Hal Ihwal Syeithan
Permasalahan ini merupakan persoalan prinsip dalam aqidah . Apakah syeithan itu? Apakah Ia hakiki (bendawi) atau ma’na? Atau sebagaimana diperkirakan oleh sebagian orang bahwa ia adalah penmikiran-pemikiran yang buruk dan godaan? Atau seperti kata sementara kalangan bahwa ia adalah kuman? Atau syeitan itu merupakan lambang keburukan? Marilah kita perbincangkan hal ini.
Bagaimana pandangan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah tentang permasalahan ini? Menurut aqidah kita bahwa syaithan itu dari kalangan jin. Firman-Nya:
"Dia (Iblis) Itu adalah dari golongan jin, maka Ia mendurhakai perintah Tuhannya"(al-Kahfi: 50),
Maka kita mengimani keberadaan jin dan manusia. Sedang syeithan dari kalangan jin. Ia berada bersama setiap manusia. Jadi setiap manusia disertai syeithan. Hal itu berdasarkan hadits Nabi saw. yang bersumber dari Ibnu Mas’ud dan dikeluarkan oleh Imarn Muslim:
Artinya : "Tidaklah salah seorang dari kamu melainkan disertai oleh pendamping dari kalangan jin dan pendamping dari Malaikat. Mereka (para shahabat) bertanya: Apakah engkau Juga demikian Rasulullah? Beliau (Nabi saw) menjawab: “Begitu juga saya, tetapi Allah ‘Azza wa Jalla menolong saya, maka Ia (pendamping tersebut) tidak menyuruh saya kecuali untuk kebenaran” .Jadi, setiap manusia disertai jin, sampai Rasulullah saw. sendiri demikian adanya..Tetapi Allah swt menolong beliau seliingga ia hanya menyuruh kepada kebaikan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Dari kejahatan (bisikan) syeithan yang biasa bersembunyi. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, Dari golongan jin dan manusia (an Nas: 1-6).
Waswasah (bisikan jelek) dilakukan oleh manusia yang berperangai buruk dan kadang-kadang dilakukan pula oleh jin. Syeithan jin juga membisikkan (kejelekan) kepada manusia. Syeithan itu berketurunan dan bertambah banyak, dan Keturunan dan para pengikut syeithan berusaha menggoda manusia dalam kehidupan di dunia ini. Allah swt berfirman :
"Patutkah kamu mengambil dia (syeithan) dan keturunan- keturunanya Sebagai pemimpin "(al- Kahfi: 50).
Kiat-Kiat Syeithan Menggoda
Permasalahan ini merupakan persoalan prinsip dalam aqidah . Apakah syeithan itu? Apakah Ia hakiki (bendawi) atau ma’na? Atau sebagaimana diperkirakan oleh sebagian orang bahwa ia adalah penmikiran-pemikiran yang buruk dan godaan? Atau seperti kata sementara kalangan bahwa ia adalah kuman? Atau syeitan itu merupakan lambang keburukan? Marilah kita perbincangkan hal ini.
Bagaimana pandangan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah tentang permasalahan ini? Menurut aqidah kita bahwa syaithan itu dari kalangan jin. Firman-Nya:
"Dia (Iblis) Itu adalah dari golongan jin, maka Ia mendurhakai perintah Tuhannya"(al-Kahfi: 50),
Maka kita mengimani keberadaan jin dan manusia. Sedang syeithan dari kalangan jin. Ia berada bersama setiap manusia. Jadi setiap manusia disertai syeithan. Hal itu berdasarkan hadits Nabi saw. yang bersumber dari Ibnu Mas’ud dan dikeluarkan oleh Imarn Muslim:
Artinya : "Tidaklah salah seorang dari kamu melainkan disertai oleh pendamping dari kalangan jin dan pendamping dari Malaikat. Mereka (para shahabat) bertanya: Apakah engkau Juga demikian Rasulullah? Beliau (Nabi saw) menjawab: “Begitu juga saya, tetapi Allah ‘Azza wa Jalla menolong saya, maka Ia (pendamping tersebut) tidak menyuruh saya kecuali untuk kebenaran” .Jadi, setiap manusia disertai jin, sampai Rasulullah saw. sendiri demikian adanya..Tetapi Allah swt menolong beliau seliingga ia hanya menyuruh kepada kebaikan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Dari kejahatan (bisikan) syeithan yang biasa bersembunyi. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, Dari golongan jin dan manusia (an Nas: 1-6).
Waswasah (bisikan jelek) dilakukan oleh manusia yang berperangai buruk dan kadang-kadang dilakukan pula oleh jin. Syeithan jin juga membisikkan (kejelekan) kepada manusia. Syeithan itu berketurunan dan bertambah banyak, dan Keturunan dan para pengikut syeithan berusaha menggoda manusia dalam kehidupan di dunia ini. Allah swt berfirman :
"Patutkah kamu mengambil dia (syeithan) dan keturunan- keturunanya Sebagai pemimpin "(al- Kahfi: 50).
Kiat-Kiat Syeithan Menggoda
Dalam melakukan aktivitasnya, syeithan menggunakan cara-cara yang bertahap, baik dalam masalah kandungan da’wah ataupun dalam masalah cara melakukan aktivitas da’wah, Imam Ibnul Qayyim al Jauziyah menyebutkan enam tahapan yang dilakukan syeithan dalam menghadapi kandungan da’wah.
Marhalah (Tahapan) pertama : Syeithan berusaha agar manusia itu kafir atau syirik. Kalau ternyata orang yang dihadapinya tersebut Muslim, maka ia turun ke tangga berikutnya
Marhalah kedua : yaitu fase bid’ah. Yakni seseorang digoda agar melakukan bid’ah dan mempraktikkannya. Jika orang tersebut termasuk kalangan ahli Sunnah, Ia memulai langkahnya ke tahapan berikutnya.
Marhalah ketiga : fase kabair (menggoda untuk melakukan dosa-dosa besar), yaitu digodanya agar manusia melakukan kemaksyiatan yang tergolong berdosa besar Bilamana ternyata orang tersebut telah dijaga oleh Allah, syeithan tetap tidak berputus asa.
Marhala keempat : Fase godaan agar melakukan shaghair (perbuatan yang mengandung dosa-dosa kecil). Tetapi kalau ternyata ia juga terjaga dalam hal Itu, maka Ia (syeithan) menyibukkannya dengan gaya syeithan yang lain.
Marhala kelima : Yaitu syeithan menyibukkan manusia dengan hal-hal yang mubah, sehingga orang tersebut menghabiskan waktunya untuk persoalan-persoalan yang mubah. Maka ia tidak lagi menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang mengandung kebaikan, yang sebenarnya kita dianjurkan untuk melakukannya.
Marhata keenam : Syeithan menyibukkan manusia agar melakukan hal-hal yang bernilai kurang dan meninggalkan hal-hal yang bernilai lebih. Betul apa yang dilakukannya itu baik, namun Ia meninggalkan kegiatan yang lebih baik lagi. Umpamanya seseorang yang menyibukkan diri dengan amalan sunnah daripada amalan yang wajib. Atau bahkan sibuk dengan kegiatan yang sunnah namun meninggalkan kegiatan yang jelas-jelas wajib hukumnya.
Marhalah (Tahapan) pertama : Syeithan berusaha agar manusia itu kafir atau syirik. Kalau ternyata orang yang dihadapinya tersebut Muslim, maka ia turun ke tangga berikutnya
Marhalah kedua : yaitu fase bid’ah. Yakni seseorang digoda agar melakukan bid’ah dan mempraktikkannya. Jika orang tersebut termasuk kalangan ahli Sunnah, Ia memulai langkahnya ke tahapan berikutnya.
Marhalah ketiga : fase kabair (menggoda untuk melakukan dosa-dosa besar), yaitu digodanya agar manusia melakukan kemaksyiatan yang tergolong berdosa besar Bilamana ternyata orang tersebut telah dijaga oleh Allah, syeithan tetap tidak berputus asa.
Marhala keempat : Fase godaan agar melakukan shaghair (perbuatan yang mengandung dosa-dosa kecil). Tetapi kalau ternyata ia juga terjaga dalam hal Itu, maka Ia (syeithan) menyibukkannya dengan gaya syeithan yang lain.
Marhala kelima : Yaitu syeithan menyibukkan manusia dengan hal-hal yang mubah, sehingga orang tersebut menghabiskan waktunya untuk persoalan-persoalan yang mubah. Maka ia tidak lagi menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang mengandung kebaikan, yang sebenarnya kita dianjurkan untuk melakukannya.
Marhata keenam : Syeithan menyibukkan manusia agar melakukan hal-hal yang bernilai kurang dan meninggalkan hal-hal yang bernilai lebih. Betul apa yang dilakukannya itu baik, namun Ia meninggalkan kegiatan yang lebih baik lagi. Umpamanya seseorang yang menyibukkan diri dengan amalan sunnah daripada amalan yang wajib. Atau bahkan sibuk dengan kegiatan yang sunnah namun meninggalkan kegiatan yang jelas-jelas wajib hukumnya.
Syeithan demikian seriusnya dalam melakukan missinya itu, bertahap dalam kandungannya. Adapun tentang metode, Ia menghadapi manusia secara bertahap selangkah demi selangkah. Sebagaimana Allah swt. berfirman:
"Makanlah dari rezeki yang telah diberikan Allah untukmu, dan janganlah kamu mengikuti langkah-Iangkah, syeithan. Sesungguhnya syeithan itu musuh yang nyata bagimu" (al-An am: 142).
Dalam melakukan usahanya, syeithan pada awalnya sedikit demi sedikit lalu bertahap hingga sampai kepada tujuannya. Ia masuk kepada seluruh jenis dan tingkatan manusia dengan cara yang sesuai dengannya.
* Datang kepada orang yang zuhud dengan cara zuhud
* Datang kepada orang yang ‘alim (berilmu) dengan melalui pintu ilmu
* Datang kepada orang yang jahil (bodoh) dari pintu kebodohan.
"Makanlah dari rezeki yang telah diberikan Allah untukmu, dan janganlah kamu mengikuti langkah-Iangkah, syeithan. Sesungguhnya syeithan itu musuh yang nyata bagimu" (al-An am: 142).
Dalam melakukan usahanya, syeithan pada awalnya sedikit demi sedikit lalu bertahap hingga sampai kepada tujuannya. Ia masuk kepada seluruh jenis dan tingkatan manusia dengan cara yang sesuai dengannya.
* Datang kepada orang yang zuhud dengan cara zuhud
* Datang kepada orang yang ‘alim (berilmu) dengan melalui pintu ilmu
* Datang kepada orang yang jahil (bodoh) dari pintu kebodohan.
Pintu-Pintu Masuk Syeithan
Sesungguhnya pintu-pintu masuk syeithan banyak yang sulit membatasinya. Di sini kami sebutkan sebagiannya:
Pertama : Mengadu domba dan menimbulkan buruk sangka di antara Sesama Muslim.
Rasulullah saw. bersabda dalam haditsnya yang diriwayatkan oleb Imam Bukhari:
Artinya: "Sesungguhnya Iblis telah putus asa untuk disembah oleh orang-orang shalih tetapi ía tetap berusaha mengadu domba di antara mereka".
Yaitu berusaha untuk menimbulkan permusuhan, percekcokan dan fitnah di antara mereka. Dan menjadikan sebagian mereka sibuk menghadapi yang lainnya. Dalam riwayat Muslim disebutkan:
"Sesungguhnya syeithan telah berputus asa untuk disembah oleh orang-orang yang melakukan shalot di Jazirah Arab".
Su’uzhzhan (buruk sangka) adalah merupakan kebiasaan dari syeithan. Ummul Mukminin, Shafiyah binti Huyai ra meriwayatkan:
Artinya: Ketika Rasulullah saw. beri’tikaf di masjid saya mendatanginya berkunjung di waktu malam, saya berbincamg-bincang dengannya Kemudian saya berdiri untuk kembali ke rumah. Maka beliaupun berdiri untuk menemaniku. Ketika Itu lewat dua orang Anshar, ra. Sewaktu mereka melihat Nabi saw. Kedunya berjalan cepat. Lalu Rasulullah saw. bersabda: Mengapa kalian berdua cepat-cepat? Sesungguhnya ía adalah Shafiya binti Huyai Keduanya berkata: Subhanallah ya Rasulullah. Lalu Rasulullah saw bersabda:
Artinya: "Sesungguhnya syeithan berjalan dalam tubuh manusia diseluruh, aliran darahnya, saya khawatir dihati kalian terbetik sesuatu kejelekan lalu dikalakanlah sesuatu", (HR. Bukhari dan Muslim).
Seorang lelaki berjalan dengan seorang wanita di malam hari. Maka masalah yang sangat mungkin muncul adalah keraguan dan buruk sangka Rasulullah saw, menginginkan agar peluang su’uzhzhan itu hilang. Oleh karena itu menjadi kewajibanmu bila engkau berada di suatu tempat yang memungkinkan munculnya persangkaan yang salah untuk menerangkan kepada orang yang mendengar atau metihat sehingga tidak terjadi buruk sangka tersebut. Buruk sangka adalah pintu masuk syeithan yang menjadikan engkau mendengarkan suatu kalimat lalu ditafsirkan dengan tafsir yang negatif. Syeithan juga naengadu domba diantara manusi dan Berdasarkan hadits Nabi saw, yang diriwayatkan oleh Sulaiman bin Shard ra. Sulaiman berkata: Saya duduk bcrsama Nabi saw. ketika itu ada dua orang yang saling mencela. Merahlah wajah salah seorang di antara mereka. Urat leher dan ototnya keluar karena marahnya. Maka Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: "Sesungguhnya aku mengetahui satu kailmat yang kalau dibacakan hilanglah apa yang ada padanya, kalaulah ia membaca: Audzubillahi minasy syaithanir rajim (aku berllndung dari godaan syaithan yang terkutuk kepada Allah), maka akan hilanglah apa yang ia dapatkan". (HR. Bukhari).
Kedua: Memperindah Bid’ah Kepada Manusia
Artinya: "Sesungguhnya Iblis telah putus asa untuk disembah oleh orang-orang shalih tetapi ía tetap berusaha mengadu domba di antara mereka".
Yaitu berusaha untuk menimbulkan permusuhan, percekcokan dan fitnah di antara mereka. Dan menjadikan sebagian mereka sibuk menghadapi yang lainnya. Dalam riwayat Muslim disebutkan:
"Sesungguhnya syeithan telah berputus asa untuk disembah oleh orang-orang yang melakukan shalot di Jazirah Arab".
Su’uzhzhan (buruk sangka) adalah merupakan kebiasaan dari syeithan. Ummul Mukminin, Shafiyah binti Huyai ra meriwayatkan:
Artinya: Ketika Rasulullah saw. beri’tikaf di masjid saya mendatanginya berkunjung di waktu malam, saya berbincamg-bincang dengannya Kemudian saya berdiri untuk kembali ke rumah. Maka beliaupun berdiri untuk menemaniku. Ketika Itu lewat dua orang Anshar, ra. Sewaktu mereka melihat Nabi saw. Kedunya berjalan cepat. Lalu Rasulullah saw. bersabda: Mengapa kalian berdua cepat-cepat? Sesungguhnya ía adalah Shafiya binti Huyai Keduanya berkata: Subhanallah ya Rasulullah. Lalu Rasulullah saw bersabda:
Artinya: "Sesungguhnya syeithan berjalan dalam tubuh manusia diseluruh, aliran darahnya, saya khawatir dihati kalian terbetik sesuatu kejelekan lalu dikalakanlah sesuatu", (HR. Bukhari dan Muslim).
Seorang lelaki berjalan dengan seorang wanita di malam hari. Maka masalah yang sangat mungkin muncul adalah keraguan dan buruk sangka Rasulullah saw, menginginkan agar peluang su’uzhzhan itu hilang. Oleh karena itu menjadi kewajibanmu bila engkau berada di suatu tempat yang memungkinkan munculnya persangkaan yang salah untuk menerangkan kepada orang yang mendengar atau metihat sehingga tidak terjadi buruk sangka tersebut. Buruk sangka adalah pintu masuk syeithan yang menjadikan engkau mendengarkan suatu kalimat lalu ditafsirkan dengan tafsir yang negatif. Syeithan juga naengadu domba diantara manusi dan Berdasarkan hadits Nabi saw, yang diriwayatkan oleh Sulaiman bin Shard ra. Sulaiman berkata: Saya duduk bcrsama Nabi saw. ketika itu ada dua orang yang saling mencela. Merahlah wajah salah seorang di antara mereka. Urat leher dan ototnya keluar karena marahnya. Maka Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: "Sesungguhnya aku mengetahui satu kailmat yang kalau dibacakan hilanglah apa yang ada padanya, kalaulah ia membaca: Audzubillahi minasy syaithanir rajim (aku berllndung dari godaan syaithan yang terkutuk kepada Allah), maka akan hilanglah apa yang ia dapatkan". (HR. Bukhari).
Kedua: Memperindah Bid’ah Kepada Manusia
Syeithan datang untuk menghiasi bid’ah bagi manusia. Ia katakan kepadanya: Sesungguhnya manusia di zaman sekarang ini meninggalkan agama, dan sulit mengembalikannya. Alangkah baiknya kalau kita melakukan ibadah, lalu kita tambahi sehingga orang-orang mau kembali.
Kadang-kadang hal itu dengan menambah suatu ibadah yang secara asal ada dasar sunnahnya dan Nabi saw, Dikatakannya. “Menambah kebaikan itu adalah merupakan kebaikan pula. Karena itu tambahlah”.
Sebagian lagi datang dan berkata: Orang-orang jauh dan agama ini. Ada baiknya kalau kita membuat hadits untuk menakut-nakuti mereka. Maka mereka menciptakan hadits-hadits yang disandarkan kepada Rasulullah saw. Mereka katakan:
“Kami memang berbohong Tetapi kami berbohong bukan untuk menjelekkan (merugikan ajaran) Rasul, kami hanya berbohong (yang justru menguntungkan ajaran) beliau”.
Mereka berdusta untuk menolong ajaran Rasulullah saw. lalu mereka membuat hadits untuk menakut-nakuti orang dari neraka. Mereka menggambarkan neraka dengan cara yang aneh, Dan menggambarkan surga dengan gambaran yang aneh juga. Kita ketahui bahwa ibadah itu tauqifiyah (menerima adanya dari Allah swt. dan Nabi saw.). Kita tidak punya wewenang untuk menambah atau mengurangi, mengubah semau kita. Hal itu tidak lain kecuali buatan syeithan yang dinamakan bid’ah.
Ketiga: Membesarkan di satu sisi di banding dengan yang lain
Kadang-kadang hal itu dengan menambah suatu ibadah yang secara asal ada dasar sunnahnya dan Nabi saw, Dikatakannya. “Menambah kebaikan itu adalah merupakan kebaikan pula. Karena itu tambahlah”.
Sebagian lagi datang dan berkata: Orang-orang jauh dan agama ini. Ada baiknya kalau kita membuat hadits untuk menakut-nakuti mereka. Maka mereka menciptakan hadits-hadits yang disandarkan kepada Rasulullah saw. Mereka katakan:
“Kami memang berbohong Tetapi kami berbohong bukan untuk menjelekkan (merugikan ajaran) Rasul, kami hanya berbohong (yang justru menguntungkan ajaran) beliau”.
Mereka berdusta untuk menolong ajaran Rasulullah saw. lalu mereka membuat hadits untuk menakut-nakuti orang dari neraka. Mereka menggambarkan neraka dengan cara yang aneh, Dan menggambarkan surga dengan gambaran yang aneh juga. Kita ketahui bahwa ibadah itu tauqifiyah (menerima adanya dari Allah swt. dan Nabi saw.). Kita tidak punya wewenang untuk menambah atau mengurangi, mengubah semau kita. Hal itu tidak lain kecuali buatan syeithan yang dinamakan bid’ah.
Ketiga: Membesarkan di satu sisi di banding dengan yang lain
1. Pada Tingkatan Pribadi
Kadang-kadang ada orang yang melakukan kemaksiatan dan dosa yang banyak, tetapi Ia masih tetap melakukan shalat, dengan alasan bahwa shalat itu tiang agama. Shalat adalah amalan yang pertama kali diteliti pada hari hisab (perhitungan), Maka tidaklah mengapa melakukan sebagian kemaksiatan. Ia menjadikan shalat sebagai sesuatu yang sangat besar untuk melegitimasi kem alasannya dalam ibadah-ibadah yang lain, Berarti Ia membesarkan shalat di atas hal-hal lain. Memang benar bahwa shalat itu tiang agama, tetapi Ia bukanlah semua agama itu, Lalu syeithan datang untuk membenarkan kemalasannya itu.
Ada lagi orang datang dan berkata: (agama Itu sebenarnya sangat memperhatikan mu’amalah). Yang terpenting dan segalanya adalah bersikap baik dengan manusia, tidak membohongi mereka, meskipun tidak shalat. Sebab Nabi saw. bersabda: Agama itu mu‘amalah. Orang lain lagi berkata: Yang terpenting adalah niat yang baik, Apakah sudab cukup dengan saya tidak mempunyai kedengkian dan kebencian di hati kepada manusia, lalu saya tidak melakukan amal-amal shalih cukuplah hanya dengan niat yang baik?
Di sisi yang lain ada sebagian orang yang mengutamakan pelajaran al-Qur’an, bacaannya dan taj’widnya. Ia utamakan betul-betul dibanding dengan lainnya. Lalu Ia tinggalkan banyak hal karena melebihkan sisi yang ini. Padahal tidak diragukan bahwa hal itu bukanlah satu-satunya masalah dalam Islam. Kesalahannya di sini bukan pada perhatiannya yang besar pada mempelajari al-Qur’an, tetapi pada membesarkannya di atas yang lainnya yang juga penting.
2. Pada Tingkatan Jama’i (kolektif)
Dalam hal ini kita melihat kelompok-kelompok yang beranggapan:
Masalah yang terpenting adalah pengenalan kita terhadap waqi (realitas) ummat Islam, dan realitas musuh-musuh mereka. Persoalan yang terpenting adalah persoalan politik, karena kita hidup di zaman ini, bukan masa kependetaan. Engkau dapati kelompok ini meaghafal berbagai pemikiran dari komunisme, sekularisme, zionisme, Dahaisme dan Qadiyaniyah. Lalu engkau tanya tentang Islam, ternyata sedikitpun mereka tidak memahami islam. Sebaliknya ada kalangan yang melebihkan masalah ibadah. Mereka katakan: Masalah yang terpenting adalah hubunganmu dengan Allah. Yang terpenting adalah shalat. Hendaklah engkau zuhud, bertaqwa. Buanglah jauh-jauh permasalahan lain. Ada lagi kelompok lain di kalangan kaun Muslimin yang mengatakan: Yang terpenting adalah kesatuan shaf (barisan). Firman Allah swt:
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah (Islam) dan Janganlah kamu bercerai berai". (Ali Imran: 103).
Maka hal ini dijadikan masalah yang terpenting, walaupun dibanding dengan masalah-masalah aqidah. Bersatu dengan orang-orang yang berbeda aqidah dengan kita. Mereka menganggap bahwa masalah yang terpenting kita dapat bertemu dengan berbagai kalangan, meskipun musuh-musuh kita demikian ganasnya menghadapi kita. Yang benar, kita bertemu pada asas, bertemu karena agama, bukan brrjumpa dalam kekacauan dan perbedaan aqidah. Karena itu haruslah diperhatikan masalah tawazun (keseimbangan) dalam menghadapi satu persoalan dibanding dengan persoalan lain. Secara umum syeithan akan memanfaatkan pemahaman melebih-lebihkan satu persoalan dan yang lain sebagai pintu masuknya.
Kadang-kadang ada orang yang melakukan kemaksiatan dan dosa yang banyak, tetapi Ia masih tetap melakukan shalat, dengan alasan bahwa shalat itu tiang agama. Shalat adalah amalan yang pertama kali diteliti pada hari hisab (perhitungan), Maka tidaklah mengapa melakukan sebagian kemaksiatan. Ia menjadikan shalat sebagai sesuatu yang sangat besar untuk melegitimasi kem alasannya dalam ibadah-ibadah yang lain, Berarti Ia membesarkan shalat di atas hal-hal lain. Memang benar bahwa shalat itu tiang agama, tetapi Ia bukanlah semua agama itu, Lalu syeithan datang untuk membenarkan kemalasannya itu.
Ada lagi orang datang dan berkata: (agama Itu sebenarnya sangat memperhatikan mu’amalah). Yang terpenting dan segalanya adalah bersikap baik dengan manusia, tidak membohongi mereka, meskipun tidak shalat. Sebab Nabi saw. bersabda: Agama itu mu‘amalah. Orang lain lagi berkata: Yang terpenting adalah niat yang baik, Apakah sudab cukup dengan saya tidak mempunyai kedengkian dan kebencian di hati kepada manusia, lalu saya tidak melakukan amal-amal shalih cukuplah hanya dengan niat yang baik?
Di sisi yang lain ada sebagian orang yang mengutamakan pelajaran al-Qur’an, bacaannya dan taj’widnya. Ia utamakan betul-betul dibanding dengan lainnya. Lalu Ia tinggalkan banyak hal karena melebihkan sisi yang ini. Padahal tidak diragukan bahwa hal itu bukanlah satu-satunya masalah dalam Islam. Kesalahannya di sini bukan pada perhatiannya yang besar pada mempelajari al-Qur’an, tetapi pada membesarkannya di atas yang lainnya yang juga penting.
2. Pada Tingkatan Jama’i (kolektif)
Dalam hal ini kita melihat kelompok-kelompok yang beranggapan:
Masalah yang terpenting adalah pengenalan kita terhadap waqi (realitas) ummat Islam, dan realitas musuh-musuh mereka. Persoalan yang terpenting adalah persoalan politik, karena kita hidup di zaman ini, bukan masa kependetaan. Engkau dapati kelompok ini meaghafal berbagai pemikiran dari komunisme, sekularisme, zionisme, Dahaisme dan Qadiyaniyah. Lalu engkau tanya tentang Islam, ternyata sedikitpun mereka tidak memahami islam. Sebaliknya ada kalangan yang melebihkan masalah ibadah. Mereka katakan: Masalah yang terpenting adalah hubunganmu dengan Allah. Yang terpenting adalah shalat. Hendaklah engkau zuhud, bertaqwa. Buanglah jauh-jauh permasalahan lain. Ada lagi kelompok lain di kalangan kaun Muslimin yang mengatakan: Yang terpenting adalah kesatuan shaf (barisan). Firman Allah swt:
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah (Islam) dan Janganlah kamu bercerai berai". (Ali Imran: 103).
Maka hal ini dijadikan masalah yang terpenting, walaupun dibanding dengan masalah-masalah aqidah. Bersatu dengan orang-orang yang berbeda aqidah dengan kita. Mereka menganggap bahwa masalah yang terpenting kita dapat bertemu dengan berbagai kalangan, meskipun musuh-musuh kita demikian ganasnya menghadapi kita. Yang benar, kita bertemu pada asas, bertemu karena agama, bukan brrjumpa dalam kekacauan dan perbedaan aqidah. Karena itu haruslah diperhatikan masalah tawazun (keseimbangan) dalam menghadapi satu persoalan dibanding dengan persoalan lain. Secara umum syeithan akan memanfaatkan pemahaman melebih-lebihkan satu persoalan dan yang lain sebagai pintu masuknya.
0 komentar: