Dalam suatu Majlis yang dihadiri sejumlah sahabat, antara lain ‘Adie bin Haatim, yang pernah menjadi penganut Nashrani, saat itu, Sang Ustadz yang tiada lain adalah Rasulullah saw. sendiri antara lain membacakan firman Allah yang terdapat dalam surah at-Taubah/9: 31, yang artinya sebagai berikut:
“Mereka (Ahli Kitab) menjadikan orang-orang alim (pastur-pastur) mereka dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan) selain Allah, dan (demikian pula terhadap) al-Masih putera Maryam, padahal mereka tidak disuruh melainkan hanya untuk beribadah (menyembah) kepada Ilah Yang Esa (Allah swt). (Karena memang) tiada satupun ilah (yang sebenamya) selain Dia. Maha Suci Dia (Allah) dari segala apa yang mereka persekutukan”. (QS. at -Taubah 9:31).
Mendengar firman Allah yang dibacakan oleh Rasulullah saw. tersebut, ‘Adie bin Haatim, yang pernah menjadi penganut Nashrani itu segera menuturkan pengalamannya kepada baginda Rasul: “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu ketika masih menjadi penganut Nashrani, tidak pernah menjadikan para pemuka (pastur-pastur) kami sebagai rabb-rabb kami. Kami tidak pernah menyembah mereka!” Rasul pun lalu menjelaskan dengan diawali melontarkan pertanyaan kepada ‘Adie bin Haatim terlebih dahulu: “Bukankah ketika para pastur menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah, lalu kalian ikut menghalalkannya? Demikian pula di saat mereka mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah, lalu kalian ikut menghindarinya?” ‘Adie menjawab: “Benar, kami memang mengikuti apa yang dihalalkan dan diharamkan oleh para pemuka kami!” Rasulullah saw. pun bersabda: “Nah, itulah namanya kalian telah menjadikan para pastur itu sebagai rabb-rabb selain Allah. Dan juga berarti, kalian telah beribadah kepada mereka!” (HR. Tirmidzi).
Dalam Mukhtashar Tafsir lbnu Katsir dituturkan, bahwa saat itu ‘Adie bin Haatim belum secara resmi menyatakan diri masuk Islam, bahkan ketika menemui Rasul, di lehernya masih melingkar kalung salib. Ketika Rasul membacakan Ayat tersebut (at-Taubah 31), lalu ‘Adie mengatakan: “Ya Rasulullah, sesungguhnya mereka (kaum Nashrani) tidak mengibadahi para pemuka mereka!” Kemudian Rasul menjawab: “Benar, namun ketika para pemuka mereka mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh-Nya, mereka mengikutinya. Nah itulah namanya mereka telah beribadah kepada para pemukanya”. Selanjutnya Rasul bertanya: “Ya ‘Adie, bagaimana pendapatmu, adakah Anda berkeberatan jika dikatakan Allah itu Maha Besar? Tahukah Anda, siapa gerangan yang lebih besar dan pada Allah? Berkeberatankah Anda bila dikatakan “Tiada satupun ilah yang sebenarnya selain Allah?” Tahukah Anda, ilah (sesembahan) yang sebenarnya selain Allah?” Mendengar penjelasan Rasul tersebut, lalu ‘Adie dengan gembira mengucapkan syahadat, menyatakan diri masuk Islam. Kemudian Rasul menegaskan: “Sesungguhnya kaum Yahudi dimurkai oleh Allah, dan kaum Nashrani adalah sesat”. Hudzaifah ibnul Yaman, Abdullah bin Abbas dan sejumlah sahabat lainnya juga menyatakan, bahwa Ayat tersebut menginformasikan ihwal kaum Yahudi dan Nashrani yang telah mempersekutukan Allah, karena mereka mematuhi para pemuka mereka dalam soal menghalalkan dan mengharamkan sesuatu, padahal soal penghalalan dan pengharaman sesuatu itu menjadi otoritas Allah swt. Karena itu, di ujung Ayat tesebut Allah pun kemudian menegaskan “Padahal mereka tidak disuruh melainkan hanya untuk beriadah (patuh) kepada Ilah Yang Maha Esa. Tiada satupun ilah (yang sebenamya) selain Dia. Maha Suci Dia dari segala apa yang mereka sekutukan”. (QS. 9.’ 31),
Otoritas Allah
Ada petunjuk dari Ayat dan penjelasan Rasul tersebut, bahwa tasyri’ (membuat syari’at, undang-undang atau hukum) untuk mengatur kehidupan manusia di jagat raya ini adalah mutlak menjadi otontas Allah swt., karena hanya Dia-lah Yang Rabbul ‘Alamin. Manusia, siapapun dia, apapun kedudukan dan jabatannya, tidak lebih hanyalh sebagai titah-Nya. Karena itu, baik secara individu maupun kelembagan (semisal MPR, umpamanya) tidaklah berhak untuk membuat syari‘at (undang-undang atau hukum). Yaitu, menetapkan sesuatu itu halal atau haram, sepanjang tidak ada perkenan dan idzin dari pada-Nya. Dan sudut pandang ‘Aqidah, seseorang atau suatu lembaga yanq membuat undang-undang, aturan atau ketetapan yang berlawanan dengari syari’at Allah (menghalalkan sesuatu yang dihiramkan oleh Allah atau menghammkan sesuatu yang dihalalkan oleh-Nya, secara sadar ataupun tidak, berarti dia telah menempatkan dirinya sekedudukan dengan Allah swt. Bahkan menurut Dr. Daud Rasyid, MA, “mereka telah merampas wewenang Allah swt” (Sabili, No. 15Th. IX/25 Januari 2002).
“Adakah mereka mempunyai sekutu-sekutu (bagi Allah) yang membuat syari ‘at untuk mereka berupa agama (pedoman dan aturan hidup), tanpa idzin Allah padanya? Sekiranya tidak ada kata putus (menunggu hari Kiamat), niscaya mereka tentu telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh adzab yang amat pedih” (QS. asy-Syuura/42: 21).
Jadi, seseorang atau suatu lembaga yang membuat syari’at (undang-undang) sendiri, di luar syari’at dan idzin Allah, berarti telah menempatkan dirinya sebagai sekutu (tandingan) bagi Allah, dan sekaligus melecehkan syari’at-Nya, yang justru diturunkan untuk mensejahterakan kehidupannya di dunia ini. Apapun alasan yang melatarbelakanginya. Bisa jadi karena kebodohannya, Sehingga dia tidak mengenal siapa Tuhan yang sebenarnya, Sang Pencipta, Pen gatur dan Penguasa Tunggal jagat raya ini. lnilah tingkat kebodohan paling fatal, yang membuat manusia terjerumus ke dalam lembah perbudakan hawa nafsunya sendiri, dan mengingkari petunjuk dan syari’at-Nya. Atau bisa jadi kanena keterbatasannya dalam mengenal Tuhannya. Sebatas mengenal dan mengakui bahwa Allah swt, itu sebagai Rabbul‘ Alamin. Namun dia enggan dan menolak untuk sujud dan tunduk kepada-Nya, apalagi melaksanakan syari‘at-Nya. Inilah tipe kepercayaan yang dianut oleh iblis, syaithan dan kaum musyrikin. Kemungkinan lain, bisa jadi dia seorang Muslim tapi tidak memahami makna “Dua Syahadat” yang telah diucapkannya, sehingga dia tidak memahami berbagai konsekuensi dari “Dua Syahadat” tersebut yang harus dilakukannya. Mentaati syari’at Allah secara tulus dan menolak segala bentuk syari’at (undang-undang, hukum atau aturan) lainnya adalah salah satu konsekuensi inti dari Dua Syahadat tersebut.
Seorang (Muslim) yang telah menyatakan kesaksian “Laa Ilaaha Illallah”, sebagai konsekuensinya, dia harus hanya sujud dan tunduk kepada Allah swt. semata, dan menjunjung tinggi segenap petunjuk dan Syari’ at-Nya. Dan dalam waktu yang sama, dia harus menolak untuk sujud dan tunduk kepada apa dan siapapun selain Allah, serta menolak segala bentuk (undang-undang) selain syari’ at-Nya. Demikian makna dan konsekuensi dari syahadat pertama itu. Karenanya, diujung firman-Nya (at-Taubah/9: 31), setelah Allah swt. menyatakan “Padahal mereka tidak disuruh melainkan hanya untuk beribadah kepada Ilah Yang Esa”, lalu menegaskan kembali “Tiada satupun ilah (yang sebenamya) selain Dia. Maha Suci Dia (Allah) dari segala apa yang mereka sekutukan”. Demikian pentingnya makna “syahadat pertama” ini, sehingga berulangkali dalam berbagai gaya dan susunan, Allah swt. mengingatkannya dalam al-Qur’an. Kemudian, tentang “syahadat kedua”, yaitu “Anna Muhammad ‘Abduhu wa Rasuluhu”, menyangkut cara mewujudkan peribadatan kepada-Nya. Artinya, seseorang yang telah menyatakan kesaksian bahwa “Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya”, maka sebagai konsekuensmnya, dia harus mengikuti segala petunjuk, tuntunan dan aturan yang diajarkan oleh Muhammad dalam kapasitasnya sebagai rasul (utusan) Allah, tanpa mengurangi atau menambah sedikitpun di luar yang diajarkannya. Dan dalam waktu yang sama, tidak boleh menyikapi dan menempatkan Muhammad lebih dari kedudukannya sebagai “hamba”. Sama sekali tidak ada sifat-sifat ketuhanan pada dirinya, karena itu jangan sampai mempertuhankan Muhammad, sebagaimana kaum Nashrani mempertuhankan ‘Isa bin Maryam.
Dengan demikian, kedua syahadat tersebut tidak terpisahkan dan tidak boleh dipisah-pisahkan. Satu dengan lainnya menyatu dan saling berkait. Syahadat pertama, menumbuhkan konsekuensi ketulusan dalam beribadah (termasuk menegakkan syari’at) kepada Allah swt, tanpa dicampuri noda syirik sedikitpun. Sedang syahadat kedua, menumbuhkan kesetiaan dalam mengikuti petunjuk dan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah saw., sehingga bersih dari segala bentuk bid’ah, Penjelasan ini bersumber dari firman-Nya:
“(Tidak demikian), bahkan barang siapa yang telah menyerahkan dirinya kepada Allah, dan dia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya, dan tiada ketakutan atas mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati” (QS. Al-B aqarah/2: 112).
Ungkapan “aslama wajhahu” (menyerahkan dirinya), menurut para Ahli Tafsir, maksudnya: memurnikan ibadah kepada Allah semata, tanpa dicampur syirik. Sedang ‘wa huwa muhsinun” (padahal dia berbuat kebajikan) maksudnya: konsisten dalam mengikuti tuntunan Rasulullah, tanpa menambah atau pun menguranginya sedikitpun. dalam kaitan ini Syaikhul Islam lbn Taimiyyah mengatakan: “lnti agama ini ada dua prinsip. Pertama, tidak beribadah kepada selain Allah. Kedua dalam beribadah kepada-Nya tidak boleh mengikuti kecuali dengan syari’
at-Nya, yang diajarkan oleh Rasul-Nya. Dan uraian di atas jelaslah, bahwa menegakkan Syari’at Islam adalah konsekuensi logis dari Dua Syahadat, Menegakkan Syari ‘at Islam adalah bagian integral dari beriman dan ber-islam. Karena itu, sungguh terasa “aneh” kalau kita belakangan ini mendengar tuduhan-tuduhan yang memojokkan Syari’at Islam, sebagaimana yang dilansir oleh kelompok-kelompok liberalis dan sekuler yang semakin memperjelas jati diri mereka ditengah arus globalisasi.
“Mereka (Ahli Kitab) menjadikan orang-orang alim (pastur-pastur) mereka dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan) selain Allah, dan (demikian pula terhadap) al-Masih putera Maryam, padahal mereka tidak disuruh melainkan hanya untuk beribadah (menyembah) kepada Ilah Yang Esa (Allah swt). (Karena memang) tiada satupun ilah (yang sebenamya) selain Dia. Maha Suci Dia (Allah) dari segala apa yang mereka persekutukan”. (QS. at -Taubah 9:31).
Mendengar firman Allah yang dibacakan oleh Rasulullah saw. tersebut, ‘Adie bin Haatim, yang pernah menjadi penganut Nashrani itu segera menuturkan pengalamannya kepada baginda Rasul: “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu ketika masih menjadi penganut Nashrani, tidak pernah menjadikan para pemuka (pastur-pastur) kami sebagai rabb-rabb kami. Kami tidak pernah menyembah mereka!” Rasul pun lalu menjelaskan dengan diawali melontarkan pertanyaan kepada ‘Adie bin Haatim terlebih dahulu: “Bukankah ketika para pastur menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah, lalu kalian ikut menghalalkannya? Demikian pula di saat mereka mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah, lalu kalian ikut menghindarinya?” ‘Adie menjawab: “Benar, kami memang mengikuti apa yang dihalalkan dan diharamkan oleh para pemuka kami!” Rasulullah saw. pun bersabda: “Nah, itulah namanya kalian telah menjadikan para pastur itu sebagai rabb-rabb selain Allah. Dan juga berarti, kalian telah beribadah kepada mereka!” (HR. Tirmidzi).
Dalam Mukhtashar Tafsir lbnu Katsir dituturkan, bahwa saat itu ‘Adie bin Haatim belum secara resmi menyatakan diri masuk Islam, bahkan ketika menemui Rasul, di lehernya masih melingkar kalung salib. Ketika Rasul membacakan Ayat tersebut (at-Taubah 31), lalu ‘Adie mengatakan: “Ya Rasulullah, sesungguhnya mereka (kaum Nashrani) tidak mengibadahi para pemuka mereka!” Kemudian Rasul menjawab: “Benar, namun ketika para pemuka mereka mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh-Nya, mereka mengikutinya. Nah itulah namanya mereka telah beribadah kepada para pemukanya”. Selanjutnya Rasul bertanya: “Ya ‘Adie, bagaimana pendapatmu, adakah Anda berkeberatan jika dikatakan Allah itu Maha Besar? Tahukah Anda, siapa gerangan yang lebih besar dan pada Allah? Berkeberatankah Anda bila dikatakan “Tiada satupun ilah yang sebenarnya selain Allah?” Tahukah Anda, ilah (sesembahan) yang sebenarnya selain Allah?” Mendengar penjelasan Rasul tersebut, lalu ‘Adie dengan gembira mengucapkan syahadat, menyatakan diri masuk Islam. Kemudian Rasul menegaskan: “Sesungguhnya kaum Yahudi dimurkai oleh Allah, dan kaum Nashrani adalah sesat”. Hudzaifah ibnul Yaman, Abdullah bin Abbas dan sejumlah sahabat lainnya juga menyatakan, bahwa Ayat tersebut menginformasikan ihwal kaum Yahudi dan Nashrani yang telah mempersekutukan Allah, karena mereka mematuhi para pemuka mereka dalam soal menghalalkan dan mengharamkan sesuatu, padahal soal penghalalan dan pengharaman sesuatu itu menjadi otoritas Allah swt. Karena itu, di ujung Ayat tesebut Allah pun kemudian menegaskan “Padahal mereka tidak disuruh melainkan hanya untuk beriadah (patuh) kepada Ilah Yang Maha Esa. Tiada satupun ilah (yang sebenamya) selain Dia. Maha Suci Dia dari segala apa yang mereka sekutukan”. (QS. 9.’ 31),
Otoritas Allah
Ada petunjuk dari Ayat dan penjelasan Rasul tersebut, bahwa tasyri’ (membuat syari’at, undang-undang atau hukum) untuk mengatur kehidupan manusia di jagat raya ini adalah mutlak menjadi otontas Allah swt., karena hanya Dia-lah Yang Rabbul ‘Alamin. Manusia, siapapun dia, apapun kedudukan dan jabatannya, tidak lebih hanyalh sebagai titah-Nya. Karena itu, baik secara individu maupun kelembagan (semisal MPR, umpamanya) tidaklah berhak untuk membuat syari‘at (undang-undang atau hukum). Yaitu, menetapkan sesuatu itu halal atau haram, sepanjang tidak ada perkenan dan idzin dari pada-Nya. Dan sudut pandang ‘Aqidah, seseorang atau suatu lembaga yanq membuat undang-undang, aturan atau ketetapan yang berlawanan dengari syari’at Allah (menghalalkan sesuatu yang dihiramkan oleh Allah atau menghammkan sesuatu yang dihalalkan oleh-Nya, secara sadar ataupun tidak, berarti dia telah menempatkan dirinya sekedudukan dengan Allah swt. Bahkan menurut Dr. Daud Rasyid, MA, “mereka telah merampas wewenang Allah swt” (Sabili, No. 15Th. IX/25 Januari 2002).
“Adakah mereka mempunyai sekutu-sekutu (bagi Allah) yang membuat syari ‘at untuk mereka berupa agama (pedoman dan aturan hidup), tanpa idzin Allah padanya? Sekiranya tidak ada kata putus (menunggu hari Kiamat), niscaya mereka tentu telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh adzab yang amat pedih” (QS. asy-Syuura/42: 21).
Jadi, seseorang atau suatu lembaga yang membuat syari’at (undang-undang) sendiri, di luar syari’at dan idzin Allah, berarti telah menempatkan dirinya sebagai sekutu (tandingan) bagi Allah, dan sekaligus melecehkan syari’at-Nya, yang justru diturunkan untuk mensejahterakan kehidupannya di dunia ini. Apapun alasan yang melatarbelakanginya. Bisa jadi karena kebodohannya, Sehingga dia tidak mengenal siapa Tuhan yang sebenarnya, Sang Pencipta, Pen gatur dan Penguasa Tunggal jagat raya ini. lnilah tingkat kebodohan paling fatal, yang membuat manusia terjerumus ke dalam lembah perbudakan hawa nafsunya sendiri, dan mengingkari petunjuk dan syari’at-Nya. Atau bisa jadi kanena keterbatasannya dalam mengenal Tuhannya. Sebatas mengenal dan mengakui bahwa Allah swt, itu sebagai Rabbul‘ Alamin. Namun dia enggan dan menolak untuk sujud dan tunduk kepada-Nya, apalagi melaksanakan syari‘at-Nya. Inilah tipe kepercayaan yang dianut oleh iblis, syaithan dan kaum musyrikin. Kemungkinan lain, bisa jadi dia seorang Muslim tapi tidak memahami makna “Dua Syahadat” yang telah diucapkannya, sehingga dia tidak memahami berbagai konsekuensi dari “Dua Syahadat” tersebut yang harus dilakukannya. Mentaati syari’at Allah secara tulus dan menolak segala bentuk syari’at (undang-undang, hukum atau aturan) lainnya adalah salah satu konsekuensi inti dari Dua Syahadat tersebut.
Seorang (Muslim) yang telah menyatakan kesaksian “Laa Ilaaha Illallah”, sebagai konsekuensinya, dia harus hanya sujud dan tunduk kepada Allah swt. semata, dan menjunjung tinggi segenap petunjuk dan Syari’ at-Nya. Dan dalam waktu yang sama, dia harus menolak untuk sujud dan tunduk kepada apa dan siapapun selain Allah, serta menolak segala bentuk (undang-undang) selain syari’ at-Nya. Demikian makna dan konsekuensi dari syahadat pertama itu. Karenanya, diujung firman-Nya (at-Taubah/9: 31), setelah Allah swt. menyatakan “Padahal mereka tidak disuruh melainkan hanya untuk beribadah kepada Ilah Yang Esa”, lalu menegaskan kembali “Tiada satupun ilah (yang sebenamya) selain Dia. Maha Suci Dia (Allah) dari segala apa yang mereka sekutukan”. Demikian pentingnya makna “syahadat pertama” ini, sehingga berulangkali dalam berbagai gaya dan susunan, Allah swt. mengingatkannya dalam al-Qur’an. Kemudian, tentang “syahadat kedua”, yaitu “Anna Muhammad ‘Abduhu wa Rasuluhu”, menyangkut cara mewujudkan peribadatan kepada-Nya. Artinya, seseorang yang telah menyatakan kesaksian bahwa “Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya”, maka sebagai konsekuensmnya, dia harus mengikuti segala petunjuk, tuntunan dan aturan yang diajarkan oleh Muhammad dalam kapasitasnya sebagai rasul (utusan) Allah, tanpa mengurangi atau menambah sedikitpun di luar yang diajarkannya. Dan dalam waktu yang sama, tidak boleh menyikapi dan menempatkan Muhammad lebih dari kedudukannya sebagai “hamba”. Sama sekali tidak ada sifat-sifat ketuhanan pada dirinya, karena itu jangan sampai mempertuhankan Muhammad, sebagaimana kaum Nashrani mempertuhankan ‘Isa bin Maryam.
Dengan demikian, kedua syahadat tersebut tidak terpisahkan dan tidak boleh dipisah-pisahkan. Satu dengan lainnya menyatu dan saling berkait. Syahadat pertama, menumbuhkan konsekuensi ketulusan dalam beribadah (termasuk menegakkan syari’at) kepada Allah swt, tanpa dicampuri noda syirik sedikitpun. Sedang syahadat kedua, menumbuhkan kesetiaan dalam mengikuti petunjuk dan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah saw., sehingga bersih dari segala bentuk bid’ah, Penjelasan ini bersumber dari firman-Nya:
“(Tidak demikian), bahkan barang siapa yang telah menyerahkan dirinya kepada Allah, dan dia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya, dan tiada ketakutan atas mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati” (QS. Al-B aqarah/2: 112).
Ungkapan “aslama wajhahu” (menyerahkan dirinya), menurut para Ahli Tafsir, maksudnya: memurnikan ibadah kepada Allah semata, tanpa dicampur syirik. Sedang ‘wa huwa muhsinun” (padahal dia berbuat kebajikan) maksudnya: konsisten dalam mengikuti tuntunan Rasulullah, tanpa menambah atau pun menguranginya sedikitpun. dalam kaitan ini Syaikhul Islam lbn Taimiyyah mengatakan: “lnti agama ini ada dua prinsip. Pertama, tidak beribadah kepada selain Allah. Kedua dalam beribadah kepada-Nya tidak boleh mengikuti kecuali dengan syari’
at-Nya, yang diajarkan oleh Rasul-Nya. Dan uraian di atas jelaslah, bahwa menegakkan Syari’at Islam adalah konsekuensi logis dari Dua Syahadat, Menegakkan Syari ‘at Islam adalah bagian integral dari beriman dan ber-islam. Karena itu, sungguh terasa “aneh” kalau kita belakangan ini mendengar tuduhan-tuduhan yang memojokkan Syari’at Islam, sebagaimana yang dilansir oleh kelompok-kelompok liberalis dan sekuler yang semakin memperjelas jati diri mereka ditengah arus globalisasi.
0 komentar: