Sabtu, 28 Januari 2017

Islam Dan Nasionalisme



Nasionalisme, yaitu suatu Faham yang menyatakan bahwa kesetiaan tertinggi seseorang harus diserahkan kepada negara kebangsaan (Hans Kohn, 1961, hal.11). Selanjutnya Hans Kohn menyatakan bahwa Nasionalisme menyatakan, “negara kebangsaan adalah cita dan satu-satunya bentuk sah dan organisasi politik dan bahwa bangsa adalah sumber daripada tenaga kebudayaan kreatif dan kesejahteraan ekonomi” (hal. 12). Jadi, nasionalisme merupakan sikap mental yang menunjukkan kesetiaan seseorang adalah untuk negara nasional. Rasa kesetiaan terhadap tanah tumpah darah, tradisi lokal atau kekuasaan yang ada sudah semenjak zaman purba dikenal orang. Namun nasionalisme modern baru dikenal orang pada akhir abad ke-18 (HM. Rasjidi, 1980, hal. 19).

Nasionalisme Barat

Faham Nasionalisme yang berkembang di berbagai negara, termasuk Indonesia, berasal dari faham Nasionalisme Barat. Pertumbuhan Nasionalisme Barat memuncak pada tataran chauvinistis (bersilat patriotik yang berlebihan) yang hanya menganggap benar dirinya sendiri yang lain pasti salah. Faham Nasionalisme Barat, disadari atau tidak, telah sampai pada tindakan “diperbolehkan merampok atau menjajah negara-negara lain yang tidak masuk daerah Kebangsaan sendiri” (Syarif Usman, 1949, hal .20). Tataran chauvinistis telah dicapai oleh Nasionalisme Jerman, yang telah mendewakan dirinya. Senada dengan pemikiran filsafat Hegel (filosuf Jerman, 1770-1831 M) yang menyatakan bahwa negara itu adalah Tuhan yang menjelma di atas bumi (The state is the Divine Idea as it exist on earth), pemimpin Jerman, yaitu Hitler, menyatakan bahwa ras Arya Jerman yang murni adalah ras manusia yang paling unggul di dunia. Di bawah pimpinan Adolf Hitler, nasionalisrne Jerman telah terjerumus ke dalam chauvinisme. Pemuda Jerman menjadi yakin bahwa Tuhan telah menjelma ke dalam diri bangsa Jerman. Sebagai jelamaan Tuhan, maka bangsa Jerman selalu benar. Syarif Usman mengutip pemyataan tersebut:
This God is the name of that force and life which has incarnated it salf into the German nation and the German nation is the earth manifestation of the God. Hitler is the prophet and “national goals” are the religion brought by that prophet. The conception of religion which may nearest to the mentality of a nationalist connot be else than this. (Itulah, Tuhan ialah nama dan kekuatan dan kehidupan yang telah menjelama ke dalam diri bangsa Jerman, dan bangsa Jerman adalah penjelmaan Tuhan di dunia. Hitler adalah nabinya, sedang cita-cita nasional adalah agama yang dibawa oleh nabi itu. Pengertian agama yang dekat kepada seorang nasionalis tak bisa lain daripada ini). (Syarif Usman, 1949, hal. 25, 26). Nasionalisme jerman yang menyepelekan bangsa lain, agaknya diilhami oleh Nicolo Machiavelli (1469- 1527) dari Italia. Machiavelli inilah pencetus doktrin terkenal, right or wrong my country (benar atau salah pokoknya negeriku). Bagi Machiavelli, nasionalismé tumpuan bakti satu-satunya, tanpa mempedulikan apakah negara bangsanya itu di pihak yang benar atau pihak yang salah. Sebagaimana dikutip oleh Hans Kuhn, ia menyatakan Bila ini merupakan masalah mutlak mengenai kesejahteraan negara kita, maka janganlah kita menghiraukan keadilan, kerahiman atau kekejaman, pujian atau penghinaan, akan tetapi dengan menyisihkan semuanya menggunakan siasat apa saja yang menyelamatkan dan memelihara hidup negara kita itu (Hans Kohn, 1961, hal.17).

Pemimpin Italia, Mussolini (1883-1945) dengan ajaran fasisme semula sangat nasionalis, bahkan memutlakkan nasionalisme. Justru karena memutlakkan nasionalisme itulah kemudian berubah menjadi imperialisme yang bersifat tiada belas kasihan bahkan bersifat kebendan yang hebat terhadap nation (bangsa) yang lain. Nasionalisme, kata Barbara Ward, tidak dapat menghadapi masyarakat dunia modem sekarang ini yang berupa negara “yang hidup bèrdampingan dan ketergantungan ekonomi yang kuat” antara satu dengan yang lain. Nasiorialisme sempit juga memiliki sifat “tidak mengikutsertakan orang lain”. Dapat diambil kesimpulan, jika masing-masing nation (bangsa) begitu bersemangat jiwa nasionalisme chauvinist-nya peperangan antar nation tidak dapat dihindarkan. Keganasan perang dunia pertama dan kedua adalah sebagai akibat dari saling menuntut pengakuan dari pihak lain bahwa nasionnya (bangsanya) adalah yang paling berhak diunggulkan.

Nasionalisme Islami

Agama Islam tidak menyangkal adanya berbagal nation (bangsa). Juga tidak menyangkal adanya semangat mencintai bangsanya sendiri. Al-Quran menyatakan (artinya):

Sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah penciptaan langit dan bumi serta perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalak benar-benar sebagian tanda-tanda bagi orang yang mengetahui (QS. ar-Rum/30:22).

Ketika Rasulullah sedang melaksanakan hijrah dari Makkah ke Madinah, beliau mengucapkan tentang negeri Makkah yang ditinggalkan:

Artinya: Demi Allah aku tahu bahwa sesungguhnya engkau adalah negeri yang paling dicintai Allah dan yang paling aku cintai, sekiranya pendudukmu tidak mengusir aku keluar dari kamu, tidaklah aku keluar (dari kamu). (Abul-A’la al-Maududj, tt. Hal 31).

Jadi, Islam niengakui adanya nasionalisme sebagai pembawaan alamiah yang tidak dapat disingkirkan, yaitu adanya perbedaan bahasa dan warna kulit.

Tidak chauvinistis

Islam mengakui adanya nasionlisme, namun juga tidak menolak adanya kenyataan bahwa manusia adalah satu ummat. Al-Quran menyatakan (artinya):

Manusia itu adalah ummat yang satu (QS. al-Baqarah/2: 213).

Derajat yang sama pada berbagai nation (bangsa) ini dinyatakan oleh Rasulullah ketika berpidato perpisahan (Khutbatul-Wada’) di padang Arafah pada Haji Wada’:

Artinya: Hai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu, dan sesungguhnya bapak kalian adalah satu. Setiap kalian adalah dari Adam, sedang Adam dari tanah. Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang bukan Arab,. Tidak pula bagi orang bukan Arab atas orang Arab. Tidak pula bagi orang (berkulit) merah atas yang (berkulit) putih, tidak pula bagi yang (berkulit) putih.atas yang (berkulit) merah, kecuail (kelebihannya itu) dengan ketaqwàannya. Ketahuilah, bukankah (hal ini) telah aku sampaikan? Ya Allah, maka saksikanlah! Ketahuilah, hendaknya yang menyaksikan di antara kalian menyampaikan kepada yang tidak hadir. (Abdul-Wahid Waft, 1965, hal. 11).

Suatu saat, Rasulullah mendengar Abu Dzar al-Gifan marah-marah karena berbantahan dengan Bilal dan berkata: Hai anak perempuan hitam! Mendengar itu, Rasulullah marah dan membentak Abu Dzar dengan mengatakan: “Benar-benar keterlaluan. Benar-benar keterlaluan”.Dipandangnya Abu Dzar seraya bersabda:

Artinya : Sesungguhnya pada dirimu masih terdapat kejahilayahan. Tidak ada kelebihan bagi seorang anak dari perempuan (berkulit) putih atas anak dari perempuan (berkulit) hitam, kecuali dengan taqwa dan amal saleh.

Karena penyesalan atas kejahiliyahannya itu, Abu Dzar al-Gifari meletakkan pipinya pada tanah. Dia bersumpah dan meminta agar Bilal mau menginjakkan sepatunya pada pipinya, dengan harapan agar Allah mengampuni dosa ketergelinciran lidahnya, serta menghapuskan akhlaq jahlliyah yang terlanjur dia lakukan itu. Keadilan dan persamaan hak di kalangan manusia adalah merupakan cita-cita Islam. Islam tidak menghendaki adanya kezhaliman ditimpakan oleh suatu kelompok kepada kelompok yang lain. Maka Islam juga tidak perasaan nasionalisme dari suatu kelompok (bangsa) menekan pada nasionalisme bangsa yang lain. Islam mengharamkan pada setiap orang Islam berlaku ta’asub (fanatik kebangsaan). Sabda Nabi:

Artinya: Bukan dari golonganku orang yang mengundang ke arah fanatik kebangsaan (asabiyah), bukan dari golonganku orang yang berperang membela kefanatikan kebangsaan dan bukan dari golonganku orang yang mati membela kefanatikan kebangsaan. (riwayat Abu Dawud).

Dalam mengomentari sabda Nabi tersebut Dr. Yusuf al-Qardhawi menyatakan, bahwa tidak ada keistimewaan warna kulit manusia tertentu, tidak pula adanya jenis manusia tertentu. Tidak ada juga bagian bumi tertentu yang istimewa. Maka, tidak halal bagi seorang Muslim ta’asub (fanatik) pada suatu warna kulit tertentu terhadap warna kulit lainnya. Tidak halal untuk ta’asub pada bangsa tertentu terhadap bangsa yang lain. Selanjutnya dinyatakan:

Rasulullah, apakah asabiyah itu’ Beliau menjawab: Jika engkau menolong kaummu (bangsamu) atas dasar kezhaliman. (Riwayat Abu Dawud/Dr. Yusuf al-Qardhawi, tt. hal.237).

Jadi Islam tidak menghendaki timbulnya perasaan nasionalisme yang terjerumus kepada kezhaliman seperti yang tercermin dalam semboyan righ or wrong my country (benar atau salah pokoknya negeriku). Agar tidak memecah belah, menurut Hans Kohn, nasionalisme memang harus dilunakkan dengan semangat toleransi dan kompromi atau universalisme humaniter agama yang non politik! (Hans Kohn, 1961, hal.110).

0 komentar: