Selasa, 21 Maret 2017

Membangun Sekolah Islam Yang Mendidik



Krisis Dalam Pendidikan Islam
Dalam sejarahnya, di kalangan kaum Muslimin dikenal dua sistem pendidikan dan pengajaran, yang tradisional dan yang modern. Kedua sistem berpijak pada kerangka filosofis yang berbeda, bahkan bertentangan satu dengan yang lain. Menurut sistem tradisional, para pelajar diharapkan telah menerima dulu konsep-konsep kebenaran wahyu yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai kebenaran mutlak. Dengan bekal keyakinan itulah kemudian, para pelajar dibimbing untuk meugetahui dan menjelajah sumber-sumber ilmu pengetahuan lain. Pendekatan ini berpijak pada keyakinan, bahwa hanya dengan bantuan dan bimbingan nilai-nilai yang diyakini kebenarannyalah, yang akan mampu menemukm kebenaran universal.

Pendekatan modern, yang tumbuh mulai awal abad XX, justru menganggap bahwa kebenaran obyektif hanya dapat ditemukan apabila manusia keluar dari kerangka subyektivitasnya, dan masuk ke dalam esensi obyek tersebut. Pendekatan ini menyharuskan adanya kebebasan mutlak bagi intelek, bebas dari segala asumsi pendahuluannya (prasangka-prasangka). Kebenaran universal dan obyeklif hanya bersandar pada temuan-temuan faktual dari data empiris yang dapat diperiksa dan di “alami” oleh akal dan fikiran. Denqan demikian, falsafah pendekatan modern menganggap manusia adalah otoritas tunggal, tidak boleh ada intervensi fihak lain, termasuk Tuhan sekalipun.

Umma Islam di Indonesia mendapatkan pendidikan dalam dua versi yang sangat berbeda satu sama lain: versi tradisional yang dapat kita saksikan dalam dunia pesantren dan versi yang mencoba berpijak pada pendekatan modern yang kita temukan pada sekolah-seko!ah umum. Dalam dunia pesantren para sanfti sudah harus mengakui kebenaran mutlak al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber dari segala pengetabuan, bahkan menjadi pedoman untuk mengevaluasi dan menilai berbagai fenomena kehidupan. Namun, landasan yang sudah benar ini seringkali “kebablasan dalam penerapannya. Kegiatan belajar mengajar menjadi kehilangan dinamika dan “fitrah kemanusiaannya. Mereka hanya menerima begitu saja berbagai pelajaran. tanpa dinamika olah akal dan fikir yang justru banyak sekali diperintahkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Bahkan yang lebih parah lagi, manakala fenornena “kebablasan tersebut juga merebak ketika para santri memasuki bidang kajian ilmu alam atau ilmu sosial, maka terjadilah iklim sakralisasi pendidikan.
Sementara di sisi lain, sekolah-sekolah umum (non pesantren) telah terjebak pada kutub ekstrem mengilcuti metode pendidikan barat yang berpijak pada kerangka filosofis yang direka-reka oleh subyektivitas dan prasangka (zhan) manusia yang memilki nilai kebenaran nisbi. Sekolah-sekolah umum terlanjur menerapkan sistem pendidikan yang sekuler, sehingga nilai-nilai luhur yang bersumber dari ajaran agama tidak menjadi soko guru bagi pembinaan karakter anak didik.

Landasan filosofis, tujuan pendidikan, kurikulum dan implementasinya dalam proses belajar mengajar, sampai ketingkat media dan sumber belajar menjadi kering dan gersang dari nilai-nilai agama. Kalaupun ada pelajaran agama, sifatya hanya sebagai obyek studi dan berada pada posisi marginal dalam implernentasi praktisnya, maka terjadilah iklim sekularisasi pendidikan.
Lebih jauh, bila hendak dievaluasi secara menyeluruh pendidikan yang dialami oleh ummat Islam pada kurun waktu terakhir ini mengalami krisis pada berbagai sisi. Paling tidak, dunia pendidikan Islam mengalami problem pada sisi-sisi sebagai berikut:

• Tdak berpijak pada azas yang benar.
• Lepas dari sejarah.
• Rumusan tujuan yang samar.
• Bangunan kurikulum yang rapuh.
• Pendidikan dan pelatihan guru yang tidak efektif.
• Organisasi/Manajemen lembaga pendidikan yang lemah.
• Metode pengembangan belajar yang jumud.
• Lemah dalam orientasi ke masa datang.
• Lemahnya dukungan riset dan pengembangan.
• Lemahnya dukungan finansial.

Dengan landasan filosofis dan kondisi krisis sebagaimana yang telah disampaikan di atas, maka menjadi wajar apabila hasil (output) dari sistem pendidikan yang ada kemudian melahirkan peserta didik yang tidak memiliki karakter yang kokoh dan luhur yang bersendikan moral agama (iman dan taqwa). maupun peserta didik yang tidak memiliki kecerdasan akal dan fikiran serta keluasan pengetahuan (ilmu pengetahuan dan teknologi).

Untuk itu diperlukan rambu-rambu yang jelas yang akan mengarahkan proses pendidikan itu untuk menemukan jalannya yang tepat sesuai dengan maksud dan tujuan dari pendidikan yang sebenarnya. Rambu-rambu ini adalah:

1. berpijak pada asas dan arah yang benar.
2. Menggunakan metode dan pendekatan yang integratif.
3. Membangun pemahaman akan nilai kebenaran hakiki.
4. Membangun karakter ilmuwan (sense and skill of research).
5. Membangun motif ibadah kepada Allah swt.
6 Membanqun motif khidmat untuk manusia.

Mendidik Pada Pijakan Fitrah
Suatu hal yang perlu kita sepakati adalah, bahwa proses oplimalisasi Semua potensi manusia (baca: pendidikan) itu akan menemukan hakikatnya, manakala dalam prosesnya secara total melibatkan semua aspek atau dimensi yang melekat secara fitri dalam diri manusia, subyek dan sekaligus obyek pendidikan. Kita ketahui bahwa dimensi yang ada dalam diri manusia meliputi dimensi ‘aql (intelek) tempat mengolah proses fikir, qalb (hati) tempat mengolah Intuisi, fisik, tempat mengasah rasa (sense), jiwa (nafs) tempat mengolah emosi, dan ruh tempat bersemanyamnya kebenaran wahyu. Semua dimensi tersebut mesti dilibatkan secara utulh dan terpadu pada hal-hal yang bersifat universal, dan dapat digunakan pendekatan yang parsial pada kajian-kajian bidang tertentu.

Manakala proses pendidikan hanya melibatkan dimensi rasio belaka, sebagaimana yang diagungkan oleh pendekatan modern (dengan sebutan pendekatan ilmiah dan obyektif) maka tentu saja hasil pendidikan yang diperolehnya pun menjadi parsial. Demikian pula manakala proses pendidikan hanya melibatkan pada dimensi qaib atau nafs, maka Ia tidak akan mendapatkan hasil yang optimal.

Di sinilah, Islam sebagai agama mampu memberikan arahan yang sempurna pada proses pendidikan karena Dienul Islam dibangun di atas pijakan fitrah manusia: 

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. ar-Rum 30).

Dengan pendekatan yang berpijak pada fitrah manusia, maka pendidikan pasti akan menemukan arah yang benar, dan dilaksanakan dengan proses yang tepat, sesuai dengan ciri dan karakter manusia.
Seorang guru harus mampu melakukan berbagai pendekatan yang dapat mengoptimalkan segala potensi dan kemampuan muridnya. Guru yang profesional akhirnya mampu mengembangkan proses belajar mengajar yang mengacu pada kaidah-kaidah psiko-edukatif yang sangat memperhatikan sisi fitrah manusia. Berbagai pendekatan yang dapat dikernbangkan paling tidak mengacu pada hal-hal berikut:

1. Interaktif. Sedapat mungkin, kegiatan belajar mengajar mengembangkan suasana interaktif baik antara murid dengan guru. murid dengan materi pembahasan. murid dengan media belajar, murid dengan murid.

2. Atraktif. Mengembangkan kegiatan yang mampu menarik perhatian murid. Kegiatan belajar yang menonton dan membosankan akan menurunkan minat dan pethatian murid.

3. Stimulatif. Merangsang murid untuk bertindak secara proaktif mencari lebih lanjut berbagai permasalahan yang sedang diajarkan.

4. Fasilitatif. Mendukung kegiatan belajar dengan menyediakan berbagai fasilitas yang diperlukan: alat peraga, laboratorium, kunjungan, pengamatan, multimedia, penghargaan.

5. Evaluatif. Tentu saja sejauh mana pelajaran berjalan dengan efektif mesti dilakukan evaluasi yang sistematis dan efektif. Evaluasi ini sebaiknya tidak hanya terfokus pada hasil, namun juga terhadap proses sehingga juga akan memberikan umpan balik bagi keefekti dari metode pengajaran yang telah dilaksanakan.

lklim Sekolah yang Kondusif

Setelah kita letakkan kerangka yang benar dalam membangun proses pendidikan, maka sudah barang tentu diperlukan suasana atau iklim yang mendukung bagi pembentukan karakter yang berbasiskan nilai-nilai luhur (Iman dan taqwa) dan nilai-nilai kecerdasan (ilmu pengetahuan dan teknologi). Dengan terciptanya ikiim yang kondusif, maka sekolah sebagai lembaga, ikim yang kondusif itu dapat dimunculkan melalui berbagai jalur:

1. Kurikulum

Penumbuhan ikim yang kondusif bagi pembentukan karakter imtaq dan iptek pada murid pertama-tama dari jalur kurikulum. Artinya, kurikulum mesti memuat pesan-pesan yang efektif bagi penumbuhan karakter tersebut. Di sinilah siswa akan rnendapatkan kurikulum yang penuh dengan pesan-pesan moral. isyarat-isyarat ilahiyah dan informasi-infomasi ilmiyah yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah.

2. Millieu (biah shalihah)

Sekolah hendaknya menciptakan lingkungan yang penuh dengan nilai-nilai kecerdasan dan nilai-nilai luhur. Begitu masuk ke dalam lingkungan sekolah, suasana yang wujud adalah suasana ‘ilmiyoh dan ibadah. Sudut- sudut tempat membaca dan berdiskusi, pohon-pohon berlabel informasi ilmiyah, sudut biologi, sudut fisika. tanaman obat, bengkel otomotif. Bersamaan dengan itu, pesan-pesan relijius melekat di setiap sudut, mushalla/masjid yang bersih, sejuk dan khusyu’, bebas asap rokok, bebas polusi.

3. Taushiyah & Taujihah

Sekolah adalah tempat di mana seluruh murid mendapat pesan dan nasihat. Kepala sekolah, wali kelas, guru semuanya memberikan nasihat dan pengarahan kepada para siswa. Nasihat dan pengarahan bukan sekedar petuah ataupun wejangan yang membosankan, penuh dengan kritik dan omelan. Nasihat dan pengarahan disampaikan dengan penuh kasih sayang dan berkesinambungan. Tidak akan dibiarkan munculnya prilaku menyimpang yang diperagakan oleh murid.

4. Qudwah Hasanah

Seluruh tenaga kependidikan, baik guru maupun karyawan dalam lingkungan sekolah hendaknya menjadi suri teladan dalam penampilan dan prilaku sehari-hari: dalam kedisiplinan, dalam kerapian dan kebersihan. dalam semangat belajar dan mengajar, dalam beribadah, dalam bertutur kata, dalam berbuat kebajikan.

5. Proses Belajar Mengajar

Seluruh bidang studi diajarkan dengan berbagai pendekatan yang stimulatif dan atraktif akan membangkitkan gairah belajar dan membantu siswa dalam memahami bahan belajar.

6. Media dan Sumber Belajar

Sekolah yang kondusif bagi pembentukan karakter imtaq dan iptek mesti menggunakan media dan sumber belajar yang dekat dengan nilai-nilai yang hendak ditumbuhkan. Buku, alat peraga, perpustakaan, sentra-sentra ilmiyah dan ibadah, obyek bahasan hendaknya memberikan topangan yang signifikan bagi penumbuhan karakter imtaq maupun karakter iptek. Kegiatan sekolah bukan hanya terpaku di ruang kelas.

7. Jaringan Komunikasi Sekolah-Rumah

Orangtua/wali murid tidak bisa mempercayakan begitu saja (melepas) putra/putri mereka, kepada sekolah. Jalinan kerjasama yang kokoh menjadi penentu bagi keberhasilan pendidikan. Artinya, seluruh program sekolah mesti mendapat dukungan yang signifikan dari fihak orang tua. Untuk mencapai kondisi ini, maka sekolah dan orang tua mesti memiliki kesamaan visi. misi, dan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan sehingga dapat berjalan seiring dan searah.

Artikel Terkail :

Kurikulum Pendidikan Sekuler Melahirkan Kaum Munafik di Tengah Umat

Related Posts:

0 komentar: