Pemikiran liberalisme di bidang agama berasal dan Barat, sebagai reaksi terhadap gereja yang dalam berbagai kasus menentang perkembangan ilmu pengetahuan. Misalnya, gereja melarang untuk menyiarkan penemuan Galileo kepada umum (1633) tentang prinsip heliosentris. Dengan teropong bintang (teleskop) dia berhasil meneliti benda-benda angkasa dan membenarkan pendapat Copernicus (1473-1533) bahwa bumi yang mengitari matahari (bukannya matahari yang mengitari bumi). Jadi, matahari sebagai pusat (heliosentris), bukannya bumi sebagai pusat (geosentris) seperti yang dianut oleh gereja pada waktu itu. Karena tidak setuju dengan pendapat gereja itulah, pendapat Galileo dilarang oleh gereja bahkan dia dihukum oleh gereja.
Faham liberalisme dalam bidang agama itu kemudian juga merambah pada kalangan cendekiawan Muslim, terutama yang memperoleh pendidikannya di dunia Barat. Di Indonesia, dimulai dengan gerakan pembaharuan Drs. Nurcholish Madjid (kini: Prof. Dr) dengan Sekularisasinya. Karena melihat kejumudan pemikiran keagamaan di kalangan ummat Islam, dia ingin mengadakan Pembaharuan Pemikiran Islam, dengan cara membebaskan diri dan kejumudan, membebaskan pemikiran keagamaan dari pemikinan yang diliputi oleh berbagai khurafat yang membelenggu ummat. Kalau targetnya membebaskan ummat dari belenggu khurafat yang menghambat kemajuan ummat, tentu tidak ada masalah karena memang demikianlah seharusnya. Tetapi, ternyata yang dikehendaki lebih dari itu.
Dalam wawancaranya dengan harian KOMPAS (1 April 1970) dia menyatakan bahwa gerakan pembaharuannya menembuh pembebasan dari “tetulage” (asuhan) agama. Sebelumnya, pada ceramahnya di Gedung Menteng Raya No. 58 Jakarta pada tanggal 3 Januari, dia menyatakan bahwa untuk membebaskan diri dari kejumudan (stagnasi) diperlukan proses liberalisasi (pembebasan, pen) terhadap “ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam” yang ada pada waktu itu. Bebas (liberal) dan ajaran dari pandangan Islam itulah yang tidak disetujui oleh kebanyakan ummat Islam kemudian. Sebab, jika seseorang sudah bebas dari asuhan Islam, mulailah ia meningg alkan Islam.
Ternyata pemikiran seperti itu muncul kembali di kalangan cendekiawan muda setelah lebih dari 30 tahun gerakan pembaharuan Nurcholish Madjid. Mereka menamakan diri sebagai Islam Liberal, tepatriya, Jaringan Islam Liberal (JIL). Tokoh-tokoh yang masuk dalam kelompok JIL ini antara lain: Nuncholish Madjid, Prod. Rn. Azyumardi Azra, M.A, Dr. Komaruddin Hidayat, Dr. Moeslim Abdurrahman, UIil Abshar Abdalla dan sebagainya. Bagaimana gambaran liberal (kebebasan) kelompok JIL ini, seperti yang dinyatakan oleh Nuncholish Madjid tentang kebebasan melakukan penafsiran ajanan Islam: Bahwa setiap orang berhak melakukan penafsiran ajaran Islam, tidak boleh membatasi kepada orang-orang tertentu. Akibatnya, jika setiap orang berhak menafsirkan ajaran Islam, padahal persyaratan minimal sebagai penafsir tidak dipenuhi, tafsirannya adalah ngawur. Kengawuran pendapat pengikut JIL misalnya, seperti pendapat Ulil-Abshar Abdalla (salah seorang aktivis JIL, juga ketua Lakpesdam NU): “Negara sekuler lebih utoma dan pad- a negara Islam ala fundamentalis. Karena dia menampung energi keshalihan dan kemaksiatan sekaligus”.
Dr. Moeslim Abdurrahman menyatakan: “Ketika syari‘at Islam diterapkan, maka ada tiga pihak yang dikorbankan. Pertama, kaum perempuan, karena harus menerapkan jilbab. Kedua, kel ompok non muslim yang menjadi warga kelas dua. Dan korban ketiga adalah orang-orang miskin, karena rentan melakukan pencurian”. (Sabili, No. 15 Tb. IX, 25 Januani 2002 hlm. 76).
Islam Kaffah
Islam adalah agama yang sempurna, lengkap mengatur setiap dimensi kehidupan manusia: Sosial, ekonorni, politik, budaya maupun kehidupan pribadi. Jadi, Islam sudah semestinya rnenjiwai dan membimbing kehidupan-kehidupan benmasyarakat, bermata pencaharian, berpolitik/bernegara, berbudaya maupun kehidupan pribadi. Islam tidak menghendaki pemeluknya lepas dari tuntunan Allah. Petunjuk Allah (di dalam al-Qur’an) yang akan membawa kebenaran, bukannya yang lain. Firman Allah:
Katakanlah: “Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang menunjukkan kepada kebenaran?” Katakanlah: “Allah-lah yang menunjuki kebenaran”. Apakah Yang menunjuki kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (bila) dibeni petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian?). Bagaimanakah kamu mengambil keputusan? (QS. Yunus/1O: 35).
Petunjuk Allah secara terinci terformulasikan dalam ajaran Islam yang berisi ‘aqidah Islam, syari’at Islam tentang ibadah dan mu’amalah, maupun akhlaq Islam. Para ulama Islam telah menciptakan metode pemahamannya sehingga kita lebih mudah mempelajarinya, sebagaimana tersaji dalam ilmu-ilmu Fiqih/ Ushul-Fiqih, Musthalah al-Hadits, Ulumul Qur’an, Ilmu ‘Aqidah maupun Ilmu Akhlaq. Semua itu, jika kita pelajari secara tekun dan teliti, akan membuahkan pemahaman tentang Islam secara komprehensif/menyeluruh dan lebih mendekati kebenaran sebagai yang dikehendaki oleh Allah. Semua itu merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (teladan utama bagi orang yang mendambakan keridhaan Allah. QS. Al-Ahzab/33: 38).
Jadi, agar dapat maju ummat Islam tidak perlu membebaskan dirinya dari asuhan Islam. Justru sebaliknya, asuhan Islam diperlukan agar ummat islam dalam meraih kemajuan tidak tersesat. Bahkan asuhan Islam memberikan ruh dan kemajuan yang dicapai. Syaikh Muhammad ‘Abduh telah memberikan jawaban:
“Orang-orang Nashrani meninggalkan agamanya, maka mereka pun maju. Dan orang-orang Islam meninggalkan agamanya, maka mereka pun mengalarni kemunduran”
Jadi, untuk meraih kemajuan orang Islam tidak dapat dengan meninggalkan agamanya. Orang Islam yang memahami agamanya secara komprehensif justru tertantang untuk meraih kemajuan ilmu dan teknologi. Islam memang mendorong ummatnya untuk meraih ilmu sebanyak-banyaknya.
0 komentar: