Nama lengkapnya Uwaimir bin Qais bin Umayyah bin al-Harits al-Anshari, lahir di kota Madinah. Abu Darda, ia lebih dikenal tumbuh dan dibesarkan di tengah keluarga hartawan, Karenanya tak heran bila setelah dewasa ia tertarik untuk terjun di dunia perdagangan. Dan di dunia ini Abu Darda meraih sukses, Namanya terkenal sebagai saudagar terkemuka dan disegani di Madinah.
Kesuksesan Abu Darda tidak Semata karena kondisi dan posisi keluargnnya yang memang kaya dan terpandang, tapi ia memiliki pembawaan dan sifat yang baik. Ulet, dan berkemauan keras, cermat, jujur dan teguh dalam memegang prinsip. Inilah yang banyak berperan mengantarkan kesuksesannya.
Memasuki Dunia Baru
Abu Darda termasuk orang yang tak ambil pusing terhadap Islam di masa awal da’wah Islam bergema di kotanya. Perhatiannya lebih banyak tesita oleh agenda dan aktivitas bisnis yang Ia tekuni. Namun gemuruh da’wah Islam yang memperoleh sambutan hampir seluruh penduduk Madinah saat itu, akhirnya menawan dan sekaligus rnenjadikannya tertarik pada Islam.
Ajaran Islam yang ia dapati lewat perkataan langung atau sikap Rasulullah, benar-benar merasuk ke dalam hati dan fikirannya, Ia tumbuh menjadi Muslim yang sangat kuat berpegang pada Islam, taat dan berlomba dengan para sahabat lainnya dalam mengabdikan diri untuk Islam.
Abu Darda terkenal sebagai sahabat yang memiliki kedalaman ma’rifah tentang keagungan Allah. Ia Seringkali bertafakkur tentang alam semesta ini, beribadah, berdzikir hingga tenggelam dalam lautan cinta kepada Allah swt. Jiwanya terbang merindukan perjumpaan dengan Sang Khaliq. Iman baginya bukan sekedar ucapan lisan, bukan pula sekedar pengakuan hati, tapi harus dilanjutkan dengan kesediaan mengorbankan segalanya untuk menggapai ridha-Nya.
Seseorang pernah bertanya pada Ibu Abu Darda tetang kesukaan anaknya. Ibunya menjawab: “Bertafakkur, mencari ibrah dan hikmah dari berbagai peristiwa yang teijadi dialam semesta”.
Abu Darda sedang memasuki dunia kehidupan baru setelah masuk islam. Demi memfokuskan perhatiannya dalam beribadah dan menghadirkan diri sepenuhnya untuk Islam, meninggalkan dunia perniagaan. Jadwal kegiatannya berbisnis berubah sama sekali dengan kegiatan penuh beribadah kepada Allah swt. Jiwa dan fikirannya terwarnai dengan kedekatan dan kerinduannya kepada Allah swt. Hari-harinya lebih banyak diisi dengan berkhalwat, tilawatulQur’an, dzikir dan tafakkur.
Hati-hati Membentengi Diri
Ancaman Allah dalam surat al-Humazah amat terkesan pada diri Abu Darda:
Abu Darda terkenal sebagai sahabat yang memiliki kedalaman ma’rifah tentang keagungan Allah. Ia Seringkali bertafakkur tentang alam semesta ini, beribadah, berdzikir hingga tenggelam dalam lautan cinta kepada Allah swt. Jiwanya terbang merindukan perjumpaan dengan Sang Khaliq. Iman baginya bukan sekedar ucapan lisan, bukan pula sekedar pengakuan hati, tapi harus dilanjutkan dengan kesediaan mengorbankan segalanya untuk menggapai ridha-Nya.
Seseorang pernah bertanya pada Ibu Abu Darda tetang kesukaan anaknya. Ibunya menjawab: “Bertafakkur, mencari ibrah dan hikmah dari berbagai peristiwa yang teijadi dialam semesta”.
Abu Darda sedang memasuki dunia kehidupan baru setelah masuk islam. Demi memfokuskan perhatiannya dalam beribadah dan menghadirkan diri sepenuhnya untuk Islam, meninggalkan dunia perniagaan. Jadwal kegiatannya berbisnis berubah sama sekali dengan kegiatan penuh beribadah kepada Allah swt. Jiwa dan fikirannya terwarnai dengan kedekatan dan kerinduannya kepada Allah swt. Hari-harinya lebih banyak diisi dengan berkhalwat, tilawatulQur’an, dzikir dan tafakkur.
Hati-hati Membentengi Diri
Ancaman Allah dalam surat al-Humazah amat terkesan pada diri Abu Darda:
وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍالَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُيَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُكَلَّا ۖ لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ
“Celakalah bagi setiap pencela dan penghina. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Ia ,menduga bahwa hartanya itu akan terus mengekalkan dirinya. Sungguh jangan bersikap demikian karena kelak pasti Ia akan dicampakkan ke dalam neraka Huthamah”. (QS. al-Humazah 1-4).
Abu Darda sangat berhati-hati membentengi diri, hingga seakan-akan syetan tak ada lagi celah merayu hatinya - Terutama melalui godaan harta dan kesenangan dunia. Harta baginya adalah amanah Allah, bukan tujuan hidup. Karena itu mendapatkannya pun harus dengan cara dan jalan yang halal. Dan bagaimanapun tak boleh menyita waktu beribadah kepada Allah swt.
Suatu ketika Abu Darda bercerita tentang sikap dan pandangan hidupnya. Aku masuk Islam menjadi pengikut Rasulullah saw., sewaktu aku masih menjadi saudagar. Keinginanku agar ibadah dan perdaganganku dapat berpadu, seiring dalam langkah hidupku. Namun ternyata aku tak sanggup dan tak berhasil. Lalu kukesampingkan perniagaan dan kupusatkan perhatianku pada ibadah kepada Allah. Aku tak gembira dengan keuntungan ratusan dinar setiap hari, walau seandainya tempat perniagaanku di dekat masjid. Maaf perhatikan, bukannya aku mengharamkan jual beli, bukan. Tapi aku pribadi lebih menyukai agar diriku tak tergolong pada para pedagang yang perdagangannya melalaikannya dari dzikrullah”. Menurut Abu Darda, aktivitas ibadah dan dzikrullah merupakan benteng yang paling kokoh melindungi diri dari fitnah. Abu Darda yakin bahwa kunci keruntuhan yang begitu cepat di berbagai negeri adalah karena mereka mengabaikan perintah Allah swt. Harta adalah satu sebab yang seringkali menjerumuskan seseorang dalam jurang lalai. Sehingga Allah melepaskan kendali rahmat dan lindungannya terhadap mereka.
Pernah terdengar do’a Abu Darda: “Ya Allah lindungilah aku dari hati yang kebingungan dan bercabang-cabang”. “Apa yang engkau maksud dengan hati yang bercabang-cabang?” tanya seseorang yang kebetulan di sampingnya. “Hati yang terpecah karena harta yang melimpah, kekayaan yang ada hampir di setiap lembah. Orang yang tak pernah puas dengan dunia, maka tak ada dunia baginya”.
Ada lagi yang penting untuk direnungkan, perkataan Ahbu Darda ketika menjabat hakim Syiria pada zaman kekhalifaan Utsman bin Affan. Ia memberi ceramah pada penduduk. Katanya: Wahai penduduk Syiria, kalian adalah penduduk seagama. Satu keluarga dalam negara. Satu front dalam barisan pembela. Tapi aku merasa heran atas tingkah kalian yang lupa daratan. Kalian kumpulkan makanan yang tak kalian singgahi. Kalian bangun gedung-gedung megah yang takkalian makan. Kalian bercita-cita tapi bak impian belaka, Beberapa kurun lalu kaum ‘Ad yang pernah menghuni daerah Aden dan Oman juga berbuat seperti kalian. Mengumpulkan dan menimbun kekayaan. Mereka berangan-angan, tapi hanyut dalam impian. Mereka membangun dan membangun. Mengenaskan, akhimya semua menjadi hancur binasa. Cita-cita mereka hanya fatamorgana. Gedung-gedung indah tak lebih hanyalah tumpukan sampah. Terlepas dari pandangan dan sikap pribadinya yang terkesan ekstrem, namun berbagai hikmah, prinsip hidup dan keteguhannya dalam berislam tetap merupakan teladan. Di saat kondisi zaman dilanda faham dan budaya materialistik yang begitu deras, keteladanan Abu Darda pentinq untuk kembali menjadi acuan. Kekhawatirannya tentang ancaman fitnah dunia kini makin terasa. Ternyata dunia merupakan perangkap syetan yang dapat mengikat manusia dari melakukan Ibadah kepada Allah swt. Berapa banyak manusia yang sibuk mengisi waktu dengan aktivitas memburu harta, pagi, siang hingga larut malam. Sementara waktu-waktu luangnya lalu diisi dengan kegiatan yang justru menjauh bahkan melawan perintah Allah swt. Pikiran hingga mimpinya terkuras pada upanya menghasilkan harta dan menikmati kesenangan dunia. Kelalaian demi kelalaian terus menjerumuskan seseorang pada jurang yang semakin dalam. Mengisi jenak-jenak usia yang semakin menapak mendekati kematian. Inilah kondisi yang amat dikhawatirkan oeh Abu Darda.
0 komentar: