Minggu, 07 Mei 2017

Imam Syafi’i, Madzhab Dan Pengaruhnya.

Yang mulia ImamSyafi‘i lahir pada bulan Rajab 150 H atau 767M. di Ghuzah (yang kemudian sekarang disebut Ghaza) wilayah Palestina. Nasab beliau bersambung kepada kakeknya Nabi Muhammad saw. Lengapnya adalâh Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syqfi‘i bin Said bin Abdu Yazid bin Hasym bin Abdul Muthalib bin Abdu Manaf

Menurut riwayat, beliau yatim sejak lahir kemudian ketika berumur 2 tahun Ia dibawa ibunya dari Palestina ke Makkah. Di kota suci ini di bawah asuhan dan bimbingan ibunya beliau mampu menghafal 30 juz al-Qur’an pada usia 9 tahun. Berbeda dengan generasi seusianya, pada diri Asy Syafi’i telah nampak kesungguhan dan kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan. Beliau pun tidak segan meninggalkan kampung halamannya dan pergi kesalah sebuah dusun bangsa Badwi Banu Hudzail untuk mcmpelajari tatabahasa Arab berikut syi’ir - syi’irnya. Meski di negeri Makkah sendiri merupakan gudangnya bahasa Arab. Namun saat itu Banu Hudzail merupakan satu-satunya dusun yang penduduknya terkenal berbahasa Arab dengan fasih dan asli.
Setelah beberapa tahun kemudian Syafi’i pun menguasai dialek bahasa Arabnya dengan fasih dan bahkan mahir dalam bermain sya’ir, karang mengarang serta pelbagai bentuk sajak kesusastraan Arab lainnya.

Selain bahasa, pelajaran yang diterirna pada saat belia ini adalah ilmu fiqih dari Imam Muslim bin Khalid az Zanny kemudian ilmu hadits dari Imam Sufyan bin Uyainah. Sedang mengenai ulumul Qur’an, beliau belajar pada Imam Ismail bin Qasthanthin. Kemudian di samping mereka, beliau sebelumnya banyak belajar kepada sejumlah ulama yang bertebaran di sckitar Masjidil Haram.

Satu hal yang sangat menakjubkan adalah menurut riwayat beliau sudah dapat mengerti tentang isi kitab al Muwatha’ karya Imam Malik dalam usia 10 tahun Sehingga berbekal dengan kecerdasan dan keindahan akhlaqnya, para gurunya pun telah memberikan ijazah kepada beliau untuk duduk sebagai mufty di kota Makkah, yang padahal waktu itu baru berusia 15 tahun.

Ghirahaya Kepada Ilmu  
 
Bila dikatakan bahwa ilmu hanya bisa diperoleh oleh mereka yang telah lepas dari kemiskinan, maka hal itu merupakan kekeliruan. Sejarah telah menunjukkan, bahwa tidak sedikit pemikir-pemikir besar lahir justru dari lumpur kefakiran dan kemiskinan. Misalnya Imam Ahmad atau bahkan asy Syafi’i sendiri. Meski dalam keadaan kekurangan, namun cikal bakal pemikir besar ini tidak pernah membiarkan semangat dan cita-citanya hanyut dan tenggelam dalam kemiskinan’kemudian berubah mejadi seorang pencari harta dan kekayaan. Beliau pun tidak pernah mengeluh apalagi putus asa dalam menuntut ilmu. Demikian miskinnya dikabarkan beliau seringkali mencari tulang belulang dari jalan-jalan atau kertas-kertas bekas guna dapat ditulisi mengenai sejumlah ilmu yang telah diperolehnya. Dan beliau melakukan semua itu hanyalah untuk menjaga kehormatannya daripada meminjam atau meminta-minta kepada orang lain.

Bagi asy Syafi’i kemuliaan hidup itu adalah dipandang dari ilmu, amal dan akhlaknya, bukan dari sudut harta atau kemiskinan. Jadi mengapa haru merasa hina dan rendah diri hanya karena kekurangan. Kemudian diriwayatkan, mengingat setiap ilmu disalinnya kedalam tulang atau lembaran kertas, maka bcrtumpuklah sejumlah tulang belulang tersebut bercampur dengan kertas memenuhi isi rumahnya. Demikian penuhnya hingga tidak ada tempat lagi untuk melepaskan lelah dan beristirahat bagi asy-Syafi’i selain di atas tumpukan tulang belulang. Untuk menguranginya tidak ada cara lain, selain semua tulang belulang tersebut dibuang setelah dihafalkan satu persatu. Maka demikianlah Syafi’i mengurung diri menghafalkan segudang ilmu yang bertumpuk di rumahnya hingga kemudian kosong dalam beberapa hari.

Berbekal dengan kepahitan hidup yang dialaminya ini, membuat kecerdasan beliau semakin meningkat dan tajam. .Betapa tidak, segudang pengetahuan yang memenuhi isi rumahnya sekarang berpindah dalam tempurung kepala yang sangat kecil. Dengan demikian maka tidak heran, bila kelak asy-Syafi’i mampu menghafal ribuan hadits tanpa perlu kepada tulisan.

Guru dan Muridnya  
 
Meski telah menduduki kursi mufty di Makkah. Namun asy Syafi’i yang saat itu sudah menjadi pemuda cerdas tetap harus menuntut ilmu dan bahkan kursi itu ditinggalkannya kemudian mengembara mengunjungi Madinah, Iraq, Yaman, Persia dan Mesir. Selain beberapa imam di atas, beliau pun berguru kepada sejumlah ulama fiqih dan hadits terkemuka di zamannya, di antaranya adalah imam Malik, Ibrahim bin Sa’id, Yahya bin Hasan, Waqi’ Fudhail bin ‘Iyadh, dan Muhammad bin Syafi’. Meski banyak namun yang lebih dekat dengn hati beliau adalah Imam Malik bin Anas. Tentang hal ini beliau berkata: “Imam Malik guru saya, daripadanya saya belajar, dan tidak ada seorang yang dapat menentramkan perasaan saya dalam pelajaran selain daripada Imam Malik, dan saya menjadikan dia sebagai huijah antara saya dengan Allah”.
Dengan bertambahnya guru maka bartambah pula pengetahuan imam Syafi’i. Beliau akhirnya merupakan sosok imam besar, terkemuka dalam ilmu hadits, tafsir, fiqih dan sastra Arab.

Di antara shahabat atau muridnya adalah Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid bin al Yaman al Kalbi, al Hasan bin Muhammad az Za’farani, Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani,Abu Ali Hasan bin Ali al Karabisy, Yusuf bin Yahya al Buwaithi, Abu Ibrahim Ismail bin Yahya al Muzanni, ar Ra’bi bin Sulaiman, Harmalah bin Yahya, Yunus bin Abdul Ala ash Shadafy, dan Ahmad bin Shibthi. Mereka pun semua menjadi ulama-ulama besar, tokoh-tokoh penting, terkenal dan terkemuka di zamannya.

Pujian Ulama  
 
Merupakan suatu kewajaran bila seandainya sekalian murid Imam Syafi’i menjadi tokoh-tokoh penting dan ahli-ahli ilmu yang ternama. Hal itu tiada lain mengingat diri Imam Syafi’i sendiri merupakan gudangnya ilmu, lambang kecerdasan dan kuncinya pengetahuan. Berkata Imam Malik bin Anas, “Tidaklah datang kepada seseorang dari bangsa Quraisy yang keadaannya lebih pandai daripada ini, yakni Imam Muhammad bin Idris asy Syafi’i”. Juga berkata Yunus bin Abdul A’la, “Adalah Imam Syafi’i jika menjelaskan tafsir al-Qur’an, seakan-akan beliau menyaksikan sendiri turunnya”.

Pengakuan yang lebih tentang kecerdasan Imam Syafi’i ini datang dari Imam Hilal bin al A’la ar Raqy. “Para ahli hadits itu adalah sebagai anak buah Imam Syafi’i. Kanena beliaulah yang membuka kunci bagi mereka”.

Berkata Imam Ahmad bin Hanbal, “Aku belum pernah mengerti akan nasikh - mansukh hadits-hadits Nabi saw. melainkan sesudah aku duduk belajar kepada Imam Syafi’i”. Juga berkata Imam Muhammad bin Abdul Hakam, “Imam Syafi’i itu seorang ahli hadist, ahli atsar, ahli lughah,, ahli fikir yang halus lagi sehat dan ahli amal yang utama”. Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih mengetahui tentang ushul fiqih serta fiqihnya, selain daripada Imam Syafi’i”.

Dan berkata lmam al Mubarrad, “lmam Syafi’i adalah sepandai-pandainya orang tentang syi’ir, sepintar-pintarnya orang tentang kcsusastrsan Arab, secerdik-cerdiknya orang tentang fiqih dan semahir-mahirnya orang tentang qira’at”.

Berkenaan dengan jasanya terhadap Islam dan kaum Muslimin, berkata Abu Zur’ah, “Aku belum pernah melihat seorang yang lebih besar jasanya terhadap Islam selain daripada Imam Syafi’i.
Pengakuan atau pujian yang sama juga datang dari Imam Ishaq bin Rahuwaih, Muhammad al Kufy, Muhammad bin Muslim, Abu Tsaur, Qasim bin Salam, Nasa’i Yahya bin Ma’in, al Muzanni, dll.

Madzhab Dan Pengaruhnya  
 
Dalam kitab ushul fiqihnya, ar Risalah, ditegaskan bahwa madzhab beliau berdasar kepada al-Qur’an. Kemudian as Sunnah, Ijma, Qiyas dan istidhlal. Pengambilan jalan terakhir ini adalah bilamana setelah tidak ditemukan keterangan dari al-Qur’an, as Sunnah atau tidak juga dari jalan Ijma’ dan qiyas. Atas keempat dasar ini, Imam Syafi’i menegakkan madzhabnya. Beliau pun mengikis taklidisme, bid’ah, khurafat dan takhayyul yang sewaktu-waktu akan menghancurkan Islam dan membutakan kaum Muslimin. Meski sebagai seorang Imam Madzhab, namun beliau tidak pernah menganjurkan sekalian mengikutnya untuk bermadzhab kepada pemikirannya. Bahkan dengan tegas dikatakan, “telah sepakat bagi manusia, bahwa barangsiapa yang mendapati satu sunnah, maka ia tidak boleh meninggalkan .sunnah tersebut, karena hendak mengikuti perkataan orang lain”. Demikian kerasnya pendirian Syafi’i beliau pun berkata, “Hendaklah disaksikan, bahwa Aku apabila ada hadits dari Nabi saw, yang sudah sah, sedang aku tidak mengambilnya, maka sesungguhnya akal fikiranku sudah hilang”. Di samping itu beliau pun menentang istihsan dan memudah-mudahkan perkara dengan akal

Dalam hal Qiyas, beliau memberi teladan untuk tidak digunakan dengan bebas. Dikabarkan, lmam Ahmad pernah berkata, “Saya pernah bertanya kepada Imam Syafi’i dari hal qiyas, maka beliau menjawab, “di kala keadan darurat”. Bahkan dikatakan, “Saya tidak akan meninggalkan Hadits dari Rasul saw. lantaran hendak memasukkan hukum qiyas”.

Madzhab Imam Syafi’i ini kemudian dilanjutkan oleh sekalian shahabat, murid dan para pengikutnya. Dari Mesir pengaruhnya berkembang ke wilayah Iraq, Khurasan, Pakistan, Tauran, Syam, Yaman, Damascus, Persia, Hijaz, India, sebagian dari daerah-daerah Afrika, Andalusia dan bahkan menjejaki wilayah Asean, termasuk Tailand, Philipina, Malaysia, Singapura dan Indonesia. Perluasan madzhab ini jauh lebih pesat dibanding dengan madzhab lainnya. Kendati demikian dalam perkembangan berikutnya banyak sejumlah kebatilan yang berusaha mencampur baurkannya dengan ajaran Imam Syafi’i.

Tentang kemungkinan yang akan terjadi ini jauh-jauh Imam Syafi’i sudah mengisyaratkan dengan fatwanya, “Apabila telah shahih hadits kemudian menyalahi madzhabku, maka ikutilah dia dan buang madzhabku”. Dalam riwayat lain dikatakan, “Apabila telah shahih hadist maka ikutilah madzhabku”.

Karya Imam Syafi’i  
 
Sebagai seorang ulama yang produktif, beliau pun telah melahirkan sejumlah karya bermutu, diantaranya, Kitab al Hujjah yang merupakan qaul qadim, Ar Risalah, al Musnad, al Um, Jami’ul Ilmi, lbthalul Ihsan, ar Rad al Muhammad bin Hasan, Siyarul Ausa’i, Ikhtilaful Hadits, al Fiqih, al Mukhtasharul Kabir, al Mukhtasharul Shaghir, al Fara’idh, dll.

Tentang kesungguhannya dalam menyusun karangannya ini, Imam Syafi’i terkadang sering melupakan makan dan tidur malam. Seperti yang disaksikan oleh ar Rabi bin Sulaiman, ia berkata, “Aku tidak melihat Imam Syafi’i makan di siang hari dan tidur di malam hari, di kala beliau mengarang kitab-kitab”. Demikianlah sekilas perjalanan hidup Imam Syafi’i tokoh hadits dan mujtahid agung. Beliau wafat di Mesir, 30 Rajab 204 H/830 M. Semoga Allah merahmatinya serta sekalian hamba-Nya.

Senin, 24 April 2017

Ubay Bin Kaab, Tempat bertanya Ilmu Al-Qur’an

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa suatu hari Rasulullah saw. pernah berpesan kepada para sahabat, pesannya, ambillah olehmu al-Qur’an dari empat orang. Dari Abdullah Bin Ma’sud, Salim Maula Abu Hudzaifah, Ubay bin Kaab, Muaz Bin Jabal.

Pesan itu ditambah pesan lain lebih khusus lagi yang memberikan pengukuhan akan kelebihan Ubay Bin Kaab dalam bidang ilmu Al-Qur’an. Pesan yang lain itu berbunyi : barang siapa yang hendak menanyakan tentang esluk beluk Al-Qur’an datangah kepada Ubay Bin Kaab.

Dari sabda beliau itu tampak jelas betapa kuatnya posisi Ubay bin Kaab dalam nenguasai ilmu-ilmu al.Quran Di samping sebagai qurra’ sekaligus sebagai sumber rujukan dari ilmu-ilmu al-Qur’an. Timbul pertanyaan, siapakah dia tokoh Ubay bin Kaab yang telah dipercayai Rasulullah saw. untuk tempat bertanya ilmu-ilmu al-Quran itu?

Nama lengkapnya adalah Ubay bin Kaab bin Qais. Berasal dari kalangan penduduk asli madinah (Kaum Anshar) suku Khazraj. Sebelum memeluk agama islam sudah terkenal lebih dahulu sebagai salah seorang pendeta yang memahami sekali agama Yahudi. Tetapi etelah ke Islamannya, Rasulullah meengangkatnya sesbagai sekretaris pertama esbelum Zaid Bin Tsabit, Ubay juga merupakan salah seorang sahabat penulis wahyu Al-Qur’an. Beliau memeluk Islam setelah peristiwa Baiatul Aqabah kedua. Ke Islamannya menjadikannya seorang sahabat yang taat lagi shalih. Dia mengikuti semua peperangan yang dilakukan Rasulullah saw termasuk perang-perang besar seperti perang Badr, perang Uhud, dan perang Ahzab bersama sahabat-sahabat lainnya.

Memang dibawah didikan Rasulullah Ubay tumbuh menjadi seseorang yang amat ideal. Ia senantiasa berpegang teguh pada ketakwaan dan menjalani hidup secara zuhud dan wara, dalam pandangan yang bening, dunia seisinya itu tidak memberikan apa-apa jika tidak dimanfaatkan secara cerdas dan optimal sebagai usaha beramal untuk menuju taqwallah.

Pandangannva yang zuhud ini tercermin dalam refleksi ucapannya dalam kalam hikmahnya mengenai dunia. Ucapanva, sesungguhnya tamsil kehidupan dunia itu ibaratnya seperti akhir atau kesudahan makanan manusia. Betapapun juga makanan itu dikatakan enak dan lezat tetapi toh pada kesudahannya (pada akhirnya) hanya akan menghasilkan hasil akhir yang sama. Semuanya itu akan menjadi….!

Sebagai seorang sahabat setia, dia selalu hadir dalam kebanyakan majelis Rasulullah saw. Dari situ direguknya telaga ilmu dan iman yang amat dalam dan manis. Dengan demikian akan selalu terlatihlah bagi jiwanya untuk tetap lurus dan menjurus kepada kesalehan dan ketaqwaan. Hasil kedalaman dan manisnya iman yang diperolehnya menyebabkan ía amat mudah terharu jika membaca atau mendengarkan ayat-ayat suci al-Quran yang dibaca. Di saat demikian Ia merasa dekat sekali dengan Dzat yang telah menciprakannva dan menciptakan seluruh alam raya ini. Saking terharunya dalam menghayatinya. seringkali ia menangis terisak-isak memikirkan dan merenungkan kekuasaan-Nya yang demikian agung dan tak terbatas itu.

Di samping begitu intens penghayatannya terhadap al-Qur’an dia juga mempunyai bakat kemampuan besar dalam menyampaikan ayat-ayat al-Qur-an secara bhaligh (komunikatif) sehingga dapat disuguhkan amat menarik kepada publik pendengarnva.

Konon, apabila ía telah mulai berbicara di didepan publik (beipidato), maka sulit orang akan bertahan diri untuk tidak mendengarkan pidatonya yang amat memikat itu. Ucapan-ucapannya yang fasih dan indah ditambah dengan nuansa keikhlasan yang muncul dari lubuk hatinya yang tulus ikhlas. sulit dibendung untuk dibiarkan begitu saja tidak didengar diabaikan). Ada satu ayat al-Qur’an yang amat mempengaruhinya jika ia membaca Ayat ini selalu menggelitik hatinya untuk terjatuh pada kesedihan yang mendalam hingga berpengaruh terhadap keadaan sekujur tubuhnya. Ayat yang dimaksud adalah ayat 65 dari Surat al-An’am yang artinya;

“katakanlah, Dia berkuasa akan mengirimkan siksa pada kamu sekalian baik dari atas maupun dari bawah kaki kalian, atau membaurkan kalian dalam golongan yang berpecah-belah dan ditimpakannya kepada kalian perbuatan kawannya sendiri".

Ayat ini membuat dirinya prihatin terhadap nasib umat Islam yang akan datang setelah jauh dari bimbingan Rasululah saw. Ia mengkhawatirkan akan datangnya suatu bencana/musibah antara mereka sendiri berupa gontok-gontokan sesamanya. Untuk mengantisapasi keadaan, di setiap kesempatan dia selalu memperingatkan kepada publik dengan ucapan peringatan tentang bahayanya jika pimpinan tidak berorientasi pada satu titik, sebagaimana Rasulullah saw membimbing ummatnya untuk menuju pada satu titik tertentu. Nasihat yang di ulang-ulang itu berbunyi : Wahai kaum muslimin, ingatlah ketika kita masih bersama Rasulullah saw dan tujuan kita terfokus pada satu titik, tetapi setelah ditinggalkannya, tujuan kita menjadi bercabang-cabang, melenceng dan salah arah, ada yang cenderung menjurus kekiri dan ada pula yang kekanan. Kita telah melupakan kitab suci itu.

Kedalaman ilmu Ubay itu menjadikannya panutan dari para sahabatnya. Hal ini disebabkan konsistensinya antara ilmu dan amal, antara teori dan praktek. Bagi Ubay, ilmu yang tidak dipraktekkan hanyalah merupakan pajangan perhiasan indah yang tidak berarti. Para sahabat menaruh hormat yang tinggi pada sahabat yang satu ini. Bahkan Umar Bin Khattab sendiri sangat mengagumi kecermatan Ubay dalam hal amal ibadahnya. Ia bahkan pernah memanggil Ubay dengan panggilan terhormat “Sayyidul Mu’minin (Pemimpin orang-orang mu’min). maka tidak heran ketika para shahabat ribut-ribut soal shalat malam bulan ramadhan (shalat tarwih) dimana masing-masing kelompok mengangkat imamnya sendiri-sendiri. Khalifah Umar segera menunjuk Ubay Bin Ka’ab untuk menjadi imam bagi mereka semuanya agar jama’ah tidak shalat sendiri-sendiri dan membentuk imam sendiri-sendiri pula, sehingga masjid menjadi hiruk pikuk karna banyaknya imam yang melakukan shalat tarwih dalam satu masjid. Dengan ditunjuknya Ubay Bin Kaab jadi imam maka shalat tarwih menjadi tertib, tidak gaduh dan terpimpin.

Ubay Bin Kaab hidup hingga tahun ke 22 H. Di tahun itulah ia wafat. Ketika itu kota Madinah menjadi hiruk pikuk karna keluarnya orang-orang untuk memberi penghormatan terakhir kepada salah seorang dari penduduk yang terhormat ini. Laki-laki perempuan, tua dan muda, besar maupun kecil semuanya merasakan seorang tokoh panutan masyarakat yang diakui sebagai sayyidul mu’minin atau pemimpin umat telah wafat mendahului mereka.

Rabu, 19 April 2017

Khubaib bin Adi, Jundullah Yang Syahid Disalib

Khubaib bin Adi seorang yang cukup dikenal di Madinah dan termasuk sahabat Anshar. Seorang yang berjiwa bersih, bersifat terbuka, beriman, teguh. dan berhati mulia. Hassan bin Tsabit, penyair Islam melukiskan pribadinya, Khubaib bin Adi seorang pahlawan yang kedudukannya sebagai teras orang- orang Anshar. Seorang yang lapang dada namun tegas dan keras tidak dapat ditawar-tawar. Sewaktu bendera Perang Badr dikibarkan orang terdapatlah di sana seorang prajurit berani mati dan seorang pahlaan gagah perkasa, yaitu Khubaib bin Adi. Salah seorang di antara orang-orang musyrik yang berdiri menghadang jalannya di Perang Badr ini dan tewas di ujung pedangnya ialah seorang pemimpin Quraisy, al-Haris bin Amr bin Nauful. Setelah pertempuran selesai, dan Sisa-sisa pasukan Quraisy. yang kalah kembali ke makkah, tahulah Bani Harits siapa yang telah menewaskan bapak mereka, Mereka rnenghafalkan dengan baik nama orang Islam yang telah menewaskan ayah mereka dalam pertempuran itu ialah Khubaib bin Adi.

Sekembalinya dari Perang Badr, orang-.orang Islam meneruskan pembinaan masyarakat yang baru di Madinah. Adapun Khubaib seorang yang taat beribadah dan benar-benar membawakan sifat dan watak seorang abid. Ia beribadah menghadapi Allah dengan sepenuh hatinya. berdiri shalat di waktu malam dan berpuasa di waktu siang serta me-Maha-Sucikan Allah pagi dan petang.

Pada suatu hari Rasulullah bermaksud hendak menyelidiki rahasia orang-orang Quraisy, hingga dapat mengeahui ke mana tujuan gerakan serta langkah persiapan mereka untuk suatu peperangan yang baru. Untuk itu beliau memilih dari para sahabatnya, termasuklah di antaranya Khubaib. Dan sebagai pemimpin mereka, Ashim bin Tsabit diangkat oleh Rasulullah saw.
Pasukan penyelidik itupun berangkat ke tujuannya hingga sampai di suatu tempat antara Osfan dan Makkah. Rupanya gerakan mereka tercium oleh orang-orang dan kampung Hudzail yang didiami oleh suku Bani Haiyan. Mereka segera berangkat dengan seratus orang pemanah mahir, menyusul orang-orang Islam dan mengikuti jejak mereka dari belakang

Pasukan Bani Haiyan hampir saja kehilangan jejak, kalau tidaklah salah seorang dari mereka melihat biji kurma berjatuhan di pasir. Biji-biji itu dipungut oleh sehagian di anrara orang-orang itu, lalu mengamatinya Berdasarkan firasat yang tajam yang biasa dimiliki bangsa Arab, lalu berseru kepada teman-teman mereka, - Biji-biji ini berasal dan Yatsib (Madinah). Mari kita ikuti hingga dapat kita ketahui di mana mereka bcrada.”

Dengan petunjuk biji-biji kurma yang berceceran di pasir, mereka terus berjalan hingga akhirnya melihat dari jauh rombongan kaum Muslimin yang sedang mereka cari-cari. Ashim, pemimpin penyelidik, merasa bahwa mereka sedang dikejar musuh, Diperintahkan kawan-kawannya untuk menaiki suatu.puncak bukit yang tinggi. Para pemanah musuh yang seratus orang itu pun dekatlah sudah. Mereka mengelilingi kaum Muslimin, lalu mengepung mereka dengan ketat. Para pengepung meminta agar kaum Muslimin menyerahkan diri dengan jaminan bahwa mereka tidak akan dianiaya.

Kesepuluh orang itu menoleh kepada pemimpin mereka. Ashim berujar, Adapun aku, demi Allah, aku tidak akan turun mengemis perlindungan orang musyrik, Ya Allah, sampaikanlah keadaan kami ini kepada Nabi-Mu.” Dan segeralah seratus pemanah itu menghujani mereka dengan anak panah. Ashim beserta tujuh orang lainnya menjadi sasaran dan mereka pun gugurlah sebagai syahid. Mereka meminta agar yang lain turun dan tetap akan djamin keselamatannya scbagai yang dijanjikan. Maka turunlahlah ketiga orang itu, yaitu Khubaib beserta dua orang sahabatnya. Para pemanah mendekati Khubaib dan salah seorang temannya, mereka menguraikan tali-temali dan mengikat keduanya. Orang ketiga yang melihat peristiwa itu menganggap sebagai awal pengkhiànatan janji, lalu ia memutuskan mati secara nekad sebagaimana dilakukan Ashim dan teman-temannya, maka gugurlah ía menemui syahid seperti yang diinginkannya. Khubaib dan seorang temannya yang seorang lagi, Zaid, berusaha melepaskan tali ikatan mereka, tetap tidak berhasil karera buhulnya yang sangat erat.
Keduanya dibawa leh para pemanah durhaka ke Makkah. Nama Khubaib menggema dan tersiar ke telinga orang banyak. Keluarga Harits bin Amir yang tewas di Perang Badr cepat mengingat nama itu dengan baik, suatu nama yang menggerakkan dendam kebencian di dada mereka. Mereka pun segera membeli Khubaib sebagai budak Untuk melampiaskan seluruh dendam kebencian mereka kepadanya. Dalam hal ini mereka mendapat saingan dari penduduk Makkah lainnya yang juga kehilangan bapak dan pemimpin mereka di Perang Badr. Terakhir mereka merundingkan semacam siksa yang akan ditimpakan kepada Khubaib untuk memuakan de ndam mereka, bukan saja terhadapnya. tetapi juga terhadap seluruh kaum Muslimin. Dan sementara itu, golongan musyrik lainnya melakukan tindakan kejam pula terhadap teman Khubaib, Zaid bin Ditzmah, yaitu dengan menyula (menusukkannya hingga tembus ke bagian atas badannya).

Orang-orang musyrik menyampaikan berita kepada Khubaib tentang tewasnya serta penderitaan yang dialami sahabat dan saudaranya, Zaid bin Ditsinna. Mereka mengira dengan itu dapat merusakkan urat .syaratnya serta membayangkan dan merasakan derita dan siksa yang membawa kematian kaumnya ini. Mereka tidak mengetahui bahwa Allah telah menurunkan sakinah dan rahmat-Nya. Tetapi mereka terus menguji keimanan dan membujuknya dengan janji pembebasan, seandainya mereka mengingkari Muhamnmad dan sebelum itu Rabbnya yang telah diimaninya. Tetapi usaha mereka tetap gagal. Keimanan Khubaib terlalu kuat dan tidak mudah goyah, bahkan kian bercahaya. Dan tatkala mereka telah berputus asa dari apa yang mereka haeapkan, Khuhaib diseret dan dibawa ke suatu tempat yang bernama Tan’im, dan di sanalah ia menerima ajalnya.

Sebelum mereka melaksanakan itu, Khubaib minta ijin kepada mereka untuk melakukan shalat dua rakaat. Mereka mengijinkannya dan menyangka bahwa rupanya sedang berlangsung tawar-menawar dalam dirinya untuk menyerah kalah dan menyatakan keingkarannya kepada Allah, kepada Rasul, dan kepada agamanya. Khubaib pun shalat dua rakaat dengan khusyuk, tenang, dan hati yang pasra.

Setelah selesai mengerjakan shalat, Khubaib memandang ke arah para algojo, lalu katanya kepada mereka, Demi Allah, kalau bukanlah nanti ada sangkaan kalian bahwa aku takut mati, niscaya akan kulanjutkan lagi shalatku,” Kemudian diangkatnya kedua pangkal lengannya ke arah langit, lalu memohon, Ya Allah, susutkanlah bilangan mereka dan musnahkan mereka sampai binasa” Kemudian diamat-amati wajah mereka disertai suatu keteguhan hati, lalu ia bersyair,
Mati .. bagiku tidak menjadi masalah, Asalkan ada dalam ridha dan rahmat-Nya, Dengan jalan apa pun kematian itu terjadi, Asalkan kerinduan kepada-Nya terpenuhi. Aku berserah diri kepada-Nya, Sesuai dengan takdir dan kehendak-Nya, Semoga rahmat dan berkah Allah tercurah, Pada setiap sobekan daging dan tetesan darah.

Selanjulnya mereka menyiapkan pelepah-pelepuh kurma untuk membuat salib besar. Khubaib disandarkan dengan diikat kuat setiap bagian ujung tubuhnya. Orang-orang musyrik itu sungguh-sungguh amat buas. Mereka melakukan segala kekejaman yang mendirikan bulu roma. Para pemanah silih berganti melepaskan anak panahnya ke tubuh Khubaib bin Adi. Kekejaman mereka sampai di luar batas kemanusiaan. Dan dengan perlahan-lahan Khubaib tidak berdaya karena kekejaman itu. Tetapi ini tidak memicingkan mata dan tidak pernah kehilangan ketuguhan hati, Anak-anak panah yang tertancap ke tuhuhnya dan pedang-pedang yang menyayat dagingnya tidak mampu meruntuhkan keteguhan hatinya.

Inilah peristiwa yang pertama dalam sejarah bangsa Arab. Mereka menyalib seorang laki-laki kemudian membunuhnya diatas salib. Di kala itu salah seorang pemimpin Quraisy mendekatinya sambil berkata, ‘Sukakah engkau. Muhammad menggantikanmu dan engkau akan sehat wal afiat bersama keluargamu’ Mendengar pertanyaan itu Khubaib bangkit. sekalipun tidak ada tenaga lagi Namun seolah-olah tenaganya pulih kembali. Laksana angin kencang ia berseru, “Demi Allah, tidak sudi aku selamat bersama istri dan anakku .menikmati kesenangan dunia, sementara Rasulullah tertimpa musibah walau sepotong duri”.

Kalimat dan kata-kata hebat itu sebelumnya juga diucapkan Zaid bin Ditsinnah. Kata-kata yang mempesona itu menyebabkan Abu Sufyan, yang kala itu belum memeluk Islam, mempertepukkan kedua telapak tangannya sembari berkata kepada penganiaya, belum pernah kulihat manusia yang lebih mencintai manusia lain, seperti halnya sahabat-sahabat Muhammad terhadap Muhammad. Kata-kata Khubaib itu bagaikan aba-aba yang memberi keleluasaan begi anak-anak panah dan mata-mata pedang untuk menancap dan menggores tubuh sang jundullah dengan segala kekejaman dan kebuasan. Orang-orang kafir puas dan riang gembira melihat kematian Khubaib, Ruh sang jundullah ini perlahan-lahan meninggalkan tubuhnya yang tercabik mengerikan. Orang-orang musyrik pun kembali ke Makkah dengan kedengkiannya, setelah meluapkan dendam kesumat kepada Khubaib Dan tinggallah jasad Khubaib yang syahid itu dengan dijaga oleh para algojo yang bersenjatakan tombak dan pedang.

Kematian Khubaib itu pun didengar Rasulullah saw, sebagaimana sebelum dia meninggal pernah berdoa, “Ya Allah, kami telah menyampaikan tugas dari Rasul-Mu, maka sampaikan pula kepadanya esok, tindak orang-orang yang menganiaya kami”. Doanya itu dikabulkan Allah. Sewaktu Rasulullah saw di Madinah, tiba-tiba diliputi suatu perasaan dalam hatinya, kemudian memberitahukan bahwa para sahabatnya dalam bahaya, dan terbayanglah bahaw tubuh salah seorang dari sahabatnya itu ada yang disalib. Dengan secepatnya beliau memerintahkan Miqdad bin Amar dan Zubair bin Awwam untuk mencari sahabatnya yang gugur itu. Keduanya segera menunggang kuda dan memacunya dengan kencang. Dan dengan petunjuk Allah mereka menemukan Khubaib bin Adi yang gugur di atas kayu salib, Mereka menurunkan mayat itu dan menguburnya di bumi Allah yang suci. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan karunia kepadanya.

Sabtu, 15 April 2017

Hasan Al-Banna Hidupnya Untuk Da’wah dan Jihad

Imam Hasan al-Banna Lahir di kota Mahmudiyah, Propinsi Buhairah Mesir pada tahuri 1906. Ayahnya bernama Ahmad Abdurrahman al-Banna, seorang ulama yang taat beribadah. Ia menekuni ilmu hadits. Karyanya yang terkena1 dalam bidang hadits berjudul “Al-Fathur Rabbani lit-TartibiI Musnad Imam Ahmad”. Selain itu, sehari-harinya Ia bekerja menjilid buku dan memperbaiki jam, sehingga dijuluki dengan nama “As-Sa‘ati” (tukang jam).
Imam Hasan al-Banna dibesarkan dalam lingkungan yang mencintai ilmu. Ia belajar di SekoIah Dasar al-Rasyadud Diniyah, kemudian melanjutkan Sekolah Menengah Pertama di Mahmudiyah. Sejak mudanya, Hasan al-Banna telah mencurahkan perhatiannya kepada Islam dengan aktifitasnya yang terorganisir dalam menegakkan amar Ma’ruf nahi munkar, dalam menegakkan da’wah Islamiyah. Walaupun Ia sibuk dengan tugas belajarnya, Ia bersama teman-temannya mendirikan Al-Jam’iyatul Akhlaqul Adabiyah” dan “Jam’ iyah Man’il Muharramah.

Pada waktu itu ia mulai mengenal Thariqat al-Hashafyah, yang telah membentuk jiwanya zuhud dan bersih. Pada tahun 1920 ia pindah ke Darul Mu’allimin di Damanhur. Ketika itu ia telah hafal al-Qur’an sebelum mencapai usia 14 tahun. Hasan al-Banna juga aktif dalam pergerakan nasional melawan penjajah Mesir. Tahun 1923 ia pindah ke Kairo, dan belajar di sekolah Darul Ulum. Di sana ia menemui pandangan hidup baru yang sangat luas. Sabagai salah seorang anggota Thariqat al-Hashafiyah. ia senang berkunjung keperpustakaan as-Salafiyah dan majelis-majelis pertrmuan ulama al-Azhar. Di sana semua orang dianjurkan agar berjuang untuk membela Islam dengan berbagai cara.

Dengan demikian jiwanya mulai terangsang oleh da’wah islam dan plkirannya terus bergolak memikirkan da’wah. Sehingga akhirnya Ia dan beberapa temannya bergerak menyeru manusia ke jalan Allah, di warung-warung kopi dan gelanggang-gelanggang remaja serta majeIis-majlis pertemuan.

Hasan al-Banna lulus dari Darul Ulum pada tahun 1927, kemudian ia diangkat menjadi guru di sebuah sekolah di lsmailiyah, di sekitar Terusan Suez. Di Ismailiyah Ia mulai melancarkan da’wah secara terorganisir dan sistematis. Ia mengajak orang-orang yang suka nongkrong di bar-bar untuk pindah ke masjid. sambil Ia mengarahkan pikirannya dan tenaganya mendamaikan perselisihan yang merajalela di kalangan masyarakat Islam pada waktu itu. Ia berhasil menegakkan tonggak-tonggak da’wah Islam bersama enam orang temannya dalam bentuk perkumpulan jama’ah lkhwanul Muslimun (Persaudaraan Islam). Peristiwa itu terjadi pada bulan Dzulqa’idah tahun 1347 H atau pada bulan maret 1928 M.

Ciri da’wah lkhwanul Muslimun, pertama kali da’wahnya berseru kembali kepada ajaran Islam, dengan mempelajari kedua sumbernya, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, dan menghapus perbedaan-perbedaan furu’iyah di antara madzbab fiqih. Hasan al-Banna memusatkan perhatiannya untuk menciptakan generasi muda yang memahami Islam dengan baik, yaitu memegang teguh Islam sebagai agama dan diterapkan dalam membina negara, sebagai penuntun ibadah dan jihad, syari’ah yang dapat mengatur kehidupan ummat manusia dalam semua aspek, meliputi pendidikan sosial, ekonomi dan potitik.

Gerak langkah da’wah pada waktu itu terbatas pada dua aliran yang sangat penting, Da’wah Salafiyah dan Thariqat-thariqat Sufisme. Pertentangan dan perbedaan antara kedua golongan ini sangat tajam. Dan pemikiran Islam pada waktu itu dikendalikan oleh organisasi dan karya-karya dari al-Azhar. Dengan demikian, da’wah yang dilancarkan oleh Hasan al-Banna Untuk kembali kepada pengertian islam yang mencakup semua aspek kehidupan, memerlukan pembaruan dalam pemikiran Islam.

Setelah para penulis Muslim menemui kesulitan untuk membuktikan, bahwa Islam itu tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan bahkan mendorong proses kemajuan, maka gerakan Ikhwanul Muslimun telah menelorkan generasi yang beriman dan terdidik, mereka menganggap kemajuan Barat adalah sangal kecil di bandingkan dengan Islam. Dan mereka yakin bahwa kebudayaan Islam tidak bertentangan dengan hakikat ilmiah yang benar, dengan kaidah-kaidah syara’ yang tetap. Ikhwanul Muslimun telah menyerap bermacam-macam aliran masyarakat ke dalam barisannya, terutama para cendekiawan muda, dan dapat mengobarkan semangat Islam dalam setiap jiwa ummatnya. Di kota lsmailiyah, Hasan al-Banna mendirikan yayasan-yayasan umum. Ia mendirikan sebuah masjid dan sekretariat lkhwanul Muslimun, kemudian mendirikan pesantren Islam Harra’ dan madrasah Ummahat al-Mu’minin.

Dan mulailah da’wah tersebar luas di kampung-kampung dan kota-kota terdekat.
Pada tahun 1932, Hasan al-Banna pindah ke Kairo, dengan demikian pindah pulalah markas Pimpinan Umum Jama’ ah al-Ikhwanul Muslimun. Ia sering mengadakan perjalanan rutin ke propinsi-propinsi dengan disertai anggota barunya yang dibina dengan semangat da’wah dan dibekali keterampilan melaksanakan da’wah. Pekerjaan ini dilaksanakannya terus-menerus, sehingga Ikhwanul Muslimun tersebar keseluruh pelosok Mesir.

Imam Hasan al-Banna menerbitkan sebuah mingguan“Al-Muslimun”. kemudian majalah “An-Nadzir” dan beberapa makalah. Ia tidak henti-hentinya menulis dan mengarang, bahkan perhatiannya terhadap pendidikan, penyebaran da’wah dan pembentukan suatu jama’ah dianggapnya sebagai pelopor kebangkitan ummat Islam di seluruh dunia. Hasan al-Banna menginginkan agar pergerakannya tidak hanya bergerak di Mesir saja, tetapi merupakan gerakan internasional. Oleh karena itu, sejak tahun empat-puluhan, pergerakan Ikhwanul Muslimun meluaskan dirinya ke seluruh dunia Arab, kemudian ke seluruh dunia Islam. dengan menancapkan tonggak da’wah di setiap tempat. Beliau mengirimkan beberapa utusan ke beberapa negara Islam, untuk meneliti keadaan dan kenyataan kaum Muslimin dan melaporkannya ke Kairo. Di Kairo, markas umum lkhwanul Muslimun menjadi tempat pertemuan kebebasan kaum Muslimin. Pada masa itu justru negara-negara Islam berada di bawah penjajahan asing, dari mulai tokoh-tokoh gerakan kemerdekaan di Afrika Utara, Yaman, India, Pakistan, Indonesia dan Afghanistan, bahkan sampai ke Sudan, Somalia. Syiria, Irak dan Palestina.

Masalah Palestina sangat menarik perhatian Hasan al-Banna. Ia mempunyai pandangan, bahwa kaum Yahudi itu sangat berbahaya. Sikap Ikhwanul Muslimun sejak permulaan revolusi Palestina tahun 1936 menyerukan dan mengingkatkan agar berjuang mencapai kemerdekaan di dunia Arab. Gerakan Ikhwanul Muslimun ini telah secara kongkret menerapkan apa yang menjadi semboyan dan motto ini, “Al-Jihad Sabiluna wa Al-Maut fi Sabilillah Asma Amanina” (jihad adalah jalan kami dan mati di jalan Allah adalah cita-cita tertinggi kami). Mereka benar-benar masuk dalam perang jihad melawan Zionis di Palestina dan melawan Inggris di Mesir. Gerakan lkhwanul Muslimun ini mempersembahkan pengrbanan putra-putra terbaiknya.
Hingga sekarang Ikhwanul Muslimun masih memiliki putra-putra berdedikasi tinggi yang mengikhlaskan diri untuk agama Allah dan Allah juga mengikhlaskan mereka untuk agama. Mereka bertekad meneruskan jihad di bumi Palestina untuk membebaskan bumi nubuwah ini dari tangan-tangan kotor Zionisme. Mereka itulah putra-putra gerakan perlawanan Islam, Hamas.
Militansi dari gerakan lkhwanul Muslimun ternyata mngundang konspirasi dari berbagai kekuatan yang memusuhi, dengki, ketakutan dan ambisi serta benci. Para duta besar dari Amerika, Inggris, dan Prancis bertmu di Fayed, pangkalan militer Britania Raya di wilayah Suez, yang menghasilkan kesepakatan untuk membubarkan lkhwanul Muslimun dengan menekan pemerintahan Mesir di bawah Perdana Menteri Mahmud Fahmi an-Naqrasyi. Lalu tekanan ini dipenuhi dan dilaksanakan.

Pembubaran pertama gerakan lkhwanul Muslimun dilakukan pada masa Raja Farouq di bawah pemerintahan Perdana Menteri an-Naqrasyi pada 8 Desember 1948. Setelah itu para aktivis ditahan dan dimasukkan ke dalam penjara di ath-Thur dan Haiksatab dalam jumlah ribuan, kecuali satu orang saja yang tidak ditangkap, melainkan dibiarkan bebas, yaitu Hasan al-Banna, pimpinan kelompok dan pendirinya. Semua orang heran, bagaimana semua anggota ditahan tetapi pimpinannya tidak? Akan tetapi kemudian teka-teki itu segera terjawab dan keheranan pun sirna, sebab di sana ada rencana keji yang disiapkan dengan cermat dan dilaksanakan dengan sempurna. Di sebuah jalan-jalan protokler di tengah kota Kairo, saat Ia keluar dari Markas Pemuda Muslimin, tepat di depan gedung ini, menjelang tenggelam matahari, sete!ah menerima undangan misterius ke markas umum gerakan ini, Ia dibunuh secara biadab dengan tembakan peluru yang dilakukan oleh kaki tangan Raja Faraouq.

pada tanggal 14 Rabi’uts Tsani 1368 H, bertepatan dengan tanggal 12 Februari 1949 M.
Akan tetapi perjuangan lkhwanul Muslimun tidak terputus hanya karena pembunuhan yang dilakukan terhadap pimpinannya serta pembekuan kegiatannya. Dan balik malapetaka itu, muncul satu gerakan kuat lain untuk melawan imperialis Inggris di Terusan Suez pada tahun 1951, yang kemudian menimbulkan dua serangan dahsyat pada tahun 1956 dan tahun 1965.
Pergerakan lkhwanul Muslimun tetap mendasar dan meluaskan sayapnya ke seluruh pelosok dunia, dan melancarkan pemikiran yang Islami ke kancah pertarungan. Pada masa ini banyak dijumpai pemikiran-pemikiran Islam yang dicetuskan penulis Ikhwanul Muslimun, seperti Yusuf Qardhawi. Mustafa Masyhur, Muhammad al-Ghazali, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Fathi Yakan, Mahmud Abdul Halim, Abbas as-Saisi, Sayyid Sabiq, Sa’id Hawwa dan sebagainya.

Pemikiran-pemikiran merka telah dijadikan model pelaksanaan Islam dalam seluruh segi kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Dan telah mendorong jiwa ummat Islam untuk berjihad dalam rangka menegakkan Kalimatullah, dan melaksanakan hukum Allah di bumi ini dengan berbagai cara. Jadi, jika sekarang ini dalam kegiatan Islam terdapat teori-teori dan pandangan untuk pelaksanaan Syar i’at Islam, yang hanya tertuju pada gerakan da’wah dan pendidikan, tanpa praktik politik, atau hanya memperhatikan praktik militer tanpa pendidikan, atau hanya mencurahkan tenaga untuk berda’wah dan mengajak ummat manusia untuk bekarja dalam bidang politik saja, maka pandangan semacam itu oleh Ikhwanul Muslimun dianggap semacam kemunduran berpikir yang sangat ditentang oleh lkhwanul Muslimun. Dan menurut Hasan al-Banna, pendapat semacam itu adalah juz’iyah (parsialistik) dalam mendorong Islam, yang menurut beliau justru Islam itu mencakup secara keseluruhan aspek kehidupan dan seimbang dalam pembinaan kepribadian ummat Islam dan pergerakannya, Jadi, pergerakan harus berjalan secara Islam, semua unsurnya melaksanakan islam sebagai aqidah dan syariah, menegakkan akhlak dan politik. melaksanakan ibadah dan hukum serta jihad di jalan Allah. Atas dasar-dasar tersebut Rasulullah saw. mendasarkan struktur pembinaan Islam pertama, dan Hasan al-Banna pun mendasarkan pergerakannya pada dasar itu pula, semua pergerakan Islam akan melaksanakan da’wah sesuai dengan dasar itu pula.

Senin, 13 Maret 2017

Pemikiran Sosial Al-Ghazali

Dalam mengkaji pemikiran sosial al-Ghazali kaitan harus diberikan kepada kekuatan ruang waktu karena al-Ghazali merupakan pemikir Muslim pertama yang sangat mempercayai fenomenologi. Tidak Seperti Hurse, fenomenologi, Ghazali sarat dengan gagasan dan pengertian. Tesis sosiologisnya yang penting didasarkan atas ide kepemimpinan yang secara konstan dirujuk oleh pemikir sosial Muslim dalam istilah umum lmamah. Imamah adalah keharusan karena merupakan kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan di dunia. Imamah ialah lembaga yang tak bisa ditawar tergantung pada Ijma komunitas sepeninggal Muhammad saw. ketika pemeliharaan tata keagamaan dan kepolitikan membuat penempatan jabatan yang cepat atas perintah Imam. Tetapi Ijma ummat tak cukup, karena “tata kebaikan agama” dicapai hanya “melalui seorang Imam yang ditaati”. Pada kenyataannya, “tata kebaikan agama”hanya mungkin terjadi melalui “tata kebaikan dunia” yang pada gilirannya, tergantung pada “Imam yang ditaati”. Agama dan kekuasaan (temporal) adalah saudara kembar. Ad-Din adalah fondasi dan kekuasaan secara mudah berarti pemeliharaan dan penguatannya. Tekanan pada kekuasaan adalah signifikan meski hanya sarana untuk mencapai tujuan. tujuannya adatah terwujudnya tata kebaikan agama dengan Sa‘adah al Akhirah atau Sa’adah al Qashwa.

Al-Ghazali akan tercatat secara menonjol dalam sejarah pemikiran sosiologis Muslim dengan sumbangannya di lapangan sosiologi perang dan sosiologi pengetahuan yang pertama masih belum dikenal dalam pemikiran modern dan yang kedua menjadi pusat perhatian setelah Perang Dunia Kedua. Kemampuan untuk mengerahkan Jihad ditentukan oleh pemilikan sifat kejantanan dan keberanian ( Najdah wa Syuja’ah). Jihad selalu dinyatakan sebagai salah satu tugas utama sang Khalifah. Demikian pula teori al-Ghazali tentang Taqlid sangat penting. Ia menekankan bahwa Taqlid lebih bermanfaat di masa krisis dan ikhtilaf yang luas ketimbang ljtihad. yang selama krisis mengarah pada distegrasi lebih jauh. Masalah Taqlid beserta penyebab dan konsekuensinya memberi Ghazali kesempatan untuk mengkaji ulang problema sosialogis fundamental. JikaTaqild (imitasi) adalah kunci fenomena sosial, maka hubungan sosial yang khas adalah “guru-murid” dalam beragam variasi. Ia menekankan penyebab taqlid secara asasi bersifat internal meski dibentuk dan ditunjang oleh situasi kelompok. Pembuktiannya yang menekankan imitasi secara esensial merupakan sebuah dasar konseptual untuk dapat menguraikan permasalahan sosiologis krusial, yakni proses yang dialarni individu ketika menyatu dengan kelompok dan masyarakat. Jadi, Ghazali menjelaskan struktur sosial yang menempatkan prilaku individu atau imitasi sebagai cerminan model atau sistem nilai umum. Ia menegaskan berulangkali bahwa dalam pembangunan masyarakat, kompleksitas dan diferensiasi sejalan dengan peningkatan terutama sekali kepercayaan, nilai-nilai dan prinsip-prinsip organisasional.

Dalam teori dan klasifikasinya tentang pengetahuan, Ghazali menggaris bawahi di antara perkara lain tentang tabiat prediktif pengetahuan. Inti pemikirannya adalah pengetahuan untuk peramalan, dan peramalan untuk pengawasan. Kaitan prediksi semacam itu bagi Ghazali bukan kebetulan, tetapi lebih merasuk pada pejalanan sains dan pengetahuan. Hal ini merupakan topik khusus yang menghendaki dengan sendirinya rincian analisis dan penelitian. Karena ilu kita berbuat tidak adil terhadap teori pengetahuan Ghazali dalam ruang terbatas sekedar penyinggung gambarannya yang menjulang.

Ghazali adalah penyumbang utama untuk bidang yang dalam bahasa jerman disebut Wissensociologic atau sosiologi pengetahuan. Dalam kitab Ihya’ dan karya lain. ia mengembangkan dan melukiskan teori tentang beragam gagasan atau pengetahuan yang bethubungan dengan struktur dan tujuan masyarakat yang diterapkan dan dipelihara. Kelompok konservatif, sebagai misal, ditekankan Ghazali menciptakan dan memelihara pandangan statis tentang dunia, sementara kelompok progresif menerima pandangan dinamis. Pengetahuan adalah sebuah struktur masyarakat Melalui bidang penelitian ini Ghazali mengerjakan seluruh pasang surut produk kebudayaan yakni determinan sosial terhadap perspektif intektual
Kajian tentang fenomena keagamaan dan pengalaman reljius yang menjadi gamblang hanya baru-baru ini, telah dipelopori oleh al-Ghazail. Keutamanya ialah mengelompokkan basis sosial bagi produksi mental. Catatan pengalaman keagamaannya dalam 1hya’ dan al-Munqidz menunjukkan bahwa dibalik norma terdapat sistem simbol - sistem makna superiordinat yang memberi arti dan koherensi bagi norma tersebut. Pemikir Barat modern, Robert N. Bilah, menyalakan bahwa sistem makna superordinat mungkin atau tidak mungkin relijius, tetapi Ghazali sejak lama menegaskan bahwa superordinat mesti relijius dengan pengertian meminta otoritas transendental Relevan gagasan ini bagi masalah penjernihan fungsi integratif agama ialah dapaf melengkapi Sebuah basis penjenjangan norma masyarakat dengan memperhatikan tatanan tertinggi yang memberi mereka makna. Setelah norma dirangking, maka dapat dibedakan sanksi yang merujuk pada otoritas transendental dengan sanksi sekular Di bawah usahanya untuk menjernihkan agama dan pengalarnan keagamaan, terdapat pengertian implisit bahwa kepercayaan agama memiliki implikasi terhadap nilai yang mengatur persepsi dunia soaial.
Simpulannya, dapat dibenarkan untuk menegaskan surnbangan besar pembentukan fondasi Epistimologi oleh Ghazai. Rosenthal salah memahami Ghazali ketika Ia mengatakan Syara’ telah digantikan oleh Wara’. Persoalannya bukan begitu. Ghazali secara sederhana memaksudkan Syar’i harus bergandeng tangan dengan Wara’ untuk memadukan kehidupan, agar sepenuhnya sejalan dengan pola orientasi nilai islam. Tak diragukan, takut kepada Allah adalah akar kehidupan sosial yang terpadu. Hal ini, sekali lagi tak diragukan. merupakan basis keberadaan masyarakat, kepribadian dan kebudayaan, serta mengulang praktik keraguan merupakan kualitas moral. Hukum sosiologis tentang pengawasan, tekanan dan pembatasan secara eksplisit melibatkan kategori takut kepada Allah. yang telah dinyatakan sebagai sebab utama kebangkitan kaum Muslimin oleh orientalis Jerman Daniel Heineberg.

Gambaran lain dari pemikiran sosial Ghazali terlihat dalam aksidisasinya tentang pengetahuan dan kerja pengembangan masyarakat serta kebudayaan. Ma’rifah dan pengabdian kepada Allah (Ibadah) menjamin tata kebaikan agama (Nidhamuddin). dicatat bahwa Ad-Din digunakan oleh Ghazali dalam pengertian menyeluruh untuk mencakup arti masyarakat dan budaya. Mengetahui, menurut Ghazali, adalah gambaran penuh dengan unsur keinginan dan pengaturan.
Apabila kedua unsur ini dihilangkan. maka proses mengetahui menjadi sebuah kebosanan, Logikalitas penegasan Ghazali dapat dilacak dalam analisisnya. Sebagai tujun segala kepentingan, sebuah nilai adalah hasil dari mengetahui, menginginkan, mengatur; apa yang diketahui adatalah nilai, apa yang diinginkan adalah nilai, apa yang diatur adalah nilai. Sejauh hal Itu tak ada yang salah, tetapi kesalahan muncul tatkala mengetahui- menginginkan-mengatur dlipisahkan dari sistem orientasi nilai Syari‘ah. Begitu pula menilai atau penilaian harus digunakan untuk membentuk segenap aktivitas manusia yang dibahas nilai dalam pengertian kebutuhan yang dikelompokkan oleh pemikir Jerman dalam kerangka rujukan Ma’rufah.
Epistimologi dasar yang diangkat dalam kesimpulan bahwa mengetahuli menginginkan dan mengatur adalah sifat khusus manusia, karena peristiwa kombinasi demikian hanya dalam konteks budaya. Hal ini mewakili tindakan-tindakan timbal-balik yang mengaitkan kebutuhan dan nilai, di mana tindakan dalam kerangka itu dapat dipandang sebagai penilaian.

Dalam pemikiran sosiologis Ghazali. teori nilai yang sepenuhnya dilupakan oleh cendekiawan barat dan Timur. adalah sangat penting, karna itu memerlukan beberapa tanggapan. Bagi Ghazali hukum, prinsip dan aturan yang dimunculkan dan dihasilkan oleh Qur’an dan Sunnah adalah nilai yang paling penting. Dan di atas aturan yang disebutnya syari’ah serta melalui karyanya dibangunlah teory organisasi sosial. Dari definisi nilai sebagai obyek penuh makna menuju subyek ini, digabungkan dengan penekanan aturan (Awamir) sebagai nilai, pengertian konsep nilal bagi sosialis Muslim telah dialihkan, Sehingga unsur normatif yang mendirikan nilai menjadi kritena yang lebih menentukan dibanding unsur obyektivitas. Perhatian utama Ghazali ialah menetapkan tesis dalam kaitannya dengan struktur masyarakat, nilai merupakan obyek esensial dari sosiologi gagasan al-Ghazali ini mendapat ungkapan modern dalam karya Thomas dan Zranjecki (The Polish Peasant in Europe and Amerika) serta Celestin Bougle (Jugement de Value et Judgements de Realiste).

Bentuk konsesi dasar yang baru mulai melangkah, sebagaimana penelahan dan pengakuan terhadap konsepsi tatanan. Konsep nilai memainkan peran penting dalam perkembangan ini, seperti perhatian konstan terhadap peran sistem aturan normatif dan gagasan moral dalam kehidupan sosial. Ada dua aspek teoritis penting dalam perubahan ini. Yang pertama memungkinkan untuk memandang nilai dalam dimensi obyekfif dan institusional sekaligus. Dengan kata lain, prilaku sosial, dalam bagian tertentu, merupakan refleksi subyektif dan aturan sosial. Pengalaman keagamaan, dan sudut pandang fenomenologis, adalah sebuah situasi; Sehingga tipe definisi situasional merupakan hasil refleksi pelaku meskipun tetap berlaku sebagai sebuah situasi nyata dan bagian integral dan tindakan pelaku dalam situasi tersebut.

Kaum sufi dan pemikir Muslim seperti Ghazali menegaskan pengalaman keagamaan dalam pengertian rujukan kepada sistem nilai. Jika nilai menentukan fakta dan membentuk kesatuan dalam sistem sosial menurut kerangka keterbatasan fungsional sebelum tuntutan sistem sosial dan sistem kepribadian, maka dalam ukuran besar nilai teisebut yang menentukan bentuk dominan kesatuan sosial dalam sebuah masyarakat sangat bermanfaat untuk keperluan pengelompokan masyarakat. Gagasan susulan dari Ghazali ini sepenuhnya selaras dengan sistem nilai Qur’ani. Hal ini dapat dijelaskan dalam kerangka kesatuan lima “variabel pemolaan” yang mewakili lima pilar Islam, secara kualitatif telah dikelompokkan menjadi dua pokok utama Muhkamat dan Mutasyabihat.

Penegasan tasawuf dan falsafah kita adalah sejalan dengan pemikiran modern, dengan beberapa persyaratan. Bila masyarakat utama dinyatakan menyatu, maka prasyarat fungsional adalah kesinambungan karakter suci dan karismatik dari sistem nilai terpusat. Hal ini, pada gilirannya, berhubungan dengan konsekuensi dari poses rasionalisasi dalam lapangan agama dan empiris.

Seperti telah kita lihat di atas, asal mula masyarakat utama acapkali didapatkan dalam proses rasionalisasi kepercayaan agama yang berpusat pada konsep tuhan yang transendental, seruan etis, dan sebuah pandangan dunia ini. Karena itu sumbernya adalah “Suci” dalam pengertian teknis istilah tersebut Tetapi dua unsur dalam poses rasionalisasi cenderung memisahkan sistem nilai sekuler dan sumbernya; kekuasaan sebagai proses rasionalisasi berkelanjutan dalam realitas keagamaan yang sebenarnya, sementara ideobogi yang berkembang cenderung melepaskan karakter simbolisme pertengahan yang mereka miliki di masa lalu. Sehingga berkembanglah jurang antara sistem kepercayaan agama rakyat dengan sektor keagamaan para elit pemuka. Pada saat yang sama, sistem kepercayaan agama rakyat dan pemuka agama kedua-duanya menjadi pelaku yang menggerakkan kesinambungan rasionalisasi sistem kepercayaan empiric.

Dari Buku: Muslim Social Philosophy” Jamiyatul Falah Publ., Karachi, 1971, hal. 14.19. Disunting oleh: Supto Waluyo

Senin, 06 Maret 2017

Abu Dzar Al-Gifari, Datang, Wafat dan dibangkitkan sendirian

Sosok ini merupakan icon pembala kaum yang lemah. Dia memilih untuk hidup miskin, namun bergelimang kekayaan hati. Baginya, Ilam dan kitab Rasulullah saw, mutlak diikuti tanpa toleransi. Dia juga menuai banyak pujian dari Rasulullah saw serta memperoleh jaminan surga. Dialah Abu Dzar Al Gifari.

Nama aslinya adalah jundub bin Junada bin zakat, namun dia lebih dikenal dengan panggilan Abu Dzar Al Gifari, karna dia berasal dari suku Gifar. Suku yang bermukim diantara mekah dan madinah ini, amat ditakuti karna kebiasaan masyarakatnya yang uka merampok kafilah dagang yang melintas. Kebiasaan ini pula yang biasa dilakukan Abu Dzar.

Saat masyarakat Qurays mekah dihebohkan oleh kabar seorang pemuda yang bernama Muhammad yang mengikrarkan diri sebagai Rasul utusan Allah, Abu Dzar tergerak untuk mencari kebenaran berita tersebut. Namun informasi yang didapat oleh seorang utuan yang sebelumnya telah diberangkatkan ke Mekah tidak memuaskan hati Abu Dzar, maka iapun memutuskan untuk berangkat ke Mekah mencari sendiri kebenaran tersebut. Sesampainya di mekah bertemulah dia dengan Ali bin Abi Thalib ra. Ali pun bertanya kepada Abu Dzar dan berkata : “Sepertinya anda adalah orang asing dikota mekah”. Pertanyaan itu dibenarkan oleh Abu Dzar. Kemudian Abu Dzar dijamu dengan baik oleh Ali bin Abu Thalib, namun Abu Dzar belum sempat mengatakan tentang keinginannya, hingga esok harinya Abu Dzar menuju kemasjid, namun sesampainya dimasjid, tidak ada seseorang yang bisa dia Tanya. Sampai kemudian Ali bin Abu Thalib bertanya kepada Abu Dzar tentang apa maksud kedatangannya ke Mekah, dan Abu Dzar mengatakan bahwa dia ingin bertemu dengan seseorang yang mengaku Nabi bernama Muhammad. Mendengar keinginan Abu Dzar itu, Ali bin Abu Thalib mengatakan, tepat sekali, kebetulan saya akan berjalan ke sebuah tempat dimana Muhammad saw berada.

Maka berjalanlah Abu Dzar mengikuti Ali bin Abu Thalib. Pada saat dia berjumpa dengan Rasulullah saw, dia bertanya tentang kenabiannya, dan Muhammad saw menjelaskan tentang kerasulan dan ajaran yang dibawahnya. Mendengar penjelasan Rasulullah, seketika itu beryahadatlah Abu Dzar Al Gifari.

Abu Dzar yang telah beriman, seketika itu juga dengan lantang mengatakan akan membela dan menyebarkan agama yang baru dipeluknya, walaupun keinginan tersebut sempat dicegat oleh Rasulullah saw. Namun Abu Dzar yang tak kenal takut, jutru bertindak nekat dengan mengumumkan keislamannya ditengah-tengah kota mekah. Sebuah tindakan yang sangat beresiko dan memancing amarah kaum kafir Qurays, telah membuat Abu Dzar dihajar habis-habisan oleh mereka (Qurays pen). Setelah tragedy pemukulan terebut, Abu Dzar memutuskan untuk kembali ketengah-tengah suku Gifar dan menyampaikan da’wahnya disana. Dengan ketekunan dan kesabarannya, akhirnya ia berhail meng Islamkan seluruh penduduk suku Gifar. Bahkan setelah itu ditambah dengan masyarakat Bani Aslam. Bani Aslam juga memiliki yang memiliki hubungan kekerabatan dengan mereka memeluk Islam. Begitu kedua suku (Gifar dan Aslam) datang kekota Madinah, Rasulullah saw memuji mereka dengan kalimat “Gifar, Ghofarahulloh (semoga Allah swt mengampuninya) dan Aslam, assallamahullah (semoga Allah swt menyelematkan dan mendamaikannya)”.

Perjuangan Abu Dzar tak cukup berhenti sampai disana, bersama Rasulullah dan kaum muslimin, ia selalu ada dalam barisan terdepan garda pembela Islam.

Eksisteninya di Perang Tabuk 

Perang tabuk menjadi bukti salah satu kesetiannya kepada Rasulullah saw. Perang ditahun 9 Hijriah ini terjadi ditengah kondisi cuaca yang ganas. Ditambah gangguan dari kaum munafik. Saat kekuatan kaum muslimin menjadi timpang akibat factor alat, Abu Dzar justru tidak mengendurkan determinasinya dimedan perang.

Sepanjang perjalan yang jauh kearah tabuk, para sahabat selalu berkata kepada Rasulullah saw, “ Ya Rasulullah si Fulan tidak ikut” dan selalu menghitung-hitung beberapa orang yang tidak ikut dalam perang tabuk. Namun Rasulullah berkata pada sahabat yang mengadu : “kalaupun mereka yang tidak ikut adalah orang yang baik, Allah pasti susulkan kepada kita, namun jika merka yang tidak ikut adalah orang yang tidak baik, Allah telah mengistirahatkan kita dari keberadaan mereka.

Salah satu yang tidak terlihat dalam rombongan Rasulullah saw adalah Abu Dzar Al-Gifari ra. Kemudian ada salah seorang diantara rombongon yang mengeluarkan kata yang tidak baik terhadap Abu Dzar dengan menuduh bahwa Abu Dzar pemalas karna tidak mau berangkat. Keperang tabuk. Namun tuduhan itu dibantah oleh sahabat lain dengan mengatakan bahwa Abu Dzar itu adalah seseorang yang mulia, beliau adalah orang shaleh, dan pasti dia akan hadir bersama kita.

Masih dalam perjalanan menuju ke Tabuk, terlihatlah dari jauh seseorang yang berjalan sendirian dengan seekor keledai yang lemas tidak berdaya. Kemudian Rasulullah menunjuk kearah bayang-bayang orang itu memastikan bahwa dia adalah Abu Dzar. Dan ketika bayang itu semakin dekat kearah rombongan, terlihat jelaslah sosok yang menampakkan wajah Abu Dzar. Sesampainya Abu Dzar kedalam rombongan, Rasulullah pun mengungkapkan sebuah kalimat untuk Abu Dzar. Rasulullah saw berkata : “Samsyi wahdaq, Wasamuutu wahdaq, Watub’atu Wahdaq” yang artinya : Kamu berjalan sendiri wahai Abu Dzar, kamu akan meninggal sendirian, dan kau juga kelak akan dibangkitkan sendirian.

Zuhudnya terhadap Dunia

Kemenangan demi kemenangan dalam setiap peperangan serta perluasan wilayah pendudukan, semakin membuat kaum muslimin hidup dalam kemapanan dan kemakmuran, namun tidak dengan seorang Abu Dzar. Ia jutru menyumbangkan seluruh kekayaan jihadnya dan memutuskan untuk hidup sederhana. Tak ada esdikitpun harta yang diinginkannya, kecuali makanan secukupnya untuk kehidupan sehari-hari, karna Abu Dzar memegang teguh prinsip untuk tidak menyimpan harta. Abu Dzar berikhtiar seperti itu karna dia sangat memegang teguh hadist nabi yang berbunyi : 
لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
Artinya : "Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal, niscaya Dia akan memberi rizki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rizki terhadap burung, ia pergi dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang". (HR. Ibnu Majah no. 4154)

Dan Abu Dzar menganggap bahwa siapapun yang suka mengumpul harta kemudian menyimpannya, adalah orang yang kurang bertawakkal kepada Allah swt.

Sepeninggal Rasulullah saw, Abu Dzar memilih hidup dipedalaman selama kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Saat kursi kekhalifaan bergulir kepada Utsman bin Affan, Abu Dzar sempat tinggal di Syam, yang kala itu dipimpin oleh gubernur Muawiah bin Abu Sufyan. Melihat masyarakat syam yang hidup dalam kemewahan, hati nurani Abu Dzar memberontak. Dan pada saat itu sang gubernur Muawiah bin Abu Sufyan merasa tidak nyaman karna Abu Dzar mengajarkan kepada masyarakat untuk tidak boleh menyimpan harta. Oleh karenanya, Muawiah pun mengirim surat kepada Khalifah Utsman bin Affan, yang kemudian direspon oleh sang Khalifah dengan cara memanggil Abu Dzar untuk kembali ke kota Madinah. Namun permohonan Khalifah Utsman bin Affan ditolak mentah-mentah oleh Abu Dzar Al-Gifari. Beliau jutru memilih pindah ke Robazah, sebuah wilayah kosong yang berjarak 200 kilometer dari kota Madinah. Di Robazah inilah Abu Dzar menghabiskan sisa hidup bersama keluarganya dengan segala kesederhanaan. Bahkan hingga ajal datang menjemputnya, Abu Dzar tidak memiliki kain untuk mengkafani jenazahnya. Dipengasingan inilah jenazahnya ditemukan oleh rombongan dagang yang melintas. Hampir saja kuda kafilah dagang itu menginjak jenazah Abu Dzar sebab mereka mengira kalau jenazah itu hanyalah sebuah gundukan. Berteriaklah istri Abu Dzar bahwa jenazah itu adalah suaminya yang merupakan sahabat Rasulullah saw.

Dan diantara kafilah dagang itu terdapat pula seorang sahabat mulia Abdullah bin Mas’ud yang ahli ilmu agama dan juga pedagang. Ia lalu menghentikan rombongan kafilah dagang itu, kemudian turun dari tunggangannya menangisi jenazah Abu Dzar sambil berkata : ” Benar kata Rasulullah ya Abu Dzar, bahwa engkau akan meninggal sendirian dan kelak akan dibangkitkan sendirian”.