Sabtu, 25 Februari 2017

Adab Hubungan Suami Istri


Hubungan suami istri dalam istilah lain adalah jima, menyentuh istri, mendekati istri, menggauli istri, atau hubungan seks (bersetubuh, bersenggama)”, sudah diatur dalam Islam. Nash al-Qur’an dan hadits, serta pendapat pakar Islam banyak sekali menyebutkan hal itu, sehingga kita bisa menyusunnya menjadi suatu uraian yang sistematis. Uraian ini lebih banyak mengutip dasar dalil-dalil yang pasti, daripada keterangan pakar, hal ini untuk memberikan ulasan yang lebih mendasar, selebihnya pembaca sendiri yang nanti akan mengambil kesimpulan. Di samping itu, juga untuk menghindari bahasan yang merangsang, sehingga justru akan menjadi “pornografi”.
Seorang suami yang sah berhak berhubungan dengan istrinya adalah didasarkan kepada sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dalam hujjatul wadaa’, ketika beliau bersabda dalam khutbahnya:

Bertaqawlah kepada Allah dalam memelihara istrimu, karena kalian mengambil mereka dengan amanat dari Allah, dan menghalalkan farji mereka dengan kalimat Allah, kalian berhak atas mereka. (HR. Muslim).

Tentang caranya, diserahkan kepada manusia sendiri, tentunya dengan cara yang ma’ruf (an-Nisa’/4: 19):

Istri-istri adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam maka dalangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah, (amal yang baik) untuk dirimu, dan betaqwa!ah kepada Allah dan ketahuilah kelak kamu akan menemui-Nya (al-Baqarah/2:223).

Abdullah Yusuf Ali, penerjemah al-Qur’an dalam bahasa Inggris, mengomentari ayat ini dengan mengatakan bahwa masalah seks disamakan dengan bidang petani, hal ini adalah masalah yang cukup serius bagi kita. Ia menanamkan bibit itu agar dapat memetik hasilnya. Namun waktu dan cara menanamnya dan mengolahnya dicari sendiri. Ia tak akan menanam di luar musim atau mengolahnya dengan cara yang akan mengganggu atau merusak tanah itu. Ia bijaksana, berhati-hati, tidak sembarangan bertolak dari kiasan pada makhluk manusia, memang kita memerlukan perhatian bersama dalam segala hal, tetapi di atas segalanya kita perlu ingat, bahwa soal ini juga ada segi rohaninya. Kita tidak boleh lupa bahwa kita bertanggungjawab kepada Allah, Hanya orang berpikir duniawi saja yang menciptakan doktrin dosa asal: “Sesungguhnya dalam kesalahan atau dipersanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku (Mazmur :57)

Dalam hal ini kami buatkan sistematikanya:

1. Ajakan

Sikap Istri pada suami haruslah lembut dan kasih sayang, dia juga harus berbuat supaya tetap menggembirakan suaminya secara lahiriah (kecantikan dan lainnya) serta secara batinlah (seksual) :

Sudikah kuberitahukan kepadamu simpanan laki-laki yang terbaik. Yaitu wanita shalihah yang apabila engkau melihatnya akan menggembirakan, bila disuruh dia taat, dan jika engkau tidak dihadapannya (didekatnya) dia akan menjaga dirinya serta hartamu (HR. Abu Dawud dan AnNasa’i)
Jika seseorang suami memanggil itrinya kepembaringan dan si istri tidak mau datang, eshingga sepanjang malamsang uami marah kepadanya, maka sang istri dikutuk dan dilaknat para malaikat sampai paginya (HR. Bukhari)

Menurut riwayat muslim adalah (Tuhan) yang dilangit murka atanya hingga si suami ridha kepada istrinya. Karena ketaatan kepada ajakan suami inilah, maka jika itri sedang puasa sunnah harus membatalkannya:

Tidak dihalalkan bagi seorang wanita melakukan shiam (puasa sunnah) sedang suaminya mengetahui (ada di rumah), kecuali (meminta ) idzin terlebih dahulu. (HR. Bukhari).

Begitu juga ketika si istri hendak bepergian:

Sebagian dari hak Suami kepada istrinya adalah apabila suami itu menginginkan istrinya lalu membujuknya, sedang itrinya berada diatas punggung unta, maka janganlah si istri menolaknya (HR.Baihaqi)

Namun ajakan tidak boleh bernada kasar, sehingga seolah-olah hanya memerlukan istrinya saja kalau mau disetubuhi, seperti hadits berikut ini:

Janganlah seorang dari kamu mendera (memukul) itrinya seperti dia mendera seorang budak lalu dia menyetubuhinya pada sore harinya (HR. Bukhari Muslim)

Jangan terburu-buru mendatangi Istri bila kita baru datang dari jauh atau lama pergi:

Dari Jabir, dia berkata : kami pernah (pergi) bersama Nabi saw didalam satu peperangan. Tatkala kami kembali ke madinah, kami hendak masuk (kerumah-rumah kami), sabdanya : “sabarlah, supaya kamu masuk pada malam hari, yakni waktu isya, supaya berdandan (istri) yang kusut-masai, sehingga suami tertarik hatinya kepada perempuan yang lama ditinggal suaminya ( Muttafaq alaihi)

Dan dalam riwayat Bukhari: Apabila seorang daripada kamu lama ghaib (pergi ke luar rumah), maka Janganlah ia datang pada ahlinya pada waktu malam hari. Maksudnya supaya tidak mengejutkari dan sekaligus membuat repot keluarganya.

Dan ajakan bisa juga dilakukan karena sesuatu dorongan yang harus dia salurkan, seperti dalam hadits ini:

Rasulullah saw menyuruh setiap orang yang jatuh pandangannya atas diri wanita, lalu tertarik hatinya pada wanita itu, agar ia melakukan persetubuhan dengan istrinya (HR. Ahmad)

Atau dalam nada yang sama:

Sesunggubnya wanita itu ketika berhadapan, niscaya berhadapan dengan bentuk syetan, maka ketika salah seorang dari kamu melihat wanita, dan wanita itu bisa menakjubkanmu, maka hendaklah ia mendatangi istrinya, yang yang ada pada istrinya itu juga seperti yang terdapat pada wanita itu (HR. Muslim dan Tirmidzi)

2. Cumbu Rayu

Janganlah salah seorang di antara kamu menggauli istrinya seperti seekor binatang mendatangi betinanya. hendaklah didahului dengan perantara. Ada yang bertanya: ‘‘Apakah perantara itu?’’ Beliau menjawab: “Ciuman (cumbuan) dan bercakap-cakap (rayuan)”, (HR. Dailami).
‘Tiga hal dari sifat lemah diantaranya jika seseorang budak belian atau istrinya tanpa didahului dengan bisikan, hiburan, atau pelukan kepadanya. Kemudian ,menyelesaikan hajatnya sebelum diselesaikan kehendaknya. (HR. Dailami).

Keduanya hadits munkar, tetapi “semangat” matan hadits ini kelihatan memiliki pesan yang positif. Andaikan kita berolahraga, maka tidak baik menurut ilmu kesehatan untuk langsung terjun ke gelanggang, tetapi harus didahului dengan gerakan pemanasan, sehingga ada “mukadimahnya”. Dalam hal jima’, qiyas “mukadimahnya” adalah cumbu rayu.

3. Berdo’a Membaca Basmalah, seteiah itu membaca isi do’a:

Ya Allah, jauhkanlah setan dari kami, dan jauhknalah setan itu dari rezki yang Engkau berikan kepada kami (HR. Bukhari)

Dan kelanjutan hadits ini, memberikan keterangan: Maka jika ditakdirkan merdapat anak dari persetubuhan itu, tidak mudah diganggu oleh setan.

4. Telanjang

Dalam melakukan hubungan suami lstri jelas harus membuka aurat, tetapi dalam bertelanjang ada adab yang lebih utama, yaitu dengan menutup keduanya dengan selimut. Hal ini semata-mata karena malu kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Hati-hatilah kamu dengan bertelanjang bulat, sesungguhnya tetap ada (malaikat) bersama kamu dan yang tidak pernah berpisah dengan kamu, kecuali disaat buang air dan disaat seseorang bersenggama dengan istrinya, maka malulah kepada mereka, hormatilah (HR. Tirmidzi)

Dan antara pasangan tidak perlu melihat kedua kemaluan masing-masing. Cukup dengan imajinasi saja, maka kenikmatan dalam melakukan hubungan suami istri akan tanpa batas.

Hingga Rasululials Saw. wafat, Beliau tidak pernah melihat (kemaluan)-ku dan aku tidak pernah melihat (kemaluan)-nya
(HR. Aisyah ra)

5. Posisi

Segala posisi boleh, asal bertemu antara kemaluan lelaki dan kemaluan peremupuan.

Istri-i.istri adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam maka dalangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah, (amal yang baik) untuk dirimu, dan betaqwa!ah kepada Allah dan ketahuilah kelak kamu akan menemui-Nya (al-Baqarah/2:223).

Jabir bin Abdullah ra berkata: “Orang Yahudi memberitahu pada kaum Muslimin, bahwa seseorang jika berjima pada istrinya dari belakang, maka anaknya bila lahir, matanya akan menjadi juling. Maka turunlah ayat 223 (al-Baqarah) ini, maka sabda Nabi shallallahu aaihi wasallam: Muq bilatan wamud biratan idza kaa nafil farji. Dari depan dan dari belakang asal tetap dalam farji. (HR. Muslim dan Abu Dawud).

Begitu juga ada riwayat: Umar bin Khaththab ra datang kepada Nabi saw., dan berkata: “Binasa aku ya Rasulullah”. Ditanya: “Apakah yang membinasakanmu?” Jawab Umar: “Saya Putar kendaraanku semalam.” Rasulullah diam tidak menjawab apa-apa, tiba- tiba turun wahyu ayat 223 (al-Baqarah) ini. Nabi bersabda: ‘Aqbil adbir wattaqid dubur walhaidhah. Kerjakan dari depan atau dari belakang, tetapi hati-hati (jangan lukukan) dari dubur dan di waktu haidh. (HR. Ahmad)

Beberapa komentator hadits meyebutkan posisi suami di atas dan istri di bawah paling baik, disimpulkan dan adanya isyarat dari hadits di bawah iñi:

Jika telah duduk di antara kedua tangan dan kaki dan telah bersentuhan dua alat kelamin, maka sungguh wajib mandi (Jinabat). (HR. Muslim dari Aisyah ra).

Wanita hamil masih boleh disetubuhi asal dengan tetap meminta persetujuan sang istri dan juga melihat situasi dan kondisinya:

Sesungguhnya aku berkemauan hendak melarang ghilah (menyetubuhi perempuan yang hamil), maka aku lihat orang-orang Romawi dan Persia melakukan ghilah, tetapi yang demikian ini tidak sekali-kali memmbahayakan anak mereka. (HR. Muslimin).

Menurut ahli kesehatan, istri hamil lebih baik melakukannya ketika dia berada di atas, atau suami melakukannya dari belakang. Hal ini dengan alasan, tidak menekan perut istri yang sedang mengandung.
Boleh juga dengan cara ‘azl (coitus interreptus. hubungan terputus), yaitu suami menarik kemaluannya ketika akan keluar sperma, sehingga sperma keluar di luar lubang kemaluan peremp uan:

Dari Abi sa’id al Khudri, bahwasanya seorang laki-laki berkata: ya Rasulullah, saya mempunyai budak perempuan, dan aya azl daripadanya, karena saya tidak suka dia hamil, sedang aya ingin yang lelaki ingin (melepaskan syahwat) tetapi orang yahudi mengatakan azl itu merupakan pembunuhan kecil bagi anak perempuan. Sabdanya : “orang yahudi itu duta, jika Allah mau menjadikan dia (hidup), nicaya engkau tidak berdaya memalingkannya (HR. Abi Dawud dan lainnya).

Hubungan suami-istri tidak boleh lewat dubur (Sodomi) :

Aku tidak (akan) melihat kepada lelaki yang mendatangi istrinya dari duburnya (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Nasai)

Terkutuklah siapa saja yang mendatangi istrinya dari duburnya (HR. Abu Daud dan Nasai)

Barang siapa mendatangi istrinya sementara ia sedang haidh atau melalui duburnya atau kepada seorang dukun lalu mempercayai apa yang dikatakannya, maka dia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad. (HR. As-Sunan kecuali Nasai dengan sanad yang shahih)

Istri harus menolak bila disodomi suaminya, dengan dalil:

Tidak ada ketaatan bagi suatu makhluk dalam bermakiat kepada Khalik (Allah). Apabila sang istri membiarkan Suaminya berbuat maksiat, maka ia pun sama-sama berbuat maksiat seperti suaminya.
Sedang larangan melakukan hubugan suami-istri, sebagaimana tadi telah disebutkan, yaitu berjima’ melalui dubur istri, istri dalam keadaan haidh dan nifas (al-Baqarah/2:222), scdang puasa dan

 Itikaf (al-Baqarah/2:187), sedang haji dan ihram (al-Baqarah/2: 197). Selain juga larangan lain yang ditentukin syari. Maka dalam hal ini: Pergaulilah istrimu dengan baik (an-Nisa’/4:19). Atau : Maka sekarang Campurilah mereka dari apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.... (al-Baqarah/2: 187).

6. Saling Memberi Kepuasan

Mengenai hal ini masih belum jelas nash yang memberikan petunjuk yang secara gamblang. Sementara, soal kepuasan adalah relatif. Namun seorang ulama besar, Imam al-Ghazali memberikan beberapa tuntunan yang cukup mendidik dalam hal ini.

Menurutnya: Jika suami telah mencapai hajatnya (orgasme) maka hendaklah Ia menunggu untuk orgasme Si istri, sehingga Si istri juga mencapai hajatnya. Sebab inzal (orgasme) si istri kadang-kadang menyusul (baru muncul belakangan), tanpa orgasme (kemungkinan) si istri akan kurang puas. dan bersamaannya orgasme akan lebih mendatangkan kenikmatan bagi si istri. Dalam melakukan jima’, Si suami diharapkan lebih aktif, sebab kebanyakan wanita akan malu bila berperan terlalu aktif dalam hal ini. Meskipun bukan menjadi dasar dalil saling memberi kepuasan, hubungan suami istri semata-mata hanya unluk mencari kepuasan, diperbotehkan; hal itu dianggap sebagai sedekah:

Pada setiap potong anggota badan salah seorang di antaramu ada sedekahnya. Para shahabat bertanya: “Seseorang dari kami melepaskan nafsu syahwatnya (kepada istrinya), apakah, juga ada pahalanya?” Rasulullah bersabda: “tidakkah kamu ketahui, jika ia melepaskan nafsu syahwatnya ditempat yang haram bukankah ia mendapat dosa?mereka menjawab : Ya, Beliau bersabda : maka begitu jugalah apabila ia melapakan yahatnya ditempat yang halal, dia mendapat pahala, kemudian dia bersabda lagi : apakah kamu hanya memperhitungkan kejahatan tetapi tidak menghitung kebaikannya? (HR. Bukhari Muslim)

7. Ingin Mengulang

Hubungan suami istri tidak dibatasi hanya sekali, tetapi hal ini lebih diserahkan kepada kesepakatan pasangan itu sendiri, yaitu semampu mereka.

Jika salah seorang di antara kamu menggauli istrinya kemudian akan mengulang lagi, hendaknya berwudhu, karna hal itu lebih menggiatkan (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Sedang kalau tidak ingin mengulang, satu riwayat menyebutkan : Ibnu Umar ra berkata : Aku bertanya pada Nabi sallallahu alaihi wasallam, : apakah salah seorang dari kita tidur dalam keadaan berjunub? Nabi menjawab: ‘Ya. ketika sudah berwudhu ‘ (HR. Bukhari Muslim).

Namun telah datang hadits yang memberikan keringanan. Berkata Aisyah ra:
“Nabi saw pernah tidur dengan (keadaan) berjuinub, di mana beliau tidak menyentuh air (berwudhu atau mandi Jinabat)”. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah).

8. Mandi

Usai melakukan hubungan suami istri maka disunnahkan langsung mandi jinabat, tetapi kalau terlanjur tidur maka ketika bangun harus melaksanakan kewajiban mandi terbut.
Jika telah duduk di antara kedua tangan dan kaki dan telah bersentuhan dua alat kelamin, maka sungguh wajib mandi (jinabat). (HR. Muslim dari Aisyak ra).

Begitu juga riwayat lainnya yang menyebutkan senada:

Saya mandi bersama Rasulullali saw. dalam satu bak.. Antara saya dengan beliau bergantian tangan. ‘Tangan beliau selalu ,mendahului, sampai saya berkata kepada beliau: “Sisakan untuk saya. sisakan uniuk saya’ Aisyah melanjuikan riwayat: Kami berdua dalam keadaan jinabat. (HR. Bukhari Muslim).

9. Waktu

Waktu untuk melaksanakan hubungan suami istri juga tidak dibatasi, ada ulama yang mengatakan sunnah melakukannya pada malam Jum’at. Hal itu didasarkan kepada isyarat adanya hadits berikut ini:

Barangsiapa mandi jinabat pada hari Jum‘at kemudian berangkat (menunaikan shalat jum’at), maka dia seperti orang yang berkorban unta.... dsb (HR. Bukhari).

Hadits ini jelas bukan semata-mata menganjurkan pasangan suami istri untuk melakukan hubungan pada malam Jum’at, tetapi lebih kepada anjuran untuk mandi jinabat untuk shalat Jum’at dan keutamaan datang lebih awal. Dan alasan berikutnya, Nabi saw. memiliki sembilan istri yang harus digilir pada hari-hari tertentu, jetas tidak bisa dibatasi harus melakukan hubungan suami istri pada malam Jum’at saja.

10. Bersyukur

Apa yang telah diperbuat suami kepada istrinya haruslah disyukuri, termasuk juga dalam hal hubungan suami istri, sebab kemampuan seseorang berbeda-beda, maka anggap saja kepuasan yang didapatkan dari suami sebagai suatu perlakuan yang apa adanya. Sebagaimana juga suami tidak boleh mencela masakan istrinya, kecuali dengan kata-kata yang halus dan tidak menyakitkan hatinya.

Nabi saw bersabda ‘Kepadaku telah diperlihatkan api (yakni, aku melihatnya di dalam mimpi, neraka), dan sesungguhnya. sebagian besar dari penghuninya adalah wanita yang (semasa di dunia) telah bercirikan dengan kufr (yakfurna)”. Seorang shahabat bertanya: “Apakah itu disebabkan mereka biasanya tidak percaya kepada Tuhan (yakfurna bi-Allah)?” Beliau (Nabi) menjawab: “Bukan, itu disebabkan mereka tidak berterima kasih kepada suami mereka (yakfurna al ‘asyir) dan kebiasaan mereka yang tidak bersyukur untuk perbuatan kebaikan (yakfur-na al-ihsan). (HR. Bukhari).

Mengenai hadits ini, seorang komentator hadits Shahih Bukhari, yaitu al Kirmani dalam Syarh Shahih Bukhari mengemukakan, bahwa kata kerja kafara mempunyai dua bentuk infinitif yang berbeda, yang satu kufr dan yang lainnya kufran. Dia mengatakan, yang terdahulu merupakan lawan dan iman, “percaya”, sementara yang belakangan, pada lazimnya merupakan hal yang berlawanan dengan syukr, “bersyukur”, yang biasanya berarti “bersyukur pada nikmat” (ni’mat).
Dan cinta istri yang lebih mendalam lagi jika diikuti dengan ketaatan sang istri kepada suami:

Jika aku memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang (lain), pasti akan aku perintahkan wanita untuk bersujud kepada suaminya, karena besarnya hak suami atas istri. (HR. Tirmidzi dan lbnu Hibban dari Abu Hurairah).

11. Tidak Diceritakan

Hubungan suami istri (jima’) merupakan hubungan pribadi dan rahasia yang tidak perlu orang tahu. Dan malah terlarang diceritakan kepada orang lain:

Wanita-wanita shalihah ialah yang taat beribadah, yang memelihara kehormatan dirinya, dan menjaga kehormatan suaminya, menjaga rahasia rumah tangganya sesuai dengan cara dan petunjuk Allah (an-Nisa/ 4:34)

Mereka, itu (istri) adalah pakaian bagimu, dan kamu (suami) adalah pakaian bagi mereka (al-Baqarah/2: 187).

Rasulullah juga memperingatkan serupa:

Seburuk-buruk manusia di sisi Allah pada hari kiamat adalah seorang lelaki yang menceritakan hubungan dengan istri
nya. Atau sang istri yang berhubungan dengan Suaminya. kemudian menyebarluaskan rahasia mereka. (HR. Muslim dan Abu Dawud).

Begitu juga riwayat lain mempertegas:


Perumpamaan orang yang berbuat demikian adalah lakana setan jantan dan betina bertemu dengan lawan jenisnya ditengah jalan. Kemudian dia melepaskan hajatnya, sedangkan manusia umum melihat dengan mata kepalanya sendiri (HR Ahmad dan Abu Dawud)

0 komentar: