Jumat, 18 Oktober 2013

Abu Thalhah Al-Anshari, Perisai Rasulullah Dalam Perang Uhud


Zaid Bin Sahalan Najjary atau lebih dikenal dengan sebutan Abu Thalhah adalah termasuk laki-laki yang sempurna, menduduki status sosial yang tinggi dan kaya raya. Di samping itu dia terkenal sebagai penunggang kuda yang cekatan di kalangan Bani Najjar, dan pemanah yang jitu dari Yatsrib.

1. Perkawaninanya Dengan Ummu Sulaim

“Kami tidak pernah mengenal mahar yang lebih mulia daripada mahar Abu Thalhah ketika mengawini Ummu Sulaim. Maharnya ialah masuk Islam”.

Demikianlah ungkapan para wanita Madinah terhadap Abu Thalhah ketika mengawini Rumaishah’ Binti Milhan an-Najjariyah yang lebih dikenal dengan panggilan Ummu Sulaim.

Ummu Sulaim adalah tipe wanita yang baik, cerdas dan memiliki sifat-sifat kewanitaan yang sempurna. Itulah yang mendorong Abu Thalhah untuk segera melamarnya begitu mendengar ia telah janda. “Sesungguhnya pria seperti anda, hai Abu Thalhah, tidak pantas saya tolak lamarannya. Tetapi aku tidak akan kawin dengan anda karena anda kafir”. Kata Ummu Sulaim setelah mengetahui Abu Thalhah hendak melamarnya.

Abu Thalhah mengira, Ummu Sulaim hanya sekedar mencari-cari alasan. Mungkin di hati Ummu Sulaim telah berkenan laki-laki lain yang lebih kaya dan mulia daripadanya. Kata AbuThalhah, “Demi Allah! Apakah sesungguhnya yang menghalangi engkau untuk menerima lamaranku, hai Ummu Sulaim?” “Tidak ada selain itu”. Jawab Ummu Sulaim. “Apakah yang kuning atau yang putih ? Emas atau perak ?Tan ya Abu Thalhah kemudian. Ummu Sulaim balik bertanya, “Emas atau perak ....? “Ya, emas atau perak?”. Jawab Abu Thalhah menegaskan. Kata Ummu Sulaim: “Kusaksikan kepada anda, hai Abu Thalhah, kusaksikan kepada Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya jika engkau Islam, aku rela anda menjadi suamiku tanpa emas dan perak. Cukuplah Islam itu menjadi mahar bagiku”.

Mendengar ucapan Ummu Sulaim tersebut, Abu Thalhah teringat akan patung sembahannya yang terbuat dari kayu bagus dan mahal. Patung itu khusus dibuat untuk priibadinya, seperti kebiasaan bangsawan kaum Bani Najjar.

Ummu Sulaim telah bertekad hendak menempa besi itu selagi masih panas (mengislamkan Abu Thalhah). Sementara Abu Thalhah terbengong-bengong mengingat berhala sembahannya, Ummu Sulaim melanjutkan bicaranya. “Tidak tahukah anda, hai Abu Thalhah, patung yang anda sembah itu terbuat dan kayu yang tumbuh di bumi?” Tanya Ummu Sulaim. “Ya betul!” Jawab Abu Thalhah. “Apakah anda tidak malu menyembah sepotong kayu menjadi Tuhan, Sementara potongannya yang lain anda jadikan kayu api untuk memasak ? Jika anda masuk Islam, aku rela engkau menjadi suamiku. Aku tidak akan meminta mahar darimu Selain itu”, kata Ummu Sulaim. “Siapa yang harus mengislamkanku?” Tanya Abu Thalhah. “Aku bisa”, jawab Ummu Sulaim. “Bagaimana caranya?” tanya Abu Thalhah. Tidak sulit. Ucapkan saja “KalimahSyahadah”! Aku tidak ada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad Rasulullah. Sesudah itu pulang ke rumahmu, hancurkan berhala sembahanmu, lalu buang!” Kata Ummu Sulaim menjelaskan. Abu Thalhah tampak gembira. Lalu dia mengucapkan dua kalimat Syahadah.

2. Perannya Dalam Perang Uhud

Sejak hari itu, Abu Thalhah berada di bawah naungan bendera Islam. Segala daya yang ada padaya dikonbankan untuk berkhidmat kepada Islam. Abu Thalhah dan istrinya, Ummu Sulaim termasuk “Kelompok Tujuh Puluh” yang bersumpah setia (bai’at) dengan Rasulul ah di ‘Aqabah. Dia ikut berperang bersama-sama Rasulullah dalam setiap peperangan yang dipimpin beliau.

Dalam peperangan-peperangan itu tidak urung ia mendapat cobaan-cobaan yang mulia.

Ketika terjadi perang Uhud, barisan kaum Muslimin terpecah belah. Mereka lari kucar-kacir dari samping Rasulullah. Oleh karenanya kaum musyrikin sempat menerobos pertahanan mereka sampai ke dekat beliau. Musuh berhasil menciderai beliau, mematahkan gigi, melukai dahi dan bibir beliau, sehingga darah mengalir membasahi mukanya. Lalu kaum musyrikin menyiarkan isyu Rasulullah telah tewas.

Mendengar teriakan itu, kaum Muslimin menjadi kecut, lalu lari porak-paranda memberikan punggung mereka kepada musuh-musuh Allah. Hanya beberapa saja tentara muslimin yang tinggal mengawal dan melindungi Rasulullah. Diantara mereka Abu Thalhah berdiri paling depan Abu Thalhah berada di hadapan Rasulullah bagaikan sebuah bukit berdiri dengan kokohnya melindungi beliau. Rasulullah berdiri di belakangnya, terlindungi dari panah dan lembing musuh oleh tubuh Abu Thalhah. Abu Thalhah menarik tali panahnya, kemudian melepaskan anak panah tepat mengenai sasaran tanpa pernah gagal. Dia memanah musuh satu demi satu. Tiba-tiba Rasulullah mendongakkan kepala melihat siapa sasaran panah Abu Thalhah. Dia mundur menghampiri beliau, karena khawatir beliau terkena panah musuh. “Demi Allah! Janganlah Rasulullah mendongakkan kepala melihat mereka, nanti terkena panah mereka. Biarkan leher dan dadaku sejajar dengan leher dan dada Rasulullah. Jadikanlah aku menjadi perisai anda, Ujarnya mantap. Abu Thalhah senantiasa melindungi Rasulullah, sehingga tiga batang busur patah olehnya dan sejumlah prajurit musyrikin tew as dipanahnya.

3. Berjlhad Dengan Harta dan Dirinya

Abu Thalhah sangat pemurah dengan nyawanya berperang fisabililah, namun lebih pemurah lagi mengorbankan hartanya untuk agama Allah. Abu Thalhah mempunyai sebidang kebun kurma dan anggur yang amat luas. Tidak ada kebun di Yatsrib seluas dan sebagus kebun Abu Thalhah pada masa itu. Pohon-pohonnya rimbun, buahnya lebat dan airnya manis.

Pada suatu hari ketika Abu Thalhah shalat di bawah naungan pohon nan rindang, pikirannya terganggu oleh siulan burung berwarna hijau, berparuh merah, dan kedua kakinya indah berwarna. Burung itu melompat dari dahan ke dahan dengan sukacitanya, bersiul-siul dan menari-nari. Abu Thalhah kagum melihat burung itu. Dia membaca tasbih, tetapi pikirannya tak lepas dari burung itu.

Ketika menyadari bahwa ia sedang shalat, ia lupa sudah berapa raka’at ia shalat. Selesai shalat ia pergi menemui Rasulullah dan menceritakan peristiwa yang baru dialaminya. Kemudian katanya: “Saksikanlah wahai Rasulullah! Kebun itu aku sedekahkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Pergunakanlah sesuai dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya”. Abu Thalhah sering berperang dan berpuasa Sepanjang hidupnya. Bahkan ia meninggal ketika sedang berpuasa dan berperang fisabilillah. Lebih kurang tiga puluh tahun sesudah Rasulullah wafat, ia senantiasa puasa setiap hari selain hari raya. Umurnya mencapai lanjut, tetapi ketuaannya tidak menghalanginya untuk jihad fisalbilillah dan untuk melakukan perjalanan jauh demi menegakkan kalimah Allah.

4. Kembali Ke Pangkuan Allah

Di zaman Khalifah Usman bin Affan, kaum Muslimin bertekad hendak berperang di lautan. Abu Thalhah bersiap-siap untuk turut dalam peperangan itu bersama-sama dengan tentara Muslimin. Kata anak-anaknya, “Wahai bapak kami! Bapak sudah tua. Bapak sudah turut berperang bersama-sama dengan Rasulullah, bersama Abu Bakar dan Umar bin Khathab. Kini bapak harus beristirahat. Biarlah kami berperang untuk bapak”. Jawab Abu Thalhah, “Bukankah Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:

“Berangkatlah kamu dalam keadaan senang dan susah, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu dijalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (at-Taubah/9: 41).

Firman Allah itu memerintahkan kita semuanya, baik tua maupun muda. Allah tidak membatasi usia kita untuk berperang. Ketika Abu Thalhah yang sudah lanjut usia itu berada di atas kapal bersama-sama dengan tentara Muslimin di tengah lautan, dia jatuh sakit, lalu meninggal di kapal. Kaum Muslimin melihat-lihat daratan, mencari tempat memakamkan jenazah Abu Thalhah. Tetapi enam hari setelah dimakamkan di laut, barulah mereka bertemu dengan daratan. Selama itu jenazahnya disemayamkan di tengah-tengah mereka di atas kapal, tanpa berubah sedikitpun. Dialah Abu Thalhah, seorang pahlawan yang telah rela menyerahkan harta dan dirinya untuk jihad fisabilillah tanpa mengharap imbalan. Pahlawan yang sudah begitu banyak jasanya, di manakah beliau dimakamkan? Di tengah lautan luas, jauh dari famili dan kampung halaman.

Laila Lestari CH

0 komentar: