Jumhur sebagian besar ulama dan ilmuwan Muslim meyakini dan menyadari bahwa salah satu karakteristik dan ajaran Islam adalah bersifat syumuliyah (QS. 2:208/6:38). Artinya. bahwa ajaran Islam itu mencakup segala aspek kehidupan. yaitu persoalan akidah. lbadah. akhlaq. hukum. politk. ekonomi. sosial. pendidikan, militer dan sebagainya. Setidaknya, dalam peringkat konsepsi atau dalam kesejarahan. Keberadaan khazanah keilmuan dalam Islam yang berupa ilmu, hikma sejarah, buku-buku atau kitab-kitab serta penulis atau pemikir-pemikirnya. perpustakaan, perguruan tinggi, Pondok Pesantren, Masjid, ummat, negara (dengan segala keterbatasan dan kekurangannya), al-Qur’an dan as-Sunnah yang kesemuanya itu bisa dijadikan bukti dan tesis di atas.
Namun kini, kondisi riil ummat Islam mengalami perubahaan yang cukup memprihatinkan. sekalipun originalitas ajaran Islam sebagai konsepsi masih tetap terjaga. Nilai-nilai ajaran Islam dalam politik yang sampai sekarang masih tetap terjaga dan oleh sebagian besar ulama dan ilmuwan Muslim masih dipegang kuat misalnya, kita ambil contoh dari sebagian pemikiran Ibnu Taymiyah. dalam kesempatan tententu beliau berpedapat bahwa “Negara itu sebagai pelindung hukum Jadi mendirikan negara Islam adalah satu kemestian demi terlaksananya hukum-hukum syan’at Islam”, (Ibnu Taimiyah. dalam Dr. Abdul Karim Zaidan. ‘Ummat dan Negara Dalam Syari’at Islam. p.11), pendapat yang sejenis sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun. sekalipun dalam sedikit nada yang berbeda. beliau berpendapat: “Tugas untuk menyeru kebajikan dan mencegah kejahatan tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa kekuasaaan dan otoritas” (lihat karya E.I.J. Rosenthal. Political Thought in Medieval Islam (Cambride: Cambridge University Press. 1958). hal.53, bandingkan dengan Muqadimah Ibnul Khaldun. 1:322- 327). Begitu pula pendapat Abul A’la Maududi. SM. Iqbal. Jamaluddin al-Af ghani. Hasan al-Banna. Sayid Qutb, Aldul Karim Zaidan. yang di mana bahwa pemikiran-pemikirannya justru memperkaya dan memperkokoh dari pemikiran-pemikiran sebelumnya. Bahkan dengan tegas, Usman bin Affan, khalifah Rasyiddin yang ke III pernah berkata bahwa “Apa yang tidak mau ditundukkan oleh al-Qur’an akan ditundukkan oleh kekuasaan” (Ibid). Akan tetapi, sekali lagi Islam sebagai realitas (dalam arti yang bersifat syumuliyah) nyaris hilang dalam peredaran dunia. Kini yang ada adalah berupa pribadi-pribadi, atau seonggok negara atau inlitusi yang telah kehilangan ruhnya, atau sebuah gerakan yang kehilangan arahnya.
Tidak ada satu komando kepemimpinan dalam Islam (formal) yang berwibawa dan yang ditaati. tidak ada cotoh kongkret suatu negara yang mewujudkan citra negara yang sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. sebagaimana yang pernah ada dalam sejarah Islam bahkan justru sebaliknya adanya pertentangan antara penguasa dan rakyat di negara-negara Muslim (Bukan Islam) di dalam memahami. menyikapi dan memperlakukan persoalan-persoalan terutama yang terkait dengan kedudukan. situasi. Posisi, kondsi Islam dan ummatnya. Dan di sisi lain begitu aktif dan agresifnya Zionis dan salibis yang senantiasa berusaha untuk mewarnai, mengarahkan dan menguasai terhadap negara-negara Muslim. sebagaimana yang kita saksikan hari ini. Maka lengkap sudahlah untuk menggiring dan menempatkan Islam dan ummatnya dalam posisi yang marginal, yang ditentukan dan yang diprogram. Sehingga kondisi real Islam dan ummatnya hari ini mau tidak mau akan sangat berpengaruh terhadap persepsi, pemahaman, sikap dan perlakuan ummat tehradap ajaran Islam itu sendiri. baik dalam dunia pendidikan,, sosial, teknologi, kedokteran, begitu pula dalam dunia politik baik yang bersifat keilmuan ataupun yang bersifat praktis. Dan menurut penulis. terutama setelah kehancuran Khilafah Islamiyah pada tahun 1908. yang ditandai dengan digulingkannya Sultan Abdul Hamid II di Turki. yang berarti sampai hari ini (2017 M) selama 93 tahun ummat Islam tidak mempunyai intitusi politik Intemasional yang mampu mengayomi. sebuah tragedi yang memilukan dalam sejarah ummat Islam dan dalam sebuah kondisi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Maka tidak ada jalan lain bagi ummat Islam untuk menerima realitas itu dan kemudian bangkit kembali.
I. Rekonstruksi Realitas Ummat Adalah Sebuah Keharusan
Rekonstruksi realitas ummat yang dimaksud di sini tidak harus dipahami hendak menjerumuskan kembali nilai-nilai Islam yang baku, tetapi sebatas untuk merumuskan kembali persepsi, asumsi, pemahaman, sikap dan perlakuannya terhadap al-Islam dalam kehidupan sehan-hari. Karena banyak sekali terjadi pada tingkat konsepsi sudah benar. tetapi pada tingkat operasional mengalami kesalahan. Bukan terletak pada kesalahan nilai-nilai yang baku tadi.tetapi justru pada asumsi atau pada persepsi. Sebagai ilustrasi yang Sederhana misalnya. ada di antara aktivis da’wah yang hendak melakukan Islamisasi dalam segala hal. salah satunya dalam bidang usaha. Dan saking semangatnya karena rnereka mengatakan ini usaha Islamis maka barang-barang yang mereka jual pun sebatas pada antara lain yaitu: jilbab. stiker, jubah. baju taqwa. sajadah. minyak wangi. buku-buku Islam. kaligrafi dan yang sejenisnya. Mereka tidak mau andil di proyek-proyek. agrobisnis. Kedelai, Lombok, properti. perbengkelan. perusahaan-perusahaan (perindustrian), jasa trasportasi dan sejenisnya. Sekalipun akhir-akhir ini persepsi dan sikap mereka mulai berubah, tetapi kesan di atas sampai sekarang masih mernbekas dan terasa. Dan fenomena ini menurut penulis menunjukkan bahwa Islam (kaffah) sebagai konsep sudah terwujud. tetapi sebagai realitas “masih mencari bentuk. jika tidak boleh dikatakan belum teiwujud.
Jadi bentuk rekonstruksi realitas di sini sebatas pada wilayah Ijtihadi”. bukan pada ‘subatansinya” atau nilai-nilai yang sudah baku (jelas/muhkamat). Dan menurut penulis “wilayah” inilah yang menjadi “kewenangan dan authoritas” ilmu politik Islam. Lebih kongkretnya ilmu politik Islam tidak hendak menggugat atau mempertanyakan nilai-nhlai kebenaran Islam. Tetapi lebih pada “bagaimana merealisir akan nilai-nilai kebenaran tersebut.
II. Ikhtisar
Sebagaimana ilmu perang, ilmu kedokteran. ilmu hukum. ilmu sastra ..,. dan begitu pula ilmu politik. Baru kita sebut ilmu itu sekuler, atau ilmu itu kita sebut komunis, atau ilmu itu kita sebut jahiliyah, Semuanya tergantung aqidah dan ideologi pemilik. perurnus dan pemakainya. Jadi jika ilmu kedokteran itu dimiliki, dirumuskan dan dipakai oleh orang komunis, maka ilmu kedokteran itu disebut ilmu kedokteran komunis. Begitu pula ilmu politik itu baru kita sebut ilmu politik Islam jika Ia dimiliki, dirumuskan dan dipakai orang Islam, yang tentu tergantung sejauh mana pemahaman dan komitmennya terhadap aqidah ajaran dan ideologi yang mereka miliki. Sebagaimana senjata itu, tergantung pemiliknya. Jika dimiliki oleh orang komunis atau jahiliyah, maka senjata itu akan digunakan untuk memelihara dan memperkuat Aqidab, ajaran dan ideol ogi komunis atau jahiliyahnya. Dan sebaliknya jika senjata itu dimiliki oleh orang Islam, maka senjata Itu akan dipergunakan untuk memelihara dan memperkuat ke-Islamannya. Allah swt. berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ ۖ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا
Karena ilmu itu bersifat universal. Karena di samping bisa dimiliki atau dikuasai baik oleh orang yang beriman atau orang-orang kafir bahwa setiap ilmu, apakah itu ilmu kedokteran,, ilmu ekonorni, ilmu perang dan begitu pula ilmu politik itu selalu mengandung tiga hal, yaitu:
Pertama. sebagai academic enterprise atau pengembangan Ilmu dalam mana konsep, teori dan metodologi diperdebatkan.
Kedua. sebagai tecnocrative knowledge atau akumulasi ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis tertentu.
Ketiga. sebagai kritik sosial, yaitu rnempertanyakan realitas sosial (sehingga ilmu pengetahuan memberi legitimasi sosial) atau mengecam realitas sosial (sehingga melakukan kontrol sosial. Ketiga tungsi ini saling terkait dan saling menunjang (Ignas Kledan, 1984. atau Taufik Abdullah dalam Prisma No,9. tahun 1984, hal. 57-58).
Lain dengan teori, dalam konteks ilmu sosial itu bersifat partikularistik,, dan hal ini bisa dilihat dari tiga hal yaitu:
Pertama, setiap teori lahir dan terbentuk dari suatu konteks sosial sejarah tertentu. yaitu merupakan abstraksi atau inferensi atas realitas yang kompleks yang terjadi pada suatu kurun waktu dan kultur masyarakat tertentu.
Kedua, setiap teori mengandung bias (prasangka) yang menurut seorang teoritisi kritik sosial terdirii atas tiga prasangka. yaitu: power bias (tendensi kekuasaan), interest bias (tendensi kepentingan), dan value bias (tendensi nilai tertentu).
Ketiga. subyektivisme perumus teori. seperti cita-citanya, harapannya, dan apa-apa yang tidak disukainya. Atau partikularistik teori dapat juga dijelaskan oleh dalil sosiologi ilmu pengetahuan bahwa setiap pemikiran tentang suatu masalah (termasuk teori) ditentukan oleh tiga hal. Pertama; kedudukan si pemikir atau pencentus teori. Kedua; semangat zaman yang berlaku dan berperan besar dalam rumusan pemikiran yang dikemukakan. Ketiga; masalah-masalah dramatis yang menarik perhatian publik maupun si pemikir pada masa itu. Ini artinya. agar supaya kita selektif da1am menggunakan teori. (Ramlan Surbakti. 1987).
Dan perlu disinggung di sini bahwa ukuran kehandalan suatu ilmu dan teori itu bisa dilihat sejauhmana kemampuannya dipakai untuk mengungkap dan merumuskan gejala-gejala politik. tentunya yang menyangkut teori politik Adapun yang dimaksud dengan gejala-gejala politik di sini adalah suatu peristiwa yang terjadi berulang-ulang (recurrent events) dalam suatu masyarakat atau dalam unit yang lebih kecil atau lebih besar dalam waktu yang relatif bersamaan. Salah satu gejala politik dalam tubuh ummat Islam yang bisa kita jadikan contoh misalnya adalah wabahnya penyakit wahn dikalangan ummat dan segala lapisan dan hampir merata di seluruh negeri-negeri Muslim. Dan untuk mengungkap dan merumuskan gejala seperti itu diperlukan ekaan dan ketajaman dalam mencium lapangan. dan tentunya berbendaraan konsep.
III. Rekomendasi
Agar suapya tidak terjadi over lapping atau bias dalam menguasai politik. baik dan segi keilmuan dan dan segi praktisnya. ada beberapa hal yang hendaknya diperhatikan yaitu: Pertama: yang bersangkutan (peminat ilmu politik Islam) pada tahap awal harus mampu membedakan apa itu ilmu, ilmu politik, ilmu politik Islam. dan apa itu konsep dan teori? Dan apa itu gejala-gejala politik? Sebagaimana yang sudah diterangkan di atas. Kedua; harus berbekal atau membekali diri dengan ‘ketajaman mencium lapangan dan perbendaharaan konsep dan teori. Ketiga; adapun untuk memiliki (No.2) antara lain dengan banyak mengikuti seminar-seminar hasil penelitian. dialog-dialog insidental dengan ummat dan tokob-tokob politik. melakukan pengamatan ekologik. membaca jurnal-jurnal ilmiah dan mass media pada umumnya dan tentu saja membaca ulasan-ulasan teoritik dalam literatur.
Hal ini perlu ditegaskan di sini. karena masih banyak kita jumpai di kalangan ummat Islam yang belum bisa membedakan antara politik sebagai Ilmu dan politik sebagai suatu tindakan. Atau juga sering kita jumpai di kalangan aktivis Islam itu sendiri yang belum pas mendudukkan ilmu poitik dalam sebuah gerakan politik. atau antara kajian ilmu politik dan politic itu sendiri. atau antara peristiwa politic dengan sejarah politik (renungkan sejenak kolom Fiqh Siyasi dalam Ishlah misalnya). atau dalam membedakan, menggunakan dan menempatkan antara lain, yaitu: hakekat politik, kaedah politik, konsep politik, teori politik, peristiwa politik, sejarah politik situasi dan kondisi politik, gerakan politik, aktor politik, pengamat politik negawaran, politisi, dukun politik, badut politik, ekonomi politik, sosiologi politik, komunikasi politik, momentum politik, rekayasa politik, kudeta, suksesi. aliran politik, pemikiran politik. metodologi ilmu politik, madzhab politik, ideologi politik, filsafat politik, tertib politik, analisa politik, prilaku politik, sistem politik, strategi politic, program politik, aktivitas politik, manuver politik, lembaga politik, dan sejenisnya. Singkatnya sebagaimana ilmu pengetahuan yang lain. ilmu politik itu memiliki karakteristik, kaedah, metodologi, pranata adab, kelembagaan dan sebagainya. Sebagaimana sifat ilmu akan berkembang untuk mencapai “kesempurnaan. tergantung niat, komitmen, kesungguhan, tekad, keteguhan dan pengorbanan orang-orang yang terkait atau yang terlibat dalam disiplin ilmu politik tersebut. Wallahu a’lam
0 komentar: