Rabu, 08 Maret 2017

Nasib Seorang Kader


Saat itu malam belumlah mengangkat tuntas tirai-tirai kegelapannya. Saat itu waktu masih subuh ketika pasukan kaum Muslimin tiba di lembah Hunain. Dan tanpa diduga-duga pasukan kaum Muslimin mendapat serangan hebat dari kaum Hawazim hingga mereka kocar-kacir tak karuan, hingga seseorang ták lagi mempedulikan temannya. Kekalahan yang sulit dipercaya mengingat jumlah kaum Muslimin besar namun ternyata jumlah yang besar tidak ada manfaatnya. 

لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ ۙ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ ۙ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَثُمَّ أَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَنْزَلَ جُنُودًا لَمْ تَرَوْهَا وَعَذَّبَ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ وَذَٰلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai, Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir” (QS. at-Taubah: 25-26).

Waktu itu Rasulullah sampal berseru: ‘Kemarilah wahai semua orang. Aku adalah Rasul Allah. Aku Muhammad bin Abdullah”. Namun mereka tak pedüli hingga paman beliau, Al-Abbas yang mempunyai suara yang lantang berseru: “Manakah orang-orang yang berikrar di bawah pohon?” Orang-orang yang segera tersadar terutama kaum Muhajirin dan Anshar dan segera mereka berkumpul lagi di sekeliing Rasulullah. Akhimya kaum Muslimin bisa menyusun kekuatannya kembali dan bisa memukul musuh dan meraih kemenangan.

Setelah kemenangan diraih, Rasulullah saw. kembali ke Ji’ranah dan menetap di sana selama sepuluh hari. Selama itu beliau belum membagi harta rampasan perang karena dengan harapan orang-orang Hawazin memohon amnesti sambil mengambil kembali barang-barang milik mereka. Karena dari Bani Hawazim tidak ada yang datang. Rasulullah akhimya membagi barang rampasan itu. Beliau membagi harta rampasan itu kepada pemuka-pemuka Quraisy dalam jumlah yang sangat besar sekali.

Abu Sofyan bin Harb diberi empat puluh uqiyah perak dan seratus ekor unta. Itupun dia masih minta lagi untuk anaknya Yazid dan Mu’awiyah. Maka beliau akhimya memberi lagi kedua anak Abu Sofyan tersebut dengan jumlah yang sama dengan yang diterimanya sendiri.
Beliau juga memberikan seratus ekor unta kepada Hakim bin Hizam. Tapi dia masih meminta tambahan seratus ekor lagi dan permintaannya itu dipenuhi. Shafwan bin Umayyah diberi seratus ekor unta dan ditambah lagi seratus ekor unta lagi. Begitu juga dengan Al-Harits bin Al-Harits bin Kaladah dan beberapa jajaran pemuka orang Quraisy. Selain itu ada yang diberi lima puluh ekor unta, empat ekor dan lain sebagainya hingga tersebar kabar bahwa Muhammad tidak takut miskin meski berapapun yang ia berikan. Karena itu orang-orang berbondong-bondong mengerumuni beliau untuk meminta harta sampai beliau terdesak ke sebuah pohon dan mantel beliau lepas. Beliau bersabda:

“Wahai orang-orang, kembalikan mantelku. Demi yang diriku ada di tangan-Nya,andaikan aku memiliki semua tanaman di Tihamah, tentu aku akan memberikannya kepada kalian, hingga kalian tidak menyebut aku seorang yang kikir, takut dan dusta”.

Namun kebijaksanaan beliau itu ternyata tidak bisa diterima oleh orang-orang Anshar karena mereka semua tidak mendapat bagian padahal justru mereka yang selama ini banyak berkorban dan terlibat di garda depan peperangan Hunain. Hingga akhirnya terdengarlah kasak-kusuk di antara mereka sampai ada yang berkata: ‘Demi Allah, Rasulullah saw. telah bertemu kaumnya sendiri”.

Melihat kondisi tersebut Saat bin Ubadah akhirnya mengambil inisiatif dan mengambil langkah segera menghadap Rasulullah seraya berkata: “Wahai Rasulullah, di dalam diri kaum Anshar ada perasaan yang mengganjal terhadap diri engkau, karena apa yang engkau lakukan dalam membagi harta rampasan itu. Engkau membagi-bagikannya kepada kaum engkau sendiri dan engkau memberikannya bagian yang amat besar kepada kabilah Arab, sementara orang Anshar tidak mendapat apapun’.

Setelah memahami duduk permasalahannya Rasulullah akhimya menyuruh Saad untuk mengumpulkan kaumnya di suatu tempat. Saad bin Ubadah lalu mengumpulkannya di suatu tempat. Ada beberapa orang Muhajirin yang ingin masuk namun mereka semua ditolak. Setelah semua orang Anshar berkumpul lalu Saad mengabarkannya kepada Rasulullah. Saat itulah beliau menyampaikan khutbah yang sangat menyentuh. Setelah memuji Allah dan mengagungkan-Nya, beliau bersabda:

“Wahai orang Anshar, ada suara pembicaraan yang sempat kudengar dari kalian bahwa di dalam diri kalian ada perasaan yang mengganjal terhadapku. Bukankah dulu aku datang, Sementara kalian dalam keadaan sesat lalu Allah memberi petunjuk kepada kalian? Bukankah dulu kalian miskin lalu Allah membuat kalian kaya, juga menyatukan hati kalian?
Mereka menjawab: “Begitulah Allah dan Rasul-Nya lebih murah hati dan lebih banyak karunianya”.
“Apakah kalian tidak ingin memenuhi seruanku wahai semua orang Anshar? tanya beliau.
Mereka ganti bertanya: ‘Dengan apa kami harus memenuhi seruanmu wahai Rasulullah? Milik Allah dan Rasul-Nyalah anugerah dan karunia. Beliau bersabda: “Demi Allah, kalau kalian mau, sementara kalian bisa membenarkan dan dibenarkan, maka kalian bisa berkata: “Engkau datang kepada kami dalam keadaan didustakan, justru kami membenarkan. engkau, dalam keadaan lemah dan kamilah yang justru menolong engkau, dalam keadaan terusir justru kamilah yang memberikan tempat, dalam keadaan papa dan justru kamilah yang menampung engkau. Apakah di dalam hati kalian masih tersebut hasrat keduniaan, yang dengan keduniaan itu aku hendak mengambil segolongan arang agar masuk Islam, sedangkan aku sudah percaya kalian. Wahai semua orang Anshar, apakah kalian tidak berkenan di hati jika orang-orang lain pergi membawa domba dan onta, Sedang kalian kembali bersama Rasul Allah di tempat tinggal kalian? Demi yang jiwa Muhammad ada ditangan-Nya, kalau bukan karena hijrah, tentu aku termasuk orang-orangAnshar. Jika orang-orang menempuh suatu jalan di celah gunung, dan orang-orang Anshar menempuh suatu celah gunung yang lain, tentu aku memilih celah yang ditempuh orang-orang Anshar. Ya Allah, rahmatilah orang-orang Anshar, anak orang-orang Asthar dan cucu orang-orang Anshar”.

Mereka pun menangis sesenggukan hingga jenggot mereka menjadi basah oleh air mata. Mereka berkata: “Kami ridha terhadap Rasulullah dalam masalah pembagian dan bagian”. Setelah itu beliau kembali lagi ke tempat semula dan mereka pun bubar.

Sepenggal episode kisah di atas sedemikian banyak ibrah yang bisa kita petik hikmahnya. Pelajaran yang harus dipahami oleh mereka yang mengaku kader-kader da’wah, kader-kader kebangkitan Islam. Pelajaran tentang hakekat yang dituntut dari Seorang kader bahwa:

Pertama, kewajiban seorang kader untuk tampil menjadi pelopor dalam berkorban di saat orang lain malah berlomba-lomba untuk menyelamatkan diri. Pelopor dalam keteguhan dan iltizam.
Episode perang Hunain menunjukkan hal itu. Saat itu orang lain lari tunggang langgang karena serangan kaum Hawazin di lembah Hunain hingga masing-masing tidak lagi mempedulikan apapun kecuali keselamatannya,akhimya hanya orang-orang kualitas kader yang tertinggal bersama Rasulullah yaitu orang-orang Muhajirin dan Anshar. Para kader yang telah tertempa sekian lama. Orang-orang ltulah yang akhimya berperang bersama Rasulullah hingga akhirnya meraih kemenangan.

Kedua, kewajiban untuk menahan ambisinya terhadap harta dunia. Rasulullah melihat bahwa banyak orang-orang yang hanya bisa ditundukkan hatinya untuk memeluk Islam hanya dengan harta. Sebagaimana lembu atau kambing yang hanya bisa digiring ke kandang ketika ada seikat dedaunan yang ada di dekat mulutnya. Rasulullah tahu persis hal tersebut. Oleh karenanya Ia akhirnya memberi banyak harta rampasan perang kepada para pembesar-pembesar Quraisy yang baru masuk Islam untuk menguatkan imannya dan melembutkan hatinya. Protes orang-orang Anshar atas kebijakan Rasulullah sangat manusiawi. Tidak berlebih-lebihan sekaligus menunjukkan bahwa mereka bukan malaikat-malaikat yang bebas dari nafsu, tapi hanyalah sekumpulan manusia yang bagaimanapun tidak terlepas dari keiginan-keinginan dan hawa nafsu. Namun lihatlah ketika persoalannya dijernihkan oleh Rasulullah mereka bisa dengan mudah menerima. Menenima pembagian dan bagian yang Rasulullah tetapkan yaitu bahwa orang-orang membawa pulang ke rumahnya masing-masing dengan domba dan onta, sedangkan orang-orang Anshar pulang hanya” bersama Rasulullah. Tak ada protes, tak ada aksi-aksi pembangkangan. Semuanya menenima dan mengucapkan: Kami ridha terhadap Rasulullah dalam pembagian dan bagian ini”.

Kebangkitan Islam dan Kader

Tidak diragukan lagi bahwa Kebangkitan Islam (shahwah Islamiyah) saai ini sangat membutuhkan orang-orang kualitas kader seperti ini. Orang-orang kualitas pahlawan yang selalu rindu akan tugas-tugas besar, orang yang selalu bekerja siang dan malam tanpa merasa lelah yang Ia tidak pernah memikirkan apakah orang mengetahui pekerjaanya atau tidak. Kadang kehadirannya “nyaris tak terdengar’ di sisi manusia namun mereka pahlawan-pahlawan yang mengguncangkan Arsy.

Seorang kader bisa diibaratkan Sebagai batu pondasi dan sebuah bangunan yang sedang dibangun. Ibarat batu yang paling awal dikorbankan namun ketika bangunan itu jadi sebuah rumah yang megah, batu awal yang menyangga seluruh bagunan tidak nampak karena posisinya di tanam di dalam tanah, Oleh karenanya bisa Jadi ía orang yang paling banyak berjasa dalam da’wah ini paling banyak sumbangsihnya dalam menggelorakan ummat ini. Namun mungkin Ia tidak menikmati hasilnya bahkan bukan mustahil orang yang datang belakangan yang akan menduduki empuknya kursi dan melimpahnya fasilitas. Sedangkan Ia disebut-sebut pun tidak. Tapi, itulah “nasib seorang kader. Fajar kebangkitan Islam yang kini mulai merekah di seluruh penjuru dunia ini bisa jadi hanya merupakan fajar Kadzib (Fajar semu) bukan fajar shadiq (Fajar sebenamya) bilamana tidak sanggup menelorkan orang-orang kualitas kader, Kebangkitan ini tidak banyak beruntung dengan banyak kehadiran manusia namun kualitasnya nol besar. Kader-kader yang hanya banyak menuntut bukan kader-kader yang siap memberi. Kader yang tidak sanggup menerirna “takdir nasib” seorang kader, Menjadi orang-orang kader ada tiga syarat yang harus dipenuhi:

Pertama, Menjaga iklim sihatul aqidah (aqidah yang sehat). Sihatul aqidah akan menjaga seluruh kader dari tendensi-tendensi selain Allah. Menjaga bahwa seluruh orientasinya hanya untuk dan karena Allah semata. Karena tidak ada yang bisa menahan nafsu manusia kecuali janji-janji Allah bahwa Dia akan membalasnya kelak di surga.

Menurut syayid Quthb bahwa kehadiran manusia-manusia besar di dunia ini selalu mempunyai kelebihan yang amat menonjol pada kekuatan jiwa. Rahasia itu juga yang bisa kita tangkap dari tarbiyah Rasulullah selama 10 tahun di Mekah dengan perlakuan-perlakuan yang mengantarkan pada sebuah kekuatan jiwa. Salah satunya dengan Qiyamul lail. Dan Rasulullah berhasil. Oleh karenanya hal yang paling menonjol pada diri sahabat-sahabat Rasulullah saw. bukan terutama kecerdasan, sekalipun Itu ada, tapi adalah Iman.

Kedua, mewujudkan sihatul fikrah (keluasan wawasan). Hal ini suatu yang terpenting setelah kekuatan maknawiyah. Seorang da’i tak layak manakala terlihat telmi (telat mikir). Namun Ia harus seorang yang mempunyai keluasan dan kedalaman wawasan wacana berfikirnya harus selalu bertambah hingga ia bisa menjelaskan kepada manusia hal-hal yang butuh penjelasan menurut kadar mereka berfikir, Bisa membawa hujah yang jelas di hadapan manusia.

Ketiga, terwujudnya sihatul manhaj (sistem operasional yang solid). Kehadiran sistem operasional yang solid dan kokoh adalah merupakan keniscayaan yang harus diwujudkan saat ini. Sistem ini akan menjadikan kader-kader yang ada bagai sebuah bangunan yang kokoh yang tak tertembus oleh musuh. Tanpa kehadiran sistem yang solid kehadiran kader-kader meski memiliki sihatul aqidah dan sihatul fikrah - “tak berarti apa-apa” di hadapan sistem yang batil namun tertandhim (tertata). Kehadiran kader-kader itu tak lebih dari kerumunan, yang bisa jadi banyak namun sangat rentan. Yang pada akhirnya tak sanggup berbuat apa-apa bahkan menolong dirinya sendiri. Nasib seorang kader adalah kisah pengorbanan, cerita kesengsaraan, Nasib yang selalu berkorban tanpa ia bermimpi untuk menuai hasilnya, kecuali pahala di sisi Allah kelak di Jannatun Na’im di mana di dalamnya akan dibayar kontan semua amal usahanya tanpa sedikitpun dikurangi. InsyaAllah.

0 komentar: