Ibnu Taimiyyah yang nama lengkapnya Ahmab bin Abdis Salam bin Abdillah bin Al Khidhir bin Muhammad bin Taimiyyah An Numairy Al Harrany Ad Dimasyqy adalah seorang imam, Qudwah, ‘Alim, Zahid dan Da’i ila Allah, baik dengan kata, tindakan, kesabaran maupun jihadnya; Syaikul Islam, Mufti Anam, pembela dinullah dan penghidup sunnah Rasul saw, yang telah dimatikan oleh hanyak orang.
Beliau lahir di Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arabia yang terletak antara sungai Dajalah (Tigris) dengan Efrat, pada hari Senin 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H.
Akibat serbuan pasukan Tartar atas negerinya, beliau hijrah ke Damsyik (Damascus) bersama orang tua dan keluarganya. Mereka menempuh perjalanan hijrah pada malam hari dengan menyeret sebuah gerobak besar yang dipenuhi dengan kitab-kitab ilmu, tanpa ada seekor binatang tunggangan pun pada mereka.
Suatu saat, di tengah perjalanan, gerobak mereka mengalami kerusakan, sehingga hampir saja pasukan musuh memergokinya. Dalam keadaan seperti itu mereka pun berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla sehingga mereka selamat bersama kitab-kitabnya.
Ghirahnya Kepada Ilmu
Semenjak dini sudah nampak tanda-tanda kecerdasan pada diri beliau. Begitu tiba di Damsyik, beliau segera menghafalkan al-Qur’an dan mengkaji beberapa cabang ilmu dan para ulama, huffazh dan ahli-ahli hadits negeri itu. Sehingga dengan ketekunannya dalam usia yang relatif muda beliau sudah nenguasai ilmu ushuluddin serta bidang-bidang lainnya, seperti tafsir, hadits dan bahasa Arab.
Pada masa-masa tersebut, beliau pun sudah mendalami kitab besar Musnad Ahmad sampai beberapa kali, kemudian dilanjutkannya dengan mengkaji kutubus Sittah (kitab-kitab sumber yang Enam) dan Mu’-jam al Kabir, Imam ath Thabrany. Beliau pun senantiasa membiasakan diri untuk hidup di tengah-tengah para ulama, sehingga mempunyai kesempatan banyak untuk mereguk sepuas-puasnya taman bacaan berupa kitab-kitab yang bermanfaat.
Lebih dari itu semua, beliau adalah seorang yang keras pendiriannya dan Senantiasa teguh di dalam berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah. Kesungguhan dan upaya kerasnya di dalam memecahkan persoalan agama, serta kekuatan bathinnya di dalam mengharapkan kebenaran maka dapat diketahui lewat perkat aannya: “Jika di benakku sedang terfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang musykil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfàr hingga terpenuhi cita-citaku”.
Pujian Ulama
“Banyak sekali imam-imam Islam yang memberikan pujian kepada Ibnu Taimiyyah ini, di antaranya: Al Hafizh al Mizzy, lbnu Daqiqil ‘led, Abu Hayyan An Nahwy, at Hafizh lbnu Sayyidin-nas, Al Hafizh Az Zarnlakaniy, Al Hafizh Adz Dzahaby dan imam-imam lainnya”, demikian kata al Alamah Asy’Syaikh al Karamy al Hambaly dalam kitabnya al-Kawakib ad Darary.
Ibnu Daqiqil Ied berkata: “Setelah aku berkumpul dengannya, kulihat beliau adalah seseorang yang Semua ilmu ada di depan matanya. Dan aku pun pernah berkata kepadanya: Aku tidak pernah menyangka akan tercipta manusia Seperti engkau”.
Al Mizzy berkata: “Aku belum pernah melihat orang seperti lbnu Taimiyyah dan belum pernah ada orang yang lebih berilmu terhadap kitabullah dan sunnah Rasul-Nya serta lehih ittiha’ dibandingkan dia”.
Adz Dzahaby berkata: “Dia (Ibnu Taimiyyah) adalah lambang kecerdasan dan kecepatan memahami, paling hehat pemahamanya terhadap al-Qur’an dan Sunnah Nabi serta perbedaan pendapat, dan tautan dalil naqli. Path zamannya, beliau adalah merupakan satu-satunya baik dalam hal keilmuan, zuhud, keberanian, kemurahan, amar ma’ruf, nahi munkar dan banyaknya buku-buku yang disusun serta penguasaannya yang semprna terhadap hadits dan fiqih”.
Maka dengan penguasaannya yang sempurna terhadap beberapa bidang ilmu, terutama dalam tafsir, tauhid, hadits dan fiqih, tidaklah berlebihan kalau al Qadhi lbnu al Hariry berkata: “Bila lbnu Taimiyyah bukan Syaikhul Islam, lalu siapakah dia?”.
Pikiran dan Perjuangannya
Sungguh lbnu taimiyyah bukanlah seorang ulama yang mengurung diri, mengisolir dan disibukkan oleh hafalan dan ilmunya, akan tetapi beliau juga Seorang patriot yang ahli bermain kuda. Beliau adalah pembela tiap jengkal tanah ummat Islam dan kezhaliman musuh dengan pedangnya, sebagaimana halnya beliau membela aqidah dan ibadah ummat dengan lisan dan penanya.
Ketika pasukan Tartar menyerang Syam dan mengepung sekitarnya, dengan berani lbnu Taimiyyah berteriak memberikan komando kepada ummat Islam supaya bangkit melawan serbuannya yang memang laksana badai ditiup angin dahsyat. Dalam kancah pertempuran besar itu tak henti-hentinya Ibnu Taimiyyah berteriak keras memberikan komando untuk menyerbu dan memberi peringatan keras supaya tidak lari…. Akhirnya dengan idzin dan taqdir Allah, pasukan Tartar pun berhasil dihancurkan, maka selamatlah negeri Syam, Patestina, Mesir dan Hijaz.
Sedang mengenai perjalanan intelektual Ibnu Taimiyyah, terutama ketika menghadapi sesuatu yang menyerupai sebuah konvensi (peruhahan agama), maka hempasan-hempasan pikirannya selain beliau lontarkan dalarn bentuk lisan (da’wah) juga tidak sedikit yang ditumpahkan dalam bentuk tulisan baik berupa susunan, karangan ataupun kritikan.
Maka, seperti kitab Min hajus Sunnah yang kemudian diringkas oleh Adz Dzahaby dengan judul Al Muntaqa min Minhajil I’tidal, ia sebuah tulisan khusus (4 juz) yang sarat dengan kritikan-kritikannya terhadap beberapa aliran.
Hampir semua aliran Islam yang muncul saat itu, beliau kritik dan dituangkannya ke dalam berbagai tulisan. Sehingga tidak ada satu aliran pun yang luput dari sorotan dan kritikan beliau yang memang kenyataannya berlebihan dan melampaui batas. Syiah misalnya, beliau dengan hujjahnya yang kuat dan kefaqihannya yang tinggi mengikis hahis paham-paham atau ajaran yang ditimbulkannya. Sehingga dari sikapnya itu, beliau harus menanggung risiko; dicerca dan difitnah. Risiko tinggal risiko, bagi Ibnu Taimiyyah ia adalah Sebuah sunnah para pejuang. Maka beliau pun tidak pernah bergeming di dalam menyuarakan al Haq, serta berusaha untuk menghidupkannya hingga titik penghabisan.
Kritik Terhadap Syi’ah
Sudah merupakan satu kebiasaan dan bahkan satu keharusan bagi lbnu Taimiyyah untuk menilai se buah kebenaran dengan mengujinya terlebih dahulu dari pelbagai segi dan kajian. Seperti kritik beliau terhadap Syi’ah, setelah dipahami dengan detail masing-masing kredibilitas, metodologi dan latar belakang sejarah mereka, beliau berkata: min akdzabin nas fin naqliyyat wa ajhalin nasfil akliyyat, mereka manusia yang paling pendusta di dalam masalah naqli (wahyu) dan paling bodoh di dalam masalah akal.
Ungkapan seperti itu bila dipandang sepintas lalu memang terasa mengejutkan dan seakan-akan tidak mungkin keluar dari lisan lbnu Taimiyyah. Akan tetapi itulah kenyataannya bagi sebuah ajaran Syi’ah.
Abu Abdillah adz Dzahaby, seorang imam ahli hadits dan jarah wa ta’dil, memberi kesaksian atas benarnya isi ungkapan tersebut. Melalui kitabnya Al Muntaqa, ia berkomentar:
“(Ibnu Taimiyyah mengungkapkan hal serupa itu) karena mereka (kaum Syi‘ ah) menyandarkan pentsiqahan adalah berdasarkan rasa cinta dan kebencian, maka bila didapatkan seor ang rawi lebih hanyak memendam kebenciannya kepada para shahahat Nabi. Ia menurut mereka lebih tsiqah daripada perawi yang dituduh dusta” (al-Munt aqa, Adz Dzahaby, hal: 19). Berkenaan dengan metodologi, mereka menolak perawi-perawi hadits yang dianggapnya memusuhi Ali bin Abi Thalib dan keluarganya, kendati menurut Ashahabul hadits mereka terkenal tsiqah dan kuat. Sekedar contoh apakah keyakinan ini masih bersambung atau tidak hingga sekarang dapat kita saksikan dalam sebuah tanggapan dari pecintanya, yang dikemas dalam sebuah buku herjudul Menjawab ‘Santri’’ Menanggapi tanggapan atas Buku Islam Aktual.
Dalam buku tersebut dengan mengutip berhagai tuduhan dan pada saat yang sama memojokkan rawi-rawi terpercaya untuk mengangkat keislaman Abu Thalib dan menggugurkan hadits-hadits shahih dan asbabun nuzul ayat al-Qur’an tentang kekafirannya ia berkata: Bila para perawi hadits itu tidak menyukai ‘Ali, tidak mengherankan bila mereka mengeluarkan hadist yang ‘‘mengkafirkan ayah ‘Ali. (Menjawab “Santri” Menanggapi Tanggapan atas Buku Islam Aktual, Agus Efendi, hal. 88).
Contoh di atas dan komentar adz Dzahaby, tidak saja hanya membenarkan ungkapan Ibnu Taimiyyah, akan tetapi sekaligus membenarkan apa yang diungkapkan oleh para pendahulunya, seperti Imam Asy Syqfi ‘i, Ima,n Malik, Yazid bin Harun dan Syuraik yang sama mengritik mereka. Demikian pula dalam bidang hadits, yang banyak menjadi pegangan kaum Syi’ah, tidak sedikit Ibnu Taimiyyah mengklaimnya dengan keras sebagai hadits-hadits palsu dan tidak patut untuk dipercaya. Misalnya tentang keutamaan ‘Ali yang sering dan banyak diangkat ke permukaan; “Nabi saw. berkata: Aku kota ilmu dan ‘Ali pintunya”. Hadits tersebut menurut lbnu Taimiyyah adalah sama sekali tidak bersumber dari Nabi mengingat ía tidak memiliki pangkal sanad.
Klaim Seperti ini di dalam persoalan hadits yang dikemukakan oleh lbnuTaimiyyah, tidaklah meragukan sebab Ahli hadits ternama Adz Dzahaby pernah memberikan kesaksian akan tajamnya penganalisaan lbnu Taimiyyah dalam urusan hadits. Ia berkata: “Setiap hadits yang tidak diketahui lbnu Taimiyyah, maka itu bukanlah hadits”.
Pada sisi lain, di dalam menghadapi persoalan yang timbul di masyarakat, ibnu Taimiyyah adalah sama kecerdikannya dengan keturunan ‘Ali, Muhammad bin Hanafiah. Ketika massa ramai-ramai menuduh Yazid bin Muawiyyah sebagai khalifah yang tamak, peminum minuman keras dll, maka beliau memandang sebagai tuduhan palsu, dan seraya Muhammad bin Hanafiah pun berkata: Ma ra ‘atu mimma tadzkurun, sama sekali aku tidak melihat apa yang kamu tuduhkan.
Wafat
ltulah Ibnu Taimiyyah, setelah banyak mengikis berbagai paham atau ajaran yang hendak menghancurkan agama, maka kembali ia harus menanggung risiko. Yang terakhir beliau masuk penjara Qal’ah hingga menemui kewafatannya, dan disaksikan langsung oleh muridnya yang setia al Alamah imam Ibnu Qayyim rahimahullah.
Jenazah beliau dishalatkan oleh ratusan ribu ummat Islam di masjid Bani Ummayyah sesudah shalat zhuhur pada tanggal 20 Dzul Hijjah tahun 728 H, dan dikuburkan pada waktu ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal al Islam Syarafuddin. Semoga Allah merahrnati beliau, tokoh salaf, Mujadid, Da’i dan pembela sunnah. Amein.
Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa orang-orang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata):“rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar”, (tentulah kamu akan merasa ngeri,). (QS. al-anfal 50)
A. Nurzaman
Beliau lahir di Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arabia yang terletak antara sungai Dajalah (Tigris) dengan Efrat, pada hari Senin 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H.
Akibat serbuan pasukan Tartar atas negerinya, beliau hijrah ke Damsyik (Damascus) bersama orang tua dan keluarganya. Mereka menempuh perjalanan hijrah pada malam hari dengan menyeret sebuah gerobak besar yang dipenuhi dengan kitab-kitab ilmu, tanpa ada seekor binatang tunggangan pun pada mereka.
Suatu saat, di tengah perjalanan, gerobak mereka mengalami kerusakan, sehingga hampir saja pasukan musuh memergokinya. Dalam keadaan seperti itu mereka pun berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla sehingga mereka selamat bersama kitab-kitabnya.
Ghirahnya Kepada Ilmu
Semenjak dini sudah nampak tanda-tanda kecerdasan pada diri beliau. Begitu tiba di Damsyik, beliau segera menghafalkan al-Qur’an dan mengkaji beberapa cabang ilmu dan para ulama, huffazh dan ahli-ahli hadits negeri itu. Sehingga dengan ketekunannya dalam usia yang relatif muda beliau sudah nenguasai ilmu ushuluddin serta bidang-bidang lainnya, seperti tafsir, hadits dan bahasa Arab.
Pada masa-masa tersebut, beliau pun sudah mendalami kitab besar Musnad Ahmad sampai beberapa kali, kemudian dilanjutkannya dengan mengkaji kutubus Sittah (kitab-kitab sumber yang Enam) dan Mu’-jam al Kabir, Imam ath Thabrany. Beliau pun senantiasa membiasakan diri untuk hidup di tengah-tengah para ulama, sehingga mempunyai kesempatan banyak untuk mereguk sepuas-puasnya taman bacaan berupa kitab-kitab yang bermanfaat.
Lebih dari itu semua, beliau adalah seorang yang keras pendiriannya dan Senantiasa teguh di dalam berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah. Kesungguhan dan upaya kerasnya di dalam memecahkan persoalan agama, serta kekuatan bathinnya di dalam mengharapkan kebenaran maka dapat diketahui lewat perkat aannya: “Jika di benakku sedang terfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang musykil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfàr hingga terpenuhi cita-citaku”.
Pujian Ulama
“Banyak sekali imam-imam Islam yang memberikan pujian kepada Ibnu Taimiyyah ini, di antaranya: Al Hafizh al Mizzy, lbnu Daqiqil ‘led, Abu Hayyan An Nahwy, at Hafizh lbnu Sayyidin-nas, Al Hafizh Az Zarnlakaniy, Al Hafizh Adz Dzahaby dan imam-imam lainnya”, demikian kata al Alamah Asy’Syaikh al Karamy al Hambaly dalam kitabnya al-Kawakib ad Darary.
Ibnu Daqiqil Ied berkata: “Setelah aku berkumpul dengannya, kulihat beliau adalah seseorang yang Semua ilmu ada di depan matanya. Dan aku pun pernah berkata kepadanya: Aku tidak pernah menyangka akan tercipta manusia Seperti engkau”.
Al Mizzy berkata: “Aku belum pernah melihat orang seperti lbnu Taimiyyah dan belum pernah ada orang yang lebih berilmu terhadap kitabullah dan sunnah Rasul-Nya serta lehih ittiha’ dibandingkan dia”.
Adz Dzahaby berkata: “Dia (Ibnu Taimiyyah) adalah lambang kecerdasan dan kecepatan memahami, paling hehat pemahamanya terhadap al-Qur’an dan Sunnah Nabi serta perbedaan pendapat, dan tautan dalil naqli. Path zamannya, beliau adalah merupakan satu-satunya baik dalam hal keilmuan, zuhud, keberanian, kemurahan, amar ma’ruf, nahi munkar dan banyaknya buku-buku yang disusun serta penguasaannya yang semprna terhadap hadits dan fiqih”.
Maka dengan penguasaannya yang sempurna terhadap beberapa bidang ilmu, terutama dalam tafsir, tauhid, hadits dan fiqih, tidaklah berlebihan kalau al Qadhi lbnu al Hariry berkata: “Bila lbnu Taimiyyah bukan Syaikhul Islam, lalu siapakah dia?”.
Pikiran dan Perjuangannya
Sungguh lbnu taimiyyah bukanlah seorang ulama yang mengurung diri, mengisolir dan disibukkan oleh hafalan dan ilmunya, akan tetapi beliau juga Seorang patriot yang ahli bermain kuda. Beliau adalah pembela tiap jengkal tanah ummat Islam dan kezhaliman musuh dengan pedangnya, sebagaimana halnya beliau membela aqidah dan ibadah ummat dengan lisan dan penanya.
Ketika pasukan Tartar menyerang Syam dan mengepung sekitarnya, dengan berani lbnu Taimiyyah berteriak memberikan komando kepada ummat Islam supaya bangkit melawan serbuannya yang memang laksana badai ditiup angin dahsyat. Dalam kancah pertempuran besar itu tak henti-hentinya Ibnu Taimiyyah berteriak keras memberikan komando untuk menyerbu dan memberi peringatan keras supaya tidak lari…. Akhirnya dengan idzin dan taqdir Allah, pasukan Tartar pun berhasil dihancurkan, maka selamatlah negeri Syam, Patestina, Mesir dan Hijaz.
Sedang mengenai perjalanan intelektual Ibnu Taimiyyah, terutama ketika menghadapi sesuatu yang menyerupai sebuah konvensi (peruhahan agama), maka hempasan-hempasan pikirannya selain beliau lontarkan dalarn bentuk lisan (da’wah) juga tidak sedikit yang ditumpahkan dalam bentuk tulisan baik berupa susunan, karangan ataupun kritikan.
Maka, seperti kitab Min hajus Sunnah yang kemudian diringkas oleh Adz Dzahaby dengan judul Al Muntaqa min Minhajil I’tidal, ia sebuah tulisan khusus (4 juz) yang sarat dengan kritikan-kritikannya terhadap beberapa aliran.
Hampir semua aliran Islam yang muncul saat itu, beliau kritik dan dituangkannya ke dalam berbagai tulisan. Sehingga tidak ada satu aliran pun yang luput dari sorotan dan kritikan beliau yang memang kenyataannya berlebihan dan melampaui batas. Syiah misalnya, beliau dengan hujjahnya yang kuat dan kefaqihannya yang tinggi mengikis hahis paham-paham atau ajaran yang ditimbulkannya. Sehingga dari sikapnya itu, beliau harus menanggung risiko; dicerca dan difitnah. Risiko tinggal risiko, bagi Ibnu Taimiyyah ia adalah Sebuah sunnah para pejuang. Maka beliau pun tidak pernah bergeming di dalam menyuarakan al Haq, serta berusaha untuk menghidupkannya hingga titik penghabisan.
Kritik Terhadap Syi’ah
Sudah merupakan satu kebiasaan dan bahkan satu keharusan bagi lbnu Taimiyyah untuk menilai se buah kebenaran dengan mengujinya terlebih dahulu dari pelbagai segi dan kajian. Seperti kritik beliau terhadap Syi’ah, setelah dipahami dengan detail masing-masing kredibilitas, metodologi dan latar belakang sejarah mereka, beliau berkata: min akdzabin nas fin naqliyyat wa ajhalin nasfil akliyyat, mereka manusia yang paling pendusta di dalam masalah naqli (wahyu) dan paling bodoh di dalam masalah akal.
Ungkapan seperti itu bila dipandang sepintas lalu memang terasa mengejutkan dan seakan-akan tidak mungkin keluar dari lisan lbnu Taimiyyah. Akan tetapi itulah kenyataannya bagi sebuah ajaran Syi’ah.
Abu Abdillah adz Dzahaby, seorang imam ahli hadits dan jarah wa ta’dil, memberi kesaksian atas benarnya isi ungkapan tersebut. Melalui kitabnya Al Muntaqa, ia berkomentar:
“(Ibnu Taimiyyah mengungkapkan hal serupa itu) karena mereka (kaum Syi‘ ah) menyandarkan pentsiqahan adalah berdasarkan rasa cinta dan kebencian, maka bila didapatkan seor ang rawi lebih hanyak memendam kebenciannya kepada para shahahat Nabi. Ia menurut mereka lebih tsiqah daripada perawi yang dituduh dusta” (al-Munt aqa, Adz Dzahaby, hal: 19). Berkenaan dengan metodologi, mereka menolak perawi-perawi hadits yang dianggapnya memusuhi Ali bin Abi Thalib dan keluarganya, kendati menurut Ashahabul hadits mereka terkenal tsiqah dan kuat. Sekedar contoh apakah keyakinan ini masih bersambung atau tidak hingga sekarang dapat kita saksikan dalam sebuah tanggapan dari pecintanya, yang dikemas dalam sebuah buku herjudul Menjawab ‘Santri’’ Menanggapi tanggapan atas Buku Islam Aktual.
Dalam buku tersebut dengan mengutip berhagai tuduhan dan pada saat yang sama memojokkan rawi-rawi terpercaya untuk mengangkat keislaman Abu Thalib dan menggugurkan hadits-hadits shahih dan asbabun nuzul ayat al-Qur’an tentang kekafirannya ia berkata: Bila para perawi hadits itu tidak menyukai ‘Ali, tidak mengherankan bila mereka mengeluarkan hadist yang ‘‘mengkafirkan ayah ‘Ali. (Menjawab “Santri” Menanggapi Tanggapan atas Buku Islam Aktual, Agus Efendi, hal. 88).
Contoh di atas dan komentar adz Dzahaby, tidak saja hanya membenarkan ungkapan Ibnu Taimiyyah, akan tetapi sekaligus membenarkan apa yang diungkapkan oleh para pendahulunya, seperti Imam Asy Syqfi ‘i, Ima,n Malik, Yazid bin Harun dan Syuraik yang sama mengritik mereka. Demikian pula dalam bidang hadits, yang banyak menjadi pegangan kaum Syi’ah, tidak sedikit Ibnu Taimiyyah mengklaimnya dengan keras sebagai hadits-hadits palsu dan tidak patut untuk dipercaya. Misalnya tentang keutamaan ‘Ali yang sering dan banyak diangkat ke permukaan; “Nabi saw. berkata: Aku kota ilmu dan ‘Ali pintunya”. Hadits tersebut menurut lbnu Taimiyyah adalah sama sekali tidak bersumber dari Nabi mengingat ía tidak memiliki pangkal sanad.
Klaim Seperti ini di dalam persoalan hadits yang dikemukakan oleh lbnuTaimiyyah, tidaklah meragukan sebab Ahli hadits ternama Adz Dzahaby pernah memberikan kesaksian akan tajamnya penganalisaan lbnu Taimiyyah dalam urusan hadits. Ia berkata: “Setiap hadits yang tidak diketahui lbnu Taimiyyah, maka itu bukanlah hadits”.
Pada sisi lain, di dalam menghadapi persoalan yang timbul di masyarakat, ibnu Taimiyyah adalah sama kecerdikannya dengan keturunan ‘Ali, Muhammad bin Hanafiah. Ketika massa ramai-ramai menuduh Yazid bin Muawiyyah sebagai khalifah yang tamak, peminum minuman keras dll, maka beliau memandang sebagai tuduhan palsu, dan seraya Muhammad bin Hanafiah pun berkata: Ma ra ‘atu mimma tadzkurun, sama sekali aku tidak melihat apa yang kamu tuduhkan.
Wafat
ltulah Ibnu Taimiyyah, setelah banyak mengikis berbagai paham atau ajaran yang hendak menghancurkan agama, maka kembali ia harus menanggung risiko. Yang terakhir beliau masuk penjara Qal’ah hingga menemui kewafatannya, dan disaksikan langsung oleh muridnya yang setia al Alamah imam Ibnu Qayyim rahimahullah.
Jenazah beliau dishalatkan oleh ratusan ribu ummat Islam di masjid Bani Ummayyah sesudah shalat zhuhur pada tanggal 20 Dzul Hijjah tahun 728 H, dan dikuburkan pada waktu ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal al Islam Syarafuddin. Semoga Allah merahrnati beliau, tokoh salaf, Mujadid, Da’i dan pembela sunnah. Amein.
Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa orang-orang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata):“rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar”, (tentulah kamu akan merasa ngeri,). (QS. al-anfal 50)
A. Nurzaman
0 komentar: