Sabtu, 15 April 2017

Pelajaran Dari Kasus Masjid Teror


Di antara sekian banyak karunia Allah yang amat berharga bagi kehidupan umat manusia ialah diturunkannya al-Islam. Dengan al-Islam, manusia bisa memahami hakikat jati dirinya, kedudukannya maupun apa yang menjadi tugas utama dari hidupnya. Dengan al-Islam, manusia bisa mengenal, bisa ma’rifah, siapa sebenarnya Tuhan yang berhak untuk diibadahi. Dan denqan al-Islam manusia bisa mengetahui secara pasti, apa yang bakal terjadi sesudah kehidupan yang fana ini berakhir.. Semua itu persoalan-persoalan penting dan mendasar, yang tentunya amat dihajatkan oleh setiap manusia dalam menentukan arah hidupnya. Dan, tanpa al-Islam, mereka tentu tidak akan mampu mengetahui dan memahaminya secara benar. Oleh karena itu, sudah selayaknya karunia Allah yang berupa al-Islam itu harus senantiasa kita syukuri, sebagaimana dalam firman-Nya :


وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Artinya: Dan (ingatlah), tatkala Tuhan-mu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (karunia) kepadamu. Dan (sebaliknya), jika kamu mengingkari (karunia-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku amat pedih”. (QS. Ibrahim/l4:7).

Mensyukuri al-Islam tiada lain adalah, meyakini kebenaran al-Islam sebagai satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah. Satu-satunya agama yang paling sempurna, dan paling sesuai untuk mengatur kehidupan manusia di jagat raya ini (QS. 5: 3). Oleh karena itu, al-Islam harus kita amalkan, kita jadikan pedoman, tuntunan dan aturan hidup kita dalam segenap aspeknya. Mengenyampingkan al-Islam sebagai pedoman, tuntunan dan aturan hidup, berarti kita mengingkari karunia Allah. Dan akibathya, sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah adalah, adzab dan kesengsaraan yang amat pedih. Jadi, mengamalkan al-Islam, memperjuangkan dan mempertahankannya adalah wajib bagi segenap kaum Muslimin di mana dan kapan saja berada. Itulah makna mensyukuri al-Islam dengan segala syari’atnya, dan sekaligus sebagai konsekuensi dan ikrar dari pengakuan kita sebagai Muslim.

Mengapa al-Islam harus diperjuangkan dan dipertahankan? Bukankah seharusnya manusia menyambut dengan gembira dan mensyukurinya. karena al-Islam itu sebagai pelita bagi kehidupannya? Memang terasa ironi dan aneh, kalau manusia yang sebagai makhluk Allah ini mengingkari karunia-Nya. Ironi dan aneh, kalau manusia yang dhaif dan kerdil ini bersikap angkuh dan sombong kepada Sang penciptanya. Namun, demikianlah memang yang terjadi. Bahkan sejarah pun telah menunjukkan, bahwa setiap kali Allah swt. mengutus seorang Rasul kepada suatu kaum untuk mengajarkan al-Islam kepada mereka, tidak semuanya bersedia menyambut dengan gembira. Justru umumnya malah menentang dan menolaknya. Kenyataan sejarah ini telah diungkapkan oleh al-Qur’an :


وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ ا
Artinya : “Dan, sungguh benar-benar Kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul (untuk mengajak mereka, agar mereka bersedia untuk beribadah (patuh dan tunduk) kepada Allah saja. dan menjauhi thaghut. Lalu, sebagian dari mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan sebagian lain tetap bertahan dalam keadaan sesat”. (QS. an-Nahl/16: 36).

Kenyataan sejarah tersebut, juga terjadi pada umat Muhammad saw., sampai di zaman kita dewasa ini. Bahkan, terus akan berjalan sampai akhir zaman nanti.

Al-Qur’an juga mengingatkan, bahwa orang-orang yang sesat itu tidak hanya sekedar menolak dan mengingkari kebenaran al-Islam. Tapi lebih dari itu, mereka juga memusuhi dan berusaha untuk menumpas cahaya kebenaran al-Islam (QS. 61:8), dengan berbagai cara dan jalan. Antara lain, dengan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak untuk melancarkan “teror”, dengan menyebarkan benih-benih kekufuran, permusuhan, kebencian, dan perpecahan di kalangan kaum Muslimin, sebagaimana yang dihadapi dunia Islam dewasa ini, termasuk di Indonesia.
Di masa hayat Rasulullah saw. cara demikian pernah dilakukan oleh musuh-musuh Islam bekerjasama dengan kaum munafiqin di bawah pimpinan Abullah bin Ubay bin Salul. Pertama, mereka membangun tempat khusus sebagai pusat kegiatannya. Untuk mengelabui kaum Muslimin, pusat kegiatan tersebut mereka namakan “masjid”. Langkah berikutnya, setelah tempat itu selesai di bangun. mereka meminfa agar baginda Rasul berkenan meresmikannya dan shalat di tempat tersebut. Saat itu sebenamya, Rasul bersama kaum Muslimin sedang sibuk mempersiapkan pasukannya untuk pergi ke Tabuk, menghadapi pasukan awi. Dengan diplomasi Rasul menjawab permintaan kaum munafiqin itu akan dipenuhi nanti sepulangnya dari Tabuk. Padahal hakikatnya, Rasul sendiri masih menunggu “petunjuk” dari Allah swt. tentang status “masjid” yang dibangun kaum munafiqin tersebut.

Seusai perang Tabuk, Rasul bersama pasukan kaum Muslimin kembali ke Madinah. Sementara kaum munafiqin sudah tidak sabar lagi menunggu kedatangan beliau. Lalu apa yang terjadi setelah beliau sampai di Madinah? Beliau menyuruh sejumlah sahabat untuk membakar dan merobohkan ‘masjid” yang baru di bangun kaum munafiqin itu. Karena “masjid” tersebut temyata di bangun bukan atas dasar taqwa, untuk mengagungkan Allah. Tapi, sebagai pusat kegiatan untuk melancarkan “teror” terhadap kaum Muslinin. Tindakan rasul tersebut atas dasar wahyu yang beliau terima ketika pulang usai perang Tabuk:

 وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ ۚ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَىٰ ۖ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَلَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
Artinya: Dan (diantara orang-orang munafiq itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (para orang-orang Mu’min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang Mu’min serta menunggu kedatangan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan. Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah kamu shalat di dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba’) sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-aorang yang bersih.” (QS. at-Taubah 107-108).


Dan kasus masjid dhirar ini kita bisa memperoleh beberapa pelajaran. Antara lain, bahwa da’wah Islam dan kaum Muslimin sejak awal pertumbuhannya sampai pada masa perkembangannya selalu menghadapi cobaan dan tantangan, baik yang datang dari dalam kaum Muslimin sendiri, maupun dari luar, musuh-musuh Islam. Dan kondisi semacam ini, akan berjalan terus sampai akhir zaman. (QS. 3: 142 & 2214).

Kasus “masjid” dhirar sebenarnya merupakan puncak dari rentetan makar yang selarna ini dilancarkan kaum munafiqin bersama para pendukungnya. Tindakan mereka ini bukan semata-mata karena kemunafiqkannya, akan tetapi sudah merupakan konspirasi jahat untuk memporak-porandakan kaum Muslimin, sebagaimana yang diungkapkan oleh surah at-Taubah 107 tersebut. Karena itu, Rasul saw. pun segera melakukan tindakan tegas memusnahkan “masjid” yang hendak dijadikan pusat guna melancarkan teror terhadap kaum Muslimin.

Tindakan tegas yang diambil Rasulullah tersebut, disamping untuk memberi “pelajaran” kepada Abdullah bin Ubay dan para pengikutnya, juga agar kaum Muslimin mengetahui apa sebenarnya yang ada di belakang tabir gerakan kaum munafiqin tersebut. Dengan demikian, kaum Muslimin semakin “dewasa” dalam menghadapi gerak-gerik kaum munafiqin pada khususnya dan musuh- musuh Islam pada umumnya. Pada dasarnya thabi’at kaum munafiqin dalam mengganggu dan memusuhi Islam dan kaum Muslimin, di mana dan kapa saja, tidak berbeda. Wajah dan penampilan mereka ganda, guna menutupi maksud jahatnya, suka menjilat dan cari muka, licik dan biasa berdusta, suka menggunting dalam lipatan (QS. 2:8-14). Perhatikan dengan “keturunan” Abdullah bin Ubay (kaum munafiqin yang bertebaran di negeri kita dan di berbagai Negara- negara. Karena itu istilah “teror” (yang nampaknya diambil dari kata “dhirar”) yang kini sedang dijadikan senjata untuk memojokkan kaum Muslimin adalah keliru alamat. Sesuai dengan petunjuk al-Qur’an tadi, bahwa istihah “teror” (dhirar, melancarkan fitnah, kebencian dan permusuhan) hanya layak dialamatkan kepada kaum munafiqin dan musuh-musuh Islam.

Related Posts:

0 komentar: