(Dan adakah sampai kepadamu berita orang orang yang berperkara ketika mereka memanjat pagar? ‘Ketika mereka masuk (menemui) Dawud, lalu ia terkejut karena (kedatangan)mereka. Mereka berkata ‘Janganlah kamu merasa takut; kami adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dari kami berbuat zhalim kepada yang lain maka berilah keputusan antara kami dengan adil dan janganlah- kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami jalan yang lurus’ Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh Sembilan ekor kambing betina dan aku hanya mempunyai seekor saja, Maka dia berkata Serahkanlah kambingmu itu kepadaku dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan” Dawud berkata “Sesungguhnya dia telah berbuat zhalim kepadanya dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada karnbingnya Dan sesungguimya kebanyakan orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali arang orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan amat sedikitlah mereka ini” Dan Dawud mengetahui bahwa Kami mengujinya ‘maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertobat. Maka Kami ampuni baginya kesalahannya itu, Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikankanmu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil (QS. Shad 21:26).
Kabar tentang orang yang berperkara dengan Dawud as dan istighfarnya dan berbagai fithah dalam gaya dan jalan bahasa tersebut dipandang sebagian ahli tafsir secara sempit. Terdapatlah hal-hal yang berbau israiliyat yang tersusun rapi dalam pembeberan kisah yang menyangkut unsur wanita. Pengambilan nash tentang wanita yang dimisalkan kambing betina (na ‘- jah) tersebut menurut mereka sejalan perumpamaan yang dipergunakan orang Arab. Orang Arab menyebut na ‘jah sebagai kinayah wanita. Seperti syair ar-Rajiz.
Tiga butir telor bak beberapa ekor kambing betina yang bagus. Mereka ketawa tentang sesuatu bak pengabar yang menjerit. Sebagian ahli tafsir tersebut mengaitkan antara istighfar dan fithah yang menimpanya serta mengambil istinbath permisalan ni ‘aj (jama’ dan na’jah) tersebut berkisar tentang orang yang berkecukupan dan orang yang kekurangan. Seperti lbnu Jarir, sebagai imam tafsir dan syaikh ahli tafsir, tidak keluar penafsirannya dari unsur wanita. Menurut Wahab bin Munabbih yang terkenal riwayatnya dan tsiqat di kalangan ahli hadits mengatakan, bahwa ketika Dawud as dimihrabnya, datanglah di hadapannya syaitan yang menyamar seekor burung berbulu emas. Maka Dawud pun menghalaukan tangan dengan tujuan menangkapnya. Lalu burung itu menjauh darinya, dan segera diikuti Dawud. Kemudian ia keluar melalui lobang dinding, dan segera di ikuti pandangan Dawud. Lantas pandangan matanya terjebak ke arah salah seorang wanita tercantik yang sedang mandi di lantai atas rumahnya. Wanita itupun sadar karenanya, dan kemudian ia mengurai rambutnya guna menutupi tubuhnya. Hal inilah yang menjadikan Dawud kian tertarik kepadanya.
Lalu Dawud bertanya mengenai dirinya, dan mengetahui bahwa wanita tersebut bersuamikan seorang tentara yang sedang berperang. Lantas Dawud pun mengirimkan utusan kepada pimpinannya, agar ia datang kepada Dawud dengan membawa sebuah peti. sementara Dawud menahan diri dari berbuat zhalim. Kemudian Dawud memerintahkan lagi untuk mendatangkan pimpinan tersebut yang kedua kalinya. Yang ketiga kalinya, Dawud melakukan pembunuhan atas serdadu tersebut dan kemudian memperistrinya sesudah itu. Oleh sebab itu, Allah mencelanya dan mengutus dua malaikat dengan menyamar orang yang berperkara, untuk menemui Dawud. Ini bertujuan agar keduanya menjelaskan bahwa peristiwa tersebut merupakan ujian, ditengah sejumlah 99 istri yang dimilikinya.Demikianlah kisah ini berlanjut menyimpang.
Penafsiran ke-3, mengatakan bahwa Dawud tidak sampai membunuh suami wanita itu, tetapi hanya menuntut hak pemilikan istri dan suaminya. Ahli tafsir yang berpendapat seperti itu mengatakan, bahwa pernyataan seperti ini lebih realistis dari sebelumnya. Sebab dahulu kaum Anshar pernah memberikan sebagian istri mereka kepada saudaranya, kaum Muhajirin. Termasuk hal yang mengherankan jika ulama yang berpendapat seperti itu mengambil dalil mengenai perbuatan kaum Anshar, lantaran ada perbedaan yang besar. Sebab kaum Anshar yang menghadapkan kelakuan semacam itu dalam rangka penghormatan. Dan tidak pernah ada seorang pun dari kaum Muhajirin yang menuntut hak pemilikan istri dari orang Anshar. Bahkan ketika Abdurrahman bin Auf disodori saudaranya dengan istri, dengan berkata: “Pilihlah mana di antara istri-istriku, akan kuserahkan dia kepadamu”. Namun Abdurrahman menolakn ya, dan berkata: “Semog a Allah melimpahkan berkah kepadamu. Tahanlah istrimu, dan tunjukkanlah pasar kepadaku’.
Penafsiran ke-4 mengatakan, sesungguhnya Dawud as tidak memperbuat ini dan itu. Hanya saja ia meminang wanita pinangan orang lain yaitu Uruya -calon suami wanita. Penafsir tersebut berkata, bahwa Uruya telah meminang seorang wanita sebelum berangkat berperang. Kemudian Dawud menemui sekaligus meminangnya. Maka orang banyak pun suka hati mereka dan tertarik kepada hal ini. Lantas mereka merestui perkawinan Dawud dengannya. Sedang Dawud men getahui bahwa wanita itu telah menjadi pinangan orang lain sebelumnya, tapi ia berargumen barangkali tindakannya ini tidak diharamkan dalam syari’at agamanya.
Penafsiran ke-5 mengatakan bahwa Dawud as telah memandang wanita lebih dari sekali.
Panafsiran ke-6 menyatakan bahwa Dawud as tidak bertindak sedikit pun seperti yang disebutkan di atas. Ia tidak menampakkan gejala untuk membunuh suami wanita tersebut, dan tidak menuntut pemilikan hak memperoleh istri serta tidak memandangnya. Namun Setelah membunuh suaminya, Dawud tidak merasa susah dan resah lantaran pembunuhan ini. Padahal ia merasa susah dan resah setelah melakukan pembunuhan terhadap orang lain. Ditambah pula, Sesudah membunuh suami, Dawud menikahi istrinya. Hal ini bukan berarti Dawud mencurahkan rasa kecintaan kepada wanita itu, dan tidak memerintahkan orang lain demi keberhasilan perkawinannya serta tidak membuat perjanjian degannya lebih dahulu.
Semua pernyataan tersebut tidak jauh dari unsur wanita. Sedang penafsira n ke-7 jauh dari unsur wanita dan tidak ada kesan mengenai wanita. Penafsiran inipun jauh dari kesempurnaan susunan pokok pembicaraan. Yaitu, bahwa Dawud as memberikan keputusan kepada salah seorang dari dua orang yang berpekara penuduh sebelum mendengarkan pernyataan pihak lain tertuduh. Termasuk hal yang mengherankan, jika kita menisbatkan salah satu penafsiran tentang Nabi Allah Dawud tersebut kepada penafsirannya, niscaya ia tidak meridhai Nabi Dawud as. Para penafsir di atas tidaklah mendhai Dawud as, baik ditinjau dan sifat menahan din (‘ffah) dan wanita yang bukan haknya maupun dan segi pemahaman syanat dalam memberikan keputusan. Bagaimana rniereka akan menidhai sinyalemen tersebut bagi Nabi Dawud as.
Saya mempunyai i’tikad yang kuat bahwa Semua penafsiran tersebut tidak memiliki sandaran. Hal-hal seperti mi mewpakan persoalan-persoalan yang ghaib yang tidak mungkin dikuatkan dan dikomentari, kecuali dengan penukilan yang shahih atau nash yang jelas (Sharih,). Namun keduanya sama sekakli tidak didapatkan. Bahkan terdapat atsar dan Aura yang katanya: “Barang siapa yang berkata Sesuatu tentang Dawud Sejalan dengan apa ,ang dibeberkan kisah mengenai wanita, niscaya aku akan menderanya sebanyak 160 deraan. ini Sebagai deraan atas kedustaan terhadap para Na i”.
Sebagian ahli tafsir, seperti Ibnu as-Sa’ud berkat a: “Aku mengangkat pen a dan komentar tentang sesuatu dan penafsiranp enafsiran tersebut”. Ibnu Katsir dalam Tafsirnya mengatakan: “Di situ ada kabar yang semuanya tid ak mempunyal sandara n. Semuanya berbau isr ailiyat”. lbnu Katsir tidak bersandar dan tidak men yebutkannya sedikit pun.
Seandainya mereka memperhatikan susunan konteks penafsiran tersebut dan awal hingga akhir, niscaya mereka akan menjumpai kekosongan hakekat di hada pan merek a dan muncul fitnah dal am berpendirian dengannya. Hal mi dengan memperhatikan kedudukan Dawud as, kóndisi kaumn ya, hubungan kerja sam a antara mereka dan kezhaliman sebagian besar dari mereka.
Hakekat ujian Dawud sesungguhnya merupakan ujian kepada hambah - hambaNya yang menimbulkan dampak politik pemerintahan dan tidak ada kesan sama sekali dalam persoalan wanita. Ibadah pun merupakan ujian juga, sebagaimana sabda Rasulullah saw. kepada Mu’adz di tengah penduduk Quba’. Ketika itu Mu‘ adz memperpanjang shalatnya saat mengimami mereka. Sabda Rasuk “Adakah kamu pembuat fitnah, hai Mu’adz! Atau kamu hendak menjadi pembuat fitnah hai Mu’adz!” Maksud pembuat fitnah di sini adalah, membeb ankan tambahan bacaan dan memperpanjangnya di tengah mereka.
Dalam kaitan ini seorang Nabi telah diberi kedudukan di bidang kekhalifahan, hukum dan kem ampuan memecahkan problema. Lantas hal tersebut ditinggalkannya Secara total, dan kemudian ia beri’tikaf di mihrabnya. Sedang orang-orang bersekutu yang berada di luar pagar saling berbuat zhalim antara sebagian yang satu dengan yang lain. Terjadilah berbagai fitnah maupun permusuhan di antara mereka. Sedang Dawud as terhalang dan mereka; ia berada di tengah para pengawal raja yang kuat.
Penafsiran ini menjadi jelas dengan mengambil awal susunan konteks yang berdasar firman Allah:
dan ingatlab hamba Kami Dawud yang mempunyai kekuatan; sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan). Sesungguhnya Kami menundukkan gunung- unung untuk bertasbih bersama dia (Dawud) di waktu petang dan pagi. Dan Kami tundukkan pula burung-burung dalam keadaan terkumpul. Masing-masing amat taat kepada Allah. Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan. Dan adakah sampai kepadamu berita orang-orang yang berperkara ketika mereka memanjat pagar? Ketika mereka masuk (menemui) Dawud lalu ia terkejut karena (kedatangan) mereka. Mereka berkata: “Janganlah kamu merasa takut; (kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dan kami berbuat zhalim kepada yang lain; maka berilah keputusan antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dan kebenaran dan tunjukilah kami jalan yang lurus. Se sungguhnya saudara kami mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kainbing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka dia berkata: “Serahkanlah kambingmu kepadaku dan dia megalahkan aku dengan perdebatan”. Dawud berkata: “Sesungguhnya dia telah berbuat zhalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dan orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada Sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini”. Dan Dawud mengetahui bahwa Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertobat. Maka Kami ampuni baginya kesalahannya itu. Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik. Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (pen guasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil (Shad: 17-26).
Dengan merenungkan susunan tersebut kita jumpai bahwa kabar orang yang berperkara didahul ui dengan firman-Nya, “Dan Kami kuatkan keraja nnya dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalarn menyelesaikan perselisihan”. (Shad: 20). ini merupakan fasilitas ilahi yang dimiliki Nabi Dawud, dengan diberikan-Nya hikmah dan kebijaksanaan dalam me- nyelesaikan perselisihan. Hal ini sebagai fasilitas yuridiksi dalam memecahkan konflik antarä orang-orang yang berperkara. Setelah itu terdapat susunan firman-Nya: “Hai Dawud, sesungguhnya Kamil menjadikan kamu khallfah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil (Shad: 26). Hal ini merupakan pemberian kedudukan secara operasional di bidang kekhalifahan dan hukum yang haq, di mana pada galibnya Ia tidak menyimpang darinya. Kabar orang yang berperkara tersebut menjaganya dan dua hal, yaitu fasilitas untuk memberikan keputusan dan tanggung jawab dengan hukum.
Nabi Dawud membagi waktunya menjadi tiga, sepertiga untuk diri dan keluarganya, sepertiga untuk ibadahnya, dan sepertiga untuk pemerintahannya.
Telah diampunkan baginya di waktu yang dikhususkan untuk diri dan keluarganya. Sebab keluarganya yang termasuk rakyatnya tersebut akan dimintai pertanggung jawaban tentang diri Dawud. Tidak diampunkan baginya pada bagian waktu i’tikafnya di mihrab selama bagian waktu untuk pemenintahan tidak dicukupinnya. Karena i’tikafnya di mihrab hanya terbatas untuk dirinya. Sedang duduknya untuk pemerintahan berguna untuk melenyapkan kezhaliman, menetapkan keadilan maupun bagi kemaslahatan ummat. Dengan demikian, penggabungan antara hal-hal yang berkaitan dengan waktu i’tikaf dan urusan pemerintahan, diperlukan. Jalan untuk sampainya dua orang yang berperkara kepada Dawud, responsi keduanya dengan Dawud dan putusan hukum antara keduanya menjelaskan dalil adanya arti di atas. Sungguh orang-orang yang berperkara telah memanjat pagar guna menemui Dawud di saat manusia tidak mampu menemuinya Secara wajar, lantaran ketaatan penjagaan atasnya. Dalam hal ini ada isyarat bahwa manusia tidak berdaya untuk sampai kepadanya, mereka terhalang darinya di tengah mendesaknya kebutuhan mereka akan peradilannya.
Arti kedua, perkataan penuduh: “Dan ia mengalahkan aku dalam perdebatan”, ia mengalahkan aku dalam salah satu sisi kezhaliman dan kemarahan yang kalut di masyarakat, di luar dinding mihrabnya.
Arti ketiga, perkataan Dawud kepada keduanya, “Sesungguhnya ia telah berbuat zhalim kepadamu dengan meminta kambingmu untuk ditambahkan kepada kambingnya”. ini pengakuan Dawud akan adanya kezhaliman di tengah manusia.
Arti keempat, perkataan Dawud kepada keduanya: “Dan sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang berserikat sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian lainnya”. ini merupakan pernyataannya mengenai kondisi sisi tabiat orang-orang yang berserikat.
Arti kelima, dengan memperhatikan hal-hal di atas, maka responsi mereka dapat ditarik kesimpulan dan dijabarkan bahwa setiap prilaku yang melampaui batas, zhalim dan rusak menjadikan dia Nabi Dawud merasa wajib untuk selalu duduk melayani mereka. Konflik di antara mereka harus diselesaikan, menghukum pelaku kerusakan dan membalas kezhaliman selaras yang telah diperbuat pelakunya. Tidak pantas Ia mengucilkan diri dan semua semua sembari beribadah di mihrabnya. Seolah kedua malaikat tersebut berkata kepada Dawud: “Selama kamu mengetahui segi dan kondisi kaummu dan tabiat orang-orang yang berserikat di tengah mereka, maka tidak pantas kamu meninggalkan mereka dalam kezhaliman dan kerusakan. Tidak patut kamu mengucil diri dan mereka di tengah waktu, di mana hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan telah diberikan Allah kepadamu, serta Dia telah menjadikan kamu sebagai khalifah di muka bumi guna menjatuhkan hukum di antara manusia”.
“Oleh karena itu, keluarlah kamu menuju manusia dan hukumilah di antara mereka dengan haq. Langkah ini lebih dicintai Allah, dan ini merupakan wewenangmu yang telah dilimpahkan kepadamu. Artinya jadilah kamu sesuai dengan kehendak Allah terhadap kamu”.
Dalam kabar orang berperkara ini tidak ada alsan dan ketepatan yang berkaitan dengan unsur wanita. Hal ini dengan mengingat beberapa hal Sebagai berikut:
1. Andaikata terdapat unsur wanita dalam kabar ini, niscaya orang-orang yang berperkara akan mendatangi mahkamah Dawud as dan tidak perlu memanjat agar guna menemuinya. Namun dalam kaitan ini mereka memanjat pagar menumuinya, untuk memberitahukan padanya dengan cara menerobos para Pengawal. Sedang para man usia terhalang darinya.
2. Dawud as disifati dengan Dzul aid, yaitu yang mempunyai kekuatan dalam ibadah dan lainnya.
3. Sesungguhnya Dawud suka bertobat, amat takut kepada Allah dan begitu cepatnya kembali kepada-Nya.
4. Ditundukkan-Nya gunung-gunung untuk bertasbih bersama Dawud, dan burung-burung dikumpulkan supaya condong mendengarkan tasbihnya. semuanya akan kembali kepadanya.
5. Dikuatkan dan dijaga-Nya kerajaannya. Semuanya akan menghilangkan kecenderungan kepada wanita dan menyucikannya dari hal yang lebih rcmeh dan itu.
6. Diberikan-Nya hikm ah, yang berarti Dawud akan selalu keluar dan hal-hal yang remeh tersebut. Sebab di dalamnya sedikit pun tidak ada hikmah. Maka hikmah yang dimilikinya akan membatasi dirinya dari semua itu, baik yang berkenaan dengan perempuan maupun tergesa-gesa dalam soal hukum.
7. Perkataannya: “Dan kebanyakan orang-orang yang berserikat” teks lafalnya amat jauh dan Unsur wanita. Sebab ma’na al-Kliulatha’ adalah orang-orang yang berserikat dalam soal kambing dalam penggembalaan, binatang pejantan, termpat pemerasan susu ternak dan tempat menginap ternak. Lafal tersebut tidaklah berma’na perserikatan dua orang dalam soal wanita-wanita sama sekali. Analoginya, bukanlah perserikatan dua orang dalam soal binatang pejantan maupun tempat penginapan. Jika lafal tersebut tidak berma’na demikian, niscaya perkataannya tersebut merupakan arnalan yang jelek.
8. Sesungguhnya Daw ud merupakan salah seorang Nabi, di mana kita diperintahkan Nabi kita, Muhammad saw. untuk mengikuti para nabi. Tidak benar secara akal maupun syari’at Nabi Dawud melakukan sesuatu dan perbuatan remeh tersebut. Sebab para nabi adalah ma’shum.
Rahmat Basuki
Kabar tentang orang yang berperkara dengan Dawud as dan istighfarnya dan berbagai fithah dalam gaya dan jalan bahasa tersebut dipandang sebagian ahli tafsir secara sempit. Terdapatlah hal-hal yang berbau israiliyat yang tersusun rapi dalam pembeberan kisah yang menyangkut unsur wanita. Pengambilan nash tentang wanita yang dimisalkan kambing betina (na ‘- jah) tersebut menurut mereka sejalan perumpamaan yang dipergunakan orang Arab. Orang Arab menyebut na ‘jah sebagai kinayah wanita. Seperti syair ar-Rajiz.
Tiga butir telor bak beberapa ekor kambing betina yang bagus. Mereka ketawa tentang sesuatu bak pengabar yang menjerit. Sebagian ahli tafsir tersebut mengaitkan antara istighfar dan fithah yang menimpanya serta mengambil istinbath permisalan ni ‘aj (jama’ dan na’jah) tersebut berkisar tentang orang yang berkecukupan dan orang yang kekurangan. Seperti lbnu Jarir, sebagai imam tafsir dan syaikh ahli tafsir, tidak keluar penafsirannya dari unsur wanita. Menurut Wahab bin Munabbih yang terkenal riwayatnya dan tsiqat di kalangan ahli hadits mengatakan, bahwa ketika Dawud as dimihrabnya, datanglah di hadapannya syaitan yang menyamar seekor burung berbulu emas. Maka Dawud pun menghalaukan tangan dengan tujuan menangkapnya. Lalu burung itu menjauh darinya, dan segera diikuti Dawud. Kemudian ia keluar melalui lobang dinding, dan segera di ikuti pandangan Dawud. Lantas pandangan matanya terjebak ke arah salah seorang wanita tercantik yang sedang mandi di lantai atas rumahnya. Wanita itupun sadar karenanya, dan kemudian ia mengurai rambutnya guna menutupi tubuhnya. Hal inilah yang menjadikan Dawud kian tertarik kepadanya.
Lalu Dawud bertanya mengenai dirinya, dan mengetahui bahwa wanita tersebut bersuamikan seorang tentara yang sedang berperang. Lantas Dawud pun mengirimkan utusan kepada pimpinannya, agar ia datang kepada Dawud dengan membawa sebuah peti. sementara Dawud menahan diri dari berbuat zhalim. Kemudian Dawud memerintahkan lagi untuk mendatangkan pimpinan tersebut yang kedua kalinya. Yang ketiga kalinya, Dawud melakukan pembunuhan atas serdadu tersebut dan kemudian memperistrinya sesudah itu. Oleh sebab itu, Allah mencelanya dan mengutus dua malaikat dengan menyamar orang yang berperkara, untuk menemui Dawud. Ini bertujuan agar keduanya menjelaskan bahwa peristiwa tersebut merupakan ujian, ditengah sejumlah 99 istri yang dimilikinya.Demikianlah kisah ini berlanjut menyimpang.
Penafsiran ke-3, mengatakan bahwa Dawud tidak sampai membunuh suami wanita itu, tetapi hanya menuntut hak pemilikan istri dan suaminya. Ahli tafsir yang berpendapat seperti itu mengatakan, bahwa pernyataan seperti ini lebih realistis dari sebelumnya. Sebab dahulu kaum Anshar pernah memberikan sebagian istri mereka kepada saudaranya, kaum Muhajirin. Termasuk hal yang mengherankan jika ulama yang berpendapat seperti itu mengambil dalil mengenai perbuatan kaum Anshar, lantaran ada perbedaan yang besar. Sebab kaum Anshar yang menghadapkan kelakuan semacam itu dalam rangka penghormatan. Dan tidak pernah ada seorang pun dari kaum Muhajirin yang menuntut hak pemilikan istri dari orang Anshar. Bahkan ketika Abdurrahman bin Auf disodori saudaranya dengan istri, dengan berkata: “Pilihlah mana di antara istri-istriku, akan kuserahkan dia kepadamu”. Namun Abdurrahman menolakn ya, dan berkata: “Semog a Allah melimpahkan berkah kepadamu. Tahanlah istrimu, dan tunjukkanlah pasar kepadaku’.
Penafsiran ke-4 mengatakan, sesungguhnya Dawud as tidak memperbuat ini dan itu. Hanya saja ia meminang wanita pinangan orang lain yaitu Uruya -calon suami wanita. Penafsir tersebut berkata, bahwa Uruya telah meminang seorang wanita sebelum berangkat berperang. Kemudian Dawud menemui sekaligus meminangnya. Maka orang banyak pun suka hati mereka dan tertarik kepada hal ini. Lantas mereka merestui perkawinan Dawud dengannya. Sedang Dawud men getahui bahwa wanita itu telah menjadi pinangan orang lain sebelumnya, tapi ia berargumen barangkali tindakannya ini tidak diharamkan dalam syari’at agamanya.
Penafsiran ke-5 mengatakan bahwa Dawud as telah memandang wanita lebih dari sekali.
Panafsiran ke-6 menyatakan bahwa Dawud as tidak bertindak sedikit pun seperti yang disebutkan di atas. Ia tidak menampakkan gejala untuk membunuh suami wanita tersebut, dan tidak menuntut pemilikan hak memperoleh istri serta tidak memandangnya. Namun Setelah membunuh suaminya, Dawud tidak merasa susah dan resah lantaran pembunuhan ini. Padahal ia merasa susah dan resah setelah melakukan pembunuhan terhadap orang lain. Ditambah pula, Sesudah membunuh suami, Dawud menikahi istrinya. Hal ini bukan berarti Dawud mencurahkan rasa kecintaan kepada wanita itu, dan tidak memerintahkan orang lain demi keberhasilan perkawinannya serta tidak membuat perjanjian degannya lebih dahulu.
Semua pernyataan tersebut tidak jauh dari unsur wanita. Sedang penafsira n ke-7 jauh dari unsur wanita dan tidak ada kesan mengenai wanita. Penafsiran inipun jauh dari kesempurnaan susunan pokok pembicaraan. Yaitu, bahwa Dawud as memberikan keputusan kepada salah seorang dari dua orang yang berpekara penuduh sebelum mendengarkan pernyataan pihak lain tertuduh. Termasuk hal yang mengherankan, jika kita menisbatkan salah satu penafsiran tentang Nabi Allah Dawud tersebut kepada penafsirannya, niscaya ia tidak meridhai Nabi Dawud as. Para penafsir di atas tidaklah mendhai Dawud as, baik ditinjau dan sifat menahan din (‘ffah) dan wanita yang bukan haknya maupun dan segi pemahaman syanat dalam memberikan keputusan. Bagaimana rniereka akan menidhai sinyalemen tersebut bagi Nabi Dawud as.
Saya mempunyai i’tikad yang kuat bahwa Semua penafsiran tersebut tidak memiliki sandaran. Hal-hal seperti mi mewpakan persoalan-persoalan yang ghaib yang tidak mungkin dikuatkan dan dikomentari, kecuali dengan penukilan yang shahih atau nash yang jelas (Sharih,). Namun keduanya sama sekakli tidak didapatkan. Bahkan terdapat atsar dan Aura yang katanya: “Barang siapa yang berkata Sesuatu tentang Dawud Sejalan dengan apa ,ang dibeberkan kisah mengenai wanita, niscaya aku akan menderanya sebanyak 160 deraan. ini Sebagai deraan atas kedustaan terhadap para Na i”.
Sebagian ahli tafsir, seperti Ibnu as-Sa’ud berkat a: “Aku mengangkat pen a dan komentar tentang sesuatu dan penafsiranp enafsiran tersebut”. Ibnu Katsir dalam Tafsirnya mengatakan: “Di situ ada kabar yang semuanya tid ak mempunyal sandara n. Semuanya berbau isr ailiyat”. lbnu Katsir tidak bersandar dan tidak men yebutkannya sedikit pun.
Seandainya mereka memperhatikan susunan konteks penafsiran tersebut dan awal hingga akhir, niscaya mereka akan menjumpai kekosongan hakekat di hada pan merek a dan muncul fitnah dal am berpendirian dengannya. Hal mi dengan memperhatikan kedudukan Dawud as, kóndisi kaumn ya, hubungan kerja sam a antara mereka dan kezhaliman sebagian besar dari mereka.
Hakekat ujian Dawud sesungguhnya merupakan ujian kepada hambah - hambaNya yang menimbulkan dampak politik pemerintahan dan tidak ada kesan sama sekali dalam persoalan wanita. Ibadah pun merupakan ujian juga, sebagaimana sabda Rasulullah saw. kepada Mu’adz di tengah penduduk Quba’. Ketika itu Mu‘ adz memperpanjang shalatnya saat mengimami mereka. Sabda Rasuk “Adakah kamu pembuat fitnah, hai Mu’adz! Atau kamu hendak menjadi pembuat fitnah hai Mu’adz!” Maksud pembuat fitnah di sini adalah, membeb ankan tambahan bacaan dan memperpanjangnya di tengah mereka.
Dalam kaitan ini seorang Nabi telah diberi kedudukan di bidang kekhalifahan, hukum dan kem ampuan memecahkan problema. Lantas hal tersebut ditinggalkannya Secara total, dan kemudian ia beri’tikaf di mihrabnya. Sedang orang-orang bersekutu yang berada di luar pagar saling berbuat zhalim antara sebagian yang satu dengan yang lain. Terjadilah berbagai fitnah maupun permusuhan di antara mereka. Sedang Dawud as terhalang dan mereka; ia berada di tengah para pengawal raja yang kuat.
Penafsiran ini menjadi jelas dengan mengambil awal susunan konteks yang berdasar firman Allah:
dan ingatlab hamba Kami Dawud yang mempunyai kekuatan; sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan). Sesungguhnya Kami menundukkan gunung- unung untuk bertasbih bersama dia (Dawud) di waktu petang dan pagi. Dan Kami tundukkan pula burung-burung dalam keadaan terkumpul. Masing-masing amat taat kepada Allah. Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan. Dan adakah sampai kepadamu berita orang-orang yang berperkara ketika mereka memanjat pagar? Ketika mereka masuk (menemui) Dawud lalu ia terkejut karena (kedatangan) mereka. Mereka berkata: “Janganlah kamu merasa takut; (kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dan kami berbuat zhalim kepada yang lain; maka berilah keputusan antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dan kebenaran dan tunjukilah kami jalan yang lurus. Se sungguhnya saudara kami mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kainbing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka dia berkata: “Serahkanlah kambingmu kepadaku dan dia megalahkan aku dengan perdebatan”. Dawud berkata: “Sesungguhnya dia telah berbuat zhalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dan orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada Sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini”. Dan Dawud mengetahui bahwa Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertobat. Maka Kami ampuni baginya kesalahannya itu. Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik. Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (pen guasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil (Shad: 17-26).
Dengan merenungkan susunan tersebut kita jumpai bahwa kabar orang yang berperkara didahul ui dengan firman-Nya, “Dan Kami kuatkan keraja nnya dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalarn menyelesaikan perselisihan”. (Shad: 20). ini merupakan fasilitas ilahi yang dimiliki Nabi Dawud, dengan diberikan-Nya hikmah dan kebijaksanaan dalam me- nyelesaikan perselisihan. Hal ini sebagai fasilitas yuridiksi dalam memecahkan konflik antarä orang-orang yang berperkara. Setelah itu terdapat susunan firman-Nya: “Hai Dawud, sesungguhnya Kamil menjadikan kamu khallfah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil (Shad: 26). Hal ini merupakan pemberian kedudukan secara operasional di bidang kekhalifahan dan hukum yang haq, di mana pada galibnya Ia tidak menyimpang darinya. Kabar orang yang berperkara tersebut menjaganya dan dua hal, yaitu fasilitas untuk memberikan keputusan dan tanggung jawab dengan hukum.
Nabi Dawud membagi waktunya menjadi tiga, sepertiga untuk diri dan keluarganya, sepertiga untuk ibadahnya, dan sepertiga untuk pemerintahannya.
Telah diampunkan baginya di waktu yang dikhususkan untuk diri dan keluarganya. Sebab keluarganya yang termasuk rakyatnya tersebut akan dimintai pertanggung jawaban tentang diri Dawud. Tidak diampunkan baginya pada bagian waktu i’tikafnya di mihrab selama bagian waktu untuk pemenintahan tidak dicukupinnya. Karena i’tikafnya di mihrab hanya terbatas untuk dirinya. Sedang duduknya untuk pemerintahan berguna untuk melenyapkan kezhaliman, menetapkan keadilan maupun bagi kemaslahatan ummat. Dengan demikian, penggabungan antara hal-hal yang berkaitan dengan waktu i’tikaf dan urusan pemerintahan, diperlukan. Jalan untuk sampainya dua orang yang berperkara kepada Dawud, responsi keduanya dengan Dawud dan putusan hukum antara keduanya menjelaskan dalil adanya arti di atas. Sungguh orang-orang yang berperkara telah memanjat pagar guna menemui Dawud di saat manusia tidak mampu menemuinya Secara wajar, lantaran ketaatan penjagaan atasnya. Dalam hal ini ada isyarat bahwa manusia tidak berdaya untuk sampai kepadanya, mereka terhalang darinya di tengah mendesaknya kebutuhan mereka akan peradilannya.
Arti kedua, perkataan penuduh: “Dan ia mengalahkan aku dalam perdebatan”, ia mengalahkan aku dalam salah satu sisi kezhaliman dan kemarahan yang kalut di masyarakat, di luar dinding mihrabnya.
Arti ketiga, perkataan Dawud kepada keduanya, “Sesungguhnya ia telah berbuat zhalim kepadamu dengan meminta kambingmu untuk ditambahkan kepada kambingnya”. ini pengakuan Dawud akan adanya kezhaliman di tengah manusia.
Arti keempat, perkataan Dawud kepada keduanya: “Dan sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang berserikat sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian lainnya”. ini merupakan pernyataannya mengenai kondisi sisi tabiat orang-orang yang berserikat.
Arti kelima, dengan memperhatikan hal-hal di atas, maka responsi mereka dapat ditarik kesimpulan dan dijabarkan bahwa setiap prilaku yang melampaui batas, zhalim dan rusak menjadikan dia Nabi Dawud merasa wajib untuk selalu duduk melayani mereka. Konflik di antara mereka harus diselesaikan, menghukum pelaku kerusakan dan membalas kezhaliman selaras yang telah diperbuat pelakunya. Tidak pantas Ia mengucilkan diri dan semua semua sembari beribadah di mihrabnya. Seolah kedua malaikat tersebut berkata kepada Dawud: “Selama kamu mengetahui segi dan kondisi kaummu dan tabiat orang-orang yang berserikat di tengah mereka, maka tidak pantas kamu meninggalkan mereka dalam kezhaliman dan kerusakan. Tidak patut kamu mengucil diri dan mereka di tengah waktu, di mana hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan telah diberikan Allah kepadamu, serta Dia telah menjadikan kamu sebagai khalifah di muka bumi guna menjatuhkan hukum di antara manusia”.
“Oleh karena itu, keluarlah kamu menuju manusia dan hukumilah di antara mereka dengan haq. Langkah ini lebih dicintai Allah, dan ini merupakan wewenangmu yang telah dilimpahkan kepadamu. Artinya jadilah kamu sesuai dengan kehendak Allah terhadap kamu”.
Dalam kabar orang berperkara ini tidak ada alsan dan ketepatan yang berkaitan dengan unsur wanita. Hal ini dengan mengingat beberapa hal Sebagai berikut:
1. Andaikata terdapat unsur wanita dalam kabar ini, niscaya orang-orang yang berperkara akan mendatangi mahkamah Dawud as dan tidak perlu memanjat agar guna menemuinya. Namun dalam kaitan ini mereka memanjat pagar menumuinya, untuk memberitahukan padanya dengan cara menerobos para Pengawal. Sedang para man usia terhalang darinya.
2. Dawud as disifati dengan Dzul aid, yaitu yang mempunyai kekuatan dalam ibadah dan lainnya.
3. Sesungguhnya Dawud suka bertobat, amat takut kepada Allah dan begitu cepatnya kembali kepada-Nya.
4. Ditundukkan-Nya gunung-gunung untuk bertasbih bersama Dawud, dan burung-burung dikumpulkan supaya condong mendengarkan tasbihnya. semuanya akan kembali kepadanya.
5. Dikuatkan dan dijaga-Nya kerajaannya. Semuanya akan menghilangkan kecenderungan kepada wanita dan menyucikannya dari hal yang lebih rcmeh dan itu.
6. Diberikan-Nya hikm ah, yang berarti Dawud akan selalu keluar dan hal-hal yang remeh tersebut. Sebab di dalamnya sedikit pun tidak ada hikmah. Maka hikmah yang dimilikinya akan membatasi dirinya dari semua itu, baik yang berkenaan dengan perempuan maupun tergesa-gesa dalam soal hukum.
7. Perkataannya: “Dan kebanyakan orang-orang yang berserikat” teks lafalnya amat jauh dan Unsur wanita. Sebab ma’na al-Kliulatha’ adalah orang-orang yang berserikat dalam soal kambing dalam penggembalaan, binatang pejantan, termpat pemerasan susu ternak dan tempat menginap ternak. Lafal tersebut tidaklah berma’na perserikatan dua orang dalam soal wanita-wanita sama sekali. Analoginya, bukanlah perserikatan dua orang dalam soal binatang pejantan maupun tempat penginapan. Jika lafal tersebut tidak berma’na demikian, niscaya perkataannya tersebut merupakan arnalan yang jelek.
8. Sesungguhnya Daw ud merupakan salah seorang Nabi, di mana kita diperintahkan Nabi kita, Muhammad saw. untuk mengikuti para nabi. Tidak benar secara akal maupun syari’at Nabi Dawud melakukan sesuatu dan perbuatan remeh tersebut. Sebab para nabi adalah ma’shum.
Rahmat Basuki
0 komentar: