Minggu, 05 Februari 2017



 Dalam Pandangan Ibnu Taimiyah Dan Hasan Al Banna 

Tawassul (mengambil perantara) adalah sebuah tema aqidah yang banyak dibahas oleh berbagai kalangan yang luas sepanjang sejarah urnmat ini. Muncul banyak pendapat yang kemudian melahirkan pemahaman yang beragam mengenai permasalahan ini. Bahkan sebagian di antaranya sempat memacu pertentangan dan perpecahan diantara mereka.
Untuk itu, tulisan ini dikemukakan bukan dalam rangka memperuncing permasalahan tétapi sebaliknya untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. Di sini akan ditampilkan dua pendapat dan dua orang ulama besar yang hidup pada kurun yang jauh berselang. Yakni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imarn Syahid Hasan al-Banna. Dengan memadukan pendapat di antara keduanya, kapasitas keilmuannya tidak dipertanyakan lagi, kiranya akan dapat mewakili dan cukup representatif untuk diikuti, atau paling tidak disimak sebagai masukan bagi semua pihak yang menaruh perhatian terhadap topik ini.

Pembatasan Masalah

Untuk lebih memfokuskan pembahasan, tawassul yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah tawassulnya para ahli ilmu (Ulama, dan bukan juhala) dengan Nabi saw. Itupun dibatasi dengan pengertian: bertawassul kepada Allah dengan dzat (din) Nabi atau meminta kepada-Nya dengan jaah (kehormatannya). Termasuk pula dengan orang-orang shalih. Lebih konkritnya, seperti berikut inilah kira-kira pertanyaan yang hendak kita cari jawabnya. Bagaimana hukum dan ucapan “Ya Allah, kami memohon kepada-Mu dengan jaah Nabi-Mu atau dzatnya agar Engkau melakukan?.

Pendapat Syaikhul Islam

Syaikhul Islam menganggap bahwa persoalan ini adalah persoalan khilafiyah ijtihadiyah. Beliau berkata:
“……..sekelompok orang mernbolehkan tawassul dengan Nabi Saw. sementara yang lain melarangnya, Sementara apabila yang dimaksud oleh orang yang tertawassul itu tawassul dengan keimanan, cinta, kesetiaan dan ketaatan kepadanya. maka tidak ada perbedaan pendapat di antara kedua kelompok. Namun bila yang dimaksudadalah tawassul dengan dzatnya. inilah titik persoalan. Dan apa saja yang dimasalahkan hendaknya dikernbalikan kepada. Allah dan Rasul-Nya. (M.Fatawa, j.l hal.264). Sangatlah jelas dari penjelasan beliau tersebut, bahwa masalah ini adalah masalah khilafiyah ijtihadiyah. Dengan demikian termasuk masalah furu’iyah yang tidak boleh melahirkan pertikaian karenanya. apalagi perpecahan. Sebagaimana penjelasan beliau:
Adapun pembagian ketiga dan apa yang dianamakan tawassul itu adalah permohonan kepada Allah dengan perantaraan para Nabi dan orang-orang shalih. maka tidak seorangpun dapat menukilkan keterangan yang jelas dari Nabi saw. baik permohonan dengan perantaraan diriya maupun orang lain. Kalau para ulama memang ada yang membicarakan dan telah ada keterangan lebih dari satu orang bahwa hal tersebut terlarang. Jadilah ia masalah Ithilafiyah seperti keterangan sebelum ini. Semua pertentangan hendaknya dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. dan masing-masing menunjukkan hujjah yang terang Kaum Muslimin telah bersepakat bahwa ini bukan masaiah yang bisa di-iqab (dijatuhi sangsi hukum), bahkan orang yang memberi sangsi karenanya termasuk orang yang melampaui batas. Jahil dan zhalim. Mereka yang mengatakan seperti ini, telah mengatakan apa yang dikatakan ulama. Dan mereka yang mengingkarinya tidak memiliki dalil yang pantas diikuti. Tidak dari nabi, tidak pula dari kalangan shahabat”. (M. Fatawa.j.l hal.285-286).

Dan keterangan Syaikhul Islam di atas, setidaknya ada tiga poin yang perlu digaris bawahi:

1. Tawassul kepada Nabi dan orang shalih adalah masalah khilafiyah ijtihadiyah.

2. Tidak ada dalil qath’i yang memperbolehkan ataupun melarangnya.

3. Kaum Muslimin sepakat bahwa masalah ini tidak mendatangkan iqab.

Selanjutnya, Syaikhul Islam menjelaskan bahwa khilaf dalam rnasalah ini tidak serta merta menjadikan salah satu pihak menjadi kafir. Beliau berkata: Di dalam memahami pèrrnasalahan ini. orang-orang terbagi menjadi dua kelompok: Pertama, tawassul yang dimaksud adalah tawassul dengan do’a ketika hidupnya Nabi, tidak lebih dari itu. Kedua, yang berpendapat bahwa tawassul dibolehkan ketika hidupnya maupun setelah wafatnya. Tidak seorangpun berhak memvonis bahwa orang yang berpendapat dengan pendapat kedua telah kufur. Tidak ada satupun alasan untuk itu. Masalah ini sangat samar dan tidak ditemukan dalil yang tegas. Kékufuran hanyalah bisa dituduhkan kepada orang-orang yang mengingkari masalah-mäsalah pokok agama atau mengingkari hukum yang mutawatir dan telah disepakati ulama…..

Syaikh Izzuddin bin Abdis Salam pernah berkata tentang bolehnya tawassul dengan Nabi saw. Bahkan orang yang mengafirkan pendapat ini berhak mendapatkan sangsi berat sebagaimana para pendusta agama. (M. Fatawa j.l. hal.106). Lantas, bagaimana pendapat beliau sendiri mengenai tawassul jenis yang kedua di atas? Kata beliau “Menurut saya. tawassul model seperti ini tidak diperbolehkan, dengan tetap berkeyakinan bahwa masalah ini adalah masalah ijtihadiyah”. Untuk pendapat ini beliau telah menulis banyak risalah yang sarat dengan hujjah, sekaligus memberi kritikan dan masukan kepada pendapat yang berlawanan.
Sedañgkan mengenai sikap terhadap pihak-pihak yang berbeda pendapat dengan beliau, Syaikh mengungkapkan “Saya memang mempunyai pendapat. Akan tetapi saya tidak ingin memaksakan pendapatku pada mereka dan saya tidak memberikan sangsi pada mereka, apalagi memvonis dengan kekufuran atau syirik”.

Pendapat Imam Syahid

Imam Syahid menjelaskan bahwa masalah ini merupakan khilafiyah far‘iyah sebagaimana lazimnya masalah lain yang tidak punya landasan qath’i. Maka dari itu, dia tidak sampai merusak aqidah orang-orang yang berbeda pendapat. Dia bukan pula termasuk pembahasan aqidah yang pokok dan berdimensi ushul.

“Do’a. apabila disertai dengan tawassul kepada Allah dengan salah satu makhluq-Nya adalah kbilaf furu’ dalam tata cara berdo’a dan bukan persoalan aqidah”. (M. RasaiL al-Aqidah. hal.270). Do’a sebagaimana ibadah pada umumnya, memiliki cakupan yang luas. Ia memiliki ushul yang telah disepakati yang sifatnya yaqiniyah dan qathiyah. yang barangsiapa melanggarnya maka telah rusak aqidahnya. Namun ia juga merniliki persoalan furu’ yang masih memungkinkan adanya ijtihad dan adanya tukar pendapat untuk kemudian diambil keputusan dan pendapat yang terkuat. Persoalan dasarnya adalah bagaimana seseorang menghadap Allah dengan do’a dan perrnohonan. Orang yang menggunakan wasilah jaah seseorang itupun pada hakekatnya tetap menghadap hanya kepada Allah dengan permohonan dan do’anya tersebut. Sepanjang niatnya lurus hanya kepada Allah, selanjutnya masalah cara dan gaya adalah masalah ijtihadiyah fañyah. Dernikianlah, keduá Imam telah berpadu pendapat dalam masalah tawassul ini. Sekali lagi, segala pendapat di atas dikemukakan dalam kerangka pengertian tawassul yang telah dibatasi di awal tulisan ini.

Celaan Dan Bantahannya

Terkadang ada di antara kita yang mengatakan: ‘Ucapan kedua Imam yang menganggap masalah ini sebagai masalah khilaf far’i adalah ucapan yang tidak tegas dan menyebabkan munculnya tasahul (menganggap ringan) untuk kemudian tergelincir”. Apa sebenarnya yang dimaksud sebagai ucapan yang tidak tegas? Masalah ini memang bukan masalah qath’i. disebabkan tidak adanya dalil yang mengharuskan kita mengatakan secara tegas, “boleh atau tidak boleh” sebagaimana telah dijelaskan Syaikhul Islam. Adapun Imam Syahid, dengan membebaskan hakekat masalah ini dan mengatakannya sebagai masalah furu’, beliau telah merédakan banyak pertikaian dan permusuhan. Beliau telah menghimpun hati yang cerai berai dengan fadhilah-Nya. Ketahuilah wahai saudara, pertentangan anda dan beribu-ribu orang semisal anda adalah disebabkan ketidak fahaman kita akan ma’na àqidah. Kecuali bahwa ia adalah suatu perkara yang di dalamnya hanya ada masalah ushul saja, sehingga bila berbeda pendapat dengan prinsip yang anda yakini, lantas, dicap sebagai kufur. syirik, bid’ah, dhalal dan sebagainya. Anda tidak pernah tahu bahwa di dalamnya ada juga masalah ijtihadiyah dan furu’iyah.
Yang demikian ini bukanlah manhaj salafush shalih. Dia adàlah manhaj ahli ilmu kalam yang tercela dan ahli hawa nafsu sebagaimana dijelaskan Syaikhul Islam. Adapun manhaj salafush shalih adalah: membagi masalah aqidah kepada ushul dan furu, ataupun qàth’i dan zhanni. Atas dasar itulah para ulama membenarkan ijtihad dalam masalah furu’nya. Bagi setiap mujtahid ada pahala sesuai dengan usaha masing-masing.

Ketika Imam Syahid menjelaskan bahwa masalah ini sebagai ijtihadiyah far’iyah, beliau memaksudkan tawassul dalam ma’na yang terbatas. Yakni menghadap semata-mata kepada Allah dengan do’a dan permohonan melalui perantaraan jaah atau dzat si Fulan. Bukan menghadap dan mengharap pemberian si Fulan yang sudah mati itu, sebagaimana banyak orang awam telah memahami demikian. Menganai do’a dan permohonan kepada orang sudah rnati, Imam Syàhid telah sangat tegas mengungkapkan pendapatnya dengan menganggapnya sebagai dosa besar yang Wajib diperangi. Bahkan tidak boleh ditakwil sekalipun, agar tidak membuka jalan penyelewengan yang lebih jauh. Mengnai hal ini, kembalilah anda pada ucapa baliau dalam bukunya Majmu’ah Fasail pada sub judul Tid ak ada isti’ana dengan ahli kubur.. Alhasil munculnya perselisihan berkepanjangan selama ini lebih disebabkan karena kekurang fahaman kita terhadap hakekat masalah. Kalau terjadi lagi yang demikian, hendaklah kita kembalikan persoalan kepada ahli ilmu. Akhirnya, kita bermohon pada Allah petunjuk dan ampunan, dan semoga Dia merahmati kedua imam.
Diadaptasi dari buku Ma’an Ala Thariqidda’wah,
Syaikul Islam Ibnu Taimiyah Wal Iman Asy-Syahid Hasan Al-Banna

0 komentar: