Di Damaskus tahun 1804 masehi tejadi peristiwa mengerikan yang mungkin tak semua orang dapat mempercayainya. Adalah Padre Tomaso da Calangiano, seorang pendeta yang berasal dari Italy dan menetap lama di Damaskus, hilang secara misterius. Pendeta yang tekenal ramah dan sopan itu menghilang sebelum menyentuh makan malam yang telah dihidangkan. Semua orang merasa kehilangan. termasuk David Harary, seorang saudagar besar Yahudi separuh baya yang juga terkenal amat ramah kepada siapapun juga, termasuk kepada sang pendeta yang kerap menjadi teman diskusi masalah-masalah keagamaan.
Namun, misteri akan hilangnya sang paderi tak berlangsung lama. Solomon sang tukang cukur Yahudi membuka misteri itu. Misteri suatu peristiwa paling bodoh yang pernah dilakukan atas nama agama. Padre Tomaso telah menjadi bangkai. Mayatnya dikubur di halaman dalam rumah besar sang konglomerat yang sekaligus teman dekat pendeta: David Harary. Bahkan Davidlah yang memimpin upacara pembunuhan terhadap sang paderi. Upacara? Ya, upacara untuk mengambil darah orang masehi guna dicampur dalam adonan roti Canai yang nantinya dimakan dalam upacara istimewa. Salah satu khasiatnya adalah untuk mengembalikan keperjakaan David yang selalu lumpuh di hadapan Camelia, isterinya yang masih mudah dan cantik. Upacara dalam keagamaan Yahudi yang digelar tidak setiap tahun ini memang memuakkan. Mengorbankan nyawa seseorang. mengambil darahnya dan memakannya dalam roti hanya karena ia meyakini suatu keyakinan yang berlainan.
Peristiwa nyata. tragis dan memuakkan itu telah dikemas kembali dalam bentuk novel dengan bagus oleh Najib Kaelani dalam: Haaratul Yahud (Kampung Yahudi). Novel yang tidak terlalu tebal yang dilengkapi dengan referensi dan manuskrip interogasi kepolisian itu memang menggambarkan miniatur kehidupan manusia yang lengkap. Di sana ada keserakahan, obsesi, kemunafikan, hati nurani dan juga keyakinan salah yang banyak dianut oleh orang ramai.
Najib Kaelani, seorang sastrawan yang dipinggirkan karena keaktifannya di gerakan Islam, mengemas kisah ini dengan begitu apik hingga tak terkesan menjemukan atau tampil sekedar sebagai poster kampanye anti Yahudi. Yahudi yang menjadi terdakwa dalam kisah ini tidak melulu digambarkan sebagai garong dengan berwajah bengis atau penipu berakal bulus. Toh di akhir cerita, hati nurani Yahudi juga yang berbicara kebenaran. Hati nurani yang tidak mampu disentuh oleh setan manapun akhirnya berbicara lewat mulut sang barber Yahudi yang selalu dihantui oleh rasa bersalah.
Dengan lutut bergetar Ia paparkan semua kisah itu secara detail, dari mulai awal penculiknn sampai penguburan dan penyimpanan darah sang paderi dalam botol yang kemudian diserahkan kepada kerabian Yahudi. Salah seorang prajurit polisi jatuh pingsan, seorang perwira penyidik muntah-muntah dan terduduk lemas. Peristiwa itu memang mengerikan dan membuat bulu kuduk berdiri. Sang barber terus berkicau hingga habis gumpalan yang selama ini menyesakkan dadanya.
Mengkhianati hati nurani ternyata tak mudah. Walaupun untuk suatu kredo dan keyakinan. Kepuasan yang dibisikkan oleh setan ketika menyayat leher sang paderi ternyata tak cukup kuat untuk melawan hati nurani, yang menurut Najib Kaelani tak tersentuh oleh setan itu. Hal yang sama .sebenarnya juga terjadi pada ribuan tentara Israel yang menembak anak-anak intifadhah dengan peluruh karet atau peluru timah runcing. Mereka pembunuh biadab. Namun hati nurani atau fitrah kemanusiaan mereka berontak dan melawan kebiadaban mereka. Akhirnya rasa bersalah yang tumbuh di hati nurani itu pula yang menjadikan mereka manusia dengan jiwa yang kurang normal dan harus tinggal di perawatan kesehatan jiwa. Hal itu juga terjadi pada pasukan Merah Rusia, tentara SS Nazi, gerombolan Khmer Merah dan juga pada diri kita sendiri.
Namun seringkali hati nurani kalah bertarung melawan segala macam kebiadaban dan kebejatan. Ketika hati nurani bertekuk lutut di hadapan segala kebejatan, ketika itulah manusia tidak mempunyai keseimbangan dalam hidupnya. Ia mampu menjadi makhluk terbengis sekalipun. Seperti ketika pasukan Israel menembaki anak-anak Palestina yang innocent, atau Pasukan SS Nazi yang membunuh orang yang tidak berkulit putih bersih. Tapi mereka merana dalam kebengisan. Hati nurani terlalu kuat untuk dilawan, terlalu dalam akarnya untuk dicabut. Setiap usaha untuk mencabutnya dan menggantikannya dengan kebejatan akan berakhir pada kesengsaraan.
“Jangan sekali-kali mengkhianati hati nurani, hio!” teriakan Sawung Jabo dalam Hio-nya ini mungkin tidak dapat dilaksanakan oleh siapa pun juga kecuali oleh orang-orang yang memang benar-benar mengerti hati nurani dan fitrah kemanusiaan yang dikaruniakan oleh Allah kepada hamba-Nya.
Namun, misteri akan hilangnya sang paderi tak berlangsung lama. Solomon sang tukang cukur Yahudi membuka misteri itu. Misteri suatu peristiwa paling bodoh yang pernah dilakukan atas nama agama. Padre Tomaso telah menjadi bangkai. Mayatnya dikubur di halaman dalam rumah besar sang konglomerat yang sekaligus teman dekat pendeta: David Harary. Bahkan Davidlah yang memimpin upacara pembunuhan terhadap sang paderi. Upacara? Ya, upacara untuk mengambil darah orang masehi guna dicampur dalam adonan roti Canai yang nantinya dimakan dalam upacara istimewa. Salah satu khasiatnya adalah untuk mengembalikan keperjakaan David yang selalu lumpuh di hadapan Camelia, isterinya yang masih mudah dan cantik. Upacara dalam keagamaan Yahudi yang digelar tidak setiap tahun ini memang memuakkan. Mengorbankan nyawa seseorang. mengambil darahnya dan memakannya dalam roti hanya karena ia meyakini suatu keyakinan yang berlainan.
Peristiwa nyata. tragis dan memuakkan itu telah dikemas kembali dalam bentuk novel dengan bagus oleh Najib Kaelani dalam: Haaratul Yahud (Kampung Yahudi). Novel yang tidak terlalu tebal yang dilengkapi dengan referensi dan manuskrip interogasi kepolisian itu memang menggambarkan miniatur kehidupan manusia yang lengkap. Di sana ada keserakahan, obsesi, kemunafikan, hati nurani dan juga keyakinan salah yang banyak dianut oleh orang ramai.
Najib Kaelani, seorang sastrawan yang dipinggirkan karena keaktifannya di gerakan Islam, mengemas kisah ini dengan begitu apik hingga tak terkesan menjemukan atau tampil sekedar sebagai poster kampanye anti Yahudi. Yahudi yang menjadi terdakwa dalam kisah ini tidak melulu digambarkan sebagai garong dengan berwajah bengis atau penipu berakal bulus. Toh di akhir cerita, hati nurani Yahudi juga yang berbicara kebenaran. Hati nurani yang tidak mampu disentuh oleh setan manapun akhirnya berbicara lewat mulut sang barber Yahudi yang selalu dihantui oleh rasa bersalah.
Dengan lutut bergetar Ia paparkan semua kisah itu secara detail, dari mulai awal penculiknn sampai penguburan dan penyimpanan darah sang paderi dalam botol yang kemudian diserahkan kepada kerabian Yahudi. Salah seorang prajurit polisi jatuh pingsan, seorang perwira penyidik muntah-muntah dan terduduk lemas. Peristiwa itu memang mengerikan dan membuat bulu kuduk berdiri. Sang barber terus berkicau hingga habis gumpalan yang selama ini menyesakkan dadanya.
Mengkhianati hati nurani ternyata tak mudah. Walaupun untuk suatu kredo dan keyakinan. Kepuasan yang dibisikkan oleh setan ketika menyayat leher sang paderi ternyata tak cukup kuat untuk melawan hati nurani, yang menurut Najib Kaelani tak tersentuh oleh setan itu. Hal yang sama .sebenarnya juga terjadi pada ribuan tentara Israel yang menembak anak-anak intifadhah dengan peluruh karet atau peluru timah runcing. Mereka pembunuh biadab. Namun hati nurani atau fitrah kemanusiaan mereka berontak dan melawan kebiadaban mereka. Akhirnya rasa bersalah yang tumbuh di hati nurani itu pula yang menjadikan mereka manusia dengan jiwa yang kurang normal dan harus tinggal di perawatan kesehatan jiwa. Hal itu juga terjadi pada pasukan Merah Rusia, tentara SS Nazi, gerombolan Khmer Merah dan juga pada diri kita sendiri.
Namun seringkali hati nurani kalah bertarung melawan segala macam kebiadaban dan kebejatan. Ketika hati nurani bertekuk lutut di hadapan segala kebejatan, ketika itulah manusia tidak mempunyai keseimbangan dalam hidupnya. Ia mampu menjadi makhluk terbengis sekalipun. Seperti ketika pasukan Israel menembaki anak-anak Palestina yang innocent, atau Pasukan SS Nazi yang membunuh orang yang tidak berkulit putih bersih. Tapi mereka merana dalam kebengisan. Hati nurani terlalu kuat untuk dilawan, terlalu dalam akarnya untuk dicabut. Setiap usaha untuk mencabutnya dan menggantikannya dengan kebejatan akan berakhir pada kesengsaraan.
“Jangan sekali-kali mengkhianati hati nurani, hio!” teriakan Sawung Jabo dalam Hio-nya ini mungkin tidak dapat dilaksanakan oleh siapa pun juga kecuali oleh orang-orang yang memang benar-benar mengerti hati nurani dan fitrah kemanusiaan yang dikaruniakan oleh Allah kepada hamba-Nya.
0 komentar: