Allah tidak menganiaya manusia. Begitu penegasan Allah dalam banyak ayat-Nya. Sebut saja misalnya:
Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walau seberat dzarrah (QS. 4:40).
Dan tidaklah Allah menghendaki untuk menganiaya hamba-hamba-Nya, (QS. 3:108),
Di samping penegasan yang berdiri sendiri, adapula yang dinisbahkan kepada adzab yang menimpa kaum yang mendurhakai rasul-Nya, dalam artian bahwa adzab yang ditimpakan kepada mereka sama sekali bukan bentuk penganiayaan. Firman Allah:
Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang Sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan (penduduk) negeri-negeri yang teah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membaca keterangan yang nyata; maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (QS. 9:70).
Ada pula yang dinisbahkan pada kekafiran atau siksa api neraka (QS. 22:9-10; 50’.29). Dalam konteks yang terakhir ini, sebagaimana hal di atas, juga mengandung arti bahwa predikat kafir atau adzab neraka sama sekali bukan bentuk penganiayaan terhadap manusia. Vonis itu diberlakukan Allah setelah terlebih dahulu diupayakan-Nya menghindari mereka dari kekafiran serta akibat kekafiran itu sendiri (adzab neraka). Atau dengan kata lain, vonis itu diberlakukan setelah terlebih dahulu mereka diberi-Nya hidayah ) (QS. 76:3-4). Tulisan ini, sesuai dengan titelnya, mencoba mengungkap berbagai upaya Allah dalam menuntun dan mengarahkan manusia menuju keimanan kepada-Nya (memberinya hidayah).
Manusia adalah “homo devinan atau homo relegius”. Secara simple maksudnya bahwa manusia adalah makhluk yang dalam kehidupannya berprilaku mengakui eksistensi tuhan atau makhluk yang beragama. Hal demikian tentu merupakan refleksi logis dan kondisi jiwa manusia yang memang berinstink ke-Tuhanan, yang oleh Prof. Dr. Jung, pakar psiko-analsis itu disebut sebagai “naturaliter relegiosa”.
Thesis manusia adalah makhluk bernaturaliter relegiosa diakui oleh para pakar dalam berbagai disiplin ilmu. “Sejak manusia diciptakan di muka bumi ini, pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah menyertainya”. Demikian Ahmad Deedat dalam salah satu tutisannya. Selanjutnya dalam tulisan yang sama, dengan mengutip pernyataan Max Fuller dalam “Hibert Letures”, kristolog asal benua hitam itu menulis bahwa usia agama sama dengan usia bumi ini.
Plutarch, seorang sejawaran terkemuka Yunani, sebagaimana yang dikutip Ahmad Bahjat, dua ribu tahun yang lalu mengatakan: Adalah mungkin bagi anda untuk menjumpai kota-kota yang tidak memiliki istana raja, kekayaan, etika dan tempat-tempat pemujaan. Namun tidak ada seorangpun yang dapat menemukan sebuah kota yang tidak mengajarkan penyembahan kepada para penduduknya. Statements di atas sejalan dengan bukti-bukti empiris. Hasil penyelidikan para pakar Antropologi Budaya terhadap masyarakat primitif di berbagai kawasan dunia membuktikan kebenaran hal itu. Sebut saja misalnya, hasil penelitian J.G. Frazer terhadap masyarakat primitif di benua Afrika dan beberapa kawasan di Asia, dan penelitian Andrew Law di kawasan Amerika Utara, kepulauan Andaman, dan Australia. Hasil penelitian itu membuktikan bahwa masyarakat purba di kawasan itu telah memiliki perasaan keagamaan dalam bentuk kepercayaan kepada hal-hal yang gaib (supernatural being). Lebih dari itu, William Schmidt, sarjana Antropologi Budaya Jerman, mengatakan bahwa mereka, manusia primitif, percaya pada adanya satu Tuhan (monotheisme). Teori yang disebut nya “Oer-moeo” ini didasark.an pada basil penelitiannya terhadap masyarakat primitif di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Namun, lanjut Schmidt kepercayaan monotheisme tadi, mengalami degradasi menuju kepolytheisme, Bahwa manusia bernaturaliter relegiosa, dilihat dari satu sisi, sejalan dengan konsep Islam. Artinya, Islam membenarkan bahwa dalam jiwa setiap manusia tertanam instink ke-Tuhan-an. Argumen implisit pembenaran ini, antara lain, terlihat pada tugas yang diemban para rasul. Tugas utama mereka adalah mengajak manusia untuk mengesakan Allah (tauhidullah) bukan mengenalkan kaumnya pada adanya Allah (ma’rifatullah). ini menunjukkan bahwa manusia pada masa itu (sebelum datangnya rasul) telah mengenal adanya Tuhan. (QS. 759,65, 73, 158).
Di sisi Lain, instink ke-Tuhan-an dalam konsep Islam (baca, Fithrah) mengacu pada tauhidullah, bukan instink ke-Tuhan-an ansich, Dalil eksplisit hal ini antara lain:
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?”Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)”. (QS. 29:61),
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS.30:30).
"Tiadalah anak yang dilahirkan melainkan dilahirkan atas agama ini (Islam)". (HR. Muslim).
Kendati demikian, yang jelas manusia merupakan makhluk yang bernaturalitre relegiosa.
Persoalannya, sejak kapan perasaan keagamaan itu timbul dalam jiwa manusia? Menjawab pertanyaan ini para pakar berbeda pendapat. Ada yang mengatakan benihnya adalah produk ketidaktahuan manusia. Menurut pendapat ini, manusia zaman dahulu belum mengetahui sebab musabab hakiki yang ada di balik peristiwa-peristiwa alam: halilintar yang menggelegar, banjir yang mengganas misalnya. Mereka mengaitkan peristiwa-peristiwa tersebut pada adanya kekuatan/makhluk gaib . Pendapat lain menyatakan bahwa benihnya bermula dari adanya perasaan takut. Teori ini memandang bahwa manusia selalu dalam keadaan lemah dalam menghadapi keganasan alam; keganasan manusia; dan nafsu liar yang mengantarkan manusia pada bahaya yang lebih besar).Sementara, Sigmund Freud, ahli ilmu jiwa kenamaan itu, berpendapat: benih agama muncul dari apa yang ia sebut sebagai “Oedipus Complex” dan atau “Electra Complex”. Oedipus yang putra raja Yunani kuno itu membunuh bapaknya karena menjadi saingan cinta birahi terhadap ibunya. Di lain pihak Electra putri dari raja Yunani kuno lain juga membunuh ibunya karena alasan yang sama. Konon setelah itu keduanya sangat menyesal. Dan untuk menebus perbuatan itu mereka membuat patung orang tuanya untuk disembah. Dan sinilah cikal bakal rasa keagamaan dalam jiwa manusia.
Lain halnya dengan sebagian pakar-pakar agama Islam, mereka berpendapat bahwa benih itu muncul dari penemuan manusia terhadap kebenaran, keindahan, dan kebaikan. Menurut mereka, ketika Adam telah berada di bumi, ia menemukan ketiga hal itu. Kemudian naluri ingin tahunya berusaha menemukan apakah yang indah, benar, dan baik itu? Pencarian itu mengantarkannya bertemu dengan yang maha suci. Dari sinilah agama lahir.
Terlepas apa dan bagaimana pendapat di atas, namun harus diyakini bahwa seluruh instrumen maniusia, lahir dan batin, Allah yang mendesainnya. dalam konteks ini, rasa keagamaan, tentu Allah juga sebagai desainernya.
Dan yang menentukan qadar (masing-masing) dan yang memberinya hidayah. (QS. 87:3).
Desain dimaksud di atas tergambar dalam “transaksi aqidah”yang diijab-kabuli oleh Allah dengan manusia ketika berada di alam rahim. Sebagaimana firman-Nya.
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?’, mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi (QS. 7:173).
Dengan transaksi di atas maka tak pelak sejak awal keberadaan manusia di muka bumi ini, ia telah berada dalam lingkar transaksi tadi (baca, fithrah atau Islam). "Tiadalah anak yang dilahirkan melainkan dilahirkan atas agama ini (Islam)". (HR. Muslim).
Transaksi di atas inilah juga merupakan cikal bakal dari apa yang disebut oleh Prof. J.C. Jung sebagai naturaliter relegiosa atau dengan ungkapan lain sebagai fitrah; instink; naluri; pembawaan alami dan lain Sebagainya. Dan, barangkali refleksinya diterjemahkan sebagai homo devinan atau homo relegius oleh sementara ahli teologi. Satu hal yang menjadi kalimat kuno dalam uraian di atas: adanya upaya “mu’minisasi” dari Allah kepada setiap manusia dalam wujud penanaman bibit keimanan dalam jiwa mereka. Diharapkan dalam kehidupan di dunia manusia terhindar dari penyangkalan terahadap eksistensi dan jati diri Allah swt. firman-Nya:
……(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “SeSungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-rang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan). (QS. 7:172). Atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang- orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu”? (QS. 7:173).
Demikian upaya awal dari Allah dalam rangka “mu’minisasi” manusia. Sebenamya pengakuan manusia terhadap Allah pásca perjanjian alam rahim tidaklah terlalu sulit dan berbelit. Perjanjian itu akan menjadi daya yang selalu menuntut pengejawantahan pada tataran empiris. Ibarat anak kecil, ia merusak mainannya karena didesak oleh daya ingin tahunya (instink curiousity).
Kendati demikian, yang jelas manusia merupakan makhluk yang bernaturalitre relegiosa.
Persoalannya, sejak kapan perasaan keagamaan itu timbul dalam jiwa manusia? Menjawab pertanyaan ini para pakar berbeda pendapat. Ada yang mengatakan benihnya adalah produk ketidaktahuan manusia. Menurut pendapat ini, manusia zaman dahulu belum mengetahui sebab musabab hakiki yang ada di balik peristiwa-peristiwa alam: halilintar yang menggelegar, banjir yang mengganas misalnya. Mereka mengaitkan peristiwa-peristiwa tersebut pada adanya kekuatan/makhluk gaib . Pendapat lain menyatakan bahwa benihnya bermula dari adanya perasaan takut. Teori ini memandang bahwa manusia selalu dalam keadaan lemah dalam menghadapi keganasan alam; keganasan manusia; dan nafsu liar yang mengantarkan manusia pada bahaya yang lebih besar).Sementara, Sigmund Freud, ahli ilmu jiwa kenamaan itu, berpendapat: benih agama muncul dari apa yang ia sebut sebagai “Oedipus Complex” dan atau “Electra Complex”. Oedipus yang putra raja Yunani kuno itu membunuh bapaknya karena menjadi saingan cinta birahi terhadap ibunya. Di lain pihak Electra putri dari raja Yunani kuno lain juga membunuh ibunya karena alasan yang sama. Konon setelah itu keduanya sangat menyesal. Dan untuk menebus perbuatan itu mereka membuat patung orang tuanya untuk disembah. Dan sinilah cikal bakal rasa keagamaan dalam jiwa manusia.
Lain halnya dengan sebagian pakar-pakar agama Islam, mereka berpendapat bahwa benih itu muncul dari penemuan manusia terhadap kebenaran, keindahan, dan kebaikan. Menurut mereka, ketika Adam telah berada di bumi, ia menemukan ketiga hal itu. Kemudian naluri ingin tahunya berusaha menemukan apakah yang indah, benar, dan baik itu? Pencarian itu mengantarkannya bertemu dengan yang maha suci. Dari sinilah agama lahir.
Terlepas apa dan bagaimana pendapat di atas, namun harus diyakini bahwa seluruh instrumen maniusia, lahir dan batin, Allah yang mendesainnya. dalam konteks ini, rasa keagamaan, tentu Allah juga sebagai desainernya.
Dan yang menentukan qadar (masing-masing) dan yang memberinya hidayah. (QS. 87:3).
Desain dimaksud di atas tergambar dalam “transaksi aqidah”yang diijab-kabuli oleh Allah dengan manusia ketika berada di alam rahim. Sebagaimana firman-Nya.
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?’, mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi (QS. 7:173).
Dengan transaksi di atas maka tak pelak sejak awal keberadaan manusia di muka bumi ini, ia telah berada dalam lingkar transaksi tadi (baca, fithrah atau Islam). "Tiadalah anak yang dilahirkan melainkan dilahirkan atas agama ini (Islam)". (HR. Muslim).
Transaksi di atas inilah juga merupakan cikal bakal dari apa yang disebut oleh Prof. J.C. Jung sebagai naturaliter relegiosa atau dengan ungkapan lain sebagai fitrah; instink; naluri; pembawaan alami dan lain Sebagainya. Dan, barangkali refleksinya diterjemahkan sebagai homo devinan atau homo relegius oleh sementara ahli teologi. Satu hal yang menjadi kalimat kuno dalam uraian di atas: adanya upaya “mu’minisasi” dari Allah kepada setiap manusia dalam wujud penanaman bibit keimanan dalam jiwa mereka. Diharapkan dalam kehidupan di dunia manusia terhindar dari penyangkalan terahadap eksistensi dan jati diri Allah swt. firman-Nya:
……(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “SeSungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-rang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan). (QS. 7:172). Atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang- orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu”? (QS. 7:173).
Demikian upaya awal dari Allah dalam rangka “mu’minisasi” manusia. Sebenamya pengakuan manusia terhadap Allah pásca perjanjian alam rahim tidaklah terlalu sulit dan berbelit. Perjanjian itu akan menjadi daya yang selalu menuntut pengejawantahan pada tataran empiris. Ibarat anak kecil, ia merusak mainannya karena didesak oleh daya ingin tahunya (instink curiousity).
Upaya “mu’minisasi” dari Allah tidak sebatas menanarm bibit fithrah
dalam jiwa setiap manusia. Upaya itu dikuatkannya dengan upaya lain:
“menampakkan wujud”-Nya pada alam raya dan seluruh peristiwanya, dan
pada penciptaan diri manusia sendiri (ayatul ufuqiyah wa ayatul
anfusiyah).
Kami akan perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kami di sekitar jagad
raya dan pada diri mereka sendiri, sehingga mereka dapat kejelasan,
bahaw sesungguhnya (adanya Allah) itu benar… (QS. 41:53).
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yaqin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? (QS. 51:20-21).
“Penampakan” Allah pada dua macam ayat di atas akan mengundang fithrah untuk bereaksi. Di lain pihak akan memunculkan reaksi akal. Diharapkan dari perpaduan dua unsur manusia ini, akan lahir satu konklusi: Allah itu eksis.
“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah matinya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi sungguh terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (QS. 2:164).
Hamparan langit dan bumi dengan segala isi dan peristiwanya merupakan penjelmaan eksistensi Allah, artinya peristiwa, isi dan alam itu sendiri mustahil terjadi tanpa adanya sentuhan tangan gaib yang menyentuhnya. Dengan kata lain peristiwa apa saja yang terjadi di alam semesta ini, di sana ada sinyal pasti yang mengarah pada keberadaan, keesaan, dan kekuasaan Allah, karena memang Dialah yang mencipta dan mengaturnya.
Banyak sekali ayat al-Qur’an yang mengaitkan antara keberadaan Allah yang terjelma di alam ini dengan akal fikiran (QS. 30.24; 39:21; 453 dsb). Pengaitan ini mengandung sinyal yang jelas bahwa hanya manusia yang tidak berakallah / tidak mempergunakan akalnya yang tidak menemukan Allah pada alam serta segenap isi dan peristiwanya. Para pakar agama mengemukakan dalil aqliah tentang eksistensi Allah Pertama, dalil kejadian tentang adanya Tuhan. Kedua, dalil peraturan dan pemeliharaan. Ketiga, dalil gerak secara pasti dan tetap atau sunnatullah. Keempat, dalil gerak.
Di kalangan sementara pakar Filsafat ke-Tuhan-an terdapat tiga argumentasi tentang adanya Tuhan, sebagaimana yang ditulis Abbas Mahmud al-Aqqad berikut:
“Cosmological Argument ialah bahwa segala sesuatu yang bergerak pasti ada yang menggerakkannya, yang tidak digerakkan oleh hal lain. Segala sesuatu yang ada (mumkinat) tentu ada yang mengadakan (mujid), dan yang mengadakannya pasti ada (wajibul-wujud). Sebab jika tidak demikian tentu akan terjadi rangkaian silsilah yang tak berkesudahan. Yang “mengatakan” (mujid) atau yang pasti ada (wajibul-wujud) ialah Tuhan, Teologikal Argument iaiah, bahwa keteraturan alam ini menunjukkan adanya kehendak yang meliputi dan mengetahui segala sesuatu, termasuk semua sebab-musabab dan tujuannya.
Sedang Ontological Argument…. Setiap ada sesuatu yang besar dan yang lebih besar lagi, dan pada akhirnya akal menggambarkan suatu kebesaran yang tak mungkin ada bandingnya. Kebesaran yang tidak dilebihi oleh hal lain itu bukan Semata-mata gambaran yang terdapat di dalam imaginasi, dan tidak pula terdapat di alam nyata. Karena, kebesaran yang benar-benar ada melebihi kebesaran yang dapat dibayangkan atau digambarkan. Dengan demikian, Tuhan pasti ada, karena Dia jauh lebih besar daripada semua yang ada. Lebih dari sekedar itu, alam dengan segala kejadian dan peristiwanya mengandung sinyal tauhidullah.
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu (langit dan bumi) telah rusak binasa. Maka maha suci Allah yang mempunyai Arsy daripada apa yang mereka sifatkan. (QS. 21:22).
Dalam surah an-Naml 60-64, dengan kalimat tanya retorik, berturut-turut Allah mengungkap keesaan-Nya: “Adakab Tuhan (lain) selain Allah.
Dalam tataran faktual, kisah pencarian Ibrahim as. dan Salman al-Farisi, mewakili uraian-uraian di atas, bahwa betapa besar peran akal n dalam mengantarkan manusia pada keyakinan adanya pencipta, pengatur dan penguasa alam ini. Hanya manusia yang tidak menggunakan potensi akalnyalah yang tidak menemukan Allah di alam ini. Maka jelas, betapa adanya upaya “mu’minisasi” dari Allah dengan jalan menggugat akal pikiran manusia lewat argumen qauniyah-Nya.
Apa, siapa, dan bagaimana Tuhan yang sesungguhnya. Pertanyaan ini, jika dijawab melalui pendekatan naluri dan akal pikiran ansich, tidak akan mencapai kesimpulan yang mutlak. Apapun yang dilahirkan dari akal pikiran manusia dalam konteks pertanyaan di atas akan berakhir dengan nisbi, sebab daya akal tidak akan mampu menjangkau wilayah hakiki yang maha gaib. Allah tidak membiarkan manusia sesat dan disesatkan oleh naluri dan akan fikirannya sendiri dalam membentuk rumus Tuhan. Melalui lisan para rasul-Nya, Allah menerangkan, apa, siapa, dan bagaimana diri-nya.
Dan Allah menurunkan beserta mereka (para rasul) kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan (QS. 2:213).
Para rasul itu tersebar di seluruh kawasan, di mana di sana ada komunitas manusia (ummat), sehingga mereka yang terpencil sekalipun tidak luput dari mu’minisasi Allah. Karenanya tidak ada satu ummat di satu kawasan yang tidak mengenal siapa tuhannya.
Tiap-tiap ummat mempunyai rasul; maka apabila telah datang nzsul itu kepada mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka (sedikitpun) tidak dianiaya. (QS. 10:47).
Dan sesungguhnya kami tdah mengutus rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyeru) sembahlah Allah, dan jauhilah thaghut (QS. 16:36). Dan bagi tiap-tiap kaum ada yang memberi petunjuk. (QS. 13:7).
Rasul, sebagaimana kaumnya.. adalah manusia biasa. Faktor ini kadang menjadi kendala keimanan kaumnya (QS. 26:154, 186 dsb). Mengantisipasi ihwal ini, Allah membekali mereka dengan keajaiban luar biasa yang tidak pernah dimiliki oleh manusia saat itu (mu’jizat). Diharapkan dengan itu hati mereka terbuka menerima kebenaran utusan Allah. Sementara, mu’jizat itu disesuaikan-Nya pula dengan kondisi aktual atau keahlian masyarakat di zaman itu; untuk masyarakat yang mengandalkan sihir, dianugrahkan-Nya Musa “tongkat sihir’ yang tidak terkalahkan; kaum nabi Saleh yang ekspert dalam bidang seni lukis dan pahat batu, dianugrahi- Nya Saleh keajaiban membuat patung hidup dan batu karang sehingga dapat makan dan minum (hidup); kepada ummat yang pakar di bidang pengobatan, dianugrahi-Nya isa pengobatan tingk.at tinggi, sehingga orang yang telah lama mati sekalipun dapat hidup kembali. Begitulah seterusnya hingga kepada Nabi Muhammad saw. dapat mengalahkan keahlian kaumnya.
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yaqin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? (QS. 51:20-21).
“Penampakan” Allah pada dua macam ayat di atas akan mengundang fithrah untuk bereaksi. Di lain pihak akan memunculkan reaksi akal. Diharapkan dari perpaduan dua unsur manusia ini, akan lahir satu konklusi: Allah itu eksis.
“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah matinya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi sungguh terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (QS. 2:164).
Hamparan langit dan bumi dengan segala isi dan peristiwanya merupakan penjelmaan eksistensi Allah, artinya peristiwa, isi dan alam itu sendiri mustahil terjadi tanpa adanya sentuhan tangan gaib yang menyentuhnya. Dengan kata lain peristiwa apa saja yang terjadi di alam semesta ini, di sana ada sinyal pasti yang mengarah pada keberadaan, keesaan, dan kekuasaan Allah, karena memang Dialah yang mencipta dan mengaturnya.
Banyak sekali ayat al-Qur’an yang mengaitkan antara keberadaan Allah yang terjelma di alam ini dengan akal fikiran (QS. 30.24; 39:21; 453 dsb). Pengaitan ini mengandung sinyal yang jelas bahwa hanya manusia yang tidak berakallah / tidak mempergunakan akalnya yang tidak menemukan Allah pada alam serta segenap isi dan peristiwanya. Para pakar agama mengemukakan dalil aqliah tentang eksistensi Allah Pertama, dalil kejadian tentang adanya Tuhan. Kedua, dalil peraturan dan pemeliharaan. Ketiga, dalil gerak secara pasti dan tetap atau sunnatullah. Keempat, dalil gerak.
Di kalangan sementara pakar Filsafat ke-Tuhan-an terdapat tiga argumentasi tentang adanya Tuhan, sebagaimana yang ditulis Abbas Mahmud al-Aqqad berikut:
“Cosmological Argument ialah bahwa segala sesuatu yang bergerak pasti ada yang menggerakkannya, yang tidak digerakkan oleh hal lain. Segala sesuatu yang ada (mumkinat) tentu ada yang mengadakan (mujid), dan yang mengadakannya pasti ada (wajibul-wujud). Sebab jika tidak demikian tentu akan terjadi rangkaian silsilah yang tak berkesudahan. Yang “mengatakan” (mujid) atau yang pasti ada (wajibul-wujud) ialah Tuhan, Teologikal Argument iaiah, bahwa keteraturan alam ini menunjukkan adanya kehendak yang meliputi dan mengetahui segala sesuatu, termasuk semua sebab-musabab dan tujuannya.
Sedang Ontological Argument…. Setiap ada sesuatu yang besar dan yang lebih besar lagi, dan pada akhirnya akal menggambarkan suatu kebesaran yang tak mungkin ada bandingnya. Kebesaran yang tidak dilebihi oleh hal lain itu bukan Semata-mata gambaran yang terdapat di dalam imaginasi, dan tidak pula terdapat di alam nyata. Karena, kebesaran yang benar-benar ada melebihi kebesaran yang dapat dibayangkan atau digambarkan. Dengan demikian, Tuhan pasti ada, karena Dia jauh lebih besar daripada semua yang ada. Lebih dari sekedar itu, alam dengan segala kejadian dan peristiwanya mengandung sinyal tauhidullah.
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu (langit dan bumi) telah rusak binasa. Maka maha suci Allah yang mempunyai Arsy daripada apa yang mereka sifatkan. (QS. 21:22).
Dalam surah an-Naml 60-64, dengan kalimat tanya retorik, berturut-turut Allah mengungkap keesaan-Nya: “Adakab Tuhan (lain) selain Allah.
Dalam tataran faktual, kisah pencarian Ibrahim as. dan Salman al-Farisi, mewakili uraian-uraian di atas, bahwa betapa besar peran akal n dalam mengantarkan manusia pada keyakinan adanya pencipta, pengatur dan penguasa alam ini. Hanya manusia yang tidak menggunakan potensi akalnyalah yang tidak menemukan Allah di alam ini. Maka jelas, betapa adanya upaya “mu’minisasi” dari Allah dengan jalan menggugat akal pikiran manusia lewat argumen qauniyah-Nya.
Apa, siapa, dan bagaimana Tuhan yang sesungguhnya. Pertanyaan ini, jika dijawab melalui pendekatan naluri dan akal pikiran ansich, tidak akan mencapai kesimpulan yang mutlak. Apapun yang dilahirkan dari akal pikiran manusia dalam konteks pertanyaan di atas akan berakhir dengan nisbi, sebab daya akal tidak akan mampu menjangkau wilayah hakiki yang maha gaib. Allah tidak membiarkan manusia sesat dan disesatkan oleh naluri dan akan fikirannya sendiri dalam membentuk rumus Tuhan. Melalui lisan para rasul-Nya, Allah menerangkan, apa, siapa, dan bagaimana diri-nya.
Dan Allah menurunkan beserta mereka (para rasul) kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan (QS. 2:213).
Para rasul itu tersebar di seluruh kawasan, di mana di sana ada komunitas manusia (ummat), sehingga mereka yang terpencil sekalipun tidak luput dari mu’minisasi Allah. Karenanya tidak ada satu ummat di satu kawasan yang tidak mengenal siapa tuhannya.
Tiap-tiap ummat mempunyai rasul; maka apabila telah datang nzsul itu kepada mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka (sedikitpun) tidak dianiaya. (QS. 10:47).
Dan sesungguhnya kami tdah mengutus rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyeru) sembahlah Allah, dan jauhilah thaghut (QS. 16:36). Dan bagi tiap-tiap kaum ada yang memberi petunjuk. (QS. 13:7).
Rasul, sebagaimana kaumnya.. adalah manusia biasa. Faktor ini kadang menjadi kendala keimanan kaumnya (QS. 26:154, 186 dsb). Mengantisipasi ihwal ini, Allah membekali mereka dengan keajaiban luar biasa yang tidak pernah dimiliki oleh manusia saat itu (mu’jizat). Diharapkan dengan itu hati mereka terbuka menerima kebenaran utusan Allah. Sementara, mu’jizat itu disesuaikan-Nya pula dengan kondisi aktual atau keahlian masyarakat di zaman itu; untuk masyarakat yang mengandalkan sihir, dianugrahkan-Nya Musa “tongkat sihir’ yang tidak terkalahkan; kaum nabi Saleh yang ekspert dalam bidang seni lukis dan pahat batu, dianugrahi- Nya Saleh keajaiban membuat patung hidup dan batu karang sehingga dapat makan dan minum (hidup); kepada ummat yang pakar di bidang pengobatan, dianugrahi-Nya isa pengobatan tingk.at tinggi, sehingga orang yang telah lama mati sekalipun dapat hidup kembali. Begitulah seterusnya hingga kepada Nabi Muhammad saw. dapat mengalahkan keahlian kaumnya.
Khusus untuk nabi penutup itu, mu’jizat tidak hanya berlaku pada yang membawanya, juga berlaku pada apa yang dibawanya (kitab al-Qur’an). Artinya seluruh aspek yang terkait dengan al-Qur’an megnandung kemu’jizatan. Dalam hubungan ini terungkap tiga aspek kemu’jizatan al-Qur’an yaitu: aspek kebahasaan al-Q ur’an, Isyarat ilmiah dalam al-Qur‘an dan pemberitaan gaib dalam al-Qur’an.
Rupanya, upaya “mu’minisasi” manusia tidak berhenti pada satu dua upaya saja. Upaya yang satu dikuatkan dengan upaya yang lain. Upaya yang susul menyusul itu memberi kesan tertutupnya “lobang jarum” bagi alasan untuk menolak Allah.
“perhatikanlah. betapa kami mendatangkan tanda-tanda kami silih berganti, agar mereka memahami, (QS. 6:65). Rasul-rasul itu sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada lagi alasan manusia membantah Allah sesudah diutus rasul-rasul itu (QS. 4:165).
Manusia, dalam menyikapi hidayah Allah, terbagi pada dua golongan: menerima dan menolaknya. Perkara hidayah itu diterima atau ditolak diserahkan sepenuhnya pada kebijakan masing-masing manusia. Allah hanya sebatas pemberi hidayah saja. ‘Faman syaa-a falyu’min; faman syaa-a falyakfur”. Pertanyaannya, apa sesungguhnya yang melatarbelakangi manusia menolak kebenaran yang disampaikan oleh para rasul-Nya (baca, kafir). Bukankah al- Bayyinah telah tampak dengan jelas di depan mata kepala mereka?
Mengacu pada acuan mutlak itu, Allah, dalam banyak ayat-Nya menjelaskan, bahwa penyebab kekafiran itu bertumpu pada berbagai bentuk subyektifitas (27:14), antara lain:
Pertama, taqlid pada nenek moyang. Taqlid, dapat dikatakan penyebab utama kekafiran manusia. Bukti sejarah memperlihatkan bahwa nyaris tidak ada rasul yang tidak ditentang kaumnya, dikarenakan faktor taqlid pada nenek moyang. Dalam al-Qur’an Allah memaparkan hal ini:
1). Kaum Nabi Ibrahim as. Berkata Ibrahim: “Apakah berhala-berhala itu mendengar (do’a)mu sewaktu kamu berdo’a, atau (dapatkah) mereka memberi manfaat kepadamu atau madharat?” Mereka menjawab: “(bukan karena itu) sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian” (QS. 26:72-74).
2). Kaum Nabi Hud as.
Mereka berkata: “Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah Bapak-bapak kami “ (QS. 7:70).
3). Kaum Nabi Musa as. Mereka berkata: “Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya" (QS. 10:78).
4). Kaum Nabi Saleh as.
Kaum Tsamud Berkata. “Hal, Saleh, Sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?.......(QS. 11:62).
5). Kaum Nabi Syuaib as.
Mereka berkata: “Hai Syu’aib, apakah agamamu yang menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami “ (QS. 11:87).
6). Kaum Nabi Yusuf/penduduk Mesir
“Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya “ (QS. 12:40).
7). Kaum Nabi Nuh as.
belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami dahulu”. (QS. 23:24).
8). Nabi Muhammad saw.
Mereka berkata: “Orang ini tiada lain hanyalah seorang laki-laki yang ingin menghalangi kamu dari apa yang disembah oleh bapak-bapakmu. (QS.34:43).
Kedua, Rasul Allah ditolak,. karena apa yang mereka ajarkan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan kaumnya.
Apakak setiap datang padamu seorang rasul membawa sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu angkuh, maka beberapa orang (di antara ,mereka) kamu dustakan dan beberapa orang kamu bunuh?” (QS. 2:87).
Ketiga, menjaga gengsi. Pada umumnya para elit penguasa di zaman para rasul menolak ajaran Allah karena faktor di atas.
Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: “Kami tidak melihat kamu, selain (sebagai) seorang manusia seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami “(QS. 11:27).
Keempat, mengikuti hawa nafsu.
‘Tetapi orang-orang zhalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan, maka siapakah yang akan menunjuki orang- rang yang telah disesatkan Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang penolong”. (QS. 30:29).
Kelima, kezhaliman dan kesombongan
“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenarannya). Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan”. (QS. 27:14).
Keenam, tidak ber-tadabbur’/ menggunakan potensi akal.
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau sekiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang tidak sedikit di dalamnya”. (QS. 4:82).
0 komentar: