Al-Qur’an, dalam surah al-A’raf 163-171, mengungkapkan tentang arogansi kaum Yahudi di zaman Nabi Musa as., lalu mereka dikutuk oleh Allah swt., menjadi kera-kera yang hina Bagaimana Muhammad Ahmad al-’Adawi menguraikan penafsirannya tentang kasus tersebut? Berikut ini bagian pertama dari uraian beliau yang diangkat dari kitab “Da’watur Rusul Ilal-lah Ta ‘ala".
“Dan tanyakanlah kepada mereka dari hal negeri yang dekat laut itu, ketika mereka melewati batas pada hari Sabtu, di waktu ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka mendatangi mereka dengan berbaris, sedang di lain hari Sabtu ikan-ikan itu tidak mendatangi mereka. Demikian itulah Kami menguji mereka karena mereka berbuat fasik” (163)
“Dan (ingatlah) ketika segolongan dari mereka berkata: “Mengapa kamu menasihati suatu kaum yang Allah akan membinasakannya atau menyiksanya dengan siksaan yang keras?” Mereka menjawab: “Sebagai alasan (pertanggungjawaban kami) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertaqwa” (164)
“Maka ketika mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari berbuat jahat, dan Kami menimpakan adzab kepada orang-arang yang berbuat zhalim itu dengan adzab yang pedih, karena mereka selalu berbuat fasik” (165) “Maka ketika mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepada mereka: “Jadilah kamu kera-kera yang hina!” (166)
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memberitahumu. bahwa sesungguhnya Dia akan mendatangkan kepada mereka, sampai (saat datangnya) hari kiamat, orang-orang yang akan menghukum mereka dengan adzab yang seburuk-buruknya. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia itu Maha Pengampun, Penyayang” (167)
“Dan Kami cerai-beraikan mereka di bumi ini menjadi beberapa golongan, sebagian dari mereka menjadi orang-or ang shalih dan sebagian yang lain tidak demikian Dan Kami menguji mereka dengan (ni’mat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk. supaya mereka kembali (kepada kebenaran)” (168)
“Maka datanglah sesudah mereka satu generasi yang mewarisi kitab (Taurat), mereka mengambil harta-benda dunia yang rendah ini, sambil berkata: “Kami akan diampuni!”Jika datang lagi kepada mereka harta-benda sebanyak itu, niscaya mereka akan mengambilnya (juga), Bukankah perjanjian kitab (Taurat) itu sudah diikatkan atas mereka, bahwa mereka tidak akan mengatakan (sesuatu) atas nama Allah kecuali kebenaran, padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya? Dan negeri Akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka, mengapa kamu tidak berpikir? (169).
“Dan orang-orang yang berpegang teguh pada kitab (Taurat) itu, dan mendirikan shalat, (pasti Kami beri pahala), Sesungguhnya Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengadakan perbaikan” (170)
“Dan (ingatlah) ketika Kami mengangkat bukit ke atas mereka, seakan-akan bukit ilu sebagai naungan awan, dan mereka menduga bahwa bukit itu akan jatuh menimpa mereka, (lalu Kami katakan kepada mereka): “Peganglah apa (Kitab) yang telah Kami berikan kepadamu dengan kokoh, don ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, supaya kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa”(171)
Penjelasan dan Pelajaran
“Dan tanyakanlah kepada mereka dari hal negeri yang dekat laut itu...dst ” Firman Allah ini merupakan penjelasan dari Firman-Nya yang terdapat dalam surah al-Baqarah (65): “Dan Sesungguhnya kamu telah mengetahui orang-orang yang melampaui batas dari antara kamu pada hari Sabtu ...“ yang ditujukan kepada para ulama (pemuka) mereka. Sedang dhamir yang dituju dalam firman-Nya “Dan tanyakanlah" itu adalah kepada Nabi Muhammad saw. Pertanyaan dimaksud untuk mendesak dan mengingatkan kembali tentang pengertian (sejarah) masa lampau mereka. Maksudnya, supaya Nabi Muhammad mempertanyakan kepada Bani Israil tentang penduduk kota yang berdomisili di dekat laut dan biasa menyisiri pantainya, ketika mereka melanggar ketentuan Allah, menangkap Ikan di hari yang telah diharamkan atas mereka itu. “Saat ikan-ikan di sekitar mereka mendatangi mereka”, yaitu pada hari Sabtu. hari yang mereka muliakan, ikan-ikan yang berada di sekitar mereka muncul di permukaan air, mereka pun lalu turun ke laut dan menangkapnya. Namun “pada hari-hari selain Sabtu, ikan-lkan itu tidak mendatangi mereka”.
Sebagian pendapat mengatakan: Sudah menjadi kebiasaan bahwa tidak seorang pun yang melanggar menangkap ikan pada hari Sabtu. maka suasananya aman dan ikan pun muncul pada hari itu, dari sepi pada hari-hari lain, selain hari Sabtu, karena tidak terbiasa diadakan penangkapan ikan pada hari itu. Namun, ketika mereka melihat ikan-ikan bermunculan dalam jumlah banyak pada hari Sabtu, terdoronglah keinginan mereka untuk memburunya, maka mereka pun melakukannya. “Demikian itulah Kami menguji mereka”, dengan cobaan seperti itu. Munculnya ikan-ikan di permukaan laut sekitar mereka itu merupakan ujian dan cobaan yang Kami berikan kepada mereka. “Disebabkan karena mereka berbuat fasik”, ya semua itu disebabkan karena mereka melanggar perintah Tuhan mereka dan melawan ketentuan-ketentuan syari’at-Nya. “Dan (ingatlah) ketika segolongan dari mereka berkata: “Mengapa kamu menasihati suatu kaum yang Allah akan membinasakannya atau menyiksanya dengan siksaan yang keras?” Mereka menjawab: “Sebagai alasan (pertanggungjawaban kami) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertaqwa “. Maksudnya. tanyakanlah kepada mereka tentang keadaan penduduk negeri yang pada saat itu sebagian atau sekelompok dari mereka bertanya “Mengapa kamu menasihati suatu kaum ... dst”. Ada petunjuk dalam ayat tersebut bahwa yang melakukan pelanggaran pada hari Sabtu itu hanya sebagian dari penduduk negeri itu, tidak seluruhnya. Penduduk negeri itu terdiri dari tiga kelompok:
Pertama, kelompok yang melakukan pelanggaran sebagaimana yang diisyaratkan pada ayat sebelumnya (163). Kedua, kelompok yang memberi nasihat, yaitu yang mencegah orang-orang yang melanggar dan menasihati mereka agar menahan diri. Ketiga, kelompok yang mengecam kepada orang-orang yang memberi nasihat, yaitu mereka mengatakan kepada orang-orang yang memberi nasihat: “Mengapa kamu menasihai suatu kaum yang Allah akan membinasakannya atau menyiksanya dengan siksaan yang keras?” Bisa jadi Allah akan membinasakan mereka secara total, atau bentuk siksaan keras yang lain, atau membinasakan mereka di dunia dan menyiksanya di Akhirat.
Jadi, ayat tersebut menginformasikan kepada kita bahwa penduduk negeri tersebut (Bani Israil) telah melampaui batas, bergelimang dalam kebatilan, seluruh perasaan dan pemikirannya telah dikuasai oleh hawa nafsunya. sehingga pupuslah harapan orang yang hendak menasihati tindakan mereka, karena perasaan putus asa menyelimutinya. Kondisi dan perasaan semacam itu memang sering dialami oleh seorang pembaharu (reformis). Lebih-lebih jika dia telah menyaksikan kerusakan itu sudah melanda secara luas, tidak terbatas di kalangan awam saja tapi juga pada orang-orang tertentu. Walhasil, tidak ada satu kelompok pun dari kalangan umat yang tidak terkena imbasnya, termasuk kalangan ulama (para pemuka) yang seharusnya di tengah-tengah umat berkedudukan sebagai kepala dari suatu tubuh.
Bila seorang pembaharu telah menyaksikan kondisi suatu kaum sudah demikian rupa, krisis telah melanda mereka secara merata, pemuasan hawa nafsu dan berfoya-foya telah menjadi gaya hidup mereka, mafia kejahatan dan kepalsuan merajalela di berbagai sektor kehidupan, walhasil mereka telah bergelimang dengan dosa dan hanya memburu kesenangan dunia dan kehidupan sesaat. Bila seorang pembaharu telah menyaksikan yang demikian itu, dia tentu akan sangat bersedih hati, diliputi perasaan putus asa yang amat dalam, dan kekalutan pikiran yang luar biasa, Pada saat itu muncullah berbagai pertanyaan dalam dirinya: Apa yang harus kulakukan, dan apa yang harus diperbuat oleh seorang pembaharu? Dari mana harus memulai memperbaikinya, kalangan awam, masyarakat pada umumnya, sementara kalangan khusus, para pemukanya, telah memberi contoh kepada mereka tindakan-tindakan buruk yang demikian rendah, mengajak mereka meperturutkan hawa nafsu, bergelimang dengan kemungkaran dan melakukan hal-hal yang haram yang seyogianya harus dihindari?
Demikianlah keprihatinan seorang pembaharu manakala telah menyaksikan para penguasa dan pejabat, pemegang kendali dari urusan umat telah menyimpang demikian jauh dan secara terang-terangan dalam melakukan kejahatan, maka mereka tidak akan peduli terhadap kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dan antara mereka meskipun disaksikan oleh mata kepala mereka sendiri, dan mereka sudah tidak lagi merasa rendah dan malu terhadap kemurkaan Allah atas kebobrokan yang melanda umatnya.
Kondisi kehidupan suatu bangsa sangat bergantung pada keadaan para pemuka dan penguasanya. Bangsa itu akan rusak, bila para pemimpinnya rusak. Demikian sebaliknya, bangsa itu akan baik, bila para pemimpinnya baik. Mereka akan bercermin kepada para pemimpinnya dalam soal kebaikan dan keburukan. Walhasil, bangsa itu akan mengikuti para pemimpinnya dalam segenap prilakunya.
Jika seorang pembaharu telah menyaksikan, bahwa krisis yang berkecamuk itu telah menggoyang segenap aspek kehidupan umat, dan tidak ada satu aspek pun yang tidak tersentuh oleh krisis, maka pada saat itu jiwa sang pembaharu menjadi lemah dan semangatnya menjadi pudar. Lalu muncul pada dirinya sejumlah pertanyaan: Masih bergunakah nasihat? Bisakah kiranya krisis yang demikian parah diobati? Apalah artinya harapan dari suatu perjuangan yang tidak bisa membuahkan hasil dan manfaat? Lewat ayat tersebut Allah swt, hendak memperlihatkan kepada kita, adanya suatu kelompok dan penduduk negeri itu yang telah dilanda keputusasaan, Mereka diliputi ketidakberdayaan untuk memperbaiki orang-orang yang di sekitarnya yang telah melakukan pelanggaran pada hari Sabtu, Mereka sudah tidak peduli lagi terhadap nasihat dari orang-orang yang memberi nasihat dan ajakan dari orang-orang yang hendak memperbaikinya. Mereka berkata: “Mengapa kamu menasihati suatu kaum yang Allah akan membinasakannya atau men yiksanya dengan siksaan yang keras?” Apa gunanya nasihat? Dan apa perlunya pengarahan buat mereka? “Sebagai alasan pertanggungjawaban kami kepada Tuhanmu”, demikian jawaban orang-orang yang memberi nasihat, Yah. kami memberi nasihat kepadamu semata-mata karena rasa tanggungjawab kami kepada Tuhanmu. Kami tidak boleh bersikap diam. pasif dan acuh terhadap kemungkaran. Bukankah Allah telah menyuruh kita untuk saling mencegah kemungkaran? “Supaya mereka bertaqwa”, mudah-mudahan nasihat itu berguna bagi mereka. bisa menyadarkan mereka ke jalan yang benar sehingga mereka terpelihara dari kejahatan yang menggodanya. Tegasnya. kami tidak berputus asa dalam mengajak dan memperbaiki mereka ke jalan yang benar.
Dalam konteks ini terkandung pelajaran, sikap apa seharusnya yang diambil oleh seorang juru dawah. Seorang juru dawah tidak boleh sedikitpun berputus asa dalam memperbaiki umat. Dia harus yakin bahwa ajakan dan nasihat itu betapapun keadaannya pasti bermanfaat, menyentuh jiwa. Meskipun sentuhan itu kadarnya berbeda, tergantung kesiapan jiwa yang bersangkutan dan kesediaannya untuk menerima nasihat. Dan antara jiwa-jiwa manusia ada yang benar-benar telah siap menerima perbaikan, sehingga manakala ajakan perbaikan dari seorang reformis itu sampai kepada kelompok ini, maka jiwa-jiwa mereka akan segera menyambut ajakan tersebut. Di sisi lain ada pula jiwa-jiwa yang kurang siap menerima ajakan perbaikan, sehingga sangat diperlukan kearifan dan kesabaran dari pihak reformis (juru da’wah) dalam menghadapi kelompok ini. Jika nasihat maupun ajakannya itu tidak memperoleh respon positif, belum mendatangkan buahnya. maka yakinilah bahwa pada saatnya ajakan maupun nasihatnya itu akan mendatangkan hasil yang diharapkan.
Adalah suatu kepicikan bila seorang reformis (juru da’wah) berkeyakinan bahwa buah dan ajakan atau nasihatnya itu harus bisa dipetik seketika Itu juga. Karena seorang juru da’wah tak ubahnya bagaikan seorang petani. Dia harus mengawali pekerjaannya dengan menggarap tanah yang hendak ditanami, sambil mempersiapkan benih. Tanah itu sendiri bagaikan “logam. Ada yang siap langsung bisa ditanami sehingga buah atau hasilnya bisa segera dipetik. Ada pula yang harus dicangkul dan dibajak terlebih dahulu. sehingga perlu proses dan waktu cukup lama untuk memetik hasil atau buahnya. Setiap petani harus yakin, bahwa jerih payahnya tidak akan sia-sa, pada saatnya dia tentu akari bisa memetik hasilnya, cepat maupun lambat. Demikian jugalah halnya seorang reformis dan juru da’wah.
Sementara itu, terkadang seorang reformis dan juru dawah mewarisi kondisi positif dan pendahulunya yang telah bekerja keras merintis jalan perbaikan. Di sisi lain, terkadang sebaliknya. Dia mewarisi kondisi yang bobrok dari pendahulunya yang acuh dan tidak peduli terhadap perbaikan. Namun yang demikian itu bukan berarti saya menuduh secara umum. para ulama pendahulu itu diam dari sebagian dan mereka mengabaikan kewajiban yang dibebankan Allah atas mereka dalam menjelaskan agama (al-Islam) kepada umatnya, sebagaimana yang kita dengar dari sebagian mereka berkata: Padahal di tengah-tengah kami ada ulama ini dan kiai itu tapi kami tidak mendengar nasihat sama sekali dari mereka, dan mereka tidak mengingkarii apa yang kami ingkari ini. Bukankah yang demikian itu tidak mempunyai makna lain kecuali menguatkan apa yang kami katakan, bahwa membiarkan manusia (masyarakat) tanpa adanya perbaikan itu membuat jiwa mereka mati, hati mereka beku, dan syahwat mereka binal. Sebaliknya, menyadarkan mereka dengan nasihat, akan dapat mencegah mereka dari terperosok dalam kesesatan, meredam kebinalan syahwat, dan melumpuhkan dominasi kebatilan. Jadi, menyampaikan nasihat dan bimbingan itu suatu keniscayaan dan menjadi kebutuhan umat. “Supaya manusia tidak mempunyai alasan (lagi) terhadap Allah sesudah (kedatangan) para rasul, dan adalah Allah itu Gagah, (lagi) Bijaksana”. (QS. an-Nisa’/4: 165).
Apabila juru da’wah mencermati Semuanya itu niscaya dia tidak mempunyai alasan sedikit pun untuk berputus asa. Minimal nasihatnya itu berguna sebagai perlawanan terhadap para pendukung kebatilan dan pengabdi syahwat. Dia berarti telah melaksanakan apa yang diwajibkan oleh Allah, melawan kemungkaran dengan segala dampak negatifnya bagi masyarakat, Dan pada gilirannya, nasihatnya itu akan menjadi suatu andil (modal) bagi para pembaharu di kemudian hari, menjadi pijakan bagi generasi berikutnya yang hendak melakukan perbaikan. Sungguh sangat menanik apa yang diceritakan dari kalangan petani, bahwa pernah seseorang menjumpai petani yang sedang menanam sejenis pohon yang buahnya baru bisa dipetik sesudah seratus tahun, lalu dia bertanya: “Kenapa Anda tetap menanamnya padahal Anda yakin tidak akan memetik buahnya?” Sang petani menjawab: “Bukankah orang-orang tua kami telah menanamnya, lalu kami yang memetik buahnya? Demikianlah halnya kini kami yang menanam, lalu di kemudian hari biar anak cucu kita yang memetik hasilnya!” Betapa indahnya firman Allah yang menuturkan tentang ihwal para penasihat yang menyatakan “Sebagai alasan pertanggungjawaban kami terhadap Tuhanmu”. Adalah menjadi kewajiban juru nasihat (da’ wah) untuk banyak menyadari kebenaran pernyataan tersebut sehingga menyatu dengan darah dagingnya, menyatu dengan sikap hidupnya. Lalu dia akan menunaikan kewajibannya dalam berdawah dan memberi nasihat itu semata-mata karena hendak menjalankan perintah Allah Ta’ala. Dia yakin sepenuhnya bahwa Allah lebih mengetahui apa yang menjadi kemaslahatan bagi manusia, dan apa yang mendatangkan kebaikan bagi mereka. Allah Ta’ala lebih mengetahui danipada kita tentang faedah dan nasihat dari da’wah (ajakan) kepada jalan-Nya.
Da’wah dan nasihat adalah salah satu prinsip Agama yang amat penting, Tanpa da’wah urusan umat tidak bisa ditegakkan. Karena itu harus ada suatu kelompok dari kalangan umat yang tampil untuk menyeru manusia kepada kebaikan, menyuruh mereka mengerjakan kebajikan (ma’ruf) dan mencegah mereka dari perbuatan kejahatan (mungkar), Bila kelompok itu tidak ada, tentu masyarakat menjadi porak-poranda dan cerai-berai, lalu masing-masing akan memperturutkan hawa nafsunya dan mengikuti kemauannya sendiri-sendiri. Peringatan Allah: “Dan hendaklah ada di antara kamu suatu kelompok yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh berbuat ma ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kejayaan. Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang berpecah belah dan saling berselisih sesudah keterangan-keterangan datang kepada mereka, dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh siksaan yang besar”. (QS. Ali Imran 3: 104-1 05).
Firman-Nya “Supaya mereka bertaqwa” itu, sebagai dorongan spirit bagi para juru da’ wah akan adanya sambutan dari kalangan masyarakat, seluruhnya maupun sebagian, yang sudi menerima nasihatnya. Tidak mustahil di tengah-tengah masyarakat yang bobrok masih terdapat pribadi-pribadi yang berhati suci, yang shaleh, yang masih mendambakan adanya perbaikan. Karenanya, membiarkan mereka tanpa nasihat adalah suatu kerugian besar, membuang aset yang bisa menjadi modal. Walhasil, selama di tengah-tengah masyarakat masih ada suatu kelompok yang berhati suci, mendambakan nasihat dan perbaikan, maka jangan mereka ditinggalkan. Itu suatu keniscayaan yang nyata, karena da’wah dan nasihat memang seharusnya dilancarkan kepada suatu umat dan kelompok. Akan halnya bila nasihat Itu ditujukan kepada pribadi tertentu, setelah sang juru da’wah melakukan penelitian ternyata pribadi tadi tidak tersedia menerima nasihat, dan tidak mau menyambut peringatan, maka sang juru nasihat tidak mengapa meninggalkannya.
Kiranya itulah yang dimaksud dengan firman-Nya: “Maka, berilah peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu berguna”. (QS. al-A ‘ala/87: 9). Jadi, peringatan itu dilakukan bila benar-benar berguna, jika ternyata tidak ada manfaatnya tentu saja tidak perlu dilakukan.
Sementara itu memang masih ada kegunaan nasihat di samping yang telah dikemukakan, Antara lain, untuk melindungi kaum Muslimin dari bahaya kerusakan, dan menjaga mereka dari bahaya kejahatan. Katakanlah, bagaikan sekat yang memisahkan antara orang yang sehat dengan penderita kudis, sehingga penyakit kudis itu tidak menjalar ke mana-mana yang pada gilirannya bisa menulari semua orang. Kalau toh nasihat itu tidak menyentuh pada kalangan orang-orang yang sehat, setidaknya bisa melokalisasi (membatasi) penyakit itu dan menghentikan penyebarannya. Karena menjalarnya virus penyakit mor al itu jauh lebih cepat daripada penyakit fisik, dari para penderita akibat penyakit ruhani jauh lebih berat daripada penderita akibat penyakit fisik. Dan setiap manusia berpotensi mendapat pengaruh dari kebaikan dan kejahatan, cepat ataupun lambat. Dengan demikian, bila kelompok yang berhati suci dan mendambakan adanya perbaikan itu mendengar nasihat dari pihak juru da’wah pun siap untuk membimbingnya, maka yang demikian itu bisa menjadi penangkal dari pengaruh orang-orang yang mengumbar syahwatnya dan telah tenggelam bersama mereka.
Karena itu, Syari’at Islam mewajibkan diadakan nasihat “mimbar Jum’at” seminggu sekali selain nasihat-nasihat yang bersifat sunnah (insidentil) yang disampaikan oleh para mubaligh atau juru da’wah. Sering kita jumpai di satu keluarga terdapat orang yang baik (salih) dan orang yang jahat (thalih). Kita lihat pergumulan antara mereka dalam mernperbaiki dan merusak. Lalu Anda lihat orang yang baik di keluarga itu mengikuti nasihat sang juru da’wah dan mengamalkannya. Lebih dari itu dia malah berusaha menyadarkan saudaranya yang jahat itu sehingga dia bisa melepaskannya dari jurang kesesatan, dan akhirnya dia bersedia mengikuti jalan hidup orang-orang Mu’min yang salih. Di sisi lain, Anda juga menjumpai orang yang memperturutkan syahwatn ya, tenggelam dalam kesia-siaan dan penyimpangan. Tutur katanya didominasi oleh kesia-siaan, dan prilakunya ngawur, penuh penyimpangan.
Dalam kondisi yang demikian. dia berusaha mempengaruhi saudaranya dan menarik temannya. Pergumulan tarik-menarik antara keduanya itu terus berlangsung secara terang-terangan maupun sembunyi, sehingga yang kuat akan mengalahkan yang lemah, sebagai wujud sunnatullah pada setiap pergumulan. Maka, jika para juru dawah itu tidak bisa memetik buah dan nasihatnya selain melindungi orang-orang yang beriman dan membentengi mereka dari gejolak syahwatnya, itu sudah sebagai suatu keuntungan yang besar dan pencapaian yang maksimal. Lebih-lebih jika sesudah itu dipersiapkan sejumlah pribadi untuk perbaikan, dan dijadikannya sebagai modal untuk bimbingan, dan sebagai tonggak penangkal atas orang-orang yang memperturutkan syahwat dan kedurhakaannya.
Tampilnya kelompok ini dengan suatu penampilan yang tidak patut bagi orang yang berakal, tidak sesuai dengan nilai-nilai kemuliaan. merupakan fenomena bahwa kehidupan manusia secara ruhani dalam mematuhi Tuhannya dan berpijak pada apa yang telah digariskan pada mereka itu bahwa kehinaan yang paling rendah adalah manakala manusia sudah seperti binatang, perhatiannya hanya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan perut dan kepuasaan hawa nafsunya belaka. Manusia telah dipersiapkan oleh Allah dengan segala potensinya untuk suatu kehidupan di balik kehidupannya di dunia ini, suatu kehidupan yang jauh lebih bernilai dari kehidupan yang fana ini. Mereka tidak akan bisa mencapai kehidupan yang luhur itu kecuali dengan menyucikan jiwanya dan membersihkan ruhaninya. Dan semua itu hanya akan bisa terwujud lewat Agama yang benar dan ilmu yang bermanfaat. Inti dari semua uraian di atas adalah, bahwa sikap putus asa itu datang dari syaithan Dan jika hal itu telah menguasai anda, wahai juru da’wah, hendaknya Anda memeranginya semampu mungkin dan melawannya dengan segala kekuatan yang ada pada diri Anda. Hendaknya terus Anda tegakkan apa yang diwajibkan oleh Allah di atas pundak Anda, menyampaikan nasihat dan bimbingan. Dan tinggalkan apa yang di luar kemampuan Anda, yaitu membuka kesadaran hati. Karena hal itu memang menjadi wewenang Sang Pencipta dan Pengendalinya, yang berkuasa mengarahkan dan mengendalikan hati seseorang sesuai dengan kehendak-Nya. “Dan jika suatu godaan syaitan itu menggoyangmu, maka hendaknya engkau memohon perlindungan kepada Allah. karena sesungguhnya Dia itu Maha Mendengar, (lagi) Maha Mengetahui”. (QS. al-A’raaf/7: 200)
0 komentar: