Munculnya kecenderungan di kalangan mahasiswa dan ilmuwan yang berkecimpung dalam sains dan teknologi bukanlah hal yang baru ketika kesadaran keislaman mereka mulai tumbuh, banyak diantaranya yang kemudian hengkang dari posnya. Bermacam alasan mereka kemukakan. Ada yang ingin mendalami ilmu agama untuk menjadi ahli pula dalam ilmu-ilmu syari’at. Acap kali alih posisi ini terjadi di kalangan mahasiswa yang tinggal sedikit langkah lagi sudah meraih tingkat keahlian yang diakui. Ada yang bahkan kemudian beralih profesi menjadi ustadz dan ustadzah yang mengajarkan fiqh. setelah sekian lama mempelajari ilmu-ilmu umum Dari sisi tumbuhnya kesadaran berislam. fenomena ini sudah selayaknya kita syukuri. tetapi dari sisi tinjauan sistemik fenomena ini jelas tidak sehat bagi kepentingan ummat secara keseluruhan.
Sebagai sebuah gejala awal sebuah kebangkitan kesadaran kita bisa memaklumi. Ibarat orang baru bangun tidur wajar kalau dia masih limbung karena belum mencapai kesadaran penuh. Namun tentu saja fenomena ini tak boleh berkelanjutan sebagai sebuah mainstream perjalanan pembagunan ummat. Bagaimaapun manusia dibatasi oleh kapasitas pikiran dan kemampuan. Tidak mungkin seseorang menjadi ahli dalam segala bidang pada masa sekarang ini. Dan sini nampak urgensi pemahaman posisi saintek dalam fiqh Islam. Sebuah renungan tentang hal ini penulis sodorkan sebagai surmbangan gagasan.
Menempatkan urgensi suatu masalah sangat dipengaruhi oleh kepentingan dan keterlibatan seseorang terhadap permasalahan tersebut. Demikian halnya pandangan terhadap saintek. Ada tiga sikap yang berkembang di dalam masyarakat dalam hal ini.
I. Menolak sepenuhnya akan dimasukkannya sains dan teknologi dalam konsepsi Islam.
2. Meyakini akan adanya sainstek dalam konsepsi Islam sekaligus menempatkannya sebagai agenda terpenting dalam persoalan ummat. Pendapat ini banyak dipegangi kalangan yang berkecimpung langsung dengan saintek. punya ghirah tinggi memperjuangkan Islam tetapi kurang memahami prioritas ilmu dalam Islam. Saintek menjadi isyu terpenting mengatasi problema krisis Aqidah dan pemahaman syari’ah.
3. Menempatkan saintek dalam tatanan proporsional sebagaimana mestinya tidak menggeser disiplin ilmu yang lebih diprioritaskan dalam Islam. Inilah tentu harapan bagi kita semua. Kita mampu bersikap yang semestinya sebagaimana yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.
Sejarah Saintek
Saintek yakni sains dan teknologi merupakan buah karya kolektif manusia sepanjang sejarah kemanusiaan. Ia tersusun dari hasil kreativitas bani Adam. senantiasa mengalami pengembangan. koreksi dan bertambah seiring dengan alih generasi dan berputarnya waktu. Setiap puncak peradaban selalu memberikan kontribusi pengembangan saintek bagi puncak peradaban berikutnya. Walaupun tentu saja dari segi kualitas dan kuantitasnya akan berbeda-beda.
Semestinya tak layak jika saintek itu diklaim sementara pihak. kemudian dikatakan merekalah yang menyusun bangunan teknologi, Seperti sekarang terjadi karena Barat telah berhasil meraih kemajuan saintek yang spektakuler paling akhir maka sementara pihak menafikan kontribusi yang telah diberikan oleh peradaban negeri-negeri lain. Seakan saintek hanya pernah muncul di Barat. dan semua orang berguru ke sana. Timbulnya fenomena ini tak bisa dilepaskan dari kekaburan sejarah saintek yang tersebar di masyarakat. Satu misal kontribusi peradaban Islam terhadap saintek sama sekali tak pernah disebut dalam sejarah. Seakan sejarah kemanusiaan pernah mengalami masa kemandegan perkembangan saintek selama sekitar tujuh abad yaitu sejak runtuhnya imperium Romawi sampai revolusi industri di Barat. Sementara kesejahteraan dan kemakmuran yang dialami sepertiga belahan dunia wilayah kekhalifahan Islam tegak tanpa sains dan teknologi. Tentu saja sangat tidak 1ogis.
Perkembangan saintek dan arah perkembangannya tak bisa dilepaskan dari berbagai dimensi yang melingkupinya stebilitas politik sebagai contoh merupakan variabel yang sangat berpengaruh. Ketika sebuah negeri selalu dilanda krisis politik niscaya perkembangan sainteknya akan tersendat-sendat. karena porsi perhatian dan energi masyarakat akan terkuras untuk terlibat dalam krisis. Ummat Islam cukup punya pengalaman dalam hal ini. Kemajuan saintek yang dibina selama tujuh abad pertama dengan cepat runtuh karena krisis politik. Pendapat ini pula yang dipegangi oleh Ibnu Khaldum sebagaimana diungkapkan dalam Muqaddimahnya: ‘Ilmu pengetahuan hanya tumbuh dalam peradaban dan kebudayaan yang berkembang pesat. Sebabnya ialah karena pengajaran ilmu merupakan salah satu keahlian. Telah pula kami nyatakan bahwa keahlian-keahlian hanya tumbuh pesat di kota-kota, Kualitas dan jumlah keahlian tergantung pada besar atau kecilnya luas peradaban, kebudayaan dan kemewahan yang dinikmati di kota-kota. Keahlian-keahlian yang maju pesat memang merupakan bagian tambahan pada penghidupan. Apabila orang-orang yang berperadaban memiliki pekerjaan-pekerjaan yang berpenghasilan lebih dari kebutuhan hidup mereka. kelebihannya itu dipergunakan untuk aktifitas di luar dan di atas penghidupan. Aktifitas ini merupakan hak istimewa manusia. yaitu ilmu-ilmu pengetahuan dan keahlian-keahlian. Lebih lanjut beliau melanjutkan analisisnya tentang masa keunggulan saintek di dunia Islam: Baghdad. Qordoba, AlQairawan, Bashrah dan Kufah semasa munculnya Islam memiliki peradaban dan kebudayaan yang tinggi. Perhatikan bagaimana lautan ilmu pengetahuan begitu melimpah di sana, bagaimana sebagian penduduknya tampil sebagai ahli-ahli di dalam istilah-istilah pengajaran ilmu dan dalam semua disiplin ilmu, bagaimana berbagai persoalan ilmiah disarikan dari bermacam disiplin ilmu disimpulkan, sehingga mereka melampaui kepandaian para sarjana terdahulu dan kemudian. Namun setelah peradabannya merosot dan penduduknya berkurang. ilmu dan segala yang ada di atasnya itu menjadi sirna. Bersama itu pula lenyaplah ilmu pengetahuan dan pengajarannya. dan pindah dari sana kekota-kota Islam lainnya.
Demikian pula moral. budaya dan pola hidup masyarakat memiliki pengaruh besar terhadap perkernbangan saintek. Barat mengalami masa kemunduran saintek - The dark age (abad kegelapan) terutama disebabkan secara konsepsional telah menolak saintek. Sehingga saintek di Barat muncul sebagai sebuah pemberontakan kepada konsepsi pegangan masyarakatnya yakni fatwa gereja. Namun akhirnya kata sepakat pun dicapai dengan konsep sekularisme. Gereja mengurusi masalah-masalah ual sementara saintek menjadi urusan para cendekiawan. Sejak itu saintek Barat melaju dengan pesat.
Saintek Dalam Konstelasi Konsepsi Islam
Dikotomi saintek dengan agama bukanlah persoalan ummat Islam. karena sudah selesai sejak ajaran Islam yang mulia diturunkan ke dunia ini. Allah swt yang Maha Pengasih dan Penyayang tentu tak membiarkan ummat manusia kebingungan menyelesaikan persoalanya dalam tingkat konsepsional maupun praktis dalam masalah saintek. Islam memberikan bimbingan cara menarik manfaat dari saintek dan menghindar dan mafsadatnya. Persoalan ummat Islam yang penting sekarang adalah bagaimana menempatkan persoalan saintek dalam agenda permasalahan ummat secara proporsional sesuai dengan bimbingan syari’at Islam. Saintek kini telah tumbuh tak terkendali. lepas dari dimensi kepentingan manusia. Saintek telah menjadi barang mahal yang banyak orang tidak menikmati selain kekaguman-kekaguman. Perkembangan industri yang amat pesat tidak lebih hanya berakibat masyarakat semakin sulit mencarii air bersih dan semakin sesak napasnya menghirup udara yang semakin pekat terkontaminasi polusi. Teknologi robot yang gangkan ternyata hanya semakin membuat bengkak angka pengangguran. Belum lagi proyek-proyek pengembangan teknologi mubadzir sepeiti teknologi ruang angkasa. yang juga dikeluhkan oleh para ilmuwan Barat. Seperti diungkapkan oleh Harvey Brooks dalam sebuah seminar di Paris dan dikutip Ziauddin Sardar dalam Sains, Teknologi di pembangunan di dunia Islam: “Dalam banyak hal program ruang angkasa benar-benar telah berhasil dalam waktu yang singkat selama dasawarsa 1969, walaupun tercapainya tujuan itu akhirnya ternyata pahit karena jelas berbenturan dengan program-program keadilan sosial, dan kemudian disadari betapa kita masih jauh dari tujuan-tujuan yang dicetuskan dalam program-program itu”.
Pengetahuan yang bisa dicapai manusia ibarat sebuah pohon memiliki cabang-cabang yang amat banyak. Pertumbuhan dari masing-masing cabang bisa sedemikian panjang sehingga melahirkan pohon yang tidak serasi. Sebuah upaya menyusun format yang seimbang sangat diperlukan. Dengan ungkapan lain menjadi sebuah tuntutan akan adanya sebuah skala priontas dari berbagai pengetahuan itu. Sebagai langkah pertama diperlukan sebuah klasifikasi. Satu konsep yang pernah disusun oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya’Ulumuddinnya tentang ini sebagai berikut:
Pertama Ilmu Syari’at
Semua bagian ilmu syari’at terpuji tidak ada yang tercela. Secara keseluruhan meliputi:
1. Ushul (pokok): Kitabullah,, Sunnah Rasul saw. Ijma’. dan peninggalan para shahabat,
2.. Furu’ (cabang): Apa yang dipahami dari pokok di atas.
3. Muqaddimah (pengantar): alat memahami seperti bahasa Arab. Tata bahasa. menulis.
4. Pelengkap: ilmu tafsir, ilmu hadits. dan ushul fiqh.
Kedua Ilmu non Syari’at
Sedangkan yang termsuk kelompok kedua dapat dibedakan menjadi sebagai berikut:
1. Ilmu yang terpuji :
a. Ilmu fardhu kifayah: ilmu kedokteran. berhitung. pertanian. pertenunan. politik. pokok-pokok perusahaan, dsb.
b. ilmu utama yang tidak fardhu kifayah: mendalami ilmu berhitung. kedokteran dan lain-lainya yang tidak begitu penting.
2. Ilmu yang dibolehkan: pengetauan tentang syair-syair yang tidak cabul, berita-berita sejarah dsb.
3. Ilmu yang tercela: ilmu sihir, mantera-mantera, ilmu tenung dan ilmu balik mata.
Melangkah ke tahap berikutnya yakni menetapkan skala prioritas. Ummat Islam telah akrab dengan hukum yang lima (ahkamul khamsah) yakni Wajib. sunnah. mubah, makruh, dan haram. Sekaligus pula kita dituntut menempatkan urutan dengan tepat. Tidak dibenarkan ketika yang wajib dikalahkan oleh yang sunnah apalagi yang mubah. dan seterusnya.
Riwayat berikut akan lebih memperjelas akan perlunya skala prioritas bahkan dalam masalah syari’at sekalipun. Dan Nu’man bin Basyir ra berkata: Saya berada dekat mimbar Rasulullah saw. dan seorang laki-laki berkata: “Saya tidak perduli. kalau tidak mengejakan amal sesudah memeluk Islam. selain dari memberi minum orang-orang yang datang mengerjakan haji. “Yang seorang lagi berkata: Saya tidak perduli. kalau tidak mengerjakan amal sesudah memeluk Islam. selain dari memelihara Masjidil Haram”. Yang lain berkata: “Berjihad di jalan Allah lebih baik dari apa yang kamu sebutkan tadi”. Lalu Umar membentak mereka dan mengatakan Jangan kamu keraskan suaramu dekat mimbar Rasulullah saw. karena sekarang hari Jum’at. Nanti setelah saya selesai shalat Jum’at saya akan datang kepada Nabi meminta keputusan tentang apa yang kamu perselisihkan itu. Lalu Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat: “Apakah (orang-orang) yang memberi minum kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram. kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad dijalan Allah? Mereka tidaksama di si Allah, dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zhalim". (QS. at-Taubah: 19) (Shahih Muslim: 1879).
Amal Jihad dengan resiko bertaruh nyawa jelas lebih tinggi kedudukannya dibanding melayani orang beribadah haji dan memelihara masjidil haram. Ilmu syariat menempati prioritas pertama karena menjadi pembimbing langkah-langkah kita. Di dalamnya ada yang merupakan fardhu ain dan ada yang fardhu kifayah. Atau dalam istilah Imam Syafi’i ada ilmu ‘ammah yaitu ilmu yang tidak boleh diabaikan oleh setiap Muslim yang baligh dan berakal sehat. Seperti shalat lima waktu. kewajiban puasa di bulan Ramadhan, hajji di Baitullah bila mereka mampu.. zakat harta. pengharaman zina. pengharaman pembunuhan. pencurian dan minuman khamar. dan lain-lain yang semakna dengan ini. serta memaksa para hamba memikirkan dan mengamalkan serta memberikan dari jiwa dan harta mereka. dan meninggalkan apa yang diharamkan atas mereka. Macam ilmu ini sehuruhnya terdapat nashnya dalam Kitabullah (al-Qur’an) dan dapat diperoleh secara umum di kalangan orang-orang Islam. Khalayak ramai menerimanya dan ummat Islam yang mendahuluinya dan mereka meriwayatkannya dari Rasulullah saw. Dan tiada seorangpun yang rnemperselisihkan sumber dan kewajibannya atas mereka. lnilah pengetahuan umum yang tidak mungkin terjadi kesalahan. baik khabarnya maupun ta’wilnya dan tidak perlu dipertentangkan lagi.
Kedua. Ilmu khashshah {ilmu khusus):
yaitu apa-apa yang dibebankan kepada manusia dan cabang-cabang (furu’) kewajiban dan hukum-hukum tertentu. tidak ada nashnya dalam al-Kitab (al-Qur’an) dan kebanyakan tidak ada pula dalam sunnah (al-Hadits) dan jika ada nashnya. maka nashnya tersebut banyak bersifat khabar khusus (hadits ahad) tidak bersifat khabar umum (hadits mutawatir). dan dengan adanya hadits ahad masih memungkinkan timbulnya ta’wil (perbedaan dalam penafsiran). Sedangkan berkaitan dengan ilmu non syari’at yang fardhu kifayah ada tiga kriteria yang diungkapkan oleh syaikh Sa’id Hawwa:
1. Semua yang dibutuhkan untuk menegakkan agama dan dunia termasuk fardhu kifayah.
2. Semua yang dibutuhkan untuk menyampaikan hak kepada yang berhak. termasuk fardhu kifayah.
3. Semua hal yang jika tak dilaksanakan hal itu tidak terlaksana kewajiban. Dengan kata lain semua sarana yang dipergunakan untuk melaksanakan kewajiban. termasuk fardhu kifayah.
Berdasarkan ktiteria yang diungkapkan oleh Syaikh Sa’id Hawa kita mendapati ada beratur-ratus bahkan beribu-ribu cabang-cabang saintek yang merupakan fardhu kifayah. Apalagi menyadari kondisi sebagian ummat Islam sekarang ini yang sebagian tertindas dan teraniaya sementara langkah-langkah kita baru berdo’a kalau ummat Islam hendak menolong akan berhadapan dengan dinding kekuatan internasional yang rumit. Di sinilah terlihat kepentingan ilmu poitik. ekonomi dan penguasaan teknologi kémiliteran oleh kaum Muslimin. Demikian halnya berhadapan dengan efek negatif media massa baik menyangkut pornoisme, sadisme maupun manipulasi dan penipuan berita sudah menjadi syarat mutlak ummat Islam menguasai teknologi informasi berikut manajemannya. Sudah berulangkali ummat Islam dipecundangi oleh media yang tidak menyukai atau tidak paham Islam tanpa pernah bisa membalas.
Penguasaan saintek tak bisa dipandang dengan sebelah mata. Betapa kita telah berlaku sembrono dengan menyerahkan jiwa dan aurat yang merupakan kehormatan kita kepada dokter-dokter non Muslim ketika berobat, Ketika teknologi kedokteran di dalam negeri tidak mampu mengatasi penyakit yang diderita seorang Muslim diaarikanlah dia ke Amerika. Australia atau Jepang diobati di sana. Ummat Islam sering beralasan dharurat sementara upaya melepaskan dharurat belum seberapa. Berbicara tentang ilmu kedokteran kita akan mendapati berbagai cabang sepesialisasi yang masing-masing memerlukan ahlinya. Juga pendirian rumah sakit, penguasan teknologinya, manajemennya. Berpuluh-puluh bahkan berates-ratus cabang kedokteran yang juga fardhu kifayah.
Di antara beribu-ribu fardhu kifayah ini tentunya perlu dilakukan urutan prioritas sesuai dengan kepentingan ummat sekarang ini. Sebuah tugas besar yang tidak mudah memerlukan upaya bersungguh-sungguh dari berbagai pihak. Namun ini persoalan penting menyangkut eksistensi kaum Muslimin dan sekaligus bagian dari fiqh Islam yang tak boleh diabaikan.
Penutup
Meminjam pendapat Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwy beliau sampaikan bahwa para ahli pikir Islam pada masa itu (masa surut kejayaan Islam) banyak yang itdak memperhatikan dan mempelajari ilnu pengetahuan yang bersangkutan dengan fisika dan ilmu teknik lainnya yang akan memberikan manfaat yang lebih besar dari ilmu filsafat dan theologia yang mereka pelajari dari bangsa Yunanim Lebih lanjut dikatakannya:’Andaikata kaum Muslimin pada masa itu mau memikirkan ilmu-ilmu yang dapat menunjang kepentingan Islam dari kaum Muslimin pasti keadaan mereka tidak separah ini. Wallahu A’lam
0 komentar: