Krisis dalam berbagai bidang (multi dimensional) yang melanda jutaan
anak cucu Adam di negeri kita ini belum ada tanda-tanda yang menunjukkan
mau mereda. Berbagai tindak kezhaliman, kekerasan dan kekacauan, masih
saja terjadi di mana-mana. Bahkan kemaksiatan dan yang mengundang
kebejatan moral dan kebebasan seksual. justru Semakin menjadi-jadi,
bertambah “berani”. Perhatikan tayangan iklan dan acara hiburan serta
nyanyian di berbagai TV yang tentu disertai dengan tari-tarian.
dansa-dansa dan gerakan-gerakan seksi yang sengaja merangsang dan
menantang. Foto model di berbagai cover majalah, yang semakin “jorok dan
mencolok”, nampaknya sudah tidak lagi menjadi masalah. Artinya, sudah
dianggap wajar dan absah. Belum lagi persoalan ganja dan narkoba. yang
terus merajalela. nyaris tanpa kendala. menggempur dan meninabobokan
masa depan kaum remaja dan kawula muda. Sungguh amat jelas, dan tidak
perlu diragukan lagi. bahwa gerbong “Kereta Api” yang sedang dinaiki
jutaan anak bangsa ini sedang menuju ke jalur yang amat berbahaya
kejurang malapetaka penuh bencana, Mungkinkah KA yang sarat dengan
jutaan penumpang itu masih bisa diselamatkan? Apa yang harus dilakukan
dan bagaimana jalan yang harus ditempuh untuk menyelamatkan mereka? mari
kita simak Firman Allah swt berikut :
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَاب
Artinya: Hendaklah kamu waspada terhadap suatu fitnah (bencana) yang
tidak secara khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu,
Dan ketahuilah, sesungguhnya Allah Itu amat dahsyat siksaan-Nya. (QS. al-Anfal/8: 25).
Firman Allah yang tercantum dalam surah al-Anfal di atas sebenamya
merupakan “sinyal” yang harus diperhatikan dan diwaspadai, khususnya
bagi para masinis (juru mudi) KA, yang tiada lain adalah. para penguasa,
pejabat dan kaum elit di negeri ini. Karena di tangan merekalah kendali
perjalanan gerbong-gerbong” negeri ini. Merekalah yang paling
bertanggungjawab atas keselamatan bangsa ini. Dan merekalah yang
berwenang untuk memenej berbagai potensi dan sumber kekayaan negeri ini
untuk kesejahteraan segenap warga bangsa negeri ini.
Jabatan dan kedudukan. bagi seorang Muslim, sebenarnya merupakan “amanah
ilahiyah” (QS. Ali Imran’3: 26). Karnanya, harus diemban secara jujur
dan penuh tanggungjawab. Bisa saja, bahkan tidak sedikit, pejabat dan
penguasa yang main mata terhadap rakyat dan bangsanya. Tapi, bisakah
mereka hendak “main mata” dengan Allah swt., Yang Maha Melihat dan Maha
Mengetahui? Karena itu, Umar bin Abdul Aziz ketika mengetahui dirinya
terpilih sebagai khalifah, bukannya mengucapkan “alhamdulillah” sebagai
tanda bersyukur, tapi dia justru ber-istirja’ (mengucapkan “inna lillah wa inna ilaihi raaji’un”)
sebagai tanda kesedihan yang mendalam Karena beliau sadar benar, bahwa
jabatan dan kedudukan itu suatu amanah yang berat, yang harus
dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah swt. Meski demikian tidak
salah juga orang yang menilai jabatan dan kedudukan itu sebagai suatu
ni’mat. Asal disyukurinya secara benar, yaitu adil dan proporsional.
Nabiyullah Sulaiman, ketika memperoleh berbagai anugerah dari Allah antara lain diangkat sebagai utusan Allah dan sekaligus sebagai seorang peguasa atau raja, beliau lantas berdoa:
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ
وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي
بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ
Dalam doa Nabiyullah Sulaiman tersebut, ada isyarat bahwa inti mensyukuri karunia atau anugerah Allah adalah mendayagunakan karunia itu secara adil, proporsional, sesuai dengan fungsinya dan mengikuti petunjuk Sang Pemberinya. Dengan demikian diharapkan karunia tersebut mampu meningkatkan kualitas maupun kuantitas amal saleh yang diridhai-Nya. Dan pada gilirannya, yang bersangkutan pun otomatis akan masuk pada golongan hamba-hamba yang saleh.
Di antara fungsi utama jabatan atau kekuasaan adalah, untuk mensejahterakan segenap rakyat atau anak bangsa di negeri ini. Al-Islam memberi petunjuk, bahwa prasyarat bagi terwujudnya kesejahteraan suatu bangsa adalah beriman dan bertaqwa kepada Allah swt., sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam surah al-A’raf:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ
بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا
فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Beriman kepada Allah swt., bukan sekedar mempercayai dan mengakui keberadaan Allah dengan segala kekuasaan dan kebesaran-Nya. Tapi juga harus dlikuti dengan sikap patuh dan tunduk kepada-Nya. dengan menjunjung tinggi segenap petunjuk dan syariat-Nya. menjalankan segenap perintah-Nya serta menjauhi segenap larangan-Nya. Jadi, inti dari beriman kepada Allah swt. adalah patuh dan tunduk kepada.Nya. dengan menjadikan al-Islam dengan segala syariatnya sebagai pedoman, tuntunan dan petunjuknya. Karena itu. Allah swt. mengingatkan dalam firmanya:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Pernyataan yang senada dengan ayat tersebut, amat banyak dalam al-Quran. Karena hal itu, memang menyangkut persoalan yang amat penting dan mendasar berkaitan dengan soal keimanan kepada Allah swt. Artinya. bahwa antara keimanan dan syariat Islam tidak bisa dipisah-pisahkan. Keduanya merupakan kesatuan yang utuh. bagaikan akar dengan batang pohon dari sebuah pohon yang kokoh. Islam bukan sekedar suatu keyakinan. kepercayaan atau keimanan belaka. tapi juga suatu sistem kehidupan yang lengkap dan sempurna, yang harus diwujudkan dalam kehidupa\n nyata. Suatu riwayat menyatakan:
Artinya: Keimanan itu bukanlah sekedar khayalan atau imajinasi, dan bukan pula hiasan bibir (pernyataan), tetapi suatu aqidah yang tertanam kokoh dalam kalbu dan dibukktikan dengan perbuatan nyata.
Karena itu prasyarat, bagi terwujudnya kesejahteraan bagi suatu bangsa sebagaimana yang dinyatakan dalam firman-Nya, al-Araf 96, tadi, di samping beriman kepada Allah, juga bertaqwa kepada-Nya. Di samping patuh dan tunduk dalam menjalankan syariat-Nya, juga harus didasari taqwa. Yaitu. sikap istiqamah, konsekuen dan konsisten dalam menjalakan syariat-Nya, demi mendambakan keridhaan-Nya semata.
Program Syari’at Islam
Di samping dua prasyarat tadi. yaitu beriman dan bertaqwa. perlu juga difahami sebagai perangkat operasionalnya. adalah program syariat Islam. Sebab, kesejahteraan yang dijanjikan oleb Allah swt. itu tidak akan begitu saja turun dari langit, tanpa upaya dan perjuangan kita. Dan agar upaya dari perjuangan kita itu mencapai sasaran dan diridhai-Nya. maka syariat Islam harus menjadi petunjuk pelaksanaannya.
Program utama dari Syariat islam itu tidak lain adalah tegaknya ma’rufat dan pupusnya mungkarat dalam segenap sektor kehidupan manusia. baik secara individual maupun sosial. Ma’rufat adalah sebutan dari segala bentuk kebaikan yang mendatangkan mashlahat (kebahagiaan) dan sesuai dengan thabiat serta hati nurani manusia. Sementara mungkarat adalah sebutan bagi segala bentuk keburukan maupun kejahatan yang mengakibatkan kemudharatan (kerugian) dan bertentangan dengan thabiat serta hati nurani manusia.
Syariat Islam, sesuai dengan karakternya yang lengkap dan sempurna. tidak hanya menyodorkan daftar ma’rufat yang harus ditegakkan maupun mungkarat yang harus ditinggalkan. tapi juga menggariskan seluruh program itu sedemikian rupa sehingga segala bentuk ma’rufat bisa tumbuh dan berkembang secara subur di berbagai sektor kehidupan. Sementara di sisi lain, segala bentuk mungkarat bisa ditekan sedemikian rupa sehingga lenyap dari berbagai sektor kehidupan. Bahkan lebih dari itu, Syariat Islam juga memasukkan dalam program itu faktor-faktor ataupun pranata-pranata yang di satu sisi bisa mendorong pertumbuhan segala bentuk ma’rufat, dan di sisi lain dapat mengikis habis mungkarat.
Hukum potong tangan bagi koruptor, dera atau rajam bagi orang yang zina, dan qishash bagi tindak pidana pisik, yang sering dijadikan “momok “ oleh pihak-pihak tertentu yang anti Syariat Islam sebenamya hanya merupakan bagian kecil dari pranata-pranata tersebut, dalam upaya menumpas mungkarat. Dengan secara vulgar. tidak jujur, tidak jujur, dan terlalu mengada-ada pihak yang anti Syari’at itu mengekspos dan mempropagandakannya sehingga terkesan Syari’ at Islam ini kejam, sadis dan tidak humanis. Kiranya perlu ditunggu apa komentar mereka terhadap fenomena yang terjadi di negeri kita dewasa ini dengan tindakan massa yang main hakim sendiri, pengeroyokan, pembunuhan dan pembakaran terhadap pencuri seekor ayam?
Syariat Islam dengan segenap pranatanya tidak akan semena-mena dalam memvonis para tindak pidana. Dan lebih dari itu. Syariat Islam lebih mengutamakan upaya..upaya preventil dengan menutup rapat-rapat segala pintu mungkarat, dan membuka lebar-lebar segala pintu bagi tumbuhnya ma’rufat. Di sinilah para pejabat dan penguasa (yang mengaku Muslim) bisa memainkan peranannya dengan segala tanggungjawabnya. sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ
“Segolongan umat” yang dimaksud dalam Ayat tersebut utamanya tertuju kepada pihak pejabat dan penguasa, karena ditangan merekalah kendali “gerbong-gerbong” KA dari bangsa ini, dengan segala wewenang dan berbagai potensi dan fasilitasnya. Langkah awal, mereka harus menyadarkan kaum Muslimin yang mayoritas di negeri ini benar-benar untuk menjadi Mu’min sejati dan bertaqwa kepada-Nya. Pembinaan SDM yang dilandasi imtaq (imam dan taqwa) dan imtek (ilmu dan teknologi) harus benar-benar bisa diwujudkan. Segala pintu mungkarat segera ditutup rapat-rapat, sehingga masyarakat bersih dari berbagai kezhaliman dan kejahatan. Dan berbarengan dengan itu, segala pintu ma’rufat dibuka lebar-lebar, sehingga masyarakat bisa tumbuh dan berkembang ke arah kemajuan dan keluhuran. Dengan demikian, janji Allah pun menjadi kenyataan, pintu-pintu berkah akan dilimpahkan baik dari langit maupun dari bumi.
Sebagai “Khairu Ummah”, setiap Muslim tidak boleh tinggal diam, berpangku tangan, apalagi menjegal dari belakang. Mereka wajib berpartisipasi dalam usaha besar, menyelamatkan bangsa ini dari bencana kehancuran, Sesuai dengan posisi dan kapasitasnya masing-masing,sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّه
Bencana Kolektif
Jika kondisi bangsa yang sedang terpuruk ini terus dibiarkan, jika gerbong-gerbong KA yang sarat jutaan anak bangsa ini tidak dibelokkan arahnya, maka tidak mustahil “bencana kolektif” akan melanda bangsa ini. Lebih-lebih bila para penguasa dan kaum elit terus mementingkan dan memperkaya diri. Peringatan Allah:
وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا
فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا
Kasus yang pernah dialami umat-umat terdahulu, mulai dari kaum Nabi Nuh, Hud, Shaleh sampai kepada Bani Israil, kaum Nabi Musa, yang pernah dilanda “bencana kolektif” itu hendaknya kita jadikan ibrah, pelajarañ.
0 komentar: