Metode dan materi da’wah perlu dipertanyakan menghadapi pluralisme paham dan aliran Bagaimana kita bisa keluar dan kompleksitas dan persoalan struktural ummat?
Pergulatan pemikiran diera multi paham dan pluralisme menimbulkan pertanyaan kunci; Bagaimanakah metode dan materi da’wah yang tepat sehingga ummat dapat terbentengi dari berbagai virus sosial yang merusak aqidah? Tampaknya dengan kondisi dan model da’wah kita selama ini tak mungkin dapat menggalang potensi untuk secara seimbang atau setara menangkal berbagai serbuan paham dan aliran yang deras tak terbatas. Jika kita evaluasi sejenak perkembangan da’wah kita rupanya belum menemukan format baru.
Da’wah masih sebagian besar terfokus pada etos kesalehan pribadi bukan etos jihad secara sosial dalam pengertian yang luas. Berbagai persoalan masyarkat yang muncul seolah-olah dipersepsi bukan tantangan da’wah. Misalnya, problem korupsi, kolusi, dan nepotisme semata-mata dipahami sebagal wilayah politik. Pada saat yang sama kita masih terdidik dengan paham Orde Baru; jangan campuradukkan agama dan politik. (Baca: da’wah dan poiltik). Demikian halnya dengan persoalan HAM, lingkungan, buruh, tanah, pornografi, bahaya psikotropika, pengangguran, dan berbagai persoalan sosial yang kuat lainnya jarang dijadikan daftar persoalan da’ wah yang memerlukan perhatian khusus. Belum lagi kita melihat dalam konteks lebih luas, yaitu meruyaknya berbagai buku bacaan bertemakan marxisme - leninisme yang sangat merugikan masa depan generasi muda. Da’ wah kita masih belum lagi menyentuh bidang-bidang sosial-politik dan sosial-ekonomi yang menyita banyak sumber daya negara.
Sementara itu metode da’wah pun masih terbatas pada kerangka reward and punishment system, yakni pemaparan konsep agama dalam bingkai janji-janji Tuhan atas adanya pahala dan sebaliknya hukuman di akhirat. Pendeknya, penjelasan agama dibatasi pada sekadar penyadaran akan konsep surga dan neraka. Sedangkan bentuk penyadaran melalui penggambaran persoalan rill dan soslusinya dari perspektif agama tak banyak disentuh. Padahal, mengenali semua persoalan dunia sebagai persoalan agama justru meyakinkan semua bahwa agama adalah pandangan hidup yang harus menjadi tuntunan dalam segala bidang kehidupan.
Cobalah kita cermati khutbah-khutbah para da’i kita sebagian besar masih bersifat normatif dan tidak membenikan contoh persoalan yang konkret yang dihadapi masyarakat. Ummat diajak untuk mencari-cari sendiri persolán yang disinggung da’i dalam nukilan ayat-ayat al-Qur’an maupun al-hadits. Padahal, melalui mimbar khutbah Jum’at itu merupakan momentum untuk melakukan shock therapy terhadap ummat.
Di lain pihak da’wah melalui kerja-kerja sosial sifatnya masih faritatif dan biasanya dikaitkan dengan peringatan hari-hari besar agama. Belum lagi kita saksikan adanya ormas Islam yang memfasilitasi da’wah dalam bentuk advokasi hukum kepada para buruh ter-PHK, korban-korban HAM, serta tindakan kekerasan yang akhir-akhir ini cukup gampang ditemui. Da’wah juga belum terfokus kepada target- group (kelompok sasaran) yang memerlukan metode, materi, dan narasumber khusus.
Agaknya wilayah persoalan di atas sekarang ini lebih tercermati oleh para aktivis LSM yang dengan cara dan tujuannya sendiri sebagian telah berhasil memberikan alterntif dan solusi vanq baik. Memang di sini ada persoalan struktural dan peta jaririgan organisasi yang masih lemah dalam dunia Islam. LSM-LSM kita masih banyak menggantungkan diri pada funding asing, karena di sana memang ada pos-pos dan alokasi dana untuk misi perjuangan dalam titik, salah tertentu, seperti demiliterisasi, penculikan, media watch, supremasi hukum, pencemaran, kasus-kasus perburuhan dan pertanahan, serta penegakan HAM. Sebaliknya, ummat Islam di Indonesia selama ini hanya memiliki sumber bantuan asing dari Timur Tengah yang cukup besar. Hanya saja, sekali lagi hanya saja, alokasinya hanya untuk pembangunan masjid dan masjid dan masjid. Kalau ada beberapa lainnya mungkin untuk gedung pendidikan. Dari gambaran sederhana ini saja kita dapat “maklum” mengapa terlalu banyak masjid tapi ummatnya masih jauh tertinggal. Semua orang berlomba mendirikan masjid dengan berbagai cara tanpa memikirkan aspek pemeliharaan dan manajemennya. Problem jangka panjangnya akan luas sekali. Misalnya. jangan harap ada sorotan kritis terhadap media massa kita yang merusak aqidah dan syari’ at Islam, atau advokasi yang terus-menerus atas korban Tanjung Pniok. Aceh, Lampung. Poso, Ambon,dan sebagainya. Sebabnya, semua membutuhkan dana. Begitulah sosok da’wah di era pluralisme; miskin konsep, dana, jaringan, entah apa lagi.
0 komentar: