Sejak terbitnya fajar Islam di jazirah Arab, sejarah tidak pernah kering dari ketajaman tinta para ulama. Tanpa disadari, sesungguhnya melalui jasa merekalah kita dapat merasakan manisnya agama, indahnya sebuah ajaran dan terangnya sinar kebenaran. Melalui mereka pula pesona Islam yang gemilang itu dapat terkuak, dan kita mengakuinya mengingat bersama tinta, keringat dan bahkan darah mereka pun baik para fuqaha, muhadditsin maupun ushuliyyin telah berjuang keras mengajak kita kepada pencerahan pemikiran dan pijakan yang benar.
Seorang di antara mereka adalah al-Faqih Imam Malik yang terkenal dengan buah penanya al-Muawtha’.. Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir al-Ashbahy, narna lengkap si penyusun karya tersebut, beliau lahir di kota Madinah daerah negeri Hijaz menurut riwayat yang masyhur pada tahun 93 Hijriah atau 712 Masehi dan wafat pada tahun 179 Hijriah atau 798 Masehi.
Imam di negeri Hijrah itu selain terkenal berkat kewara’an dan kezuhudannya juga menjadi salah seorang yang disegani dan diperhitungkan di antara para ulama sejamannya. Hal itu tiada lain mengingat pengetahuannya yang luas dan sikapnya yang teliti di dalam urusan fiqih dan Hadits. Kepiawaian lain yang dimiliki oleh imam Malik adalah ketika beliau mulai menyusun untaian bab-bab fiqih dalam karyanya. Sedemikian tingginya kualitas karya tersebut Selain dimintakan untuk dijadikan pegangan hukum kenegaraan, para ulama pun menggolongkannya sebagai kitab hadits yang paling shahih saat itu. Untuk rnengakui kedalaman fiqih Imam Malik lebih jauh baiklah kita kutip komentar para ulama hadits berikut ini:
Berkata Imam al-Laits bin Saad: “Pengetahuan Imam Malik adalah pengetahuan orang yang taqwa kepada Allah, dan pengetahuan Imam Malik boleh dipercaya bagi orang-orang yang hendak mengambil pengetahuan”. Irnarn Yahya bin Syu’bah pun berkata: “Pada masa itu tidak ada seorang pun yang dapat menduduki kursi mufty di rnasjid Nabi saw. selain daripada Imam Malik”,
Berkenaan dengan hadits dan ketelitiannya, berkata Imam asy-Syafi’i: “Apabila datang hadits kepadamu dari Imam Malik, maka pegang teguhlah erat-erat dengan kedua tangannmu, karena Ia menjadi alasan bagi kamu”. Dalam kesempatan lain beliau ra. berkata: “Apabila disebut-sebut ulama ahli hadits, maka Imam Malik-lah bintang-nya, dan tidak seorang pun yang lebih aku percaya tentang hadits selain daripada Imam Malik”. Selanjutnya imam Syafi’i pun mensejajarkan Malik dengan Imam lbnu Uyainah, seorang perawi yang kemudian. menjadi salah satu rijal kuat al-Bukhari, beliau berkata: ‘imam Malik dan Imam lbnu Uyain ah adalah berkawan erat pada satu masa; jika tidak ada dua imam ini, niscaya musnahlah ilmu hadits”.
Bagaimana asy-Syafi’i tidak berkata begitu, sebab imam Sufyan bin ‘Uyainah sendiri mengakui akan ketelitian Malik, Ia berkata: Imam Malik tidak suka menyampaikan hadits, melainkan yang jelas datang dari Nabi saw. dan pula tidak suka meriwayatkan hadits melainkan dari para perawi yang sungguh-sungguh dapat dipercaya”. Selanjutnya dalam kesempatan lain beliau pun berkata: ‘Tidak ada seorang pun yang amat teliti rnenyelidiki para perawi hadits dan yang lebih mengetahul kelakuan mereka selain daripada Imam Malik”.
Selain daripada pernyataan para ulama hadits di atas, Imam Besar dalam urusan jarah Wa ta’dil Seperti Yahya bin Ma’in pun mengakui, dan seraya berkata: “Imam Malik itu adalah seorang raja bagi segenap orang-orang beriman tentang ilmu hadits”, kemudian beliau melanjutkan “Ia hujjah Allah atas sekalian makhluq-Nya, karena dari kewaspadaannya tentang hadits”.
Madzhab Imam Malik
Setelah diketahui kehebatan fiqih Imam Malik melalui karyanya al-Muwatha’ dan kedalamannya tentang ilmu hadits, maka segenap persoalan Islam yang timbul saat itu seluruhnya bertumpu kepada fatwa beliau. Dan tidak lama kemudian madzhabnya pun berkembang terutama berpusat di Madinah. Melalui sahabatnya Usman bin al Hakam al Judzamy dan Abdurrahman bin Khalid bin Yazid bin Yahya madzhabnya pun kian jauh menerobos hingga dinding Mesir. Kemudian sedemikian kuatnya madzhab beliau dikalangan penduduk sehingga orang pun berkata: “Tidak selayaknya seseorang memberi fatwa tentang urusan keagamaan, sedang Imam Malik masih ada di kota Madinah’.
Pengaruh Imam Malik dalam beberapa masa memang cukup mendapat isapan jempol, akan tetapi di Mesir setelah asy-Syafi’i menginjakkan kakinya maka madzhab gurunya pun sedikit tergeser. Hal itu terjadi kemungkinan setelah asy Syafi’i memberikan pengajaran secara luas tentang hukum-hukum keagamaan dan mendapat tempat di hati para pembesar. Kendati madzhab Imam asy-Syafi’i kian berkembang dan tersebar luas dikalangan penduduk Mesir, akan tetapi di bebenapa lapisan pengaruh Malikiyah masih tetap mengakar. Hal ini terutama berkat jasa Abdurrahman bin Al-Qasim, Asyhab bin Abdul Aziz, Ibnu Abdil Hakam dan Harits bin Miskin. Pada tahun 566 Hijriah madzhab ini pun bangkit kernbali, dan oleh Sultan Shalahuddin al Ayyubi dibangunkan beberapa madrasah untuk para ahli fiqih, di antaranya “Al-Qumbiyyah” bagi para ulama madzhab Maliki. Kemudian sedemikian derasnya pengaruh Imam Malik, melalui Ziyad bin Abdurrahman al-Qurthubiy madzhab ini pun menginjakkan kakinya di bumi Andalusia, dan kemudian menggeserkan madzhab penduduknya imam Auza’iy. Perkembangan selanjutnya madzhab Imam Malik menembus negeri Palestina, Kuwait, Iraq, Yaman, dan di sekitar Afrika seperti Maroko, Algeria, Tunisia hingga Libya.
Adapun mengenai dasar hukum madzhabnya maka Ia sama dengan para imam lainnya. Perbedaannya adalah ketika tidak mendapati keterangan dari al-Qur’an ataupun as-Sunnah beliau iebih mengutamakan secara khusus ijma ahli Madinah. Sedang dalam perkara lain seperti muamalah beliau pun mengikuti jalan qiyas dan mashalihul mursalah.
Karya Imam Malik
Karya Imam Malik yang monumental adalah al-Muwatha’. Menurut pengakuannya Ia disusun selama 40 tahun. Dan seperti yang dijelaskan oleh Imam Abul Hasan bin Fadh karya besar tersebut merupakan saringan dari 10.000 hadits, dan adapula yang mengatakan dari 100.000 hadits.
Kendati karya Imam Malik tersebut telah dikatakan sebagai kumpulan hadits, akan tetapi menurut penelitian Abu Bakar al-Abhary di dalamnya selain koleksi hadits juga disimpan sejumlah atsar shahabat dan fatawa tabi’in. Selanjutnya menurut penyelidikan para ulama tentang jumlah riwayat yang terkandung dalam Muwatha’ Malik ada sekitar 600 hadits yang musnad, 222 hadits mursal, 613 mauquf dan 285 merupakan perkataan tabi’in:
Isi Al-Muwatha’
Bagi kita yang hendak mengetahui lebih dalam, kebenaran jumlah tersebut masih dalam penyelidikan. Sebab di kalangan para ulama hadits sendiri selain terjadi perbedaan nilai kualitas juga terjadi silang pendapat mengenai jumlah yang sesungguhnya. Misalnya, menurut Imam Abu Bakar al Abhary; jumlah keseluruhan al-Muwatha’ adalah 1720 hadits, sedang menurut Imam Muhammad bin al-Hasan; padanya sebanyak 1180 hadits. Perbedaan tersebut bila diselidiki lebih lanjut kemungkinan berasal dari para periwayat at-Muwatha’ sendiri yang jumlahnya lebih dari 1000 orang. Kemudian dari banyaknya para periwayat tersebut maka sudah barang tentu banyak diantaranya yang merupakan riwayat tambahan atau pengurangan. Hal ini dapat diketahui pula dari banyaknya naskah salinan al-Muwatha’ yang menurut riwayat jumlahnya sampai 30 naskah.
Mengenai kebenaran dugaan tersebut, berkata Imam Shalihuddin al-Alliy: “Yang meriwayatkan al-Muwatha’ dari Imam Malik ada banyak jumlahnya, dan antara riwayat mereka itu terdapat perselisihan sementara, ada yang daripadanya didahulukan, dibelakangkan, ada tambahnya dan ada pula kurangnya, dan yang sebanyak-banyak tambahan adalah riwayat dari Abu Mash’ab”. Kebenaran pernyataan dari al-Imam Shalihuddin ini didukung pula oleh pakar hadits kemudian, Imam lbnu Hazmin, Ia berkata: “Dalam al-Muwatha’ Abu Mash‘ab terdapat tambahan kira-kira 100 hadits”.
Terlepas apakah maksud mereka dengan tambahan dan pengurangannya, akan tetapi itulah salah satu yang membuat perbedaan di kalangan para penyelidik tentang jumlah dan isi kandungan al -Muwatha’. Syeikh ad Dahlawy menguatkan: “Bahwa. salinan kitab al-Muwatha’ yang kini terdapat di negara-negara Arab ada 16 naskah, dan tiap-tiap naskah ada riwayat tertentu”.
Karakteristik dan Kualitas Al-Muwatha’
Al-Muwatha’ bukanlah rangkuman dari sekumpulan hadits secara khusus, akan tetapi seperti yang telah ditegaskan di atas ia pun banyak menyimpan sejumlah atsar sahabat dan fatawa atau perbuatan tabiin. Misalnya, ketika si penyusun mencantumkan bab Al-Qira‘ah khalfal imam fimala yajharu fihi bil qira’ah, maka beliau menuturkan tiga buah riwayat berturut-turut yang sama sekali tidak datang dari Nabi saw. akan tetapi bersumber kepada Urwah, al-Qasim bin Muhammad dan Jubair bin Mu’thim; mereka masing-masing membaca di belakang imam ketika ia tidak menjaharkan bacaannya (al-Muwatha’ Syarah Tanwirul Hawalik, as-Suyuthiy, 1:81-82).
Selain demikian, didapatkan pula beberapa sanad yang nampak lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah. Misalnya, dalam beberapa riwayat beliau terkadang meringkas sanadnya dengan menggunakan kata balaghaniy (telah sampai kepadaku) atau lebih daripada itu beliau pun terkadang menyembunyikan perawinya dengan ungkapan ani ats-Tsiqah (dari orang yang dapat dipercaya).
Sikap di atas tersebut sekilas memang nampak lemah dan mengurangi kualitas karyanya secara keseluruhan. Akan tetapi para ulama kemudian telah menjelaskan dari maksud-maksud Imam Malik menggunakan cara dernikian. Seoranig diantarànya imam lbnu Abdil Bar, beliau adalah salah seorang di antara pakar hadits yang lebih banyak memperhatikan tentang kritik sanad.
Berkenaan dengan sanad-sanad yang terdapat dalam Muwatha’ Malik beliau berkata: “Semua yang terdapat di dalamnya baik melalul perkataan balaghaniy ataupun ani ats-Tsiqah yang oleh beliau tidak disandarkan kepada Nabi saw. seluruhnya berjumlah 61 hadits dan sesungguhnya semua itu bersambung kepada Nabi saw Kemudian karena dirasakan betapa pentingnya pembahasan tentang sanad-sanad Imam Malik tersebut, segera beliau pun menyusun sebuah kitab yang khusus menyambungkan setiap sanad yang mursal, munqathi atau pun mu’dhal dalam Muwatha’nya. Upaya Ibnul AbdiI Bar ini memang tidak sendiri, hasil penelitiannya pun diakui pula oleh imam Besar al-Hafizh lbnu Hajar, beliau berkata: “Tidak ada yang mursal dalam al-Muwatha’ ini selain baginya ada satu atau beberapa penguat”. Dengan hasil penelitian dari kedua imam di atas maka benar pula apa yang dikatakan oleh imam asy-Syafi’i, beliau menilai: “Tidak ada di muka bumi ini sebuah kitab yang paling shahih setelah al-Qur’an selain daripada kitab Malik”.
Kualitas al-Muwatha’ memang dapat digolongkan sebagai kitab yang paling shahih setelah al-Qur’an, mengingat belum ada kitab lain pada masa itu yang mengunggulinya semisal Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Lebih daripada itu Imam Malik pun bukan tipe seorang muhaddits yang gemar memudahkan perkara, selama bertahun-tahun beliau menyodorkan karya tersebut kepada tidak kurang dari 70 ulama, dan mereka pun mengakui atas keshahihannya.
Syarah Al-Muwatha’
Seperti yang telah disebutkan ada beberapa ulama yang khusus meneliti sanad karyanya, maka banyak pula ulama-ulama lain yang mensyarahi kandungannya baik dari segi ilmu hadits atau kaitannya dengan fiqih. Di antara mereka adalah imam Abu Marwan bin Abdul Malik bin Habib al-Maliky, Yusuf bin Abdil Bar an-Namary, Abul Walid Sulaiman bin Khalaf al-Bajy, Abdullah bin Muhammad an-Nahwy, dll. Akan tetapi yang terkenal dan sampai kepada kita adalah Tanwirul Hawalik, karya Imam as-Suyuthi dan Aujazu Masalik.
0 komentar: