Saat itu aku masih kecil dan masuk di sekolah Nashrani. Tanpa kusadari, apa yang kuperoleh dari sekolah kuceritakan kepada ayahku. Banyak ayat dari kitab Injil yang aku hafal. Dengan bangga hal itupun kulaporkan kepada ayahku. Setelah mendengar ini, tiba-tiba kulihat wajah ayahku menjadi pucat pasi dan sekujur tubuhnya gemetaran. Secepatnya Ia meninggalkan aku menuju sebuah kamar pribadinya yang terletak paling ujung. Ayah melarang keras siapa saja yang memasuki kamar pribadinya itu. Mendekati saja tidak boleh, termasuk ibu dan aku sendiri. Jadi, aku sendiri tidak pernah tahu apa yang diperbuat ayah di kamarnya itu. Agak lama ia membenamkan dirinya di dalam kamar.
Beberapa jam kemudian setelah keluar dari kamarnya, kulihat kedua matanya memerah seperti sehabis menangis sedu. Terhàdap pertanyaanku, Ia selalu mengelak. Sejak saat itu, Ia suka memandangku agak lama dengan wajah sayu penuh duka, sambil menggerakkan bibirnya seperti sedang membaca sesuatu dengan suara halus. Kalau aku mendekatinya untuk mendengar apa yang sedang Ia baca, secepatnya iá berpaling, dan pergi. Aku membaca sesuatu yang aneh pada raut wajahnya.
Setiap pagi, saat aku hendak berangkat ke sekolah, ibuku seperti berat melepaskanku. Wajahnya begitu murung, dan sambil mengucurkan air mata dipeluknya aku, dan diciumnya berkali-kali. Baru saja aku dilepas dan kakiku melangkah kecil, ditariknya lagi aku, dan dihujani peluk cium lagi, sampai cucuran air matanya yang hangat membasahi mukaku. Aku heran tak habis-habisnya, dan tidak faham latar belakang semua itu. Kalau aku pulang dari sekolah, ibuku menyambutnya dengan penuh mesra dan kerinduan, seakan-akan puluhan tahun berpisah dengan anaknya.
Setiap hari otakku dipenuhi oleh teka-teki yang tak tejawabkan. Sejak itu, seringkali kulihat kedua orang tuaku suka duduk berduaan seperti mereka menghindar dariku. Mereka suka berbicara perlahan dan berbisik, tapi bukan dengan bahasa Spanyol. Aku menjadi bingung dan resah, bahasa mereka tak kupahami. Setiap kali aku mendekati, mereka alihkan pembicaraannya dengan bahasa Spanyol. Dalam hatiku timbul prasangka dan dugaan, jangan-jangan aku ini hanya anak angkat saja. Hatiku kesal, wajahku murung tak pernah ceria. Aku suka menyendiri di suatu pojok, dan sering pula menangis sendirian memikirkan semua teka teki yang menyelimuti keluargaku ini.
Pada suatu hari ibuku melahirkan seorang bayi. Aku lari-lari memberitakannya kepada ayah. Ayahku kulihat tak tampak gembira, walaupun yang lahir itu bayi laki-laki. Bahkan Wajahnya terlihat amat sedih, ketika ia melangkah hendak mengabari rahib tentang kelahiran anaknya itu. Ia kembali membawa rahib kerurnah dengan wajah merunduk ke bawah. Wajahnya diliputi putus asa, tanda penyesalannya yang amat dalam.
Kian hari kulihat wajah ayah semakin redup melayu. Hatiku makin tersayat pilu memikirkan penderitaan batin ayah yang semakin parah. Datanglah malam hari paskah. Kota Granada tengah tenggelam dalam gemerlap cahaya lampu yang berwarna-warni. Gedung al-Hambra gemerlapan memancarkan cahaya lampu. Tiang-tiang salib terpancang megah di setiap halaman. Di tengah pesta malam yang gemerlapan itu ayah tiba-tiba membangunkan aku di kala seisi rumah sedang tenggelam dalam tidurnya.
Ayah menggiring aku ke kamar pribadinya yang suci itu. Saat itu hatiku berdebar-debar bercampur heran. Setelah kami berdua masuk kamar itu, ayah mengunci rapat-rapat. Suasananya sangat gelap tanpa lampu, dan aku tertegun dalam hening itu. Kemudian kulihat ayah menyalakan lampu kecil dan Ia mengisyaratkan aku untuk duduk di permadani yang sudah disediakan. Ia terpaku diam memusatkan pandangannya yang tajam kepadaku.
Aku tak bisa lagi membayangkan apa yang kurasakan pada saat itu di tempat yang teramat asing itu. Tiba-tiba ayahku dengan penuh kasih sayang memegang tanganku, sambil meremas-remas jemari tanganku, terlontar kata-katanya yang lembut kebapakan.
Wahai anakku, sekarang engkau sudah menginjak usia remaja, sudah 10 tahun lebih umurmu. Sudah saatnya aku rnengungkap segala tabir-tabir rahasia yang kusimpan selama ini terhadapmu. Hanya satu pintaku, “Sanggupkah engkau merahasiakan rapat-rapat perasaanku ini?”, engkau tid ak boleh membocorkan kata-kataku ini kepada siapapun juga, walau terhadap ibumu sendiri. Ketahuilah anakku, kalau engkau sampai membocorkan pesanku ini,berarti engkau akan melemparkan tubuh ayahmu mi ke tangan algojo-algojo inquisisi itu.
Demi mendengar sebutan “inquisisi” itu, bulu romaku berdiri dan sekujur badanku gemetar .ketakutan. Aku tahu benar praktik inquisisi itu walaupun aku masih kecil. Setiap hari aku berangkat ke sekolah, kulihat dengan mataku sendiri sosok-sosok manusia yang bergantungan di jalan-jalan raya, disalib, dan dibakar hidup-hidup. Kaum wanitanya digantung rambutnya, dicukil matanya, dan dicopoti sederetan gigi-giginya, disayat kulitnya sampai berceceran semua isi perutnya hingga menyebarkan bau busuk menyengat disekitar tempat gantungan. Aku terdiam dan tidak kuasa menahan rasa ngeri yang terbayang dalam benakku.
“Mengapa engkau diam tak menjawab? Dapatkah engkau menyimpan rahasia yang hendak kusampaikan kepadamu?”, ayah mendesakku. Aku menjawab setengah gemetar: “Bisa ayah”. “Rahasiakanlah walau terhadap ibumu sendiri dan terhadap sahabatmu yang terdekat Sekalipun” tandasnya. “Baik ayah, aku sanggup”, jawabku. Kulihat ayah Wajahnya hingar bingar, dan sambil menarik tanganku ia berkata: “Baiklah, dekatkanlah dirimu kemari, kau pasang telingamu lebar-lebar”. Kemudian ía berdiri mengambil sebuah kitab dan disodorkan kepadaku, seraya bertanya: “Tahukah engkau kitab ini, wahai anakku?” “Tidak ayah”, jawabku polos. “ini adalah Kitabullah”, ia menandaskan. “Kitabullah? Apakah kitab suci yang diajarkan isa anak Tuhan?” selaku dengan terheran-heran. “Bukan”, jawab ayah tegas. ini adalah al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah Yang Maha Esa, Maha perkasa dan Maha kuat tiada bandingnya, Ia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia. Kitab ini diturunkan kepada makhluq-Nya yang termulia yaitu Nabi Muhammad saw.”.
Kubuka lebar-lebar mataku keheranan, karena aku belum faham benar apa yang dimaksudkan ayahku itu. “lnilah kitab Islam”, paparnya. “Yaitu agama haq yang dibawa oleh utusan Allah, Muhammad Rasulullah saw. Kepada seluruh ummat manusia. Beliau dilahirkan nun jauh di sana, melintasi lautan dan beberapa negara. Di padang pasir yang jauh, yang disebut kota Makkah. Di tengah ummat yang tadinya terbelakang dan bodoh kemudian mendapat hidayah dari Allah menjadi ummat tauhid, dikaruniai Allah persatuan ukhuwwah yang kokoh, ilmu pengetahuan yang cemerlang, dan peradaban yang tinggi. Mereka, kemudian berhasil keluar membuka pintu negara-negara di Timur dan Barat, Dan sampailah mereka ke negeri kita, negeri Spanyol. Dulu sebelum kaum Muslimin datang, rajanya zhalim, pemerintahannya kejam, sedang rakyatnya teraniaya dan miskin, dalam kejahihiyahan dan kemunduran. Akhirnya raja yang zhalim itu terbunuh dalam suatu peperangan melawan kaum Muslimin, dan runtuhlah pemerintahan despotis yang kejam itu. Kemudian setelah kaum Muslimin dan Islam berkuasa di Spanyol, menyebar luaslah keadilan sosial, derajat dan martabat rakyatnya terangkat Negara pun menjadi kuat. Islam menetap di sini 800 tahun lamanya. Selama itu negeri kita ini menjadi negeri yang paling unggul dan paling megah di dunia. Dan kami ini wahai anakku, adalah kaum Muslimin yang tersisa dan bersembunyi di sini “.
Mendengar uraian ayahku yang bersemangat itu, aku terpana, ternganga, ta’jub bercampur takut dan juga benci. Aku mencoba hendak berteriak: “Apa ayah! Kita kaum Muslimin?” Ayahku segera menutup mulutku sambil berkata: “Memang benar wahai anakku. Rahasia inilah yang kubungkus rapat bertahun-tahun, untuk kubuka kepadamu jika engkau sudah menginjak dewasa. Sesungguhnyà kitalah pemilik negeri ini. Kitalah yang membangun semua gedung dan bangunan megah yang kini beralih menjadi milik lawan kita. Kita pula yang mendirikan menara-menara untuk mengumandangkan adzan, dan kini telah diganti dengan suara ilonceng gereja. Masjid-masjid yang kita bangun sebagai tempat ibadah shalat, sekarang sudah diubah menjadi gereja yang dipimpin oleh para pendeta yang membawa injil.
Wahai anakku, kita kaum Muslimin telah meletakkan pada setiap sudut negeri Spanyol ini kenangan yang indah nan mengesankan. Setiap jengkal tanahnya pernah dilalui oleh para mujahidin dan syuhada’ kita. Kitalah yang membangun semua kota, semua jembatan, dan kita pula yang membuka jalan-jalan raya dan semua sarana jalan di sudut-sudut negeri ini. Kita pula yang membenahi Semua irigasi pertanian, menanam dan mengatur segala tanaman dan taman-tamannya. Dengarkanlah baik-baik anakku! Sejak 40 tahun lalu Raja kita Abu Abdillah sebagai raja terakhir kaum Muslimin di negeri ini telah tertipu racun janji muluk dari raja Spanyol (Ferdinand dan Issabella, red).
Raja Abu Abdillah tertipu menyerahkan kunci kota Granada dengan pejanjian bahwa raja Nashrani yang sekarang ini berkuasa, akan memberi kebebasan kepada kaum Muslimin melakukan ibadahnya, serta menjaga segala pusaka dan kuburan nenek moyang mereka. Kemudian Raja Abu Abdillah diharuskan mengasingkan diri ke Maroko hingga wafatnya di sana. Akan tetapi setelah mereka berkuasa, mereka tidak pernah menepati janjinya. Mereka injak-injak semua perjanjian bersama itu. Bahkan, mereka mendirikan Mahkamah lnquisisi untuk memaksa kita kaum Muslimin untuk memeluk agama Kristen, melarang menggunakan bahasa kita (Arab) dan mengkristenkan semua anak keturunan kita dengan paksa. ltulah sebabnya kita melaukan ibadah dengan sembunyi-sembunyi, membuat kita sedih karena penghinaan mereka terhadap agama kita dan memurtadkan anak cucu kita. Empat puluh tahun lamanya kita bersabar atas siksaan yang berat, sambil menantikan hari kebebasan dari Allah. Kita tidak boleh berputus asa, karena hal itu dilarang oleh agama kita, sebagai agama yang didasari oleh kekuatan aqidah, kesabaran dan jihad. Rahasia inilah wahai anakku yang harus kau simpan. Ketahuilah, nasib ayahmu terletak dimulutmu. Jangan engkau menyangka aku takut mati. Tetapi aku ingin diberi kesempatan hidup sampai batas menyelesaikan tugasku mentarbiyah engkau tentang bahasamu dan agamamu demi menyelamatkanmu dari kekufuran, dan kejahiliyahan. Sampai sekian dulu anakku liqa’ kita, dan pergilah tidur.
Sejak saat itu, setiap aku melihat gedung al-Hambra dan menara-menara di kota Granada, mataku terbelalak, tubuhku gemetar, darahku mendidih. Lahir kerinduan dan kesedihan, benci bercampur cinta. Benci karena semua itu sudah dikuasai oleh lawan agamaku. Cinta, karena semua itu dirintis, dibangun dan diukir oleh mujahidin-mujahid yang telah meninggalkan negeri ini. Semua itu mengguncangkan nafsuku. Terkadang tanpa kusadari aku sudah berada di hadapan gedung al-Hambra, sambil mencemooh dan berguman:
“Wahai al-Hambra, kini kasih sayangku telah sirna. Lupakah engkau kepada mereka yang membangun dan memperindah engk\au? Begitu pula kepada kawan seperjuanganmu yang rela mengorbankan hidupnya, mengucurkan darah dan air matanya? Masa bodohkah engkau terhadap masa jaya dan kecintaan mereka terhadapmu?Setelah puas aku mencaci maki al-Hambra, sadarlah aku, jangan-jangan gumamku ini terdengar mata-mata inquisisi. Aku cepat-cepat pulang untuk menghafal bahasa Arab yang telah diajarkan ayahku. Aku sudah diajari menulis bahasa Arab dan juga al-Islam, cara berwudhu, dan aku mulai ikut shalat di belakang ayahku, di kamarnya yang sunyi senyap.
Bagaimanapun rahasia itu kusimpan rapat-rapat, akhinnya terbongkar juga oleh ibu. Ibuku suka mengujiku. Setelah aku menguasai bahasa Arab secukupnya, memahami al-Qur’an dan dasar-dasar aqidah Islam, ayah memperkenalkanku dengan salah seorang shahabat seperjuangannya. Kita bertiga sering mendirikan shalat berjama’ah, dan mengaji al-Qur’an. Sementara itu di luar dinding-dinding rumah tindakan algojo inquisisi bertambah ganas terhadap kaum Muslimin di negeri itu. Hampir setiap hati kita menyaksikan minim al 30 orang yang disalib, dibakar hidup-hidup secara demonstratif di tempat-tempat terbuka. Jumlahnya menanjak sampai ratusan orang yang dianiaya secara kejam. Ada yang dicabut kuku-kukunya hidup-hidup, dijejali air lurnpur sampai mati, ada pula yang dibakar kakinya, perutnya, jemari tangannya dipotong-potong, kemudian dibakar dan dimasukkan ke mulut. Ada juga yang dicemeti sampai babak Belur badannya, kemudian dikompres dengan air asam garam.
Sebuah kekejaman yang memuncak dari peristiwa itu berja1an sangat panjang. Pada suatu hari ayahku berpesan: “ Wahai anakku, aku merasa bahwa ajalku sudah semakin dekat. Aku ridha mati syahid di tangan mereka, dan semoga Allah mengganjarku dengan Jannah-Nya. Dengan demikian aku meninggalkan dunia ini sebagai pemenang. Aku bersyukur bahwa bebanku yang berat melepaskan engkau dari kekufuran telah berhasil dengan baik. Tongkat estafet itu sekarang sudah berada di tanganmu. Kalau aku suatu ketika tertimpa musibah, maka taatilah pamanmu ini. Jangan membantah sedikitpun, ikuti dia kemana saja.
Beberapa hari telah berlalu, sejak ayah menyampaikan pesan terakhir itu, Pada suatu malam yang hening paman (kawan ayahku) itu datang menjemputku untuk melarikan aku ke negeri Maroko. Aku bertanya kepadanya: “Bagaimana ayah dan ibuku?” Paman bahkan menghardik keras: “Bukankah ayahrnu sudah berpesan, agar engkau menaati segala perintahku?” Aku bungkam tak menjawab dan terus mengikutinya. Sesampainya di tempat yang aman, Ia menepuk pundakku dengan penuh kasih sayang, seraya berkata: “Tabahkanlah hatimu, wahai anak shahabatku. Kedua orang tuamu telah tercatat sebagai mukminin syuhada di hadapan Allah, meskipun harus melewati pintu gerbang Mahkamah Inquisisi (pengadilan berdarah).
Maha Benarlah Allah dengan segalà firman-Nya:
"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya". (QS. al-Baqarah/2:154).
Beberapa puluh tahun kemudian, anak seorang mujahid yang dilarikan ke Maroko itu tumbuh dan dibesarkan di Maroko hingga menjadi seorang ulama besar dan pengarang tenar. Dialah Sidi Muhammad bin Abdurrafi’ al-Andalusy.
Disarikan dari buku: Qishshun. Min at-Tarikh, karya Syaikh Ali Thanthawi_AM 296....
Eliya Khadijah
Beberapa jam kemudian setelah keluar dari kamarnya, kulihat kedua matanya memerah seperti sehabis menangis sedu. Terhàdap pertanyaanku, Ia selalu mengelak. Sejak saat itu, Ia suka memandangku agak lama dengan wajah sayu penuh duka, sambil menggerakkan bibirnya seperti sedang membaca sesuatu dengan suara halus. Kalau aku mendekatinya untuk mendengar apa yang sedang Ia baca, secepatnya iá berpaling, dan pergi. Aku membaca sesuatu yang aneh pada raut wajahnya.
Setiap pagi, saat aku hendak berangkat ke sekolah, ibuku seperti berat melepaskanku. Wajahnya begitu murung, dan sambil mengucurkan air mata dipeluknya aku, dan diciumnya berkali-kali. Baru saja aku dilepas dan kakiku melangkah kecil, ditariknya lagi aku, dan dihujani peluk cium lagi, sampai cucuran air matanya yang hangat membasahi mukaku. Aku heran tak habis-habisnya, dan tidak faham latar belakang semua itu. Kalau aku pulang dari sekolah, ibuku menyambutnya dengan penuh mesra dan kerinduan, seakan-akan puluhan tahun berpisah dengan anaknya.
Setiap hari otakku dipenuhi oleh teka-teki yang tak tejawabkan. Sejak itu, seringkali kulihat kedua orang tuaku suka duduk berduaan seperti mereka menghindar dariku. Mereka suka berbicara perlahan dan berbisik, tapi bukan dengan bahasa Spanyol. Aku menjadi bingung dan resah, bahasa mereka tak kupahami. Setiap kali aku mendekati, mereka alihkan pembicaraannya dengan bahasa Spanyol. Dalam hatiku timbul prasangka dan dugaan, jangan-jangan aku ini hanya anak angkat saja. Hatiku kesal, wajahku murung tak pernah ceria. Aku suka menyendiri di suatu pojok, dan sering pula menangis sendirian memikirkan semua teka teki yang menyelimuti keluargaku ini.
Pada suatu hari ibuku melahirkan seorang bayi. Aku lari-lari memberitakannya kepada ayah. Ayahku kulihat tak tampak gembira, walaupun yang lahir itu bayi laki-laki. Bahkan Wajahnya terlihat amat sedih, ketika ia melangkah hendak mengabari rahib tentang kelahiran anaknya itu. Ia kembali membawa rahib kerurnah dengan wajah merunduk ke bawah. Wajahnya diliputi putus asa, tanda penyesalannya yang amat dalam.
Kian hari kulihat wajah ayah semakin redup melayu. Hatiku makin tersayat pilu memikirkan penderitaan batin ayah yang semakin parah. Datanglah malam hari paskah. Kota Granada tengah tenggelam dalam gemerlap cahaya lampu yang berwarna-warni. Gedung al-Hambra gemerlapan memancarkan cahaya lampu. Tiang-tiang salib terpancang megah di setiap halaman. Di tengah pesta malam yang gemerlapan itu ayah tiba-tiba membangunkan aku di kala seisi rumah sedang tenggelam dalam tidurnya.
Ayah menggiring aku ke kamar pribadinya yang suci itu. Saat itu hatiku berdebar-debar bercampur heran. Setelah kami berdua masuk kamar itu, ayah mengunci rapat-rapat. Suasananya sangat gelap tanpa lampu, dan aku tertegun dalam hening itu. Kemudian kulihat ayah menyalakan lampu kecil dan Ia mengisyaratkan aku untuk duduk di permadani yang sudah disediakan. Ia terpaku diam memusatkan pandangannya yang tajam kepadaku.
Aku tak bisa lagi membayangkan apa yang kurasakan pada saat itu di tempat yang teramat asing itu. Tiba-tiba ayahku dengan penuh kasih sayang memegang tanganku, sambil meremas-remas jemari tanganku, terlontar kata-katanya yang lembut kebapakan.
Wahai anakku, sekarang engkau sudah menginjak usia remaja, sudah 10 tahun lebih umurmu. Sudah saatnya aku rnengungkap segala tabir-tabir rahasia yang kusimpan selama ini terhadapmu. Hanya satu pintaku, “Sanggupkah engkau merahasiakan rapat-rapat perasaanku ini?”, engkau tid ak boleh membocorkan kata-kataku ini kepada siapapun juga, walau terhadap ibumu sendiri. Ketahuilah anakku, kalau engkau sampai membocorkan pesanku ini,berarti engkau akan melemparkan tubuh ayahmu mi ke tangan algojo-algojo inquisisi itu.
Demi mendengar sebutan “inquisisi” itu, bulu romaku berdiri dan sekujur badanku gemetar .ketakutan. Aku tahu benar praktik inquisisi itu walaupun aku masih kecil. Setiap hari aku berangkat ke sekolah, kulihat dengan mataku sendiri sosok-sosok manusia yang bergantungan di jalan-jalan raya, disalib, dan dibakar hidup-hidup. Kaum wanitanya digantung rambutnya, dicukil matanya, dan dicopoti sederetan gigi-giginya, disayat kulitnya sampai berceceran semua isi perutnya hingga menyebarkan bau busuk menyengat disekitar tempat gantungan. Aku terdiam dan tidak kuasa menahan rasa ngeri yang terbayang dalam benakku.
“Mengapa engkau diam tak menjawab? Dapatkah engkau menyimpan rahasia yang hendak kusampaikan kepadamu?”, ayah mendesakku. Aku menjawab setengah gemetar: “Bisa ayah”. “Rahasiakanlah walau terhadap ibumu sendiri dan terhadap sahabatmu yang terdekat Sekalipun” tandasnya. “Baik ayah, aku sanggup”, jawabku. Kulihat ayah Wajahnya hingar bingar, dan sambil menarik tanganku ia berkata: “Baiklah, dekatkanlah dirimu kemari, kau pasang telingamu lebar-lebar”. Kemudian ía berdiri mengambil sebuah kitab dan disodorkan kepadaku, seraya bertanya: “Tahukah engkau kitab ini, wahai anakku?” “Tidak ayah”, jawabku polos. “ini adalah Kitabullah”, ia menandaskan. “Kitabullah? Apakah kitab suci yang diajarkan isa anak Tuhan?” selaku dengan terheran-heran. “Bukan”, jawab ayah tegas. ini adalah al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah Yang Maha Esa, Maha perkasa dan Maha kuat tiada bandingnya, Ia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia. Kitab ini diturunkan kepada makhluq-Nya yang termulia yaitu Nabi Muhammad saw.”.
Kubuka lebar-lebar mataku keheranan, karena aku belum faham benar apa yang dimaksudkan ayahku itu. “lnilah kitab Islam”, paparnya. “Yaitu agama haq yang dibawa oleh utusan Allah, Muhammad Rasulullah saw. Kepada seluruh ummat manusia. Beliau dilahirkan nun jauh di sana, melintasi lautan dan beberapa negara. Di padang pasir yang jauh, yang disebut kota Makkah. Di tengah ummat yang tadinya terbelakang dan bodoh kemudian mendapat hidayah dari Allah menjadi ummat tauhid, dikaruniai Allah persatuan ukhuwwah yang kokoh, ilmu pengetahuan yang cemerlang, dan peradaban yang tinggi. Mereka, kemudian berhasil keluar membuka pintu negara-negara di Timur dan Barat, Dan sampailah mereka ke negeri kita, negeri Spanyol. Dulu sebelum kaum Muslimin datang, rajanya zhalim, pemerintahannya kejam, sedang rakyatnya teraniaya dan miskin, dalam kejahihiyahan dan kemunduran. Akhirnya raja yang zhalim itu terbunuh dalam suatu peperangan melawan kaum Muslimin, dan runtuhlah pemerintahan despotis yang kejam itu. Kemudian setelah kaum Muslimin dan Islam berkuasa di Spanyol, menyebar luaslah keadilan sosial, derajat dan martabat rakyatnya terangkat Negara pun menjadi kuat. Islam menetap di sini 800 tahun lamanya. Selama itu negeri kita ini menjadi negeri yang paling unggul dan paling megah di dunia. Dan kami ini wahai anakku, adalah kaum Muslimin yang tersisa dan bersembunyi di sini “.
Mendengar uraian ayahku yang bersemangat itu, aku terpana, ternganga, ta’jub bercampur takut dan juga benci. Aku mencoba hendak berteriak: “Apa ayah! Kita kaum Muslimin?” Ayahku segera menutup mulutku sambil berkata: “Memang benar wahai anakku. Rahasia inilah yang kubungkus rapat bertahun-tahun, untuk kubuka kepadamu jika engkau sudah menginjak dewasa. Sesungguhnyà kitalah pemilik negeri ini. Kitalah yang membangun semua gedung dan bangunan megah yang kini beralih menjadi milik lawan kita. Kita pula yang mendirikan menara-menara untuk mengumandangkan adzan, dan kini telah diganti dengan suara ilonceng gereja. Masjid-masjid yang kita bangun sebagai tempat ibadah shalat, sekarang sudah diubah menjadi gereja yang dipimpin oleh para pendeta yang membawa injil.
Wahai anakku, kita kaum Muslimin telah meletakkan pada setiap sudut negeri Spanyol ini kenangan yang indah nan mengesankan. Setiap jengkal tanahnya pernah dilalui oleh para mujahidin dan syuhada’ kita. Kitalah yang membangun semua kota, semua jembatan, dan kita pula yang membuka jalan-jalan raya dan semua sarana jalan di sudut-sudut negeri ini. Kita pula yang membenahi Semua irigasi pertanian, menanam dan mengatur segala tanaman dan taman-tamannya. Dengarkanlah baik-baik anakku! Sejak 40 tahun lalu Raja kita Abu Abdillah sebagai raja terakhir kaum Muslimin di negeri ini telah tertipu racun janji muluk dari raja Spanyol (Ferdinand dan Issabella, red).
Raja Abu Abdillah tertipu menyerahkan kunci kota Granada dengan pejanjian bahwa raja Nashrani yang sekarang ini berkuasa, akan memberi kebebasan kepada kaum Muslimin melakukan ibadahnya, serta menjaga segala pusaka dan kuburan nenek moyang mereka. Kemudian Raja Abu Abdillah diharuskan mengasingkan diri ke Maroko hingga wafatnya di sana. Akan tetapi setelah mereka berkuasa, mereka tidak pernah menepati janjinya. Mereka injak-injak semua perjanjian bersama itu. Bahkan, mereka mendirikan Mahkamah lnquisisi untuk memaksa kita kaum Muslimin untuk memeluk agama Kristen, melarang menggunakan bahasa kita (Arab) dan mengkristenkan semua anak keturunan kita dengan paksa. ltulah sebabnya kita melaukan ibadah dengan sembunyi-sembunyi, membuat kita sedih karena penghinaan mereka terhadap agama kita dan memurtadkan anak cucu kita. Empat puluh tahun lamanya kita bersabar atas siksaan yang berat, sambil menantikan hari kebebasan dari Allah. Kita tidak boleh berputus asa, karena hal itu dilarang oleh agama kita, sebagai agama yang didasari oleh kekuatan aqidah, kesabaran dan jihad. Rahasia inilah wahai anakku yang harus kau simpan. Ketahuilah, nasib ayahmu terletak dimulutmu. Jangan engkau menyangka aku takut mati. Tetapi aku ingin diberi kesempatan hidup sampai batas menyelesaikan tugasku mentarbiyah engkau tentang bahasamu dan agamamu demi menyelamatkanmu dari kekufuran, dan kejahiliyahan. Sampai sekian dulu anakku liqa’ kita, dan pergilah tidur.
Sejak saat itu, setiap aku melihat gedung al-Hambra dan menara-menara di kota Granada, mataku terbelalak, tubuhku gemetar, darahku mendidih. Lahir kerinduan dan kesedihan, benci bercampur cinta. Benci karena semua itu sudah dikuasai oleh lawan agamaku. Cinta, karena semua itu dirintis, dibangun dan diukir oleh mujahidin-mujahid yang telah meninggalkan negeri ini. Semua itu mengguncangkan nafsuku. Terkadang tanpa kusadari aku sudah berada di hadapan gedung al-Hambra, sambil mencemooh dan berguman:
“Wahai al-Hambra, kini kasih sayangku telah sirna. Lupakah engkau kepada mereka yang membangun dan memperindah engk\au? Begitu pula kepada kawan seperjuanganmu yang rela mengorbankan hidupnya, mengucurkan darah dan air matanya? Masa bodohkah engkau terhadap masa jaya dan kecintaan mereka terhadapmu?Setelah puas aku mencaci maki al-Hambra, sadarlah aku, jangan-jangan gumamku ini terdengar mata-mata inquisisi. Aku cepat-cepat pulang untuk menghafal bahasa Arab yang telah diajarkan ayahku. Aku sudah diajari menulis bahasa Arab dan juga al-Islam, cara berwudhu, dan aku mulai ikut shalat di belakang ayahku, di kamarnya yang sunyi senyap.
Bagaimanapun rahasia itu kusimpan rapat-rapat, akhinnya terbongkar juga oleh ibu. Ibuku suka mengujiku. Setelah aku menguasai bahasa Arab secukupnya, memahami al-Qur’an dan dasar-dasar aqidah Islam, ayah memperkenalkanku dengan salah seorang shahabat seperjuangannya. Kita bertiga sering mendirikan shalat berjama’ah, dan mengaji al-Qur’an. Sementara itu di luar dinding-dinding rumah tindakan algojo inquisisi bertambah ganas terhadap kaum Muslimin di negeri itu. Hampir setiap hati kita menyaksikan minim al 30 orang yang disalib, dibakar hidup-hidup secara demonstratif di tempat-tempat terbuka. Jumlahnya menanjak sampai ratusan orang yang dianiaya secara kejam. Ada yang dicabut kuku-kukunya hidup-hidup, dijejali air lurnpur sampai mati, ada pula yang dibakar kakinya, perutnya, jemari tangannya dipotong-potong, kemudian dibakar dan dimasukkan ke mulut. Ada juga yang dicemeti sampai babak Belur badannya, kemudian dikompres dengan air asam garam.
Sebuah kekejaman yang memuncak dari peristiwa itu berja1an sangat panjang. Pada suatu hari ayahku berpesan: “ Wahai anakku, aku merasa bahwa ajalku sudah semakin dekat. Aku ridha mati syahid di tangan mereka, dan semoga Allah mengganjarku dengan Jannah-Nya. Dengan demikian aku meninggalkan dunia ini sebagai pemenang. Aku bersyukur bahwa bebanku yang berat melepaskan engkau dari kekufuran telah berhasil dengan baik. Tongkat estafet itu sekarang sudah berada di tanganmu. Kalau aku suatu ketika tertimpa musibah, maka taatilah pamanmu ini. Jangan membantah sedikitpun, ikuti dia kemana saja.
Beberapa hari telah berlalu, sejak ayah menyampaikan pesan terakhir itu, Pada suatu malam yang hening paman (kawan ayahku) itu datang menjemputku untuk melarikan aku ke negeri Maroko. Aku bertanya kepadanya: “Bagaimana ayah dan ibuku?” Paman bahkan menghardik keras: “Bukankah ayahrnu sudah berpesan, agar engkau menaati segala perintahku?” Aku bungkam tak menjawab dan terus mengikutinya. Sesampainya di tempat yang aman, Ia menepuk pundakku dengan penuh kasih sayang, seraya berkata: “Tabahkanlah hatimu, wahai anak shahabatku. Kedua orang tuamu telah tercatat sebagai mukminin syuhada di hadapan Allah, meskipun harus melewati pintu gerbang Mahkamah Inquisisi (pengadilan berdarah).
Maha Benarlah Allah dengan segalà firman-Nya:
"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya". (QS. al-Baqarah/2:154).
Beberapa puluh tahun kemudian, anak seorang mujahid yang dilarikan ke Maroko itu tumbuh dan dibesarkan di Maroko hingga menjadi seorang ulama besar dan pengarang tenar. Dialah Sidi Muhammad bin Abdurrafi’ al-Andalusy.
Disarikan dari buku: Qishshun. Min at-Tarikh, karya Syaikh Ali Thanthawi_AM 296....
Eliya Khadijah
0 komentar: