Jumat, 13 September 2013

Akhlak Rijalud Da’wah Dalam Proses Membentuk Generasi Rabbani

Muqaddimah

Alam demokrasi yang menekankan pada aspek kuantitas dalam menentukan arah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara seperti di Indonesia kendatipun bukan dari Islam, setidaknya dapat memberikan angin segar bagi ummat Islam di bumi pertiwi ini. Lebih dan 80% dari penduduk Indonesia adalah Muslim. Komposisi penduduk yang didominasi Muslim ini merupakan sumberdaya yang cukup besar dan sangat potensial untuk membangun peradaban Islami.

Jumlah yang besar tersebut semêstinya dapat menjadi unsur penegak kebenaran dan keadilan serta penopang bangunan masyarakat agar tetap konsisten dalam ketaatan kepada Allah swt. dan bukan justru menjadi beban yang dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan Islami. Hanya saja pada kenyataannya tidaklah demikian. Kemaksiatan justru tampak makin merajalela di tengah kehidupan masyarakat yang didominasi oleh penduduk beragama Islam. ini sungguh ironis. Agaknya kuantitas yang besar tidak selalu sinergis dengan ketaatannya pada al-Islam. Jumlah Muslim yang besar belum ukup untuk dijadikan parameter dalam menentukan potensi sumberdaya Muslim.

Sebuah Ibrah

Apabila memperhatikan taujih ilahi melalui peristiwa perang Hunain. maka akan dapat dipetik pelajaran yang cukup berharga. Pada awal peperangan. urnmat Islam sempat terpukul, pasukan kocar-kacir, seakan tidak mempunyai barisan yang kokoh. Hal mi disebabkan oleh adanya tullaqa’ , kumpulan penduduk Makkah yang baru saja masuk Islam turut dalam peperangan tersebut. Mereka bangga berlebihan terhadap jumlah personel pasukan Muslim yang jaub lebih besar dibandingkan pada waktu perang Badr. Sementara itu kafa’ah diniyah dan amaliyahnya belum teruji sama sekali. Keadaan tersebut yang menyebabkan kocar-kacirnya barisan Islam. Jumlah yang besar tersebut tidak dapat memberikan andil sedikitpun dalam memperkokoh barisan. Justru sebaliknya keberadaan mereka malah mengganggu keseimbangan sahabat Anshar dan Muhajirin yang telah solid.

Peristiwa Hunain tersebut menunjukkan bahwa Muslim yang dapat diandalkan menjadi sumber daya adalah mereka yang mengerti dan memaharni Islam. komitmen terhadapnya dan Senantiasa bertindak sebagai agen perbaikan ummat. Mereka itulah generasi rabbani. Sebuah generasi yang memperoleh celupan nur ilahi. Generasi yang akan mengembalikan ketidakpastian hukum kepada kebenaran al-Qur‘an. Generasi yang akan mengubah kemaksiatan kepada ketaatan. Generasi yang mampu menuntun ummat dan kegelapan jahiliyah kepada cahaya al-Islam.

Sunnah Rasul

Sumber daya Muslim seperti tersbut di atas adalah yang berpotensi untuk mewujudkan peradaban Islarni. Mereka tidak akan lahir dengan sendirinya. Melainkan dilahirkan oleh hasil kerja keras dan rijalud da’wah. Ketekunan, kegigihan dan kepekaan dalam merespon dan setiap gejala sosil di masyarakat adalah bagian yang mesti dimiliki rijalud da’wah dalam proses perwujudan peradaban Islami tersebut. Selain itu. dituntut pula untuk senantiasa memperhatikan sunnah Rasul dalam proses pembentukan generasi, sehingga karakteristik rabbaniyyah akan tetap utuh dalam pribadi ummat. Adapun sunnah Rasul tersebut antara lain:

Pertama: Taghlibu al-ijabiyah ‘alal salbiyah. Mengutamakañ segi positif dibandingkan dengan segi negatif. Dalam setiap melakukan aktivitas pembinaan baik fardiyah maupun sya’ biyah, dua kutub yang saling berlawanan tersebut akan senantiasa ditemukan. Rijalud da’ wah tidak oleh tenggelam dalam kutub negatif yang dapat membuatriya putus asa, kemudian lari dari kenyataan hidup dan hanya mengurus keselamatan dirinya sendiri. Ini bukanlah prototipe pembina sejati. Justru dengan kondisi antagonistik itulab seorang rijalud da’wah dituntut untuk kneatif. Memanfaatkan segala potensi positif untuk kemudian menghapuskan potensi negatif yang masih mungkin muncul. Sehingga siapapun yang menyadari pentingnya hidup Islami akan dapat terjun di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang pluralistik sekalipun.

Kedua: Taghilbu al-I ‘tidaali ‘ala tatharuf. Mengutamakan sikap moderat daripada ekstrem. Asas pertengahan harus senantiasa melekat dalam jiwa rijalud da’wah. Dengan sikap moderat itulah, ummat akan tertarik dan menaruh simpati. Kemudian sang pembina dapat menebarkan hikmah dan rahmat kepada ummat. Demikianlah karakteristik al-Islam sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an:

Dan tidak Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi alam semesta. (QS. aI-Anbiya 107).

Ketiga: Taghlibu aI-Aulawiyah. Mengutamakan skala prioritas. Problematika kehidupan di masyarakat selalu bermunculan, Bahkan tingkat kepelikan rnasalah pun akan berkembang seiring perjalanan waktu. Waktu yang berbeda akan ditemukan masalah yang berbeda, demikian halnya tempat yang berbeda juga ditemukan permasalaan yang berbeda pula. Demikianlah seorang rijalud da’wah harus mampu menemukan inti dari setiap permasalahan dan merumuskannya agar mudah dianalisis. Kemudian menentukan solusi dan prioritas apa yang harus dilakukan yang sesuai dengan karaktenjstjk daerah, sasaran dan wakt u yang tepat. Demikian kesimpulan yang dapat diambil dan nasehat ustadz lbnu Qayyim sebagaimana dikutip oleb Dr. Yusuf Qardhawi dalam Fiqh Aulawiyah, “bahwasanya skala prioritas itu sanqat tergantung pada situasi dan kondisi.

Keernpat. Qaliilu ad-daaim, Sedikit tetapi berkelanjutan. Seringkali ditemukan adanya kecenderungan sang da’i berkeinginan untuk dapat memperbaiki keislaman audience secara keseluruhannya. Akhirnya muncul sebuah indikator keberhasilan yang berupa baik, terbina dan terarahnya audience adalah sebagaimana dirinya beninteraksi dengan Islam. Padahal tidaklah demikian, Setiap orang mempunyai permasalahan sendiri-sendiri, Di sarnping latar belakangnya yang berbeda, kafa’ah dan kapasitasnya pun tidak sama. Demikian itu sudah menjadi sunnatullah, agar sang da’i dapat lebih berkosentrasi dalam membina ummat sesuai dengan tahapannya masing-masing. Tanpa adanya tahapan yang jelas, sang da‘i akan ditinggalkan ummat. Meskipun perlahan tapi pasti, ummat akan kabur meninggalkan majlis-majlis dzikir.

Keljma: Qudwah Hasanah, Meskipun aktivitas ibadah dan muamalah itu hanya ditujukan untuk Allah swt Semata, aktivitas fisik yang dapat disaksikan ummat adalah sangat penting. Keteladanan sang da’ i dalam kehidupan di masyarakat mempunyai nilai plus tersendiri. Ada semacam reaksi kesei mbangan antara keberhasilan da’wah dan keteladanan dan kepribadian rijalud da’ wah. Hal inipun selaras dengan karakteristik al-islam itu sendiri, yang turun ke burni untuk memperbaiki akhlak manusia. Sehingga meskipun kepiawaian sang da’i laksana orator ulung akan menjadi tidak berarti dimata ummat manakala tidak ada kesinergisan antara keilmuan yang disampaikan dengan amaliahnya seharihan. Allah swt pun sangat membenci orang yang dernikian. Sebagaimana fIrman-Nya:

Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. (QS. ash-Shaft 3).

Keenam: Takwinusy syamil wa kaamil. Menerapkan sistem pembinaan yang menyeluruh dan terintegrasi. Semua elemen penyusun manusia yang terdiri atas ruh, akal dan jasad harus tersentuh pendidikan secara proporsional. Terabaikannya salah satu dan ketiga elemen tersebut dapat berakibat melencengnya pribadi audience dan koridor Islam. Sehingga karakteristik rabbaniyah yang menjadi output dan pembinaan, hanyalah sebuah fatamorgana belaka, cita-cita mulia yang tak kunjung terwujud.

Ketujuh: Bi’ah Hasanah. Lingkungan yang baik bukanlah sebuah kondisi masyarakat yang homogen dengan para penghuninya yang tak mau mempedulikan dunia luar, tak mau mempe-dulikan komunitas lain yang berbeda. Bi’ ah Hasanah yang dimaksud adalah sebuah upaya untuk menciptakan lingkungan saling ketergantungan antar sesama audience dan pembina, mulai dari sekerumunan kecil orang sampai meluas kepada sekerumunan orang yang lain. Sehingga di antara mereka yang telah menyadari pentingnya hidup islami tersebut terjalin sebuah simbiosis mutualisrne. Hubungan saling ketergantungan yang menguntungkan. Hasil dan sebuah simbiosis mutualisme itulah yang akan dijadikan bekal oleh masing-masing individu untuk menceburkan dirinya ke dalam kancah kehidupan masyaraat yang pluralistik, dan mengajak ummat untuk menetapkan dirinya pada sistem peradaban Islami.

Kedelapan: Takwinul bi tsawabi wal Iqabi. Pembinaan lewat pahala dan sangsi. Setiap orang mempunyai titik kelemahan yang berbeda-beda. Kelemahan itu jika dibiarkan dalam kurun waktu tertentu dapat membawa seseorang kepada kekufuran. Akan tetapi juga bukan sesuatu yang mustahil, apabila kelemahan-kelemahan itu akan dapat diperbaiki. Untuk itu sang da’i harus melakukan targhib - memberikan motivasi - sehingga seseorang dapat bangkit dan kelemahan dan memperbaikinya. Sekiranya upaya pembenaan motivasi yang benar telah dilakuk an sehingga sebuah kebenaran al-islam telah nampak tertancap dalam jiwa seseorang, maka sang da’i perlu memikirkan perlu adanya tarhib - Sebuah ancaman yang mendidik yang dapat menjadikan seseorang beriltizam dengan al-Islam.

Demikianlah penjalanan panjang yang mesti ditempuh rijalud da’wah dalam upaya melahirkan generasi rabbani. Sebuah generasi yang diandalkan untuk mengurus bumi ini, mewujudkan peradaban Islami. Cepat atau lambatkah mereka itu akan terbentuk semuanya tergantung dari kerja keras, keseriusan dan ketekunan dan rijalud da’wah. ‘Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga kaum tersebut mau mengubahnya sendiri”. Waliahu a’ lam

Alwan Bukhori

0 komentar: