Jumat, 13 September 2013

Pelajaran Dari Kisah Burung Hud-Hud


Dan telah dihinpunkan bagi sulaiman bala tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan) (an-Naml: 17)

Dan dia memeriksa burung-burung lantas berkata ‘Mengapa aku tidak melihat (burung) hud-hud apakah dia termasuk yang tidak hadir?’ (an-Naml : 20)

Sebagaimana disitir dalam ayat di atas, bahwa jumlah pasukan nabi Sulaiman amat banyak dan beraneka ragam, dari bangsa jin, manusia dan hewan. Meski begitu, nabi Sulaiman tidak pernah lengah terhadap anggota pasukan yang ada di bawah kepernimpinannya. Sebagai pemimpin, ia harus rnemeriksa dan mengetahui keadaan bawahannya. Ia berkewajiban mengayomi sekaligus memperbaiki keadaan mereka. Perhatian itu tak saja ditujukan kepada tangan kanan dan orang-orang terdekatnya, tetapi menyeluruh sampai pada pasukan tingkat paling bawah. Karena itu, burung yang notabene juga anggota pasukannya merniliki hak yang sama untuk diperhatikan.

Hal semacam ini tentu tidak akan terjadi kecuali dalam kehidupan para nabi dan orang-orang beriman. Merek a takut, sebab semua hak tersebut akan dipert anggungjawabkan di hadapan Allah Ta’ala. Sebab masalah kepemimpinan adalah masalah yang sangat besar dan berat. Berbeda halnya dengan mereka yang lemah akidah dan agamanya. Para penguasa yang kehilangan akidah dan agamanya akan sama sekali tidak memperhatikan rakyatnya, berbuat zhalim dan semena-mena untuk kepentingan sendiri, kerabat atau kelompoknya. Ia tak akan peduli dengan burung, tak memperhatikan hewan dan tak memikirkan bagai mana manusia yang ada di bawah tanggung jawabnya dapat hidup. Tidak peduli apakah mereka tinggal di rumáh-rumah, istana atau malah tidur di kolong jembatan dan trotoar.

Tidak ambil pusing apakah mereka makan, minum atau tidak mendapatkan makanan meski hanya sesuap. Tidak jadi soal apakah mereka hidup dengan aman atau selalu dalam kekhawatiran dan teror. Tidak masalah apakah tanah yang mereka tempati itu subur dan laik huni atau malah kering dan rawan gempa. Tak peduli apakah airnya cukup memadai atau malah sering ditimpa banjir sehingg a banyak menelan korban. Tidak peduli apakah mereka dikuburkan atau dilempar ke laut sehingga menjadi santapan ikan dan hewan air lainnya.

Para penguasa itu hidup dan memerintah tetapi rakyat tidak merasakan manfaatnya, bahkan rakyat cenderung sengsara. Karena itu jika mereka mati tiada seorangpun yang merasa kehilangan atas kepergiannya. Demikianlah, bila syari’at Allah Ta’ala ditinggalkan maka para penguasa tersebut tidak akan memperhatikan kecuali kepentingan mereka sendiri, menump uk-numpuk harta duniawi, seliingga melupakan nasib rakyatnya, sibuk akan pangkat dan simbol-simbol kekuasaan dan berbagai tindakan lain yang pada umumnya merugikan kepentingan umum. Mereka melupakan bahwa semua itu akan berakhir dan akan dipertanggungj awabkan di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala.

Lihatlah Fir’aun, ia begitu berhamburan dengan berbagai macam kenikmatan. Pakaiannya bertahtakan emas permata, kendaraannya sangat banyak serta pilihan, tinggal di istana kebesaran yang amat megah, para tentara mengawalnya di segala arah, semua serba glamour dan mewah.

Tapi ketika Ia sombong dan bangga diri, mengklaim tiada seorang pun yang dapat menandingi kekuasaannya di Seantero planet bumi, lalu memperbudak dan menghinakan bangsa Mesir, rakyatnya. Maka ketika semua tindakan kezhalimanhya mencapai puncak, ia mengaku dirinya sebagai tuhan, ketika itulah dengan idzin Allah ia meninggal secara tragis. Tenggelam di dasar laut dan tewas di bawah tapàk kaki kudanya. Menjelang kematiannya, Ia baru sadar lalu meminta tolong, tapi tak seorangpun menolongnya. Mengemukakan alasan, tapi hal itu tidak diterima. Allah berfirrnan:

“Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir‘aun dan bala tentaranya, karena Ingin menganiaya dan menindas (mereka), hingga bila Fir‘aun itu hampir tenggelam, Ia berkata: “Saya percaya bahwasanya tiada Tuhan melainkan tuhan yang dipercayai Bani Israil, da, saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah,)’ Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu kala, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini Kami selamatkan adanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami” (Yunus: 90-92). Apakah para penguasa di kolong langit ini tidak mau mengambil palajaran? Padahal Allah telah berfirman:

"sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya" (Qaaf : 37).

Bagi Sulaiman, walaupun tentaranya terlalu banyak, demikian pula amanat da’wah yang diembannya sangatlah berat, tetapi beliau tetap memperhatikan hud-hud, seekor personil tentara dan lasykar burung. Hal yang sama pula, telah dilakukan oleh Mu’minin pilihan. Lihatlah Umar bin Khathab, pada suatu malam di sudut jalan kota Madinah, ia berjanji kepada seorang nenek buta untuk menolong dan menunaikan semua keperluannya. Ketika Umar mendatanginya, tetnyata orang lain telah mendahului menolong nenek tersebut. Berkali-kali Umar datang, tetapi ia selalu didahului oleh orang lain. Maka Umar pun mengintip siapa gerangan orang yang mendahuluinya tersebut? Umar lalu tahu, orang itu adalah Abu Bakar yang ketika itu sedang menjabat sebagal khalifah.

Dan bibi Khubaib bin Abdur Rahman, ia berkata: “Abu Bakar selalu mendatangi kami selama tiga tahun, dua tahun sebelum ia diminta menjadi khalifah dan setahun sesudah ia menjadi khalifah. Anak-anak perempuan di kampung selalu mendatanginya sambil membawa kambing-kambing mereka, lantas Abu Bakar memerah susu kambing-kambing tersebut untuk mereka”.

Suatu malam sebagainiana biasa, khalifah Umar mengadakan ronda. Tiba-tiba ia mendengar tangis dan sebuah rumah. Umar pun mendekat. Akhirnya beliau dapati beberapa anak kecil menangis dengan seorang ibu yang berusaha menenangkan mereka sambil menunjuk-nunjuk sebuah periuk (tempat memasak). Umar bertanya kepada sang ibu: “Kenapa anak-anak menangis?” Ia menjawab: “Mereka menangis sebab kelaparan”. “Lalu apa yang kau tanak dalam periuk itu?” “Saya merebus batu agar dikira daging sehingga mereka berhenti menangis”. Umar spontan terduduk lemas dan haru, lantas menangis, lalu bangkit menuju Baitul Mal. Ia masukkan gandum, keju, kurma, daging, pakaian dan uang ke karung hingga penuh. Kepada penjaganya ia berkata: “Wahai Aslam, tolong angkatkan karung ini ke pundakku!” Aslam menjawab: “Wahai Amirul Mu’m inin, biarlah saya saja yang membawan ya”. Dengan keras Umar membentak:

“Hai Aslam, saya yang harus memikulnya, karena sayalah yang harus bertanggung jawab nanti di akhirat”. Maka ia pun memikul sekarung bahan makanan itu hingga sampai ke rumah wanita tersebut. Dengan segera wanita itu memasak makanan lalu anak-anaknya makan dengan lahap sampai kenyang, sehingga riang gembira”. (Usudul Ghabah : 3/328).

“Mengapa aku tidak melihal hud-hud? ...“(an-Naml:20). Ketika melakukan inspeksi pasukan, Nabi Sulaiman tidak melihat burung hud-hud, sehingga beliau menanyakannya kepada anggota pasukan yang lain. ini adalah pertanda betapa Sulaiman amat memperhatikan semua rakyatnya, meski dari golongan papa sekalipun. Burung hud-hud adalah burung kecil yang hampir tak kelihatan di antara lautan rakyat beliau. Apalagi kerajaannya meliputi alam manusia, jin dan hewan. Subhanallah.

Sungguh amat jauh berbeda dengan kondisi para penguasa sekarang. Ada orang yang baru diberi wewenang untuk menyelenggarakan kontrak kerja sebuah proyek. Ia cuman membawahi sekian ratus pekerja dengan devisi pekerjaan masing-masing. Mungkin dan ini kebanyakan terjadi. Orang yang diberi kuasa tersebut tidak mengetahui sama sekaliperihal orang-orang yang dipimpinnya, apalagi kesulitan-kesulitan yang dialami masing-masing karyawan.

Ada orang yang diberi amanat untuk mengembangkan suatu metode pengajaran. Dengan tidak mengetahui dan memeriksa lebih dahulu sistem pengajaran islam, mereka serta merta menuduh bahwa materi-materi ke-islaman tak lagi relevan bagi kemajuan zaman, maka ia harus ditinggalkan atau maksimal diberikan dengan waktu yang yang amat singkat. Akhirnya orang tua yang notabene banyak belum memahami Islam, dibebani untuk memberikan pendidikan Islam

Ada yang serta merta menuduh bahwa orang- orang yang berusaha menjalankan islam secara sempurna sebagai ekstremis, fundamentalis dan berbagai tuduhan lain yang menyudutkan. Atas dasar apa mereka menilai orang-orang yang berusaha lurus itu sebagai para ekstremis atau fundamentalis? Sudahkah diteliti secara benar? Betulkah dalam menilai tidak disertai unsur dengki dan benci? Berapa banyak korban baik secara kejiwaan atau nyawa dan tuduhan yang keliru itu? Tidakkah lebih baik bagi para penguasa untuk selalu memperhatikan dan mengayomi rakyat, daripada menyebarkan tuduhan dan mata-mata dibanyak tempat? Adapun Nabi Sulaiman, beliau menegaskan kepeduliannya kepada rakyat kecil dengan mengatakan:

“Mengapa aku tidak melihat burung tersebut tidak mengetahui sama sekali hud-hud?” , “Apakah dia lermasuk yang tidak apatah lagi kesulitan-kesulitan yang hadir?”(an-Naml: 20) Nabi Sulaiman tidak memutuskan suatu hukum kecuali berdasarkan ilmu dan bukti nytata. Beliau tak langsung mem vonis, tapi terlebih dulu menanyakan keberadaan hud-hud. Mungkin pandangan beliau yang kurang jeli atau terhalang sesuatu sehingga tidak melihatnya atau bisajadi burung itu terkena musibah sehingga berhalangan hadir. Agar tak menghukumi sesuatu secara gegabah itulah, maka beliau menanyakan terlebih dahulu.

Betapa pada saat ini kita sangat membutuhkan tabayyun (kejelasan masalah) sebelum memutuskan suatu hukum. Li hatlah Nabi saw. ketika beliau yang pada saat itu sedang khutbah, melihat Sulaik aI-Ghathfani yang langsung du menghadiri Jum’at. Nabi ber tanya: “Hal Sulaik, sudahkan andaShalat?” Nabi tidak langsung memvonis tetapi beliau bertanya terlebih dahulu. Sebab siapa tahu sahabat tersebut telah shalat di tempat lain kemudian mendekat untuk lebih jelas mendengar khutbah. Baru setelah ia menjawab, belum Ya Rasul, maka Nabi memerintahkannya.

“Berdiri dan shalatlah dua raka’at” (HR. Muslim). ‘Ucapannya: “Sungguh aku benar-benar akan menyiksanya dengan siksa yang keras, atau menyembelihnya kecuali jika benar-benar Ia datang kepadaku dengan alasan yang jelas” (an-Naml : 21)

Ucapan di atas menunjukkan ketegasan terhadap para tentara. Tentara yang melanggar perlu mendapatkan hukuman setimpal atau dimaafkanan jika memang mempunyai alasan yang bisa diterima. Seorang pemimpin tidak boleh gegabah memberi keputusan kecuali setelah mend apat keyakinan tentang hakikat masalah yang sedang dihadapi. Nabi Sulaiman mengancam hud-hud yang tidak hadir. Tetapi tidak dengan keputusan akhir sebelum beliau sendiri mendengar alasannya. “Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud) “, (an-Naml: 22).

(hud-hud) berkata: ‘Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya’ (an-Naml: 22).

Ucapan di atas menegaskan kebatilan Rafidhah yang berpendapat bahwasanya imam mengetahui segala sesuatu dan tidak seorangpun yang sezaman dengannya dan lebih tahu daripadanya. Juga membatalkan kepercayaan para sufi yang berpendapat bahwa para guru mereka mengetahui hal-hal yang gaib. Tidak seorangpun tahu akan hal-hal yang gaib keeuali Allah semata.

“Katakanlah: “tiada seorangpun di langit dan di bumi yang mengeahui perkara yang gaib, kecuali Allah ‘ dan mereka tidak mengetahui kapan akan dibangkitkan? “(an-Naml: 65).

Seorang Nabi Sulaiman pun tidak mengetahui kerajaan Saba’, padahal kerajaa n itu cukup dekat. Hal yang sama juga dialami oleh nabi Ya’kub. Beliau tidak mengetahui dimana tempat Nabi Yusuf, putranya tercinta yang dibuang oleh para saudaranya. Demikian pula Rasulullah Muhammad saw, beliau tidak mengetahui kabar langit tentang fitnah keji yang menimpa Aisyah, istri tercinta, sehingga terpaksa beliau memulangkannya kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq, orang tuanya.

Jika para rasul dan nabi Allah tidak mengetahui masail ghaibiyah, apalagi dengan orang biasa lainnya. Hal ini sebagal motivasi agar makhluk tidak bergantung kepada makhluk lainnya. Mereka seyogyanya mengembalikan semua persoalan kepada Allah, Tuhan semesta alam. Sebuah teladan yang indah ketika hud-hud yang mungil, dengan tegas mengatakan kepada Nabi Sulaiman: “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya”. Dan Nabi Sulaiman pun tidak mengingkari ucapan tersebut.

0 komentar: