Asbabun Nuzul
Pada suatu ketika Rifa’ah bin Zaid (Paman Qatadah) membeli terigu beberapa karung yang lantas disimpan di gudangnya tempat penyimpanan alat-alat perang, baju besi dan pedang. Pada tengah malam gudang itu dibongkar orang dan semua isinya dikuras habis. Pagi harinya Rifa’ah menghadap Qatadah seraya berkata: “Wahai anak saudaraku, tadi malam gudang kita dikuras orang, semua makanan dan senjata dicurinya. Lantas, mereka menyelidiki dan bertanya-tanya di Sekitar perkampungan itu, ada orang yang mengatakan, bahwa semalam Bani Ubairiq menyalakan api, memasak terigu (makanan orang-orang kaya). Berkatalah Banu Ubairiq: “Kami telah bertanya-tanya di kampung ini, demi Allah kami yakin bahwa pencurinya adalah Labib bin Sahi”. Labib bin Sahi dikenal scbagai seorang Muslim yang jujur. Tatkala Labib mendengar ucapan Ubairig, ia naik pitam dan menghunus pedangnya seraya berkata dengan nada marah: “Engkau menuduh aku mencuri? demi Allah pedang ini akan ikut campur berbicara sehingga akan jelas siapa sebenarnya pencuri itu”. Bani Ubairiq bcrkata: “Jangan berkata kami yang menuduhmu, sebab sebenamya bukanlah kamu pencurinya”.
Berkatalah Rifaah: “Wahai anak saudaraku. Bagaimana sekiranya engkau menghadap Rasulullah untuk mencari kejelasan mengenai masalah ini?” Maka, berangkatlah Qatadah menghadap Rasul dan menerangkan adanyä keluarga yang tidak baik di kampung itu, yaitu pencuri makanan dan persenjataan milik pamannya. Pamannya menghendaki agar senjatanya saja yang dikembalikan sementara makanannya biar untuk mereka. Bersabdalah Rasul: “Saya akan teliti masalah itu”.
Pada saat Bani Ubairiq mendengar soal itu, mereka mendatangi salah seorang keluarganya yang bernama Asir bin Urwah guna menceritakan peristiwa itu, maka berkumpullah orang-orang sekampungnya serta menghadap Rasulullah dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Qatadah bin Nu’man dan pamannya menuduh seorang yang baik di antara kami, orang jujur dan lurus prilakunya, dituduh mencuri tanpa bukti-bukti yang cukup.
Qatadah lantas ditegur oleh Rasul denqan sabda beliau: kau menuduh kepada seorang Muslim yang jujur dan turus tanpa bukti apapun?” Qatadah kemudian pulang dan menceritakan kepada pamannya. Berkatalah Rifa’ah: “Allahul musta’anu” (Allah tempat kita berlindung). Maka, tak berselang lama turunlahih ayat an- isa’/4: 105 itu.
Dalam riwayat lain, seperti yang dibawakan oleh al-Hafizh lbnu Mardawaihi sebab turunnya ayat ini melalui al-Aufi dan lbnu Abbas sebagaimana tersebut dalam tafsir lbnu Jarir ath-Thabari; “Bahwa beberapa orang Anshar turut berperang dengan ah saw, mengadukan halrnya dan menyatakan bahwa yang disangkanya pencuri itu adalah Thu’mah bin Ubairiq. Namun, setelah Si pencuri mengetahui bahwa yang kecurian telah melapor kepada Rasulullah, segera perisai itu dijatuhkannya ke rumah seorang lelaki yang tak bersalah. Setelah itu, Ia segera datang kepada beberapa orang kaumnya, berkata: “Wahai Nabi Allah! saudara kami (Thu’mah) tidak bersalah dalam hal ini. Yang mengambilnya adalah si Fulan. Kami tahu betul! Kami mengharap Rasul membersihkan nama saudara kami itu di depan khalayak. Sebab, bila dia tidak dipelihara Allah dengan perantaraan engkau, niscaya dia akan binasa”. Mendengar itu, berdirilah Rasul di tengah kerumunan khalayak, membersihkan nama Thu’mah dari berbagai tuduhan itu.
Sementara menurut riwayat lbnu Zaid: Seorang pencuri scbuah perisai, karena takut ketahuan diantarkannya perisai curian itu ke rumah seorang Yahudi. Sebab, melihat dirumahnya telah ada perisai yang bukan kepunyaannya. Segera Yahudi itu datang kepada Rasulullah. Dia berkata kepada Rasul: “Demi Allah bukanlah aku pencuri perisai ini, wahai Abu Qasim, melainkan perisai ini diantarkan orang kerumahku diam-diam. Namun, keluarga pencuri membela yang mencuri dan menekankan tuduhan kepada Yahudi itu, sambil mereka berkata: ‘Memang Yahudi ini jahat dan busuk lagi kafir. Dia adalah penantang Allah dan agama yang engkau bawa.
Begitu pintamya mereka mengatur fitnah supaya terbebas daripada hukuman, dengan mengambing-hitamkan seorang Yahudi sehingga hampir-hampir Rasulullah terperangah oleh kelicikan kata-kata mereka. Kata Ibnu Zaid: ‘inilah sebabnya turun ayat ini, yaitu menegur Rasulullah agar menegakkan hukum berdasarkan Kitab Allah, dan jangan gampang terpengaruh untuk membela yang salah.
Bila kita gali terus dari berbagai sumber memang masih amat banyak riwayat yang menceritakan tentang asbabun nuzulnya ayat ini. Tetapi, riwayat-riwayat di atas barangkali telah cukuplah bagi kita untuk memberi penjabaran atas inti persoalan dan mengapa ayat tersebut diturunkan oleh Allah?
Hukum yang Memihak
Selama ini, barangkali kita sepakat bahwa kesimpulan dasar dari keterpurukan bangsa Indonesia hingga titik paling rendah sebenamya adalah karena tidak tegaknya supremasi hukum dan keadilan. Hak-hak individu di pangkas, hak-hak sosial dan agama dimandulkan bahkan hak-hak politik dilindas hingga rata. Dengan kata lain, hukum hanya berpihak pada yang memiliki kekuasaan semata.
Sementara, bagi orang dan golongan yang lemah, baik lemah dalam artian ekonomi maupun politik (kekuasaan) kian ditindas. Rezim otoriterianisme Orde Baru dan saudara kembarnya Orde Lama adalah sama-sama menjadi hukum sebagai kamuflase seraya menempatkan politik dan kekuasaan sebagai panglima tertingginya. Bila hukum dinilai tidak berpihak kepadanya, maka hukum dan segala bentuk peraturan itu sengaja ditanggalkankannya bahkan lewat berbagai upaya dan argumentasi dengan segala macam cara untuk sampai pada satu titik, bagaimana hukum yang tidak berpihak pada kekuasaan segera lenyap. Tapi, ketika hukum berpihak kepadanya (kekuasaan) kendati harus membuat kaum lemah, para wong cilik dan masyarakat yang tertindas kian limbung dan tertekan, maka hukum itu akan ditempatkan pada tempat terdepan, demi menutupi segala kekurangan dan borok-borok kebobrokannya.
Tak heran, bila pada era Soekarno dan kemudian Soeharto banyak tokoh kritis harus keluar masuk penjara. Harus menghadapi petugas interogasi yang sangar dan kadang kejam. Atau harus melakukan wajib lapor dari segala tindak-tanduknya, bahkan sampai makan, tidur, dan ibadah pun harus diawasi secara ketat.
Dalam bidang peribadatan, Islam diberi keleluasaan, dibangunkan tempat-tempat ibadah, masjid-masjid kian menjamur, persoalan apakah masjid-masjid itu ada jama’ahnya atau sekadar bertengger untuk memenuhi target kuantitas fisik semata adalah persoalan lain.
Tetapi, Islam di bidang politik ditentang, dimusuhi dan dikejar-kejar. Ummat Islam dan semua organisasi sosial keagamaan yang hendak mengadakan semacam pengajian umum atau acara-acara yang bernuansakan agama harus melewati beragam birokrasi, rekomendasi dan segala tetek bengek yang belum tentu mendapatkan restu. Itulah potret situasi kehidupan masyarakat kita sebelum meletus gerakan reformasi. Dimana segala sesuatunya serba represif, otoriter, dan depotisme.
Hukum Untuk Siapa?
Mengapa hukurm harus ditegakkan? untuk siapa? sebuah pertanyaan klise.
Tapi, justru dari pertanyaan yang tampak terasa kuno itulah kita akan
selalu ingat sekaligus bijak. Bahwa kehidupan dengan segala aneka
ragamnya ini tak akan bisa tegak tanpa adanya hukum yang berdiri tegak.
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ
يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ
عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Bahwa yang haq adalah haq dan yang batil adalah batil, Keduanya bisa hidup subur, tetapi tak bisa bercampur aduk. Keduanya akan senantiasa berhadapan, bermusuhan, namun yang hag akan selalu berdiri kokoh dan menancap kuat. Karenanya, hukum tak boleh hanya berpihak pada orang-orang tertentu. Pada kelompok dan golongan tertentu, tak boleh hanya milik segelintir orang, tak boleh hanya pro terhadap penguasa atau orang-orang kuat atau orang-orang kaya saja.
Hukurn milik yang benar dan hanya akan berpihak pada yang benar. Tak ada dua kebenaran kembar di dunia ini. Al-Hag hanya satu. Sebab itu, upaya menegakkan hukum adalah mewujudkan keadilan. Keadilan bahwa yang benar adalah benar dan yang salab adalab salah.
Karena itu, prinsip-prinsip keadilan yang terkandung dalam al-Qur’an meliputi:
• Keadilan Allah yang bersifat mutlak. Dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa Allah adalab Dzat yang menegakkan keadilan (QS. 3: 18).
• Keadilan firrnan-Nya yang tertuang dalam al-Qur’an. Telah dinyatakan bahwa Allah telah menurunkan al-Kitab dan neraca keadilan, agar manusia mampu menegakkan keadilan (QS. 57: 25).
• Keadilan syari’at-Nya yang dibawa Rasul-Nya. Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa agama yang (benar) dibawa oleb Nabi Muhammad saw. adalah agama yang benar, agama Nabi Ibrahim yang lurus (hanif) (QS. 6; 161).
• Keadilan yang tertuang pada alam ciptaan-Nya. Diterangkan bahwa Allah telah menciptakan manusia dalam keserasian yang amat indah (QS. 95: 4). Juga diterangkan bahwa Allah menjadikan alam semesta serba seimbang (QS. 13: 2).
• Keadilan yang ditetapkan untuk manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Dalarn al-Qur’an diserukan supaya orang-orang yang beriman dapat menegakkan keadilan semata-rnata karena Allah dan tidak terpengaruh oleh kepentingan pribadi (QS. 5: 8) (H.A. Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, 1991).
Kesimpulan
Dari uraian tersebut bisa disimpulkan bahwa upaya dan tekad untuk
antiasa menegakkan kokohnya supremasi hukum dan keadilan sangat
tergantung dari seberapa besar kemauan kita (para penguasa/pemerintah,
para penegak hukum/jaksa, hakim, polisi, dan semua elemen bangsa ini)
untuk tetap konsis, istiqamah dan selalu mengokohkan tali komitmen.
Dalam konteks Indonesia adalah seber apa tinggi political will dan semua
komponen bangsa ini untuk selalu menempatkan hukum sebagai sesuatu yang
agung, yang mulia, yang terdepan dan bahkan yang tertinggi sebagai
panglima. Tanpa itu, mustahil hukum mampu berjalan tegak dan konsisten.
Mustahil keadilan benar-benar bisa dirasakan oleh rakyat dan bangsa ini.
Memang amat memerlukan biaya mahal dalam menegakkan keadilan dan hukum. Sebab, pemimpin/penguasa yang istiqamah dalam menghidupkan hingga tegaknya supremasi hukum atau hingga keadilan benar-benar mampu membangun wajah peradaban ummat manusia, maka harus ada keberanian tersendiri. Keberanian untuk menghukumi siapapun yang memang bersalah, keluarga, sanak, saudara, atau temannya sekalipun. Tanpa itu, jangan berharap hukum bisa berdiri kokoh dan keadilan bisa dirasakan. Dan dalam tataran ini, agaknya (meskipun kita tidak terlalu su’uzhan) terasa pesimis segala ketimpangan dan penyelewengan atau bahkan kekejaman bisa diselesaikan tuntas hingga seadil-adinya.
Memang amat memerlukan biaya mahal dalam menegakkan keadilan dan hukum. Sebab, pemimpin/penguasa yang istiqamah dalam menghidupkan hingga tegaknya supremasi hukum atau hingga keadilan benar-benar mampu membangun wajah peradaban ummat manusia, maka harus ada keberanian tersendiri. Keberanian untuk menghukumi siapapun yang memang bersalah, keluarga, sanak, saudara, atau temannya sekalipun. Tanpa itu, jangan berharap hukum bisa berdiri kokoh dan keadilan bisa dirasakan. Dan dalam tataran ini, agaknya (meskipun kita tidak terlalu su’uzhan) terasa pesimis segala ketimpangan dan penyelewengan atau bahkan kekejaman bisa diselesaikan tuntas hingga seadil-adinya.
0 komentar: