Jumat, 10 Februari 2017

Poligami ? Mengapa tidak


Dalam salah satu edisinya. sebuah majalah Islam menyajikan permasalahan nikah sebagai tema utamanya Dengan alasan. sebagaimana dinyatakan redaksi dalam pengantarnya. Pertama, karena pernikahan mempunyai kedud ukan yang khas di antara setumpuk masalah lain yang menjadi agenda besar ummat Islam. dan munculnya fenomena “menumpuk”nya Muslimah siap nikah yang belum menikah. Namun artikel-artikel yang ada terkesan hanya berisi dorongan bagi para bujangan untuk menikah, Yang sekiranya anjuran-anjuran tersebut dilaksanakan, tetap tidak dapat menjawab permasalahan di atas dengan tuntas. Solusinya bersifat palliatif, hanya meringankan masalah namun tidak menyelesaikannya. Atau bahkan sekedar keluar dari suatu masalah. masuk ke masalah yang lain.Sedangkan permasalahan semakin banyaknya jumlah Muslimah yang laik menikah narnun belum mendapatkan jodohnya. tetap tak terpecahkan Padahal, sebagaimana yang dikatakan redaksi majalah tersebut, “daftar tunggu yang ada tiap hari selalu bertarnbah’.

Poligami (ta’adud), pernikahan seorang laki-laki dengan lebih dari seorang wanita (hingga maksimal empat orang). sebagai salah satu jalan keluar Islami atas permasalahan tersebut rupanya terlewatkan atau sengaja dilewatkan oleh redaksi untuk disodorkan tentunya dengan sejumlah alasan tertentu. Padahal dengan tidak/belum ditemukannya jalan keluar yang lain. poligami merupakan hal yang menarik untuk dikemukakan. mengingat Ia merupakan salah satu bagian dan konsep islam dalam menata masyarakat. Namun alih-alih dipandang sebagai salah satu alternatif solusi atas permasalahan tersebut. seringkali kaum Muslimin memandang negatif terhadap poligami dengan sejumlah keberatan yang menyertainya.

Keberatan Masyarakat Umum Atas Poligami Sesungguhnya poligami adalah hal yang sangat lumrah dan manusiawi. Ia telah ada bahkan jauh sebelum Islam menetapkannya melalui syaria yang dibawah oleh Nabi Muhammad saw. Poligami telah menjadi ketentuan hukum Allah sejak zaman Nabi Nuh as. dan ada pada semua agama samawi. termasuk agama Nasrani yang dibawah isa al-Masih (sebelum agama tersebut diselewengkan oleh oknum-oknum pemeluknya di kemudian hari). Yang menjadikan poligami masalah besar dan ramai diperdebatkan adalah karena sekelompok orientalis yang dengan kedengkiannya menjadikan poligami sebagai sasaran bidik mereka untuk mendiskreditkan Nabi Muhammad beserta masalah yang dibawanya. Anehnya. mereka tidak pernah melancarkan kritikan-kritikannya terhadap Nabi Daud atau Nabi Sulaiman yang beristri sampai beratus-ratus orang. Mereka tetap menganggap Daud sebagai seorang Nabi dan Raja yang sangat mulia. dan bahkan menisbatkan isa al-Masih kepadanya.

Lucu memang. Dengan sejarah penjajahannya yang panjang. melalui penguasaan media massa dan sistem pendidikan. tidak urung hiruk-pikuk kaum salibis tersebut sampa pula di telinga kaum Muslimin dan bersemayam pada sebagian benaknya. dan generasi ke generasi. Hingga berhasil memunculkan citra baru tentang poligami kepada kaum Muslimin sebagaimana yang mereka kehendaki. yaitu sebagai monster bagi kaum wanita Dan dikesankan sebagai aib bagi agama Islam yang menjadikan kaum Muslimin malu untuk mendiskusikannya. apalagi melaksanakannya.

Monster itu semakin tampak nyata ketika pada kenyataannya pelaksanaan poligami oleh masyarakat awam seringkali tak mengindahkan syarat dan batas-batasnya. pun tidak dilandasi oleh motivasi yang islami, Kenyataan tersebut seolah melegitimasi pandangan negatif masyarakat atas poligaami. sehingga pelaksanaan poligami merupakan pelanggaran atas kehormatan dan hak-hak wanita sarana pelampiasan nafsu seksual laki-laki. dan bahkan sebagian Muslimah menyatakan: poligami berlawanan dengan fitrah wanita yang tidak ingin dimadu. Sekiranya mereka memahami batas dan syarat-syarat poligami dalam Islam niscaya mereka tidak akan mengatakan demikian. Justru. poligaini lebih menjamin atas semua itu. Terlebih bila diperbandingkan dengan sistem kehidupan modern saat ini. di mana ditutupnya pintu poligami telah rnembuka pintu bagi suburnya pelacuran dan pergundikan. di mana hak dan kehormatan wanita tak lebih berharga dari lembaran-lembaran uang.

Sedangkan pandangan dan perasaan seseorang terhadap sesuatu tidaklah terlepas dari nilai-nilai yang diyakininya. Begitu pula halnya dalam memandang poligami. akan sangat dipengaiuhi oleh sejauh mana pengetahuannya tentang syariat islam. Sekiranya ia melihat poligami dengan kacamata Barat. niscaya ia takan menemukan apa-apa selain keburukan di dalamnya. Namun bila ia memandang dengan kerangka nilai Islam, mustahil akan ada rasa keberatan atas sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasulnya. Dan akalnya akan memahami hikmah atas segata ketetapanNya.

Keberatan Aktivis Dawah Atas Poligami Sebagian aktifis da’wah berpendapat bahwa poligami belum saatnya untuk dilaksanakan, Oleh karenanya. dalam menanggulangi masalah menumpuknya jumlah muslimah yang belum menikah, mereka cendrung untuk menghindari poligami sebagai solusinya. Usaha yang ditempuh sebatas mendorong para bujangan yang dipandangnya telah laik nikah untuk segera menikah. Sebagian lagi, bahkan dengan cara menurunkan kriteria calon suami bagi Muslimah yang bermasalah tersebut.

Hal itu tentu saja tidak salah. Namun yang mengherankan dalam penanganan kasus-kasus seperti itu. ialah jarangnya untuk tidak mengatakan tidak pernah diajukannya poligarni sebagai suatu alternatif penyelesaian. Ada beberapa alasan yang biasa diajukan untuk mendukung pendapat belum saatnya poligarni dilaksanakan. di antaranya:

1. Ketidaksiapan masyarakat dalam menerima poligami, dikaitkan kondisi ini dengan fighud da’wah.
2. Poligami dapat menurunkan aktivitas dan produktifitas da’wah pelakunya, sehingga ada pula yang berpendapat. yang penting saat ini adalah bagaimana mengoptimalkan peranan istñ (yang satu).
3. Poligami merupakan altematif terakhir yang dilaksanakan dalam kondsi darurat.

Alasan-alasan di atas cukup mengherankan. Selain bertolak belakang dengan dalil-dalil syañ. juga tidak selaras dengan kondisi dan kebutuhan kaum Muslimin saat ini. khususnya di kalangan aktifis da’wah itu sendiri. Sesungguhnya ketetapan hukum suatu masalah dalam syari’at Islam tidaklah diukur oleh kemauan atau sejauh mana penerimaan masyarakat banyak terhadap masalah tersebut. Menerima ketetapan syari’at Islam adalah satu masalah. sedangkan ketidaksiapan masyarakat untuk menerima atau melaksanakannya adalah masalah lain. Di pandang dan Fiqhud da’wah masalah tersebut bukanlah alasan bagi gerakan da’wah untuk mengurungkan pelaksanaan suatu ketetapan hukum. tetapa justru menjadi tantangan untuk mempersiapkan atau mengkondsikan masyarakat agar mau menerima dan mampu melaksanakannya, Salah sam metode yang paling efektif untuk tujuan tersebut adalah melalui teladan nyata,. disamping penyebarluasan konsepnya.

Pada kenyataannya. tidak sedikit hukum-hukum Islam yang pada mulanya asing atau bahkan ditolak oleh masyarakat. lambat laun diterima adanya bukti nyata akan kebenaran dan kemanfaatannya. Seperti masalah jilbab. penerapan hijab dalarn resepsi pernikahan dan acara-acara resmi lainnya. dan sebagainya. Dan sekiranya poligami itu tidak dicontohkan oleh para aktifis dawah yang telah memahami Islam. namun tetap dilakukan oleh orang-orang awam sebagaimana yang sering terjadi di tengah masyarakat (dengan motivasi dan cara yang salah). hal ini akan semakin memperkuat citra negatif tentang poligami.

Menarik simpati masyarakat terhadap da’wah bisa melalui beragam cara. Dan menghindari poligami yang sudah jelas perkenannya dalam syari’at Islam tidak termasuk salah satu diantaranya. Bahkan pelaksanaan poligami yang Islami bisa menjadi salah satu cara untuk menarik simpati masyarakat itu sendiri. Seorang Muslim yang berpoligami. berakhlak baik dan mampu bersosialisasi dengan masyarakat akan memiliki nilai da’wah tersendiri. Perlu pula diingat. aktititas dan produktifitas seseorang dalam da’wah akan berbeda sesuai dengan status dan keahliannya. Peranan seorang bujangan tidaklah mungkin sama dengan orang yang telah menikah, begitu pula antara yang beristeri satu sama dengan yang beristeri empat. atau antara profesor dengan tukang sayur. Masalahnya bukanlah berarti seorang bujangan lebih produktif daripada yang telah menikah atau aktifitas seorang profesor lebih berarti daripada tukang sayur. namun bagaimana setiap orang dapat berperan sesuai dengan status dan keahliannya masing-masing.

Sejarah Islam pun membuktikan, bahwa dawah yang dilaksanakan oleh Rasulullah saw. beserta para shahabatnya. membuahkan hasil yang gemilang. padahal kebanyakan dari mereka berpoligami. Ataukah kita akan berani mengatakan: Sekiranya mereka tidak berpoligami tentu hasilnya akan lebih baik ?”

Dalam majalah Ishlah No.40/IIJ/1995. seorang penulis mengusulkan tiga saran bagi Muslimah yang siap menikah namun belum kunjung menikah juga. Ia menulis:

Altematif terakhir adalah ta’adud (poligami). Sebetulnya alternatif ini tidak penulis sarankan. Jika menimbang rasa. Penulis berpendapat belum saatnya alternatif ini ditempuh Namun menurut logika. jalan ini adalah salah satu pintu darurat yang dapat digunakan”. Pendapat yang menghubungkan pelaksanaan poligami dengan kondisi darurat sehingga menjadikannya sebagai alternatif terakhir, tidaklah berlandaskan pada argumentasi yang kuat. alias mengada-ada. Sebab pembolehan poligami dalam Islam tidaklah dikaitkan dengan kondisi darurat. Rasulullah saw. begitu pula para shahabatnya. berpoligami bukanlah karena darurat. Poligami Dalam Pandangan Islam Dasar-dasar poligami dalam Islam terdapat dalam dua ayat beñkut. yaitu:

Maka kawinkanlah wanita-wanita (lain) yang kamu sukai dua. tiga. atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berbuat adil maka kawinilah seorang saja. atau budak-budak yang kamu miliki yang demikian itu adalalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. an-Nisa: 3)

Dan Firman Allah swt: Dan kamu sekali-kali tdak akan dapat berlaku adil diantara istri-istrimu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. ( an-Nisa: 129).

Dari kedua ayat di atas dapatlah diambil beberapa pengertian sebagai berikut:

1. Diperbolehkan poligami hingga batas empat wanita.
2. Poligami diperkenankan dengan syarat adil kepada semua istri. Adil yang disyaratkan pada ayat pertama ialah dalam urusan makanan. pakaian. tempat tinggal. dan segala hal yang bersifat materi.
3. Ayat pertama juga mensyaratkan mampu memberi nafkah kepada semua istri dan anak-anaknya. pengertian ini diambil dari tafsir an laa tauluu”, yaitu agar tidak bertambah tanggunganmu sedangkan kamu tidak mampu memberikan nafkah kepada mereka.
4. Ayat kedua menjelaskan adil dalam cinta dan kasih sayang terhadap semua istri adalah diluar kemampuan manusia. Dalam masalah ini Rasulullah saw. pernah berdo’a: ‘Ya Allah. ini bagianku yang dapat kukerjàkan. karena ini janganlah Engkau mencelaku tentang apa yang Engkau kuasai sedang aku tidak menguasainya. Kata Abu Daud: ‘Yang dimaksud dengan Engkau kuasai sedang aku tidak menguasainya ialah hati’. (HR Abu Daud. Tirmidzi Nasa’i dan Ibnu Majah).

Sebagian kalangan yang menolak poligami seringkali mempertentangkan kedua ayat tersebut dengan menyatakan: “kebolehan poligami diikuti dengan syarat yang sangat berat di mana manusia tidak bisa memenuhinya dengan kata lain mustahil untuk dilaksanakan. Sayid Sabiq menyatakan dalam Fiqhus Sunnahnya:

“Kedua ayat tersebut tidak bertentangan. karena adil yang dituntut pada ayat pertama yaitu adil dalam masalah-masalah materi yang dapat dipenuhi oleh manusia. bukan adil dalam hal cinta dan kasih sayang. sebab hal itu diluar kemarnpuan seseorang’. Adalah tidak masuk akal Allah membolehkan sesuatu dengan syarat yang mustahil dipenuhi oleh manusia.

Tidak sedikit ayat dan hadits Nabi yang mengindikasikan kebolehannya berpoligami. Seperti ayat yang melarang menghimpunkan dalam satu pernikahan dua perempuan bersaudara (QS. 4:23). hadits yang melarang menghimpunkan dalam satu pernikahan antara wanita dengan bibinya (HR Tirmidzi 3:446). Maka apakah artinya larangan-larangan tersebut jika poligami adalah sesuatu yang mustahil? Di atas landasan inilah para shahabat, tabi’in. dan orang-orang mu’min yang mengikuti mereka berpoligami. dan mereka memandang positif terhadap perbuatannya itu.
Sa’id Ibnu Jubair berkata: ‘Ibnu Abbas bertanya kepadaku: Apakah kamu sudah menikah? Kujawab: ‘Belum Lalu ia berkata: “Menikahlah! karena sebaik-baik orang dari ummat ini ialah orang yang banyak istrinya. (Bukhari. Kitab Nikah).

Ibni Qudamah berkata: Islam mendorong untuk berpoligami. poligami bukan sekedar boleh tapi dianjurkan karena Nabi menikah dengan jumlah yang banyak begitu pula para shahabat. Tidaklah Nabi dan para shahabat melakukan suatu perbuatan kecuali perbuatan tersebut afdhal
Dan menurut riwayat dari Abd bin Huaid. lbnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim. Qatadah mengomentari ayat 3 surat an-Nisa sebagai berikut: “Kalau engkau takut tidak akan adil beristri empat. maka beristri tiigalah. Bila takut tidak akan adil beristri tiga. Beristri dualah. Kalau takut akan adil beristri dua. cukuplah satu saja. Selebihnya ialah milikmu (budak). Interpretasi Qatadah ini menganjurkan mulai dari beristri empat.

Penutup

“Islam adalah agama yang selaras dengan fitrah manusia dan realistis, mendidik dan menjauhkan manusia dari sikap teledor dan bermalas-malas. Begitulah yang kami saksikan dengan gamblang dalam hubungannya dengan masalah poligami”.

Demikian tulisan Yusuf Qardhawi dalam bukunya Halal dan Haram dalam Islam. Dengan sejumlah kemaslahatan tertentu, baik secara individual maupun kondisi sosial, islam memperbolehkan poligami demi kepentingan umat manusia itu sendiri. Kebolehan terhadap syariat islam serta segala hikmah yang menyertainya mengakibatkan pelaksanaan poligami yang tidak mengendalikan syarat dan batas-batasnya. Inilah yang telah membuat citra buruk poligami di tengah masyarakat. Bahkan dewasa ini, banyak lapisan masyarakat yang memandang poligami sebagai perbuatan tercela dan hina. namun memandang praktik perzinaan,. dalam berbagai bentuknya. sebagai soal kecil dan biasa. Lalu. apakah dengan menutup-nutupi usaha pelaksanaan poligami atau melarangnya dapat menyembuhkan masyarakat dari kebusukan semacam itu? Tidak Mengekang dan mencegah sesuatu yang halal (poligami) tidaklah termasuk dalam kebijaksanaan syari’at Islam”. tandas Muhammad al-Ghazaly, dan lanjutnya. ‘Bahkan kami berani mengatakan. bahwa tindäkan atau usaha ke arah itu adalah pengaruh dari “perang salib modern yang dilancarkan terhadap negeni-negeri Islam”. Pelaksanaan poligami oleh individu-individu dalam suatu gerakan dawah. di samping melupakan solusi terbaik atas problematika menumpuknya para aktifis muslimah yang laik nikah, juga dapat menjadi syi’ar dan teladan poligami secara Islami bagi masyarakat sekaligus memberantas persepsi dan image yang salah. Wallahu’alam bish-shawab

Daftar Pustaka
• Nadharat fi Ta’adudij Zawjat Dr Misfir Husain az-Zahrani
• Aj-Jinsun Naim fiDhilil Islam.Dr.Sa’idal-Jundul
• Al-Mar’a Bainal fiqh Wal Qanun,Dr Musthafa as-Siba’i.
• Shahihul Bukhari
• Sunan Abu Daud
• Sunan-Tirmidzi.
• fiqhusSirah.Dr Muhammadal-Ghazaly.
• Halal dan Haram dalam Islam Dr Yusuf al-Qardhawi.
• Fiqih sunnah jilid 6 Sayid Sabiq

0 komentar: