Kamis, 09 Maret 2017

Haji Mabrur, Tanggung Jawab Kolektif Atau Individual ?


Kunjungan Raja Salman Al Saud ke beberapa negara di Asia termasuk Indonesia dapat dikatakan sebagai kunjungan Kerajaan Arab Saudi dalam rangka memperluas investasinya diberbagai bidang ekonomi dan pariwisata. Dan eksistensinya di Indonesia bersama rombongan selama 12 hari yang dimulai pada hari Rabu 1 Maret 2017 dapat diapresiasi dan tentunya menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Terlepas dari perjalanan dan segala aktivitas sang penjaga haramain di Indonesia, satu hal yang akan dibahas diantara beberapa MOU yang telah ditandatangani yaitu rasa terima kasih yang amat sangat atas diterimanya permintaan pemerintah Indonesia tentang tambahan kuota haji. Dengan demikian maka daftar tunggu calon jema’ah haji masyarakat muslim di Indonesia tidak lagi menumpuk. Sebab tak dapat dipungkiri bahwa Negara Indonesia merupakan Negara yang berpenduduk muslim terbanyak didunia, sudah pasti dari tahun ketahun calon jemaah hajinya pun semakin menempati urutan pertama secara kuantitas, dan mudah-mudahan juga secara kualitas.

Perkembangan masyarakat muslim di Indonesia tampaknya makin dinamis. Ini setidaknya bisa dibaca dari makin kompleksnya berbagai persoalan sosial yang tengah dihadapi. Tantangan dan ancaman datang silih bcrganti, Eskalasinya meningkat baik dan segi kuantitas maupun kualitas, Sumber persoalan juga makin beragam. “Mozaik” masvarakat seperti demikian tentu memerlukan cara pandang yang interaktif antara berbagai sektor kehidupan. Demikian halnya dengan upaya-upaya Islamisasi masyarakat kita. Berbagai lembaga dan sumberdaya insani Muslim harus ditumbuhkembangkan dalam berbagai peran dan fungsi-fungsi sosial yang cukup determinan dalarn menjawab berbagai persoalan masyarakat. Terlebih terkait dengan dinamika sosial yang makin kompleks itu, maka sosialisasi nilai-nilai Islam semakin mendesak untuk dikembangkan. 

Di sinilah peranan sentral hujaj di tengah-tengah masyarakat. Potensi mereka secara empiris, ekonomis, dan sosial sangat diharapkan. Apalagi jika ditilik budaya masyarakat yang masih terpola pada patron-cent relationship atau budava paternalistik maka peranan mereka secara aktif akan sangat membantu upaya mengakselerasi Islamisasi secara berkesinambungan dan integral. Dengan kata lain, para haji kita diharapkan dapat memberikan suri teladan yang positif dalam segala hal di tengah-tengah lingkungannya.

Menariknya lagi, dengan tingkat persebaran haji yang meluas, paling tidak lebih dan 70 persen justru dari pedesaan, maka sosialisasi dan pengembangan masyarakat Islam itu akan lebih mudah dimulai dari tingkat grass-root level dengan segala kelebihannya. Tanpa mengurangi besarnya peranan mereka yang hidup di perkotaan, kedua strategi ini justru akan bertemu dalam satu simpul pembangunan masyarakat Islam yang ideal, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah ketika Hijrah ke Madinah, Barangkali cara ini akan tampak sederhana, Tapi, fakta membuktikan bahwa budaya kita masih sangat fungsional. Misalnya, predikat haji masih kerap dikaitkan dengan status sosial di tengah-tengah lingkungannva. Secara sosiologis, ibadah ini dapat mengangkat seseorang ke strata sosial yang setingkat lebih tinggi. Seperti, di masyarakat Madura dan Betawi utamanya. Namun gambaran demikian kini sudah berlaku untuk Semua lapisan sosial.

Yang menjadi persoalan adalah justru terkait dengan status dan citra sosial itu muncul berbagai sebutan “sinis’ yang menggambarkan prilaku mereka sepulang dari tanah suci. Ada sebutan haji politik, haji artis, haji tender, haji pangkat, haji bisnis, dan seterusnya. Sebuatan demikian muncul begitu saja di tengah-tengah masyarakat secara spontan. Dalam satu segi sindiran-sindiran itu akan bermakna positif sebagai “rambu larangan” bagi hujaj kita. Memang kita juga merasa prihatin dengan mereka yang sepulang haji tidak menjalankan syari’at Islam dan akhlaqul karimah secara lebih baik. Ada politisi yang sepulang dari hasil kerjanya terus membohongi rakyat Cara berpolitiknya tetap menghalalkan segala cara demi perolehan kursi sebanyak-banyaknya. Ada bisnisman yang sepulang haji terus memeras rakyat kecil. Ada artis terkenal yang sepulang dari haji sama sekali tidak mengubah peran akting dan prilakunya sehari-hari.

Wajar kalau kemudian masyarakat mempertanyakan motivasi awal atau niat mereka menunaikan ibadah itu. Setidaknya niat mereka sangat disangsikan oleh lingkungannya. Terlebih lagi yang bersangkutan adalah public figure yang terus diikuti sepakterjangnya melalui berbagai media massa. Alih-alih mereka akan dijadikan panutan oleh fans atau pengikutnya, justru menjadi “beban” sosial dan merusak citra Islam Islam, bagi mereka., tak lebih dari polesan status sosial dari bebagai pakar dan tokoh masyarakat yang diajak berdiskusi menyatakan fenomena itu muncul akibat dari kesalahpahaman sejak awal dalam mempersepsi Islam. Islam masih dipandang sebagai kumpulan ritus-ritus religi yang tidak mempunyai implikasi sosial. Padahal,justru dari ibadah yang bermakna ritual itulah akan diharapkan muncul berbagai amal shalih yang positif di tengah-tengah lingkungannya. Dimensi ritual dan sosial dalam Islam ibarat dua sisi dari mata uang yang sama. Tak bisa dipisah-pisahkan. Ada pandangan bahwa jumlah mereka sebetulnya tidak banyak. Tetapi, kiranya perlu ditekankan di sini bahwa persoalannya bukan terletak pada sedikit banyaknya mereka yang sepulang haji tidak mau menjalankan syari’at secara benar. Masalahnya adalah mereka kebanyakan berasal dari kalangan yang menentukan di masyarakat. Dengan begitu prilaku mereka menjadi sorotan tajam lingkungannya.
Tentu sekali lagi kita kini mempertanyakan bagaimana peranan lembaga dan ormas-ormas Islam menghadapi semuanya ini. Menjaga kemabruran haji tentu bukan sekadar tanggungjawab individual. Ini juga merupakan tanggung jawab kolektif dalam konteks taushiyah dan Ta ‘awun alal birri wat Taqwa. Kemabruran haji seyogyanya tercermin dari pancaran akhlaq pribadi maupun amal sosial. Jika tidak, ibadah itu tak lebih dari meraih status sosial yang naif dan semu sekali.

0 komentar: