Suatu kali Nabi pernah besabda: “Di antara baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berarti”. Al-’Asqalani memasukkan ujaran Nabi ini pada bab az-Zuhd wa al Wara (Bersikap Zuhud dan hati-hati) hadits ke 391 dalam kitabnya Bulughul Maraam minAdillatil Ahkam. Perkataan itu merupakan panduan moral bagi kita yang mengaku Muslim saat hendak melakukan suatu pekerjaan. Allah melalui Rasul-Nya menghendaki agar saat kita berbuat sesuatu mempertimbangkan akibat-akibatnya, bermanfaat atau tidak, berarti atau tidak. Jika ya lakukan dan jika tidak tinggalkan.
Di lain tempat, konon katanya, Amerika menjadi negara maju setelah menjalankan prinsip-prinsip hidup yang diajarkan Pierce, William James. dan John Dewey. Suatu prinsip yang mengajarkan bahwa segala sesuatu harus dipertimbangkan berdasarkan konsekuensi praktisnya. Bila berguna, maka Ia benar dan tentu saja boleh terus dikerjakan. Sebaliknya, bila tidak memperlihatkan kegunaan praktis seharusnya ditingglakan karena dipandang tidak mengandung kebenaran.
Ajaran ini kemudian dikenal luas dengan istilah pragmatisme. Pencetus aliran ini adalah Pierce yang kemudian dipopulerkan oleh James yang seterusnya dikenal sebagai tokoh sentral aliran pragmatisme. John Dewey mengikutinya belakangan. Bagi James, kebenaran harus selalu bersangkutan dengan pengalaman dan konsekuensi praktis. Paling tidak ada tiga alasan. Pertama, kebenaran merupakan suatu postulat yang dapat ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman Kebenaran, inipun sekaligus dapat diuji dengan diskusi. Kedua, kebenaran merupakan suatu pernyataan tentang fakta. Dan ketiga, kebenaran merupakan generailsasi dari pernyataan fakta-fakta.
Menurutnya, pada dasarnya hanya idea yang berguna sajalah yang dianggap benar. Idea semacam itu yang semestinya membawa pada realitas. Idea yang tidak berguna tentu tidak akan menyampaikan pada realitas. ini bertentangan dengan kriteria kebenaran yang harus bersangkutan dengan realitas dan pengalaman Bisajadi kita akan bertanya tentang bagaimana sesuatu dikatakan berguna. Kegunaan sesuatu akan sangat relatif saat dikaitkan dengan kebutuhan-kebutuhan manusia yang beragam. Baju longgar bagi orang yang berbadan gemuk akan sangat berguna. Tapi tidak demikian halnya bagi orang yang berbadan kurus kering dan pendek. Untuk itu dapat kita perhatikan ukuran “kegunaan” dalam pragmatisme sebagaimana yang dipaparkan Dewey.
Situasi tempat manusia hidup, menurut Dewey, adalah situasi problematis. Situasi penuh soal yang harus selalu menuntut penyelesajan. Keadaan itu pada gilirannya mendorong manusia untuk berpikir guna memecahkannya. Tujuan dan tuntunan moral selalu mengiringi pemikiran itu. Pemikiran dan ide dikatakan benar bila dapat diterapkan dan dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumya. Suatu pikiran benar, bila dapat melakukan transformasi dalam situasi problematis. Alhasil, “berguna” dalam pragmatisme dilihat dari dapat tidaknya menyelesaikan problem yang menghimpit manusia setiap saat. Orientasi yang serba mengedepankan pengalaman dan penyelesaian problem-problem hidup ini kemudian diterapkan dalam perkembangan ilmu dan teknologi. Mengikuti logika pragmatisme, Iptek ternyata berkembang sedemikian pesat. Tak heran bila kemudian Amerika menjelma menjadi pusat peradaban dunia. Negara-negara lain pun perlahan banyak yang ingin mengekor keberhasilan Amerika, tak terkecuali Indonesia.
Entah pada satu sisi pragmatisme mengandung kebenaran, atau hanya suatu kebetulan saja. Hadits yang disebutkan di awal tuilsan ini dan beberapa argumen yang akan dikemukakan berikut hampir saja membuat kita berkesimpulan bahwa pragmatisme adalah salah satu ajaran Islam, bila kita tidak menelusurinya sampai pada pokok pemikirannya yang paling fundamental. Pada praktiknya banyak logika-logika pragmatisme yang sepadan dengan logika-logika yang dibangun dalam ajaran Islam, Baik akan kita lihat beberapa lógika dalam ajaran Islam yang menunjukkan kesepadanan itu. Pertama, dalam hadits di atas nabi dengan tegas mengatakan bahwa seorang Muslim yang dikatakan baik dalam ke-Islamannya adalah yang sanggup meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat. Ujaran Nabi ini terlihat hampir menyerupai pragmatisme yang begitu keras menolak pekerjaan-pekerjaan tidak berguna yang dianggap sebagai ketidakbenaran. Kedua, dalam kajian ushul fiqh (ilmu tentang metode hukum Islam) dikenal salah satu kajian tentang maksud umum disyari’atkannya hukum-hukum Islam. Disebutkan bahwa tujuan utama syari’at Islam adalah untuk mewujudkan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat dan menjauhkannya dari segala bahaya. Prof. Abdul Wahhab Khallaf menulis: “Sesungguhnya maksud umum pembuat syari’at (Allah swt) (mensyari’atkan hukum adalah untuk mewujudkan kesejahteraan manusia di dunia ini dengan mengadakan segala yang bermanfaat dan mengenyahkan segala yang berbahaya dari mereka”. (Ilmu Ushulil fiqhi. 1978:198).
Kaidah pokok ini kemudian diturunkan pada kaidah-kaidah hukum yang lebih teknis untuk dijadikan pedoman pada saat memutuskan hukum suatu perbuatan. Salah satu umpamanya adalah kaidah tasharruful iman manuthun bil maslahati (perbuatan pemimpin harus dikaitkan dengan kemaslahatan), dar’ul mafaasid muqaddamun ‘ala jalbil mashaalih (meninggalkan bahaya harus didahulukan daripada mendatangkan maslahat), adhdhararu yuzalu (bahaya harus dihilangkan), dan sebagainya.
Dua argumen di atas menunjukkan pada kita bahwa Islam pun mengajarkan pendekatan pragmatis ketika hendak mengerjakan sesuatu. Pertimbangan maslahat atau tidak, manfaat dan tidak dijadikan salah satu landasan pokok dalam berbuat. Islam sekalipun agama langit. tetap memperhatikan realitas kemanusiaan karena Islam diciptakan untuk manusia, bukan manusia diciptakan untuk Islam. Pada sisi praktis inilah kita menemukan kesamaan logika antara pragmatisme dengan Islam.
Namun demikian, kita tentu saja tidak bisa lantas menggeneralisasi bahwa Islam sama dengan pragmatisme atau sebaliknya. Tidak bisa pula kita lantas mengatakan bahwa pendekatan pada realitas manusia secara pragmatis dalam ajaran Islam adalah pragmatisme Islam. Islam adalah Islam, pragmatisme ada pada tempat yang lain. Ada fundamental berbeda yang menjadi sandaran masing-masing hingga membuat keduanya berbeda. Pendekatan pragrnatis dalam Islam (selanjutnya disebut Islam saja) mendasarkan diri pada Tuhan yang kata-katanya diwujudkan dalam wahyu (teosentris). Sementara pragmatisme mentahbiskan diri sebagai penyokong antrophosentrisme yang mengingkari keberadaan Tuhan di tengah-tengah kehidupan manusia. Manusia dianggap sebagai penentu perbuatannya sendiri sehingga pertimbangan yang digunakan sepenuhnya berdasarkan keinginan dan kenyataan hidup manusia yang tertangkap oleh pengetahuannya.
Kedua pijakan dasar yang berbeda itu kemudian menjelmakan perbedaan dalam menentukan nilai guna. Pragmatisme menentukan nilai guna berdasarkan pertimbangan fisik material semata dan berdasarkan kebutuhan manusia sejauh yang dapat terindra, terpikirkan, dan terjangkau oleh kemampuan manusia. Padahal inilah kritik yang patut kita lontarkan karena pengetahuan manusia terhadap diri dan lingkungannya amatlah. relatif dan terbatas. Hingga tidak mustahil kriteria kegunaan akan selalu berubah-ubah dan bahkan tidak memiliki prinsip yang jelas. Karena pengetahuan yang relatif itu pula, kegunaan dalam satu kepala orang bisa jadi tidak berguna dalam kepala orang lain. Dalam keadaan demikian ukuran-ukuran nilai guna tak akan pernah menyelesaikan masalah.
Dalam Islam kritenia kegunaan tidak sepenuhnya di dasarkan pada pertimbangan manusia dan materi. Islam mengikutkan pula visi ketuhanan dalam menentukan kritenia nilai guna. “Sesungguhnya maksud yang pokok dan syari’at adalah mewujudkan kemaslahatan hamba dan menjaga kemaslahatan-kemaslahatan itu agar tetap ada, serta menjauhkan segala bahaya dari mereka. Tapi, kemaslahatan ini bukan yang dilihat maslahat dan memberikan manfaat oleh hawa nafsu manusia. Kemaslahatan ini adalah kemaslahatan menurut timbangan syari’at, bukan timbangan hawa dan syahwat”, demikian tulis Dr. Abdul Karim Zaidan dalam al-Wajiiz (1996 : 378).
Menyertakan visi ketuhanan dalam mempertimbangkan nilai guna tidak berarti berdasarkan nilai guna pada teks wahyu (nash) secara kaku karena pada praktiknya banyak hal yang tidak secara rinci dinilai baik dan bermanfaat oleh nash. Dengan visi dan ketuhanan ini manusia dituntut menemukan nilai guna dan manfaat didasankan pada isyarat-isyarat nash. Cara penilaian secara rinci dan lengkap dituangkan oleh para ulama dalam ilmu fiqh dan metode-metodenya.
Pendekatan semacam ini memiliki dua kelebihan. Pertama, kritenia nilai guna akan ditemukan secara mantap dan pasti karena menyertakan pengetahuan Tuhan yang menciptakan kebutuhan-kebutuhan manusia. Manusia tidak akan selalu dibingungkan dengan pertanyaan-pertanyaan mana yang bermanfaat dan mana yang tidak karena relativitas dan berubah-ubahnya pengetahuan manusia. Bersamaan dengan itu, kreativitas pikir manusia pun tidak dipasung dalam kerangkeng nash karena akal manusia masih diberikan tempat sesuai dengan porsinya. Kedua, pekerjaan manusia yang mendasarkan diri pada prinsip ini akan memiliki nilai-nilai spiritual transendental yang selama ini sangat dirindukan oleh dunia modern. Pendekatan materialistik pada akhirnya menyisakan kenestapaan spiritual seperti yang dialami oleh orang-orang modern di Barat. Kekeringan semacam ini bukan malah menyelesaikan masalah, tapi sebaliknya menambah masalah semakin rumit dan kompleks. Dewey menghendaki sesuatu yang bermanfaat adalah. yang dapat mentransformasi problem-prolem kemanusiaan, maka masalahnya adalah kemana transformasi itu hendak diarahkan. Islam sebagai pijakan moral, dengan visi ketuhanannya menjawab masalah itu. Transformasi hendaknya diarahkan untuk mewujudkan nilai-nilai yang diajarkan Tuhan melalui wahyu kepada para utusan-Nya. Dengan begitu, orientasi pragmatis dalam pekerjaan-pekeriaan kita akan memiliki kejelasan makna dan arah capaian. Kemajuan akan dicapai tanpa mengabaikan ekslstensi manusia sebagai manusia yang diciptakan Allah sebagai makhluk termulia. Wallahu a’ lamu bish-shawwab.
0 komentar: