Wahai jiwa-jiwa yang tentram pulanglah ke pangkuan Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai, Masuklah, ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku dan masuklah ke surga-Ku”
Adalah Sigmund Freud yang atheis mengerti bahwa kehidupan psikis manusia merupakan buah dari konflik abadi daya-daya tertentu dalam diri manusia. Selama hidupnya Freud sampai pada tiga kesimpulan tentang daya-daya apa saja yang bersitegang itu. Kesimpulan kedua adalah revisi dari kesimpulan pertamanya dan kesimpulan ketiga menjadi kritik terakhir terhadap dua kesimpulan sebelumnya. Maka kita mengerti pendapat akhir Freud tentang daya-daya itu pada kesimpulannya yang terakhir.
Bagi Freud, sejak lahir manusia dibekali dua naluri: naluri kematian yang bersifat destruktif (thanatos) dan naluri kehidupan yang bersifat komstruktif atau selalu ingin mempertahankan hidup (libido atau eros). Naluri-naluri ini saling tarik-menarik. Jika proses pertentangan dan tarik menanik ini tidak seimbang. umpamanya terlalu banyak tarikan destruktif, maka akan muncul ketidakberesan psikis. Prilaku-prilaku menyimpang dan tindak-tindak kejahatan. baik terhadap diri sendiri (narsisistis) ataupun terhadap orang lain (berobjek), muncul akibat pertentangan yang tidak seimbang macam itu. Sementara itu, prilaku baik merupakan sumbangan dari dunia luar yang mengajarkan nilai-nilai lalu diinternalisasi menjadi apa yang disebut hati nurani atau moral”. Hati nurani bertempat di suatu instansi psikhis yang dinamai "superego". Superego ,menyatakan diri benkonflik dengan “ego” tempat di mana eros dan thanatos bersitegang sambil berinteraksi dengan dunia luar. Ego selalu bersifat mempertahankan diri. Ego dibedakan dari “Id” (instansi psikhis paling dasar ) hanya pada taraf interaksi dengan dunia luar. Pada saat belum berinteraksi, ego bersama Id. Setelah terjadi interaksi dengan dunia di luar dirinya id bertambah fungsi dan membentuk ego. Apabila konflik dimenangkan oleh superego. saat itulah timbul perbuatan yang sering disebut kebaikan” atau “perbuatan baik’.
Tarikan-tarikan naluri kematian (thanatos) ataupun tarikan-tarikan naluri kehidupan (eros) bersifat netral. Keduanya dibutuhkan untuk mempertahankan hidup. Pertentangan antara thanatos dari eros dalam ego Itu yang menjadi daya hidup manusia dan yang menyebabkan adanya kehidupan psikhis dalam diri manusia. Apabila konflik dalam keadaan seimbang, psikhis manusia dikatakan normal. Apabila tidak, maka akan muncul penyimpangan psikhis. Dalam hal ini ego berperan mengatur keseimbangan konflik antara eros dan thanatos. Demikian Freud dengan tulisan psikologisnya. Tulisan ini tidak hendak membahas teori itu. baik untuk keperluan teori itu sendiri ataupun untuk keperluan alat analasis. Tulisan ini sekedar hendak mengajak berfikir tentang diri kita. Diri kita yang diciptakan Tuhan lalu diperhatikan-Nya. Diri kita yang selalu bergantung pada-Nya. Tentu saja rumus-rumus macam itu tak akan ditemukan dalam teori-teori Freud. Teori Freud hanya sekedar batu loncatan untuk menangkap sesuatu yang mesterius tapi nyata dalam kehidupan kita sebagai manusia dan sebagai hamba-hamba ciptaan Tuhan.
Rumus-rumus tentang Tuhañ dan firman-firman-Nya yang absolut, tentu agak aneh dalam pemikiran Freud yang rasional dan hampir anti-Tuhan. Bagi Freud agama hanya sekedar ilusi dan pelipur laraa bagi orang-orang yang belum bisa berfikir rasional. Semakin rasional manusia, semakin sadar manusia akan kebohongan agama.
Akan tetapi seandainya Freud tahu bahwa 13 abad sebelum dia berfikir tentang manusia al-Qur’an yang wahyu Allah ini telah menjelaskan fenomena kejiwaan manusia, pasti dia akan berfikir lain tentang agama. Masalah ini pun tidak akan diperpanjang dalam tulisan ini. Kita hanya akan mencoba memahami apa yang dikatakan al-Qur’an tentang aktivitas psikhis manusia.
Al-Quran memperkenalkan daya psikhis manusia dengan istilah nafs. Nafs merupakan daya hidup dan salah satu komponen wujud kedirian manusia. Berulang-ulang al-Qur’an menyebut manusia yang hidup dan beraktivitas dengan kata ini. Nafs dalam keseluruhan eksistensi manusia dibedakan dari rohani (ruh atau spirit) dan jasmani (physic). Ruh adalah potensi spiritual dalam diri manusia yang berhubungan langsung secara primordial dengan Allah. Jasmani adalah raga fisik yang terlihat kasat mata. Semenlara Nafs dipersamakan dengan potensi psikhis manusia. Jadi, manusia dalam keseluruhan eksistensinya merupakan perpaduan antara ruhani-nafsani•jasmani (spieit-psychis-physic). Demikian seperti diteorikan Nurcholis Madjid.
Nafs sebagai wahana psikhis yang berkehendak dan menjadi pusat pergerakan segenap aktivitas manusia sesungguhnya bersifat netral. Dia tidak berkonotasi negatif seperti kata nafsu” yang dikenal dalam bahasa kita. Nafs dapat mendorong prilaku-prilaku positif dan negatif sekaligus. Mengapa demikian? Dalam nafs terjalin dua daya yang saling berkonfrontasi: positif dan negatif. Kedua daya itulah yang menyebabkan nafs dapat mendorong prilaku-prilaku positif dan negatif.
Sampai di sini kita menemukan kesamaan dalam konsep konfrontasi daya-daya psikhis dalam teori Freud yang telah diuraikan singkat di muka. Yang positif dinamainya eros dan yang negatif thanatos. Namun Freud tidak mengerti mengapa sampai muncul eros dan thanatos Freud hanya berspekulasi bahwa seperti dalam susunan fisik manusia yang juga menunjukkan adanya konfrontasi positif-negatif, maka dalam susunan psikhis manusia pun demikian. Freud benar-benar tidak memahami unsur lain selain yang fisik itu.
A1-Qur’an menjelaskan bahwa ada unsur-unsur transenden yang ikut berpengaruh dalam diri manusia. Disebutkan bahwa daya positif dalam Nafs berasal dari kekuatan Allah yang diwujudkan dalam bentuk ruh. Ruh dalam diri manusia adalah bagian dari ruh Allah juga (32.9). Ruh inilah yang sering dinamai hati nurani. Ia bukan berasal dari nilai-nilai dalam masyarakat yang diinternalisasi ke dalam diri manusia seperti ajaran Freud. Ia telah tersedia secara asali. Karena daya ini pula, fitrah manusia diciptakan dalam kecendrungan pada kebaikan dan kebenaran (hanif). Dalam nafs ini pula tersimpan potensi negatif yang dinamai “hawa”. Pada beberapa ayat dinamai pula dengan istilah syahwat”.
Para ahli penyelidik bahasa yang cermat tentu akan menemukan perbedaan antara hawa dengan syahwat. namun secara umum konteks kalimat berbagai ayat yang menggunakan kedua kata tersebut menunjukkan pengertian yang sama. Terhadap keduanya, al-Qur’an memperingatkan agar manusia tidak berturut. Mengikuti semua kehendak hawa dan syahwat alamat kehancuran di hadapan mata.
Demikianlah dalam nafs yang merupakan wujud inti kedirian manusia tenjalin dua potensi yang saling bertentangan: ruh ilahi yang cenderung baik dan hawa atau syahwat yang cenderung merusak. Maka kedirian manusia di muka bumi sesungguhnya adalah perjuangan dalam mempertarungkan kebaikan dan keburukan dalam dirinya sendiri. Nafs merupakan sarana yang memutuskan apakah Ia akan memperturutkan ruh ilahi yang baik atau mengikuti hawa yang destruktif. Sejauh mana penjuangan nafs mempertarungkan kebaikan dan keburukan dalam dirinya, itulah yang akan dinilai oleh Allah.
Dalam konteks nafs yang berjuang Allah membedakan tiga jenis nafs : nafs’ ammarah (12:56), nafs lawwamah (75:2), dan nafs muthma’innah (89:28). Nafs’ammarah menggambarkan nafs yang lebih didominasi oleh dorongan hawa. Bahkan tak jarang hawanya itu dijadikan tuhan-tuhan tandingan bagi Allah (25:43). Nafs model inilah yang selalu menyuruh betbuat kejelekan. Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada keburukan kecuali yang mendapat rahmat Tuhan-ku, demikian firman Allah mengabadikan kata-kata istri Aziz, penguasa Mesir, yang memaksa Nabi Yusuf berbuat mesum. Nafs inilah yang telah menggerakkan tangan-tangan manusia mencipta kelaliman, kejahatan, kebejatan, dan kehancuran di serata tanah dunia.
Nafs yang tersadarkan bahwa dorongan hawa yang membabi buta berbuah dosa yang tercela. namun masih belum mampu keluar dari lumpur dosa itu. Allah katakan sebagai nafs lawwamah (nafsu yang mencela).
Munculnya nafs lawwamah harus dipahami sebagai sebuah proses dinamik dari nafs ammarah. Nafs lawwamah adalah wujud proses penyadaran diri manusia akan keberadaannya setelah dia terlena dengan buaian muslihat hawa dan syahwat yang memang mengasyikkan. Tentu saja perubahan itu tidak terjadi dengan sendirinya. Ia muncul dari usaha manusia yang ingin membebaskan diri dari penjajahan hawa dan syahwatnya sendiri. Internalisasi nilai-nilai terutama nilai-nilai ketuhanan. baik yang diperoleh melalui proses verbal ataupun proses sosialisasi lingkungan, menjadi salah satu insrtumen penting dalam usaha itu.
Dengan perjuangan berkelanjutan, sabar, konsisten. Dan tahan godaan, nafs manusia sangat mungkin mencapai derajat muthma’innah (yang tentram). Nafs muthmainnah telah berhasil mencegah pengaruh hawa dalam dirinya (79:39). Tentu saja, mencegah pengaruh bukan berarti membunuh. Hawa hanya dijinakkan sehingga hanya dapat menempati porsinya Sebagai daya biologis semata. Pada saat hawa berhasil dijinakkan, kesucian ruh yang bersemayam dalam nafs tidak terkontaminasi. Hubungan primordial dengan dzat asalnya, Allah Swt. tidak terganggu Kesuciannya kembali seperti saat semula diciptakan. Maka dari itu, sudah sewajarnya nafs yang ruhnya terpelihara dipanggil pulang oleh Sang Pemilik dengan mesra. Wahai nafs-nafs yang tenang (muthmainnah), kembalilah ke pangkuan Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai. Masuklah ke dalam golongan budak-budak-Ku dan ,masuklah ke dalam surga-Ku”. (Q.S. 89:28-30). Mudah-mudahan perjuangan kita di dunia melawan hawa dalam diri kita sendiri yang kata Rasul jihad terbesar dan terberat dapat mengantarkan nafs kita menjadi nafs kekasih Allah; nafs muthmainnah, Wallahu A’lam.
0 komentar: