Kalau kita mengkaji sejarah Da’wah Islamiyah di masa Nabi Muhammad saw. kita dapati fenomena yang demikian menakjubkan. Betapa tidak, generasi yang umumnya terdiri dari kalangan mustadh’afin (golongan lemah status sosialnya) yang sebagiannya para budak itu, begitu mereka menerima Islam sebagai diennya dengan mengucapkan dua kalimah syahadah, mereka terbebas dari segala bentuk belenggu. Demikianlah keadaan Bilal bin Rabah, Ammar,
Yasir, Sumayyah, Zunairah dan lain-lain. Meskipun secara lahiriyah mereka sebagai budak, namun hati mereka hanya menghambakan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla saja. Tentu saja realitas yang demikian itu menimbulkan reakai keras dari para tuan yang umumnya kaum Musyrik Quraisy. Karena mereka merasa bahwa loyalitas para hamba itu sudah berubah, meskipun secara zhahir mereka melaksanakan tugas dari pekerjaan mereka keseharian. Tetapi apalah artinya kepatuhan yang tanpa dibarengi kecintaan dan kesetiaan. Ketaatan yang tentu saja bersifat palsu dan semu. Siapapun dia, tuan yang mempunyai budak ataupun penguasa di suatu tempat tidak akan rela menenima kenyataan yang seperti ini. Begitulah Islam dengan dua.kalimah syahadatnya telah mengantarkan ummatnya sejak awal terbebas dari segala bentuk belenggu dan perbudakan. Karena memang dengan dua kalimah syahadah, seseorang nyatakan dengan penuh kesadaran bahwa hanya Allah sejalah yang akan ia tunduki, ia patuhi, ia taati dengan sepenuh hati. Itulah pengabdian dan itulah ibadah. Maka dapat pula dimengerti mengapa hampir semua penguasa di setiap negeri menyikapi dengan penuh cuniga dan negatif terhadap da’wah Islamiyah. Di Jazirah Arab sendiri, di Mesir dan wilayah-wilayah lain, hampir semuanya memusuhi da’wah ilallah, karena para penguasa tersebut melihat bahwa islam akan memutus ikatan loyalitas yang total kepada mereka. Padahal anggapan tersebut tidak mutlak benar. Sebab manakala sang penguasa turut masuk Islam, maka bukan tidak mungkin kekuasaan mereka tidak akan diganggu gugat. Tentu saja asalkan mereka menerapkan undang-undang yang bersumber dari Dzat Yang Maha Kuasa, Allah swt. Sebab dengan begitu berarti baik penguasanya maupun rakyatnya sama-sama tunduk dan beribadah kepada Allah swt. Kepatuhan rakyat kepada penguasanya juga dalam rangka ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Sebenarnya kebebasan dan kemerdekaan yang telah diberikan Islam kepada ummatnya adalah suatu hal yang sangat manusiawi dan fithri. Karena memang Islam merupakan ajaran Allah yang sesuai dengan fithrah manusia (ar-Rum: 30).
Mengapa Kita Dijajah?
Lalu muncul pertanyaan, kalau pada awal da’wah, Islam telah menghantarkan ummatnya pada kebebasan dan kemerdekaan yang demikian rupa, mengapa kemudian keadaan berbalik? Setidak-tidaknya pada periode waktu abad ketujuh belas sampai pertengahan abad kedua puluh, hampir semua Dunia Islam berada di bawah telapak kaki penjajah yang kotor dan hina itu?
Tentu banyak faktor penyebabnya. Di satu sisi para penjajah yang urnumnya rakus harta dan serakah, juga mempunyai misi-misi tertentu, seperti: Agama. Di sisi yang lain dan ini tampaknya yang terpenting kaurn Muslimin dalam kondisi lemah; terutama kelemahan di bidang aqidah yang kemudian menimbulkan kelemahan-kelemahan lainnya, Seperti menyebarnya penyakit materialisme (hubbud dunia) dan ketakutan dalam menghadapi risiko (karahiyatul maut). Akibatnya musuh dengan rnudah dan leluasa menyerobot kebebasan dan potensi yang ada pada kita. Itulah penjajahan. Disebutkan dalam sebuah riwayat yang pada sanadnya ada pembicaraan, namun makna dan kandungannya sesuai dengan kandungan umum nash-nash yang shahih:
Artinya. Kamu akan diperebutkan ummat-wnmat (Lain) sebagaimana diperebutkannya makanan di meja.. Seorang (shahabat) bertanya, Apakah kami ketika itu sedikit (minoritas)? Ia (Rasulullah saw.) menjawab: Bahkan ketika itu kamu banyak (mayoritas); tetapi kamu ibarat buih di air bah. Allah cabut rasa takut musuh-musuh kamu dari dada mereka, dan (sebaliknya) di dalam hatimu tertanam (penyakit) wahn. Berkata seorang penanya?, wahai Ya Rasulullah Apakah wahn itu? Beliau menjawab: Cinta dunia dan takut mati (HR. Abu Dawud dan Baihaqi).
Manakalah materialisme yang menjadikan kebendaan sebagai standard nilai tumbuh di kalangan ummat, hilanglah idealisme. Itu merupakan pertanda kejatuhan suatu ummat; rapuhlah pertahanan yang ada, ancamanpun dengan mudah di arahkan pada mereka. Hilangnya idealisme menjadikan ummat tidak mempünyai ‘izzah (harga diri) terutama dalam menghadapi musuh-musuhnya. Padahal kalau saja kaum Muslimin sadar, sebenarnya kemuliaan dan harga diri itu terletak pada keimanan, (Ali Imran: 139, an-Nisa: 104; Yunus: 65; Fathir: 10; Al Munafiqun: 8), tidak yang lain. Karena ‘izzah dan semangat jihadlah tokoh-tokoh Muslim dan para ulama memobilisasi massa ummat Islam untuk mengusir penjajah dan membebaskan wilayah ini; sehingga nantinya ummat dapat melaksanakan tugas ibadah kepada Allah dengan baik. Memang penjajahan dengan segala bentuk dan modelnya harus segera dienyahkan. Sebagaimana disebutkan pada muqaddimah Undang - Undang Dasar 1945:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikernanusiaan dan prikeadilan”.
Oleb karena itu, kita juga berkewajiban untuk terlibat, langsung maupun tidak langsung terhadap pembebasan dan kemerdekaan di berbagai wilayah, seperti di Palestina dan penjajahan Israel yang zionis itu, Kasymir dan dominasi yang dipaksakan oleh India dan lain-lain.
Kaum Muslimin dan Perjuangan Kemerdekaan
Menyebut jasa-jasa para pahlawan Muslim bukan berarti kita menghilangkan nilal keikhlasan perjuangan mereka; bukan pula karena berambisi ingin dihargai, tetapi kesemuanya itu hanus difahami demi keadilan dan amanah sejarah yang harus disampaikan kepada ummat Islam, terutama generasi mudanya. Sehingga diharapkan nantinya dapat mendudukkan permasalahan secara proporsional. Membicarakan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, tidak mungkin dilepaskan dari perjuangan kaum Muslimin Indonesia. Sebab perjalanan sejarah bangsa Indonesia berarti perjalanan kaum Muslimin itu sendiri, yang merupakan penduduk mayoritas negeri ini. Menutup-nutupi peran kaum
Muslimin dalam perjuangan kemerdekaan, berarti menghilangkan sebagian besar, (kalau tidak boleh dikatakan semua) perjuangan bangsa, dan itu berarti manipulasi sejarah. Sejak hari pertama penjajah menginjakkan kakinya di negeri ini, kaüm muslimin menyambutnya dengan semangat jihad. Nama-nama tokoh mujahidin tak pernah berhenti di sepanjang mata rantai Sejarah kita, meskipun secara lahiriyah mereka sebagiannya dapat dikalahkan oleh penjajah yang mempunyai fasilitas lengkap, namun ruhul jihad mereka tetap membakar dada ümmat untuk terus berjuang tanpa henti. Bahkan Prof. Ahmad Mansur Surya Negara dari Universitas Pajajaran, dalam salah satu bukunya menyebutkan bahwa Thomas Matua lessi, Patirnura dan Sisingamangaraja XII juga pejuang muslim.
Kebanggaan terhadap para mujahid Muslim itu sampai kini terjaga baik dan tidak mungkin dihapuskan. Di berbagai kota dan tempat kita dengan mudah menemukan Jalan Diponegoro, Imam Bonjol, Hasanuddin, Teuku Umar dan lain-lain. Begitu juga nama-nama besar tersebut sering digunakan untuk nama yayasan bahkan perguruan tinggi. Setelah proklamasipun, ketika penjajah Belanda mencoba untuk kembali, kaum muslimin tampil lagi di panggung perjuangan. Di bawah pimpinan Bung tomo arek-arek Suroboyo menghalau penjajah dengan takbir ALLAHU AKBAR.
Berkat peran serta tokoh-tokoh Islam pula, Indonesia diakui keberadaannya oleh dunia internasional. Bahkan negara-negara Islamlah yang mengakui kemerdekaan Indonesia pada masa-masa awal setelah berkunjungnya delegasi Indonesia ke negara-negara Islam yang diikuti oleh H.M. Rasyidi. Hingga kini Indonesia dlikenal sebagai negara Muslim terbesar.
Hakikat Kemerdekaan
Sejak awal sudah disebutkan bahwa Islam mengantarkan ummatnya kepada kebebasan dan kemerdekaan yang sebenarnya. Itu sebabnya kita lihat di berbagai tempat keistimewaan masyarakat Muslim yang merdeka dan tampilnya kaum Muslimin di setiap perjuangan kemerdekaan. Kalaupun ummat Islam memasuki wilayah lain, sesungguhnya tujuannya bukanlah untuk menjajah atau mengurangi kemerdekaan masyarakat setempat sebagaimana hal itu dilakukan oleh bangsa-bangsa dan ummat lain; tetapi justru kehadiran kaum Muslimin, termasuk pasukannya adalah untuk melepaskan masyarakat dari segala bentuk belenggu dan perbudakan, sehingga hanya terikat dengan garis-garis dari ketentuan Allah Yang Maha Kuasa. Hal tersebut diungkapkan oleh Rib’i bin Amir, Hudzaifah bin Muhshin dan Mughirah bin Syu’bah ketika menjawab pertanyaan panglima Persia di Qadisiyah, Rustum tentang tujuan kedatangan kaum Muslimin:
Artinya. Sesungguhnya Allah telah mengutus kami untuk membebaskan manusia dari pengabdian kepada hamba (makhluq) menuju ibadah kepada Allah saya dan dari kesempitan dunia menuju kelapapannya, dan dari kezhaliman agama-agama (lain) menuju keadilan Islam.
Jadi terbebaskannya manusia dari segala bentuk pengabdian kecuali kepada Allah, terlepasnya manusia dari ikatan-ikatan materialisme dan hilangnya segala bentuk kezhaliman yang kadang kadang mengatas namakan agama adalah merupakan kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya. Apa yang orang katakan tentang Hak Asasi Manusia (HAM), sesungguhnya Islam sejak dini sudah memperhatikannya, yang bukan hanya sebagaimana butir-butir yang disebutkan oleh PBB. Apa yang digariskan oleh Islam jauh lebih utuh dan lebih mendasar. Sehingga kalau boleh kita katakan, bahwa kemerdekaan yang hakiki hanya ada pada Islam. Sebab Islam bersumber dari Allah swt. Sedang ajaran lain bersumber dari pemikiran manusia yang tidak mungkin terlepas dari subyektifitasnya.
Penutup
Kemerdekaan merupakan nikmat Allah dan rahmat-Nya yang wajib kita syukuri. Hal ini kita akui secara nyata dan termaktub di muqaddimah Undang-Undang Dasar 1945; “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
Bersyukur terhadap nikmat Allah tentu saja bukan hanya sekedar ucapan di lisan atau dengan acara-acara syukuran yang diadakan dimana-mana. Tetapi syukur dalam pengertian yang sebenarnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Syaikh Ahmad Mushthafa al Maraghi dalam tafsinnya, bahwa syukur itu adalah mendaya gunakan segala pemberian dan kanunia Allah sesuai dengan kehendak-Nya.
Dengan demikian insya’ Allah akan terasalah berkah kemerdekaan ini dan kanunia Allah yang lain akan bercucuran. Namun jika ternyata kita melakukan hal-hal yang sebaliknya, meskipun tidak jarang mengatas namakan syukur, bukan tidak mungkin Allah swt. akan mengurangi nikmat-nikmat-NYa itu atau mencabutnya, sehingga apa yang ada pada kita berupa materi, hanya menimbulkan ketidak tentraman dan bala’. Na’udzubillah. Firman-Nya:
Jika kamu bersyukur niscaya Aku akan tambah (nikmat lagi) kepadamu; dan jika kamu kufur (nikmat), sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih (Ibrahim;7).
Akhirnya kembali kepada kita juga bangsa Indonesia, terutama kaum Musliminnya akan kemana kita melangkah. Sudahkah kita menggunakan nikmat kemerdekaan ini sebagairnana mestinya? Atau kita, kaum Muslimin berbuat sesuatu yang menurut kita merupakan perwujudan rasa syukur, pada hal sebenarnya kebalikannya, kekufuran? Kenyataan yang ada paling tidak dapat dijadikan cermin untuk mengaca diri, sebenarnya bagairnana kita atau pertanyaan yang lebih mendasar yang kita ajukan pada diri kita sebagai pribadi dari ummat Islam sebagai kelompok yakni Apakah sebenarnya kita ini sudah merdeka sebagaimana mestinya? Kemerdekaan dalam hal aqidah yang berarti keterikatan hanya kepada Allah dan karena Allah? Kemerdekaan dalam hal pemikiran yang berarti tidak tercemar dengan berbagai arus pemikiran yang ada? Demikian pula kemerdekaan dalam bidang sosial, ekonomi dan politik? Mungkin hal-hal tersebut dan dhawabith (patokan-patokan) syari’at yang ada dapat dijadikan alat mengukur dalam mengevaluasi penjalanan kita sebagai pribadi dan ummat. Setelah Tujuh Puluh dua tahun secara zhahir kita merdeka dari penjajahan formal asing, sebenarnya kita bagaimana? Mari kita renungkan!
0 komentar: