita istimewa dari anak cucu Hawa. Ia mempersiapkan Segala urusan jenazah anaknya itu. memandikannya. mengafaninya. membalsemnya. dan menutupinya dengan selembar kain. Lalu ia menyuruh putranya Anas memanggil suaminya Abu Thalhah. Ia minta supaya Anas tidak memberitahukan tentang kematian anaknya itu kepada Abu Thalhah. karena kabar itu akan disampaikannya sendiri kepada suaminya. Ketika tiba di rumah Abu Thalhah bertanya: “Bagaimana keadaan anakku?” Dijawab oleh Ummu Salim: “Kini ia sudah tenang. kuharap Ia akan beristirahat benar-benar”. Mendengar jawaban itu pada pikiran Abu Thalhah anaknya telah sembuh, Pada hari itu Ia berpuasa. Umrnu Salim menyediakan makan dan berbukalah Ia. Apabila malam tiba Ummu Salim bersolek serta memakai wewangian, lalu mengajak tidur suaminya dan tidurlah si suami dengan Istrinya pada malam itu. Keesokan harinya Ia bangun pagi-pagi. Sesudah mandi janabat dan berpakaian. Ia bersiap-siap hendak pergi meninggalkan rumah. Istrinya berkata: “Hai Abu Thalhah, bagaimanakah pendapatmu jika ada seseorang meminjamkan sesuatu kepada suatu keluarga, kemudian Ia memintanya kembali sesuatu itu dari keluarga itu. Adakah keluarga yang meminjam itu berhak untuk tidak mengembalikan sesuatu yang telah dipinjamnya itu?’

“Tentu mereka tidak boleh berbuat demikian”, sahut Abu Thalhah, lalu menambahnya: “Sesuatu barang pinjaman harus dikembalikan kepada si empunya bila dimintanya”. Setelah Ummu Salim menangkap jawaban suaminya yang demikian itu, lalu berkatalah ia: “Sesungguhnya Allah swt. telah meminjamkan kepada kita anak kita itu, kemudian Dia telah memintanya kembali. Maka jadikanlah ia titipan di sisi Allah swt.” Tidak ada kata-kata lain yang diucapkan Abu Thaih ah ketika itu selain: “Inn alillahi wa inna ilarhi raji’un. Engkau membiarkan aku tanpa pengetahuan tentang keadaan anakku. sampai aku berjanabat dan baru sekarang kau beritahukan hal itu kepadaku”. Abu Thalhah pergi menemui Nabi saw. dan menceritakan kepada beliau apa yang telah terjadi antara dia dan istrinya. Berkata Nabi saw.: “Semoga Allah memberkahi kalian berdua dalam perbuatan kalian di malam itu”.
Do’a Nabawi itu naik menjulang membubung tinggi dan terkuaklah pintu langit untuk menyambutnya. Dan sejak itu Ummu Salim mengandung, kemudian melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Abdullah. yang kelak akan menjadi ayah dari seorang anak laki-laki pula yang diberi nama Ishak, yang kemudian dikenal sebagai seorang tabi’i besar dan alim dalam ilmu hukum agama, dan anak-anak laki-laki lainnya yang semuanya berjumlah sembilan orang. Kesemuanya mereka itu adalah orang-orang yang berilmu, pengkhatam dan hafiz kitab suci al-Qur’an)

Sabtu, 25 Februari 2017

Adab Hubungan Suami Istri

Hubungan suami istri dalam istilah lain adalah jima, menyentuh istri, mendekati istri, menggauli istri, atau hubungan seks (bersetubuh, bersenggama)”, sudah diatur dalam Islam. Nash al-Qur’an dan hadits, serta pendapat pakar Islam banyak sekali menyebutkan hal itu, sehingga kita bisa menyusunnya menjadi suatu uraian yang sistematis. Uraian ini lebih banyak mengutip dasar dalil-dalil yang pasti, daripada keterangan pakar, hal ini untuk memberikan ulasan yang lebih mendasar, selebihnya pembaca sendiri yang nanti akan mengambil kesimpulan. Di samping itu, juga untuk menghindari bahasan yang merangsang, sehingga justru akan menjadi “pornografi”.
Seorang suami yang sah berhak berhubungan dengan istrinya adalah didasarkan kepada sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dalam hujjatul wadaa’, ketika beliau bersabda dalam khutbahnya:

Bertaqawlah kepada Allah dalam memelihara istrimu, karena kalian mengambil mereka dengan amanat dari Allah, dan menghalalkan farji mereka dengan kalimat Allah, kalian berhak atas mereka. (HR. Muslim).

Tentang caranya, diserahkan kepada manusia sendiri, tentunya dengan cara yang ma’ruf (an-Nisa’/4: 19):

Istri-istri adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam maka dalangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah, (amal yang baik) untuk dirimu, dan betaqwa!ah kepada Allah dan ketahuilah kelak kamu akan menemui-Nya (al-Baqarah/2:223).

Abdullah Yusuf Ali, penerjemah al-Qur’an dalam bahasa Inggris, mengomentari ayat ini dengan mengatakan bahwa masalah seks disamakan dengan bidang petani, hal ini adalah masalah yang cukup serius bagi kita. Ia menanamkan bibit itu agar dapat memetik hasilnya. Namun waktu dan cara menanamnya dan mengolahnya dicari sendiri. Ia tak akan menanam di luar musim atau mengolahnya dengan cara yang akan mengganggu atau merusak tanah itu. Ia bijaksana, berhati-hati, tidak sembarangan bertolak dari kiasan pada makhluk manusia, memang kita memerlukan perhatian bersama dalam segala hal, tetapi di atas segalanya kita perlu ingat, bahwa soal ini juga ada segi rohaninya. Kita tidak boleh lupa bahwa kita bertanggungjawab kepada Allah, Hanya orang berpikir duniawi saja yang menciptakan doktrin dosa asal: “Sesungguhnya dalam kesalahan atau dipersanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku (Mazmur :57)

Dalam hal ini kami buatkan sistematikanya:

1. Ajakan

Sikap Istri pada suami haruslah lembut dan kasih sayang, dia juga harus berbuat supaya tetap menggembirakan suaminya secara lahiriah (kecantikan dan lainnya) serta secara batinlah (seksual) :

Sudikah kuberitahukan kepadamu simpanan laki-laki yang terbaik. Yaitu wanita shalihah yang apabila engkau melihatnya akan menggembirakan, bila disuruh dia taat, dan jika engkau tidak dihadapannya (didekatnya) dia akan menjaga dirinya serta hartamu (HR. Abu Dawud dan AnNasa’i)
Jika seseorang suami memanggil itrinya kepembaringan dan si istri tidak mau datang, eshingga sepanjang malamsang uami marah kepadanya, maka sang istri dikutuk dan dilaknat para malaikat sampai paginya (HR. Bukhari)

Menurut riwayat muslim adalah (Tuhan) yang dilangit murka atanya hingga si suami ridha kepada istrinya. Karena ketaatan kepada ajakan suami inilah, maka jika itri sedang puasa sunnah harus membatalkannya:

Tidak dihalalkan bagi seorang wanita melakukan shiam (puasa sunnah) sedang suaminya mengetahui (ada di rumah), kecuali (meminta ) idzin terlebih dahulu. (HR. Bukhari).

Begitu juga ketika si istri hendak bepergian:

Sebagian dari hak Suami kepada istrinya adalah apabila suami itu menginginkan istrinya lalu membujuknya, sedang itrinya berada diatas punggung unta, maka janganlah si istri menolaknya (HR.Baihaqi)

Namun ajakan tidak boleh bernada kasar, sehingga seolah-olah hanya memerlukan istrinya saja kalau mau disetubuhi, seperti hadits berikut ini:

Janganlah seorang dari kamu mendera (memukul) itrinya seperti dia mendera seorang budak lalu dia menyetubuhinya pada sore harinya (HR. Bukhari Muslim)

Jangan terburu-buru mendatangi Istri bila kita baru datang dari jauh atau lama pergi:

Dari Jabir, dia berkata : kami pernah (pergi) bersama Nabi saw didalam satu peperangan. Tatkala kami kembali ke madinah, kami hendak masuk (kerumah-rumah kami), sabdanya : “sabarlah, supaya kamu masuk pada malam hari, yakni waktu isya, supaya berdandan (istri) yang kusut-masai, sehingga suami tertarik hatinya kepada perempuan yang lama ditinggal suaminya ( Muttafaq alaihi)

Dan dalam riwayat Bukhari: Apabila seorang daripada kamu lama ghaib (pergi ke luar rumah), maka Janganlah ia datang pada ahlinya pada waktu malam hari. Maksudnya supaya tidak mengejutkari dan sekaligus membuat repot keluarganya.

Dan ajakan bisa juga dilakukan karena sesuatu dorongan yang harus dia salurkan, seperti dalam hadits ini:

Rasulullah saw menyuruh setiap orang yang jatuh pandangannya atas diri wanita, lalu tertarik hatinya pada wanita itu, agar ia melakukan persetubuhan dengan istrinya (HR. Ahmad)

Atau dalam nada yang sama:

Sesunggubnya wanita itu ketika berhadapan, niscaya berhadapan dengan bentuk syetan, maka ketika salah seorang dari kamu melihat wanita, dan wanita itu bisa menakjubkanmu, maka hendaklah ia mendatangi istrinya, yang yang ada pada istrinya itu juga seperti yang terdapat pada wanita itu (HR. Muslim dan Tirmidzi)

2. Cumbu Rayu

Janganlah salah seorang di antara kamu menggauli istrinya seperti seekor binatang mendatangi betinanya. hendaklah didahului dengan perantara. Ada yang bertanya: ‘‘Apakah perantara itu?’’ Beliau menjawab: “Ciuman (cumbuan) dan bercakap-cakap (rayuan)”, (HR. Dailami).
‘Tiga hal dari sifat lemah diantaranya jika seseorang budak belian atau istrinya tanpa didahului dengan bisikan, hiburan, atau pelukan kepadanya. Kemudian ,menyelesaikan hajatnya sebelum diselesaikan kehendaknya. (HR. Dailami).

Keduanya hadits munkar, tetapi “semangat” matan hadits ini kelihatan memiliki pesan yang positif. Andaikan kita berolahraga, maka tidak baik menurut ilmu kesehatan untuk langsung terjun ke gelanggang, tetapi harus didahului dengan gerakan pemanasan, sehingga ada “mukadimahnya”. Dalam hal jima’, qiyas “mukadimahnya” adalah cumbu rayu.

3. Berdo’a Membaca Basmalah, seteiah itu membaca isi do’a:

Ya Allah, jauhkanlah setan dari kami, dan jauhknalah setan itu dari rezki yang Engkau berikan kepada kami (HR. Bukhari)

Dan kelanjutan hadits ini, memberikan keterangan: Maka jika ditakdirkan merdapat anak dari persetubuhan itu, tidak mudah diganggu oleh setan.

4. Telanjang

Dalam melakukan hubungan suami lstri jelas harus membuka aurat, tetapi dalam bertelanjang ada adab yang lebih utama, yaitu dengan menutup keduanya dengan selimut. Hal ini semata-mata karena malu kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Hati-hatilah kamu dengan bertelanjang bulat, sesungguhnya tetap ada (malaikat) bersama kamu dan yang tidak pernah berpisah dengan kamu, kecuali disaat buang air dan disaat seseorang bersenggama dengan istrinya, maka malulah kepada mereka, hormatilah (HR. Tirmidzi)

Dan antara pasangan tidak perlu melihat kedua kemaluan masing-masing. Cukup dengan imajinasi saja, maka kenikmatan dalam melakukan hubungan suami istri akan tanpa batas.

Hingga Rasululials Saw. wafat, Beliau tidak pernah melihat (kemaluan)-ku dan aku tidak pernah melihat (kemaluan)-nya
(HR. Aisyah ra)

5. Posisi

Segala posisi boleh, asal bertemu antara kemaluan lelaki dan kemaluan peremupuan.

Istri-i.istri adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam maka dalangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah, (amal yang baik) untuk dirimu, dan betaqwa!ah kepada Allah dan ketahuilah kelak kamu akan menemui-Nya (al-Baqarah/2:223).

Jabir bin Abdullah ra berkata: “Orang Yahudi memberitahu pada kaum Muslimin, bahwa seseorang jika berjima pada istrinya dari belakang, maka anaknya bila lahir, matanya akan menjadi juling. Maka turunlah ayat 223 (al-Baqarah) ini, maka sabda Nabi shallallahu aaihi wasallam: Muq bilatan wamud biratan idza kaa nafil farji. Dari depan dan dari belakang asal tetap dalam farji. (HR. Muslim dan Abu Dawud).

Begitu juga ada riwayat: Umar bin Khaththab ra datang kepada Nabi saw., dan berkata: “Binasa aku ya Rasulullah”. Ditanya: “Apakah yang membinasakanmu?” Jawab Umar: “Saya Putar kendaraanku semalam.” Rasulullah diam tidak menjawab apa-apa, tiba- tiba turun wahyu ayat 223 (al-Baqarah) ini. Nabi bersabda: ‘Aqbil adbir wattaqid dubur walhaidhah. Kerjakan dari depan atau dari belakang, tetapi hati-hati (jangan lukukan) dari dubur dan di waktu haidh. (HR. Ahmad)

Beberapa komentator hadits meyebutkan posisi suami di atas dan istri di bawah paling baik, disimpulkan dan adanya isyarat dari hadits di bawah iñi:

Jika telah duduk di antara kedua tangan dan kaki dan telah bersentuhan dua alat kelamin, maka sungguh wajib mandi (Jinabat). (HR. Muslim dari Aisyah ra).

Wanita hamil masih boleh disetubuhi asal dengan tetap meminta persetujuan sang istri dan juga melihat situasi dan kondisinya:

Sesungguhnya aku berkemauan hendak melarang ghilah (menyetubuhi perempuan yang hamil), maka aku lihat orang-orang Romawi dan Persia melakukan ghilah, tetapi yang demikian ini tidak sekali-kali memmbahayakan anak mereka. (HR. Muslimin).

Menurut ahli kesehatan, istri hamil lebih baik melakukannya ketika dia berada di atas, atau suami melakukannya dari belakang. Hal ini dengan alasan, tidak menekan perut istri yang sedang mengandung.
Boleh juga dengan cara ‘azl (coitus interreptus. hubungan terputus), yaitu suami menarik kemaluannya ketika akan keluar sperma, sehingga sperma keluar di luar lubang kemaluan peremp uan:

Dari Abi sa’id al Khudri, bahwasanya seorang laki-laki berkata: ya Rasulullah, saya mempunyai budak perempuan, dan aya azl daripadanya, karena saya tidak suka dia hamil, sedang aya ingin yang lelaki ingin (melepaskan syahwat) tetapi orang yahudi mengatakan azl itu merupakan pembunuhan kecil bagi anak perempuan. Sabdanya : “orang yahudi itu duta, jika Allah mau menjadikan dia (hidup), nicaya engkau tidak berdaya memalingkannya (HR. Abi Dawud dan lainnya).

Hubungan suami-istri tidak boleh lewat dubur (Sodomi) :

Aku tidak (akan) melihat kepada lelaki yang mendatangi istrinya dari duburnya (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Nasai)

Terkutuklah siapa saja yang mendatangi istrinya dari duburnya (HR. Abu Daud dan Nasai)

Barang siapa mendatangi istrinya sementara ia sedang haidh atau melalui duburnya atau kepada seorang dukun lalu mempercayai apa yang dikatakannya, maka dia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad. (HR. As-Sunan kecuali Nasai dengan sanad yang shahih)

Istri harus menolak bila disodomi suaminya, dengan dalil:

Tidak ada ketaatan bagi suatu makhluk dalam bermakiat kepada Khalik (Allah). Apabila sang istri membiarkan Suaminya berbuat maksiat, maka ia pun sama-sama berbuat maksiat seperti suaminya.
Sedang larangan melakukan hubugan suami-istri, sebagaimana tadi telah disebutkan, yaitu berjima’ melalui dubur istri, istri dalam keadaan haidh dan nifas (al-Baqarah/2:222), scdang puasa dan

 Itikaf (al-Baqarah/2:187), sedang haji dan ihram (al-Baqarah/2: 197). Selain juga larangan lain yang ditentukin syari. Maka dalam hal ini: Pergaulilah istrimu dengan baik (an-Nisa’/4:19). Atau : Maka sekarang Campurilah mereka dari apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.... (al-Baqarah/2: 187).

6. Saling Memberi Kepuasan

Mengenai hal ini masih belum jelas nash yang memberikan petunjuk yang secara gamblang. Sementara, soal kepuasan adalah relatif. Namun seorang ulama besar, Imam al-Ghazali memberikan beberapa tuntunan yang cukup mendidik dalam hal ini.

Menurutnya: Jika suami telah mencapai hajatnya (orgasme) maka hendaklah Ia menunggu untuk orgasme Si istri, sehingga Si istri juga mencapai hajatnya. Sebab inzal (orgasme) si istri kadang-kadang menyusul (baru muncul belakangan), tanpa orgasme (kemungkinan) si istri akan kurang puas. dan bersamaannya orgasme akan lebih mendatangkan kenikmatan bagi si istri. Dalam melakukan jima’, Si suami diharapkan lebih aktif, sebab kebanyakan wanita akan malu bila berperan terlalu aktif dalam hal ini. Meskipun bukan menjadi dasar dalil saling memberi kepuasan, hubungan suami istri semata-mata hanya unluk mencari kepuasan, diperbotehkan; hal itu dianggap sebagai sedekah:

Pada setiap potong anggota badan salah seorang di antaramu ada sedekahnya. Para shahabat bertanya: “Seseorang dari kami melepaskan nafsu syahwatnya (kepada istrinya), apakah, juga ada pahalanya?” Rasulullah bersabda: “tidakkah kamu ketahui, jika ia melepaskan nafsu syahwatnya ditempat yang haram bukankah ia mendapat dosa?mereka menjawab : Ya, Beliau bersabda : maka begitu jugalah apabila ia melapakan yahatnya ditempat yang halal, dia mendapat pahala, kemudian dia bersabda lagi : apakah kamu hanya memperhitungkan kejahatan tetapi tidak menghitung kebaikannya? (HR. Bukhari Muslim)

7. Ingin Mengulang

Hubungan suami istri tidak dibatasi hanya sekali, tetapi hal ini lebih diserahkan kepada kesepakatan pasangan itu sendiri, yaitu semampu mereka.

Jika salah seorang di antara kamu menggauli istrinya kemudian akan mengulang lagi, hendaknya berwudhu, karna hal itu lebih menggiatkan (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Sedang kalau tidak ingin mengulang, satu riwayat menyebutkan : Ibnu Umar ra berkata : Aku bertanya pada Nabi sallallahu alaihi wasallam, : apakah salah seorang dari kita tidur dalam keadaan berjunub? Nabi menjawab: ‘Ya. ketika sudah berwudhu ‘ (HR. Bukhari Muslim).

Namun telah datang hadits yang memberikan keringanan. Berkata Aisyah ra:
“Nabi saw pernah tidur dengan (keadaan) berjuinub, di mana beliau tidak menyentuh air (berwudhu atau mandi Jinabat)”. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah).

8. Mandi

Usai melakukan hubungan suami istri maka disunnahkan langsung mandi jinabat, tetapi kalau terlanjur tidur maka ketika bangun harus melaksanakan kewajiban mandi terbut.
Jika telah duduk di antara kedua tangan dan kaki dan telah bersentuhan dua alat kelamin, maka sungguh wajib mandi (jinabat). (HR. Muslim dari Aisyak ra).

Begitu juga riwayat lainnya yang menyebutkan senada:

Saya mandi bersama Rasulullali saw. dalam satu bak.. Antara saya dengan beliau bergantian tangan. ‘Tangan beliau selalu ,mendahului, sampai saya berkata kepada beliau: “Sisakan untuk saya. sisakan uniuk saya’ Aisyah melanjuikan riwayat: Kami berdua dalam keadaan jinabat. (HR. Bukhari Muslim).

9. Waktu

Waktu untuk melaksanakan hubungan suami istri juga tidak dibatasi, ada ulama yang mengatakan sunnah melakukannya pada malam Jum’at. Hal itu didasarkan kepada isyarat adanya hadits berikut ini:

Barangsiapa mandi jinabat pada hari Jum‘at kemudian berangkat (menunaikan shalat jum’at), maka dia seperti orang yang berkorban unta.... dsb (HR. Bukhari).

Hadits ini jelas bukan semata-mata menganjurkan pasangan suami istri untuk melakukan hubungan pada malam Jum’at, tetapi lebih kepada anjuran untuk mandi jinabat untuk shalat Jum’at dan keutamaan datang lebih awal. Dan alasan berikutnya, Nabi saw. memiliki sembilan istri yang harus digilir pada hari-hari tertentu, jetas tidak bisa dibatasi harus melakukan hubungan suami istri pada malam Jum’at saja.

10. Bersyukur

Apa yang telah diperbuat suami kepada istrinya haruslah disyukuri, termasuk juga dalam hal hubungan suami istri, sebab kemampuan seseorang berbeda-beda, maka anggap saja kepuasan yang didapatkan dari suami sebagai suatu perlakuan yang apa adanya. Sebagaimana juga suami tidak boleh mencela masakan istrinya, kecuali dengan kata-kata yang halus dan tidak menyakitkan hatinya.

Nabi saw bersabda ‘Kepadaku telah diperlihatkan api (yakni, aku melihatnya di dalam mimpi, neraka), dan sesungguhnya. sebagian besar dari penghuninya adalah wanita yang (semasa di dunia) telah bercirikan dengan kufr (yakfurna)”. Seorang shahabat bertanya: “Apakah itu disebabkan mereka biasanya tidak percaya kepada Tuhan (yakfurna bi-Allah)?” Beliau (Nabi) menjawab: “Bukan, itu disebabkan mereka tidak berterima kasih kepada suami mereka (yakfurna al ‘asyir) dan kebiasaan mereka yang tidak bersyukur untuk perbuatan kebaikan (yakfur-na al-ihsan). (HR. Bukhari).

Mengenai hadits ini, seorang komentator hadits Shahih Bukhari, yaitu al Kirmani dalam Syarh Shahih Bukhari mengemukakan, bahwa kata kerja kafara mempunyai dua bentuk infinitif yang berbeda, yang satu kufr dan yang lainnya kufran. Dia mengatakan, yang terdahulu merupakan lawan dan iman, “percaya”, sementara yang belakangan, pada lazimnya merupakan hal yang berlawanan dengan syukr, “bersyukur”, yang biasanya berarti “bersyukur pada nikmat” (ni’mat).
Dan cinta istri yang lebih mendalam lagi jika diikuti dengan ketaatan sang istri kepada suami:

Jika aku memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang (lain), pasti akan aku perintahkan wanita untuk bersujud kepada suaminya, karena besarnya hak suami atas istri. (HR. Tirmidzi dan lbnu Hibban dari Abu Hurairah).

11. Tidak Diceritakan

Hubungan suami istri (jima’) merupakan hubungan pribadi dan rahasia yang tidak perlu orang tahu. Dan malah terlarang diceritakan kepada orang lain:

Wanita-wanita shalihah ialah yang taat beribadah, yang memelihara kehormatan dirinya, dan menjaga kehormatan suaminya, menjaga rahasia rumah tangganya sesuai dengan cara dan petunjuk Allah (an-Nisa/ 4:34)

Mereka, itu (istri) adalah pakaian bagimu, dan kamu (suami) adalah pakaian bagi mereka (al-Baqarah/2: 187).

Rasulullah juga memperingatkan serupa:

Seburuk-buruk manusia di sisi Allah pada hari kiamat adalah seorang lelaki yang menceritakan hubungan dengan istri
nya. Atau sang istri yang berhubungan dengan Suaminya. kemudian menyebarluaskan rahasia mereka. (HR. Muslim dan Abu Dawud).

Begitu juga riwayat lain mempertegas:


Perumpamaan orang yang berbuat demikian adalah lakana setan jantan dan betina bertemu dengan lawan jenisnya ditengah jalan. Kemudian dia melepaskan hajatnya, sedangkan manusia umum melihat dengan mata kepalanya sendiri (HR Ahmad dan Abu Dawud)

Senin, 20 Februari 2017

Wanita, Antara Mitos dan Realitas

Socrates, seorang pemikir yang hidup di tengah peradaban Yunani, Sebuah peradaban tertua di dunia, sempat berkata: “Wanita adalah sumber besar dari kekacauan dan perpecaban di dunia. Ia bagai pohon dafali yang dari luar terlihat sangat indah, tapi bila burung gereja mematuknya pasti ia mati. Dalarn kitab suci Cina, wanita, konon dinamakan “Air yang celaka”, karena ia akan mengikis habis segala keberuntungan yang baik. Di Cina, kata Nazhat dan Kurshid Ahmad, wanita selalu dipandang rendah dari laki-laki dan dia diidzinkan untuk tidak berlaku baik. 

Kemudian katanya, Wanita direndahkan dan sangat hina, ia tidak berhak memiliki anak. Laki-Laki bebas untuk mendapatkan wanita, menggantikan istri, mencerai dan mencampakkannya kapan saja diinginkan. Bukan hanya itu, laki-laki pun bebas untuk berbuat apa saja terhadap istrinya, tidak akan ada yang melarang. Sekalipun tubuh si istri dijualnya pada laki-laki lain.
Profesor India dalam bukunya “Status Wanita dalam Mahabharata “, menuliskan: “Tidäk ada makhluk yang lebih banyak dosanya melebihi wanita. Wanita adalah bahan bakar.
Dia bagaikan pisau Cukur yang tajain tepinya. Seluruh tubuhnya sangat menjijikkan.
Dalam Agarna Yahudi, berdasarkan pada Hebrew Scripture, (kitab Yahudi), kaum wanita dipandang selalu berada di bawah kutukan para dewa. Sejak kelahirannya, seorang wanita, dia tclah berdosa dan akan berlangsung terus hingga dia meninggal dunia. 

Di zaman Jahiliyah, Sebagaimana dilukiskan Muhammad Kidway dalam bukunya, “The Women “ Menurutnya, nasib wanita waktu itu benar-benar mengenaskan. Jika malam mereka hanya jadi alas tidur dan siang hanya jadi alas kaki Laki-laki. Wanita yang sedang “datang bulan” dianggap tak layak berada dalam satu majelis dengan laki-laki. Kata mereka, wanita demikian dianggap najis, lebih cocok disatukan dengan unta di kandang belakang. Mitos-mitos wanita sebagai makhluk yang hina, sumber bencana, pemicu kekacauan, makhluk yang lebih banyak dosanya, makhluk pembawa sial, dan beragam mitos negàtif lainnya yang menyudutkan wanita ke posisi yang tidak menguntungkan nampaknya kini mulai terkikis dari panggung sejarah peradaban dunia. 

Sekalipun tentunya, behlum utuh sepenuhnya hilang dan terhapus. Namun demikian, nampaknya wanita sekarang patut bersyukur. Tidak dapat dipungkiri, kemajuan dan perkembangan gerakan yang memperjuangkan persamaan cukup berhasil. Maka tidaklah berlebihan bila John Naisbit dan Patricia Aburdene menyebut abad kini sebagai abad kebangkitan wanita. Gerakan emansipasi yang kini banyak dikumandangkan, nampaknya memang sulit dibendung. Gema dan gaungnya merebak ke seluruh pelosok dunia. Mitos-mitos yang menyudutkan terlihat tak lagi begitu jelas. Eksistensi kaum wanita kelihatan partisipasi dan peranannya dalam lingkup aktivitas yang sulit dihitung dengan jari. Wanita tak lagi dianggap Sebagai makhluk yang merugikan. 

Hampir dalam berbagai sektor aktivitas, wanita sudah nampak peran dan partisipasinya. Namun demikian bukanlah tanpa rintangan dan tantangan yang menghadang. Masih banyak faktor yang mesti diperjuangkan kaum wanita. Beragam kendala pun muncul untuk diantisipasi, tentunya ini memerlukan solusi yang akurat dan tepat, sehingga emansipasi yang ditiupkan tidak menjadi bumerang bagi diri kaum wanita Terutama kendala ini menyangkut konsepsi emansipasi yang belum jelas. Betapa ini dapat kita lihat dalam realitas, kaum wanita dengan emansipasi yang dipegangnya masih tertatih-tatih mencari bentuk dan model. Sehingga kelernahan ini dimanfaatkan oleh kalangan terkait yang berkepentingan.

Kaum Kapitalis misalnya, emansipasi telah dimanipulasi sedemikian rupa, guna kepentingan komersial bisnisnya. Kita dapat saksikan bagaimana kaum wanita dieksploitasi tenaganya den gan upah murah, tubuhnya dipamerkan sebagai model iklan guna meraih konsumen. Maka konteks ini sebenamya substansi emanipasi wanita menjadi hilang dan lenyap. Mengapa tidak? Emansipasi yang seharusnya mengangkat harkat martabat dan kehormatan kaum wanita telah diinjak-injak tanpa banyak disadari kaum wanita. Akibat konsepsi yang tidak jelas ini. berakibat pula pada sikap prilaku yang lepas kendali di sebagian kaum wanita. Akibat kronisnya dapat kita tebak; emansipasi tidak lagi berjalan pada rel-rel emansipasi yang hakiki. Nilai-nilai kodrati kewanitaan tak sedikit dilanggarnya, tentu hal ini menjadi faktor yang harus diluruskan guna mencapai emansipasi wanita yang sesungguhnya, tanpa harus terjebak pada emansipasi yang semu. 

Konsepsi emansipasi wanita yang tak jelas pun berakibat pula pada keharmonisan keluarga dan rumah tangga. Tidak Sedikit, keluarga terabaikan. Anak terlantar dan kurang kasih-sayang. Terkadang percekcokan suami dan istri pun sering menjadi dampak negatif akibat ketidak jelasan arah dan tujuan emansipasi. Bila hal ini tidak segera diantisipasi, bukan mustahil, emansipasi akan berubah menjadi eksploitasi yang tentunya amat merugikan. Emansipasi wanita bukanlah upaya dan langkah yang hendak menjerumuskan kaum wanita kepada jenis perbudakan. Tentu hal ini kita setuju. Namun bukanlah hal mustahil, bila tanpa arah, maka hal ini akan terjadi.
Emansipasi yang seharusnya membebaskan dari perbudakan, Justru menjerumuskan pada perbudakan baru”. Karena itu, tak ragu lagi agar hal ini tak terjadi, maka arah dan tujuan serta konsepsi emanipasi yang jelas yang tentunya tidak keluar dari kodrat kewanitaan haruslah terus diupayakan semaksimal mungkin. Kegagalan merumuskan konsepsi dari kesalahan menjabarkannya, akan membawa konsekuensi amat berat. Haruskah kita mengambil risiko dengan “harga’ yang amat mahal? Kita tentu tidak berharap demikian. Karenanya, agenda ini penting demi tercapainya emansipasi wanita yang hakiki dan sejati. (Jalaluddin Rakhmat dalam “Islam Aktual”)
Di Barat, akibat konsepsi emansipasi yang tanpa memandang kodrat-kodrat kewanitaan, akibatnya te!ah dapat kita lihat. Wanita telah dimanfaatkan sedemikian rupa tak ubahnya sebuah “mainan” yang menarik. Kasus-kasus perkosaan, pelecehan seksual, korban keganasan kaum pria, obyek kekerasan dan kejahatan nampaknya ini rnemberikan indikasi dari kegagalan Barat merumuskan dan menjabarkan konsepsi emansipasi yang hakiki dan sejati. 

Tentu hal ini tidaklah kita harapkan. Untuk tidak terjadi demikian jelas perlu segera diusahakan dan diupayakan, tentunya bukan hanya oleh kaum wanita. Kaum laki-laki pun harus bertanggungjawab membantu solusinya. Atau dalam makna yang lebih makro, bahwa persoalan ini mesti menjadi tanggungjawab bersama; pemerintah, agamawan, ilmuwan, juga semua kalangan yang terkait.

Dalam Islam, wanita patut kita bela dan kita perlakukan dengan cara baik, adalah suatu keharusan. Untuk ini, patut kita simak sabda Nabi saw: Allah memerintahkan kepada ktla untuk memperlakukan wanita secara baik, sebab mereka itu adalah ibu-ibu kita, saudara perempuan kita, dan juga bibi kita. (al-Hadits).

Rasulultah saw. seorang pemimpin dunia yang bijak, senantiasa mengarahkan ummatnya untuk menghormati wanita. “Takutlah kepada Allah, dan hormatilah kaum wanita”. (HR. Muslim,). Bahkan lebih jauh, beliau telah berkata pula: Sebaik-baik kalian adalah yang selalu berbuat balk terhadap isri-istri kalian. (al-Hadits). Berpijak pada hal ini, tentu tidaklah beralasan bila kita membiarkan mereka (baca: wanita) terjebak pada emansipasi yang semu dan kamuflase belaka. Namun sudah menjadi kemestian, turut memberikan solusi yang tepat tentang konsepsi emansipasi wanita yang sebenarnya. Bila tidak, maka bukan mustahil kaum wanita akan kebingungan menempatkan dirinya. Akibat kronisnya, kekacauan peran (role confusion) pun bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. bila ini terjadi, maka emansipasi wanita tak lebih dari memberatkan diri wanita itu sendiri. Tentu hal ini bukanlah yang kita inginkan.