Jumat, 24 Februari 2017

Bercermin Dari Azab Kaum Homoseksual


Belajar sejarah tidaklah sekedar upaya kita menambah wawasan dan informasi tentang peristiwa-peristiwa penting yang pernah terjadi di masa lampau, namun yang terpenting adalah bagaimana kita menggali hikmah-hikmah dan pelajaran-pelajaran berharga dari peristiwa-peristiwa sejarah itu untuk kita jadikan bekal dalam rangka menata dan meniti kehidupan kita ke arah yang lebih baik.
A1-Qur’an al-Karim merupakan salah satu sumber data sejarah nan akurat dan abadi yang sarat dengan fakta-fakta, sekaligus pelajaran-pclajaran berharga bagi kita. Peristiwa kebangunan suatu ummat bangsa dengan segenap faktor-faktor yang menyebabkan kokoh dan tegaknya bangsa itu haruslah kita cermati secara serius dalam rangka upaya kita bercermin lalu merajut kehidupan ini sesuai dengan format Qur’ani yang telah digariskan. Sebaliknya peristiwa runtuh dan jatuhnya suatu bangsa dengan segala unsur-unsur yang melumat dan meluluh lantakkan bangsa itu haruslah kita waspadai dengan upaya-upaya antisipatif agar ummat ini tidak bertindak ceroboh dan gegabah meniru pebuatan non Qur’ani nenek moyang mereka terdahulu yang dapat menggiring mereka menuju jurang kehancuran.

Sehubungan dengan itu layaklah kita simak firman Allah yang artinya: 

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (Q.S al-A‘raf 96).

Berdasarkan ayat ini, syarat untuk bisa mendapatkan berkah karunia langit dan bumi adalah iman dan taqwa, sedangkan petaka, adzab dan siksa Allah swt, diperuntukkan bagi kaum yang mendustakan ayat-ayat-Nya. Salah satu peristiwa sejarah yang erat kaitannya dengan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya adalah kisah kaum Nabiyullah Luth as. tatkala moralitas yang bersumberkan ayat-ayat-Nya enggan mereka praktikkan bahkan cenderung mereka singkirkan dari arena kehidupan, sebagai gantinya mereka mengenakan kaca mata hawa nafsu, mengumbar syahwat sesama jenis dan melanggar rambu-rambu susila yang lazim dilakukan manusia normal.

Tragedi amoral tersebut direkam oleh al-Qur’an lewat firman-firman-Nya (al-A’raf 80-84, Hud 69-83, asy-Syu’ara 160-175 dan al-Ankabut 28-35). Berikut ini kita paparkan beberapa ayat cuplikan peristiwa itu agar mampu kita jadikan pelajaran.

Allah swt. berfirman yang artinya: 

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ
Dan (kami lelah mengutus) Luth kepada kaumnya, (Ingatlah) tatkala Ia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah (Homosexual) itu yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?” (QS al-A‘raf 8O)

Lewat ayat ini kita mendapat informasi bahwa kaum nabi Luth-lah pencetus ide awal gerakan homosexual yang mana sebelum mereka hal itu belum pernah dikenal dan dilakukan orang. Perbuatan tersebut amatlah kotor dan menjijikkan tak dapat diterima oleh akal sehat dan nurani yang bersih kecuali apabila dominasi syahwat dan hawa nafsu yang menjadi kendali dan tolok ukur Oleh karena itu dalam ayat ini digunakan lafazh “al-Faahisyah” (keji/menjijikkan) disebabkan akal dan nurani yang bersih menolak perbuatan itu. Kemudian digunakan lafazh “Syahwat”dalam ayat berikutnya sebagai gambaran bahwa penyimpangan itu dilakukan semata-mata didorong oleh syahwat, hawa nafsu yang keluar dari ambang fitrah. Terekam dengan jelas peristiwa itu di dalam al-Qur’an yang artinya :

إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ
Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsurnu (kepada mereka,), bukan pada wanita malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. (Q.S al-A ‘raf 81).

Fenomena ketertarikan kepada sesama jenis laki-laki tahadap laki-laki (homosex), wanita terhadap wanita (lesbian) hingga menjurus keperbuatan nista merupakan perbuatan dan moral yang melampuai batas-batas agama, batas akal sehat dan batas fitrah yang cenderung secara naluriah suka terhadap lawan jenis. Namun bila syahwat sudah menjadi kendali dan “tuhan baru”, maka rambu-rambu religius akhlakul karimah yang sakral dalam pandangan syariat, akal dan nurani menjadi ringan untuk diterjang.

Kaum Nabi Luth yang nota benenya, pencipta dan pencetus ide mula permainan tabu yang amat menjijikkan ini“boleh berbangga diri” sebab karya cipta mereka makin mendapat tempat dan digemari orang di zaman modern ini. Bahkan tuntutan-tuntutan agar mereka bisa diterima secara wajar dalam masyarakat makin gencar dikumandangkan, demikian pula unjuk rasa-unjuk rasa kian merebak di negara-negara maju (Amerika dan Eropa) mengharap dengan sangat agar disahkan sebuah undang-undang yang melegitimasi, perbuatan itu sebagaimana lazimnya pengesahan pasangan pengantin pria dan wanita. Kebejatan moral itu tak hanya melanda kalangan seniman atau artis-artis yang memang berada di jalur rawan penyimpangan sexual itu, namun ia juga merebak memenuhi jajaran birokrasi-birokrasi pemerintahan. Berkata Muhammad Quth:
“Pada tahun 1962 Presidcn Kennedy dalam pengumuman resmi menegaskan bahwa hari depan Amerika amat mengkhawatirkan, karena muda-mudinya tenggelam dalam dekadensi moral... dari tujuh orang pemuda yang mengajukan diri untuk mengikuti wajib militer, enam orang di antaranya tidak dapat diterima, karena menurut pemeriksaan dokter, kesehatan dan jiwa mereka telah rusak akibat kebiasaan tenggelam di dalam nafsu syahwat (praktik sexual bebas).
Beberapa waktu kemudian tejadilah peristiwa yang amat memuakkan. Departemen luar negeri AS tepaksa memecat 33 orang pcgawainya, karena kebiasaan mereka melakukan homosexual. Karena kebiasaan itulah mereka tidak dapat dipercaya akan sanggup menjaga rahasia negara”. (Jahiliyah Abad 20 hal. 215).

Itulah sekelumit gambaran tentang kaum yang melampuai batas (musrifun) dan dalam redaksi yang lain Allah swt berfirman: “bahkan kalian itu sebenarnya adalah kaum yang bodoh (jahil)” (Lihat an-Naml 54-58). Bodoh dalam pengertian tidak punya ilmu atau bodoh dalam pengertian itu adalah perbuatan orang-orang yang nista, bodoh akan efeknya, bodoh bahwa ada yang lebih baik untuk mereka (para wanita), bodoh bahwa itu membahayakan diri, akal dan turunan, mencabut rasa malu, tata krama umum dan memancing wanita.wanita normal untuk berbuat serupa atau berzina secara bebas karena menganggap hak kewanitaannya sudah tak berharga dan bernilai lagi bagi suami-suami mereka.

Namun selamanya penganjur-penganjur kebaikan, tidaklah dengan mudah diterima di hati masyarakat apalagi bagi masyakat sakit yang penuh kebobrokan dan borok-borok moral yang akut semacam kaum homosex di zaman nabi Luth as. itu. Sunnatullah pun senantiasa bergulir, pemela-pembela kebenaran dan pejuang-pejuang hak asasi manusia yang normal di zaman modern inipun kian tersingkir, suara-suara mereka tak lagi didengar, ajakan-ajakan mereka justru dibalas dengan ejekan-ejekan yang menyakitkan. Firman Allah yang artinya: 


وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوهُمْ مِنْ قَرْيَتِكُمْ ۖ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ

Jawab kaummnya tidak lain hanya menyatakan: “Usirlah merekal (luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri" (al-A‘raf 82)

Bila suatu masyarakat menjadikan tolak ukur nilai adalah dengan kacamata syahwat (pemuasan hawa nafsu tanpa kendali), maka amatlah wajar timbulnya ungkapan: kalian sok alim atau sok suci, yang diarahkan kepada penganjur-penganjur kebatilan, Sungguh tragis memang, bila hubungan sakral nan suci, mahligai perkawinan sudah tak lagi mendapat tempat yang layak dan sebagai gantinya “yang lebih suci” adalah hubungan-hubungan yang bebas tanpa batas, berganti-ganti pasangan, homosexual, bisekxual, kumpul kebo, WIL, PIL, Perek, Sodomi, dll. Bukankah amat sering kita jumpai, seorang istri yang merelakan suaminya bergaul bebas dengan wanita lain asalkan Ia tak dimadu, bila diingatkan ia akan berkata: Jangan sok suci, dan ungkapan itu pula yang sering di buah bibirkan kalangan artis yang cenderung buka-bukaan…..jangan sok suci, sok alim atau tak usah munafiklah!

Setiap pembangkangan terhadap ajaran-ajaran ilahi (ajaran aqidah, muamalah, moral, dll) termasuk di dalamnya apa yang digeluti oleh kaum Nabi Luth dan generasi yang datang setelah mereka hingga sekarang ini senantiasa mendatangkan sanksi, di dunia ataupun di akhirat. Dalam kasus kaum Luth itu Allah berfirman yang artinya: 


فَأَنْجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلَّا امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَوَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا ۖ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ

Lalu Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya, dia term asuk orang-orang yang dibinasakan, dan kami turunkan kepada mereka hujan (batu), maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat dosa itu (QS al-A‘raf 83-84).

Ayat ini mengisyaratkan kepada kita betapa eratnya kaitan antara adzab Allah (hujan batu) dengan moralitas suatu ummat. Moralitas yang bobrok, kriminalitas di mana-mana, korupsi, kolusi, zina, lokalisasi, sex bebas dll. sangat membuka peluang bagi datangnya adzab Allah dari
langit maupun bumi (Lihat QS. 18:40-41). Langit pun enggan menurunkan airnya, seandainya hujan turunpun Ia akan menjelma menjadi airbah yang akan melumat habiskan lingkungan sekitar, fenomena kekeringan/kemarau yang melanda, bencana asap, kelaparan, tersebarnya penyakit, tabrakan plus kecelakaan di laut maupun udara adalah salab satu peringatan bagi kita agar kita mau kembali menggenggarn ajaran iman dan taqwa di samping segera mensucikan tangan dan diri kita dari jelaga-jelaga kemaksyiatan yang akan segera mengkristal bila tidak dengan segera dibasmi tuntas hingga keakar-akarnya.
Bencana yang kita derita sudah cukup banyak memakan korban,jiwa, harta, dan martabat kita oleh karena itu hentikan dengan segcra penyelewengan- penyelewengan kita terhadap ajaran rabbani ini, bila tidak, maka murka dan azab Allah siap menggulung kita lebih dahyat lagi di mana dan kapan saja kita berada. 


Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan, kami kepada mereka di wakiu Dhuha (naiknya matahari) justru di saat mereka sedang bermain-main? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi. Dan apakah belum jelas bagi orang-orang yang mewarisi suatu negeri Sesudah (lenyap) penduduknya, bahwa kalau kami menghendaki tentu kami adzab mereka karena dosa-dosanya. dan kami kunci mati hati mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar (pelajaran lagi). Negeri-negeri (yang telah kami binasakan) itu, kami ceritakan sebagian dari berita-beritanya kepadamu (QS. al-A‘raf 97-101).

Semoga kita sadar dan bisa mengambil hikmah dari peristiwa masa lalu dan tragedi yang baru saja kita rasakan. Wallahu a’lam.

Al-Qur’a al-karim 
Da’waturrusul (Al-adawi) 
Jahiliyah Abad 20 (M Quthb)

0 komentar: