Dalam menempuh hidup berumah tangga, selalu dihadapkan berbagai masalah yang memerlukan pemecahan. Masalah-masalah yang terjadi dalam keluarga hendaknya dipecahkan dan diselesaikan dengan baik oleh anggota keluarga terutama suami dan istri.
Oleh karena itu, agar tidak teradi perselisihan dan permusuhan di antra anggota keluarga, maka masing-masing harus menginsafi diri sebagai anggota keluarga yang memiliki kewajiban-kewajibannya. Mereka harus menunaikan hak dan kewajiban sebagaimana mestinya. Khususnya bagi suami dan istri, mereka dituntut urituk memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Islam agar tidak terjadi nusyuz di antara mereka. Nusyuz merupakan perbuatan dosa yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya dan istri pada suaminya.
Pengertian Nusyuz
Nusyuz menurut arti asal adalah tempat atau dataran yang tinggi. Kemudian kata tersebut digunakan sebagai istilah kedurhakaan di antara suami-istri. Seorang istri yang tidak patuh terhadap suaminya serta tidak menaati kewajibannya, dan suami tidak menaati hak dan kewajibannya, maka ini merupakan perbuatan nusyuz. Tegasnya, apabila Istri atau suami melanggar hak dan kewajibannya, maka mereka telah berbuat nusyuz.
lbnu Atsir mengatakan: “Telah (sering) diulang dalam hadits (tentang) penyebutan nusyuz diantara suami istti, seperti dikatakan (contoh), Na syazalil Mar’ah Ala Jauziha (seorang perempuan berbuat nusyuz terhadap suaminya)’. Maka Ia telah berbuat nusyuz, yaitu apabila ia maksiat terhadap (suami)-nya dan keluar dari ketaatannya. Dan dikatakan pula, Na syaza alaiha Zaujuha (suaminya berbuat nusyuz terhadap istrinya)’. Yaitu apabila ia berbuat kasar terhadap istrinya dan memukulnya”. (An Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, V: 55-56).
Oleh karena itu Islam melarang perbuatan nusyuz. Karena salah satu dampak daro perbuatan nusyuz ini dapat menghancukan tatanan hidup berumah tangga. Bahkan lebih dari itu, perbuatan ini juga dapat menyebabkan perceraian.
Nusyuz dari Pihak Istri
Posisi istri dalam keluarga mempunyai hak dan kewajiban yang mesti ditunaikan. Apabila Ia mampu menunaikan hak dan kewajiban sebagaimana mestinya, maka Ia termasuk istri shalihah. Tetapi scbaliknya, kalau ía melangar dan tidak mematuhi kewajibannya, maka ia termasuk istri yang nusyuz dan durhaka. Istri yang shalihah serta taat adalah yang patuh dan tunduk terhadap Allah dan Rasul-Nya, serta taat terhadap suaminya selama tidak memerintah maksiat. Ia mampu memelihara diri dari ucapannya, mampu menjaga harta suami dan anak-anaknya, serta mampu merahasiakan aib keluarganya.
Allah swt. menjanjikan pahala yang besar atas istri yang shalihah dan taat kepada Allah, Rasul-Nya, dan suaminya.
Dari sahabat Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik wanita adalah apabila kamu (suaminya) melihatnya menggembirakanmu, apabila engkau memerintahnya ia menaatinya, dan apabila ia tidak ada di hadapanmu, Ia selalu memelihara (kehomatanmu dan dirinya, serta hartamu”. Kemudian Rasulullah saw. membacakan ayat, “Arrijalu qawwamuna ... .(HR. Al-Baihaqi dan Ibnu Jarir).
Adapun istri yang nusyuz (durhaka) adalah mereka yang melalaikan hak dan kewajibannya, takabur (sombong) terhadap suaminya, dan murka terhadapnya. Apabila suami merasakan atau melihat tanda-tanda nusyuz dari istrinya maka ia harus meluruskan serta mendidiknya. Sebagaimana termaktub dalam ayat:
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka Janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesunggguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. an-Nisa 34).
Ayat ini sebagai pelajaran bagi suami tentang cara-cara mendidik istri yang nusyuz. Bagi seorang suami yang diperlakukan nusyuz oleh istrinya, Ia harus mendidiknya dengan cara-cara sebagai berikut:
a. Memberi peringatan dan nasihat yang dapat mempengaruhi dirinya. Misalnya suami memberi peringatan agar taqwa kepada Allah, agar takut terhadap ancaman siksaan-Nya, serta mengingatkan kepadanya akibat yang akan dialaminya di dunia dan di akhirat. inilah yang dimaksud firman Allah: ‘Faidzhunna (nasihatilah oleh kamu)”.
b. Kalau dengan cara yang pertama tidak berhasil, maka ditempuh dengan cara yang kedua yaitu, suami harus memisahkan diri dari tempat tidur istrinya, atau tidak mengajak bicara tapi jangan lebih dari tiga hari. Dan cara ini adalah yang dimaksud oleh Firman-Nya: “Wahjuruhunna Fil ,Madhaji (dan pisahkanlah mereka dari tempat (tidur mereka)”.
Namun dalam melakanakan cara yang kedua ini ada batas-batas tententu yang perlu diketahui. Misalnya suami tidak boleh berlebihan ketika memisahkan dirinya sampai dl luar rumah. Karena sehubungan dengan ini ada hadits yang menerangkan:
Dari Muawiyah bin Haidah al-Kusyairi, bertanya kepada Nabi saw, : “Ya Rasulullah, apa saja hak istri kami yang harus dipenuhi?’ Beliau menjawab: “Memberinya makan, memberi pakaian, tidak memukuli wajahnya, tidak mencelanya, dan tidak memisahkan diri dari mereka kecuali di rumah. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ath Thabrani).
Mudah-mudahan perbuatan ini dapat menjadi dorongan terhadap istri sehingga Ia benar-benar sadar akan tindakannya. Tapi kalau dengan cara yang kedua ini tidak bermanfaat, maka ditempuh cara selanjutnya.
c. Suami dibolehkan mukul istrinya. kalau kebal dengan cara-cara yang pertama dan kedua. Tentunya memukul disini bukan bertujuan untuk melampiaskan nafsu suaminya melainkan sekedar didikan dan peringatan atas mereka. Sehingga Rasulullah saw. melarang seorang suami memukul istrinya dengan pukulan yang menyakitkan:
Rasulullah bersabda: Jika mereka melakukan hal tersebut(Maksiat), maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan”. (HR. Muslim).
Para ulama di kalangan sahabat yang di antaranya lbnu Abbas dan Atha bin Yasar berpendapat bahwa pukulan yang tidak menyakitkan itu dengan siwak (sejenis sikat gigi), Sedangkan Qatadah mengatakan: Pukulan yang tidak menyakilkan itu yang tidak membuat cedera.
Selain itu, dalam menjalani cara yang ketiga ini yang mesti diperhatikan adalah tidak boleh memukul Wajah. Sebab Rasulullah saw. ketika ditanya tentang apa saja hak seorang istri atas suaminya, maka beliau menjawab: Memberinya makan, memberi pakaian, tidak memukul wajahnya, tidak mencelanya , dan tidak memisahkan diri dari mereka kecuali di rumah. (HR. ath-Thabari).
Dalam hadits ini diterangkan bahwa Rasulullah saw. melarang memukul wajah. Sebab, wajah merupakan mahkota dan kecantikan wanita. Yang dimaksud dengan pukulan yang tidak menyakitkan disini bukan disebabkan oleh alat pemukulnya, melainkan cara pukulan yang mengakibatkan Si istri sakit hati. Tepatnya, segala bentuk dan cara pukulan yang menyebabkan sakit semuanya dilarang. Sekali lagi, bahwa ketiga cara Untuk menyadarkan istri di atas bukan bertujuan untuk mendiskriminasikan kaum wanita, melainkan salah satu metoda pengobatan dan didikan agar Si istri itu sadar dan taqwa kepada Allah swt. Serta harus disadari bahwa hukum syari’at Islam itu tidak lepas dari kemaslahatan bagi manusia sendiri. Namun demikian, sekalipun memukul itu dibolehkan, tetapi yang tidak memukul itu lebih baik. Karena ada hadits yang menerangkan: “Orang-orang (suami) yang baik di antara kamu adalah yang tidak pernah memukul istrinya”.
d. Apabila dengan ketiga cara di atas masih juga tidak berpengaruh, maka ditempuh çara yang terakhir yaitu dengan mengadakan perdamaian. Di antara keduanya dituntut untuk mendatangkan juru pendamai baik dari kalangan saudaranya, karib kerabatnya, atau orang luar. Karena yang menjadi pokok dengan diadakan juru pendamai ini agar diketahui celah-celah kesalahannya, kemudian persoalan-persoalan yang terjadi dapat diselesaikan dengan baik dan mendatangkan kemaslahatan.
Walaupun yang menjacli juru pendamai ini boleh siapa saja, tetapi anggota keluarga atau karib-kerabat lebih diutamakan. Sebab merekalah yang lebih tahu tentang keadaan keduanya, dan tentunya mereka pun harus dipilih orang yang sekiranya dapat menjaga rahasia atau aib keluarga suami istri tersebut, yaitu tidak menyebarluaskan kepada orang lain. Cara keempat ini adalah yang dimaksud oleh firmàn Allah:
Dan jika kamu khawatir ada perselisihan di antara keluarganya, maka utuslah seorang juru pendamai dari pihak keluarga laki-laki dan seorang lagi dari pihak istri. Apabila kedua juru pendamai itu mengadakan islah (perdamaian), maka Allah swt. akan memberi taufik kepada keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. an-Nisa’ 35).
Selanjutnya, apabila istri sudah taat pada suaminya dengan salah satu cara-cara yang tersebut di atas, maka suami tidak boleh mencari-cari jalan (celah-celah) untuk menyulitkan mereka. Tepatnya, bila dengan cara yang pertama berhasil dan bermanfaat, maka jangan dilakukan cara yang kedua dan seterusnya.
Nusyuz dari Pihak Suami
Suami yang nusyuz adalah bersikap keras terhadap istrinya, tidak mau menggaulinya, dan tidak menunaikan hak-haknya. Dalam hal ini Allah swt. menjelaskan:
Dan jika seorang wanita khawatirkan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebth baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. an-Nisa’ 128).
Konteks ayat ini menjelaskan bahwa apabila seorang istri mengetahuli atau merasakan nusyuz dari suaminya, hendaklah keduanya mengadakan perdamaian. Misalnya istri bersedia dikurangi beberapa haknya asalkan suaminya mau sadar dan taqwa kepada Allah. Tentang sebab nuzul ayat ini ada sebuah hadits yang mengisahkan:
Siti Aisyah menerangkan: ‘Ada searang laki-laki yang mempunyai istri dan ia sudah tidak banyak menginginkan darinya (kecintaan, pergaulan, dan kewajbannya). Ia hendak menceraikannya. lalu istrinya berkata: ‘Aku berikan kebebasan kepadamu dari hak-hak saya (berupa nafkah, pakaian, atau mas kawin,. maka turunlah ayat di atas tentang kejadian ini”. (HR. Baihaqi).
Oleb sebab itu, laki-laki atau suami yang baik dan shalih adalah yang tidak menyusahkan istrinya dengan cara mengambil kembali haknya yang sudah diberikan, kecuali kalau mereka melakukan pekerjaan keji dan maksiat. Serta suami yang shalih itu yang menggauli istrinya dengan baik dan benar menurut ketentuan syari’at. Kemuliaan dan keshalihan seorang istri pun dapat dilihat dan diperhatikan dari kehormatan suaminya.
Rasulullah menegaskan: Tidak ada yang dapat memuliakan istri-istri melainkan laki-laki yang mulia, dan tidak ada yang menghikannya kecuali laki-laki yang hina. (Fiqus Sunnah, II; 160).
Seorang suami yang mampu memuliakan istrinya adalah sebagai ciri kesempurnaan pribadinya yang baik. Sedangkan suami yang menghinakan istrinya merupakan ciri kerendahan dan hina pribadinya. Wallahu a’lam
0 komentar: