Minggu, 14 Mei 2017

Menangkal Islamophobia

Semua pembicaraan dan pembahasan tentang Islam dan kaum Muslimin di Amerika atau di negara-negara Barat Lainnya cenderung melecehkan dan disalah fahami, inilah yang menjadi pemicu kenapa Islam selalu dianggap beringas dan bengis dalam mengantisipasi berbagai event politik baik dalam skala regional maupun internasional. Dalam berbagai kesempatan, Islam selalu difahami seperti itu, di Layar televisi. berita-berita di koran. acara-acara akademis bahkan di Kongres Amerika sekalipun.

Dr. Gariq Nucs, seorang wartawan Muslim Amerika yang sehari-harinya bekerja pada sebuah Majalah Amerika terkemuka. yakni “Washington Report”. ketika menulis untuk Majalah al-Mujtama’ Kuwait edisi 1415 di dalam menanggapi masalah ini. rupanya lebih bersikap instropertif dan lebih melihat kondisi internal kaum Muslimin sendiri. Dià mengatakan:
“Saya üdak akan mengemukakan contoh-contoh untuk menlelashan bagaimana Barat berpersepsi tentang Islam. Namun sebagai gantinya wajib bagi kita kaum Muslimin untuk sebisanya melakukan counter issu untuk meluruskan permasalahan dengan cara melakukan pressing lewat sikap dan moralitas dalam rangka menunjukkan dan menjelaskan wajah kita yang sebenarnya”.
Lebih lanjut Dr. Gariq Nucs mengatakan bahwa setidaknya ada lima sudut pandang yang mesti harus difahami kaum Muslimin Barat untuk selanjutnya difahamkan kepada mereka yang selama ini salah dalam memahami Islam. kaum Muslimin dan gerakan-gerakan Islam yang ada sekarang ini harus dilihat dari kelima sudut pandang ini agar tidak terjadi miss understanding terhadap Islam, kalau memang Barat menginginkan obyektifitas. Kelima sudut pandang atau kelima frame cara melihat Islam itu adalah:

1. Frame Sejarah

Yang pertama, kita harus melihat Islam dari tinjauan historis. Sebagian besar orang Amerika berpendapat bahwa Islam muncul ke permukaan pada tahun 1979 yang ditandai oleh runtuhnya Syah Iran Reza Pahlevi dan keberhasilan Revolusi Iran. Dan banyak orang Barat yang tahu Islam sejak empat tahun terakhir, bukan empat belas abad sebagaimana yang harus difahamni. Padahal mau tidak mau. dalam tinjauan historis Islam harus diakui sebagai salah satu peradaban internasional terbesar yang telah menguasai pentas politik dan kekuatan ekonomi selama berabad-abad. Islam juga mampu melahirkan ribuan ulama dan cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu dan peradaban.

lnilah yang telah berhasil diselewengkan Barat dalam percaturan politik, sosial dan budaya. hingga melahirkan image bahwa Islam adalah tatanan ideologi terbelakang karena dianggap baru lahir kemarin sore. Hal ini sama saja dengan kita mengatakan bahwa sejarah Inggris baru dimulai sejak PM Margaret Teacher atau sejarah Rusia baru dimulai sejak Mekhail Ghurbachov. Sungguh dengan dalih apapun statemen ini tidak bisa diterima. Namun sayang mereka berhasil mengungkapkan statemen semacam ini untuk Islam.

2. Frame Pemikiran

Cara melihat Islam dengan frame ini juga harus kita lakukan. Karena sebagian besar perdebatan tentang Islam dan al-Fikrul Islamy akhir-akhir ini ternyata hanya berkisar tentang sisi politik saja. Saya tidak ingin mengatakan bahwa Islam itu tidak menyentuh aspek politik. tapi orang-orang Barat menganggap bahwa politik adalah satu-satunya aspek dalam memandang Islam. Padahal kalau sedikit jeli akan dijumpai warisan fikr islami yang kaya dalam berbagai bidang. mulai dan tikrah tentang dien. filsafat. ekonomi. ilmu bahasa. sejarah. geografi dan ilmu-ilmu eksakta. Bahkan ada yang lebih sulit dari itu semua. namun mampu diwariskan oleh fikr Islami yakni ilmu perundang-undangan dan fiqh. Ketika para pakar hendak melakukan prediksi keilmuan yang menyangkut antisipasi masa depan dalam penelitian tertentu. tidak bisa tidak mereka akan merujuk kepada bibliografi Islam. Namun demikian jarang bahkan hampir tidak pernah kita jumpai dalam penelitian-penelitian yang mengungkap masalah itu. Tidak pernah kita jumpai adanya rujukan kepada para pemikir Islam masa lalu yang telah berhasil mengukir namanya dalam dunia pemikiran, semisal Imam Syafi’i. Imam Ghazali. Ibnu Khaldun. Ibnu Rusyd dan tokoh-tokoh lainnya. Nah adakah tatanan ideologi yang sekaya dan sebanyak Islam dalam mewariskan sistem-sistem kehidupan? Mestinya Barat yang katanya jago obyektifitas harus sedikit obyektif dalam memandang keutuhan Islam. tidak Seperti yang sekarang tejadi.

3. Frame Budaya

Frame ini penting untuk kita ketahui dalam rangka membedakan manakah yang dari Islam dan manakah yang merupakan budaya dan tradisi setempat. Ini penting supaya jangan sampai tradisi setempat dijadikan standart dalam melihat Islam. Memang benar bahwa Islam adalah Ummah Waahidah (ummat yang satu), namun di sisi lain kita juga harus mengakui adanya berbagai perbedaan. baik budaya. Bahasa, suku atau status sosial yang terdapat dalam ummah waahidah tersebut, salah satu contoh yang saat ini menjadi problem yang cukup serius di Barat (baca: Prancis), yakni masalah Hijab. Perbedaan pendapat tentang hijab juga terjadi di Dunia Islam. sebagaimana pula perbedaan tentang model hijab itu sendiri. Di Iran bernama Syaadur, di Pakistan namnya Niqab. di Afghanistan namnya Burqu’ dan lain-lain. Implikasinya adalah munculnya perdebatan tentang posisi wanita dalam Islam. karena perbedaan posisi di tempat-tempat tertentu akibat kekurang fahaman mereka terhadap Islam.

Kalau barat mengungkap persepsi Islam tentang wanita dengan berdasar tradisi seperti ini tentu tidak Islami dan cenderung memusuhi Islam. karena tidak merujuk kepada sumber aslinya yaitu Qur’an dan Sunnah. Persepsi itu hanya berdasar kepada tradisi dan budaya yang telah mengakar. dan bukan kepada ta’aliim Islamiyah. Seandainya kita tidak memahami frame Budaya tentu kita tidak akan tahu mana Islam dan mana tradisi.

4. Frame Politik

Kita butuh untuk memahami frame politik kontemporer yang menjadi titik tolak kaum Muslimin. khususnya gerakan Islam. Seluruh aktifitas Harakah Islamiyah yang ada sekarang ini harus difahami dengan untuh dan menyeluruh. mulai dari latar belakang kemunculannya. sistem pergerakannya sampai kejelian dalam melihat aktifitas yang sebenarnya dilakukan dan terjadi dipermukaan. Apa yang pernah dilakukan oleh ikhwanul Muslimin di Mesir misalnya itu harus difahami secara proporsional. Itu bisa dilakukan manakala difahami pula kondisi sebenarnya dari pemerintah Mesir dalam berbagai bidang seperti dalam masalah perkembangan ekonomi. politik luar negeri alih demokrasi dan aktifitas-aktifitas sosial lainnya. Juga Front Penyelamat Islam al-Jazair (FIZ), kemunculannya tidak bisa dipisahkan dari kegoncangan politik dan ekonomi di Al-Jazair akibat tiga puluh tahun dipimpm partai tunggal. Demikian pula halnya kondisi tidak menentu dari para aktifis harakah di Barat karena tekanan politik di sana, tentu tidak logis kalau tidak melihat bagaimana sebenarnya perlakuan pemerintah terhadap mereka.

Sungguh sangat disesalkan ungkapan yang pernah dikatakan oleh Martin Cromer dalam sebuah seminar di Universitas Georgetown Washington USA, di mana dalam seminar itu dia mempresentasikan makalahnya berjudul “Para pencetus perdamaian melawan aktifis Gerakan Islam”. Judul ini seolah mengisyaratkan bahwa gerakan Islam anti perdamaian. Padahal kalau dilacak bukankah perdamaian-perdamaian yang terjadi sekarang ini hanya sepihak dan menguntungkan non Muslim? Itu di satu sisi. sementara itu di sisi lain mengapa tidak pernah diungkap kelompok-kelompok ekstremis Yahudi yang anti damai dan secepatnya ingin menghancurkan Islam demi tegaknya Zionisme Internasional? Sebut saja misalnya lobby likud, kelompok Maulidaat dan Kakh serta Kahana Hai. Bahkan seorang “pendeta” Yahudi terbesar Sholomon Ghurin yang telah meninggal dengan tegas tidak hanya sekedar menolak damai. namun bahkan menginstruksikan kepada tentara Israel untuk secepatnya merampas tepi Barat tanpa mengindahkan usulan damai sedikitpun.

Kalau dicermati. makalah yang disampaikan Dr. Cromer berarti bahwa dalam pentas politik dunia saat ini khususnya di Timur Tengah ada dua kekuatan yang saling berseteru yakni. para pencetus perdamaian melawan para aktifis gerakan Islam (Islamiyyun). Begitulah dengan mudahnya dia menempelkan atribut kebringasan dan anti damai kepada Islamiyyun.

5. Frame Agama

Frame ini mungkin aksiomatik sifatnya. namun sayang masih banyak orang barat yang tidak mengetahuinya. Banyak orang Amerika yang tidak tahu bahwa Islam adalah agama tauhid yang mengikuti millah Nabi Ibrahim AS. Mereka tidak tahu bahwa Allah yang disembah dalam Islam juga tuhan yang disembah dalam agama Yahudi dan Nashrani hanya saja di dalam kedua agama ini Allah telah diselewengkan posisinya. Begitu juga para Nabi yang tertera dalam Injil dan Taurat. juga tertera dalam al-Kariem.

Nah bagaimana mungkin mereka akan memperbincangkan Islam dengan bahasan ilmiyah kalau mereka bodoh tentang ta’alim Islamiyah dan posisi Islam dari segi religius? Islam adalah agama (dien) namun tidak sebagaimana dien yang difahami oleh Barat. Hubungan manusia dengan Allah swt dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya adalah merupakan Inti Islam. Jadi ketika saya beriman dengan aqidah Islamiyah dan mendeklarasikan diri sebagai Muslim. maka saya tidak melakukan itu karena adanya desakan politis, atau karena keyakinan saya bahwa orang-orang akan membantu saya dalam pemilikan senjata. Bukan pula karena saya menginginkan pakaian dan rumah yang mewah. Itu semua saya lakukan karena ada suatu kekuatan Yang Maha Besar yang telah merasuk dalam lubuk sanubari saya untuk bergerak melaksanakan al-Islam.

Kalau ini tidak difahami secara sempurna. mustahil akan bisa dicari titik temu. Yang akan terjadi adalah kesalahan demi kesalahan. penyimpangan demi penyimpangan dan penyelewengan demi penyelewengan. Oleh karena itu diakhir tulisannya, Dr. Gariq Nucs menghimbau kepada Barat agar kaum Muslimin sendiri yang memperkenalkan siapa jati diri mereka dan bukan diperkenalkan oleh Barat dengan segala tendensi yang ada di balik itu. Dia mengatakan: “Kaum Muslimin harus diberi kesempatan untuk berbicara dan memperkenalkan siapa dirinya dan saham yang telah dihasilkannya. Martin Cromer (sang Penubus Yahudi) mungkin memahami Gerakan Islam dan jalannya perjanjian damai yang saat ini terjadi. Juga Bernard Lewis sudah barang tentu sangat memahami sejarah Kekhalifahan Turki Utsmani (Dinasti Ottoman). Begitu pula Steven Emerson seorang wartawan kenamaan, tentu telah menjalin hubungan yang erat dengan dinas intelejen Israel lebih daripada apa yang saya lakukan. Namun saya tidak ingin salah satu di antara mereka bercerita kepada saya atau kepada ikhwan- ikhwan saya tentang sesuatu yang saya yakini sebagai seorang Muslim. karena itu bukan hak mereka” .

(Rofi Munawwar)
Kesabaran Bekal Muharrik Da’wah

Kesabaran adalah sesuatu yang sangat berat. oleh sebab itu bagi seorang muharrik harus berlatih diri dengan sebaik-baiknya agar nantinya mampu menahan berbagai kesulitan yang dihadapinya dalam aktivitas da’wah. Sehingga Allah swt. memberi nilai tersendiri kepada mereka sebagaimana firman-Nya: 

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
 
Sesungguhnya hanya orang-orang yang sabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (QS. az Zumar :10).

Dan dalam ayat yang lain: 

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
 
Artinya: "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar". (QS. Al Baqarah :155).

A. Sabar Mendatangkan Kejayaan  
 
Ketahuilah wahai saudara-saudaraku bahwà Allah subhanahu wata’ala telah berfirman di dalam kitabnya yang menceritakan tentang keadaan Bani Israil yang artinya:

Dan kami wariskan kepada kaum yang ditindas itu, negeri-negeri di bagian timur bumi dan baratnya, yang telah kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan Rabb-mu yang baik (sebagai janji) untuk bani Israel disebabkan kesabaran mereka. Dan kami hancurkan apa yang teiah dibuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang mereka dirikan (QS. 7:137).

Itulah janji Allah swt. kepada bani Israel untuk memberikan kekuasaan kepada mereka, kekuasaan itu diberikan Allah swt. disebabkan karena kesabaran mereka. Huruf “Ba” di sini sebagagai Ba’ sababiyah yang berarti dengan kesabaran rnereka (Bani Israil), maka Allah swt. memberikan kekiasaan kepada mereka di atas bumi, dan mewariskannya kepada mereka negeri yang telah diberkahi-Nya yaitu Negeri Palestina. Setelah mereka memasuki negeri tersebut sepeninggal, Nabi Musa as. maka rnereka memasukinya bersama nabi Dawud as. dan memasukinya bersama Nabi Sulaiman as. Mereka memerintah Palestina dengan dasar tauhid. Yakni dengan kalimat La Ilaha Illallah.

Dengan kalimat ini, maka Bani Israil berhak mewarisi negeri Mesir, dan Fir‘aun pantas ditenggelamkan karena menindas dan melalimi Ahlut tauhid. Mereka ahlut tauhid berhak mewarisi negeri Mesir sepeninggal Fir’aun setelah sebelumnya mereka ditindas dan dijadikan warga kelas bawah seperti budak belian. Konon ada cerita apabila orang Qibti (penduduk asli Mesir) hendak membawa barang bawaan, maka mereka memilih salah seorang dari Bani Israil untuk mengangkatnya dan memikulnya. bukannya mencari keledai atau kuda. Beberapa masa kemudian Allah mengubah keadaan mereka disebabkan karena kesadaran mereka.

B. Dua Macam Kesabaran

Allah swt. telah berfirman di didalam kitabnya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
 
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan hendaknya senantiasa bersabar dan berribath-lah dan bertaqwalah kepada Allah semoga kamu sekalian memperoleh kemenangan". (QS. Ali Imran : 200).

Di dalam ayat tersebut di atas Allah swt. telah mengikat keberuntungan seseorang dengan 3 faktor:

1. Kesabaran
2. Ribath
3. Taqwa

Allah swt. sendiri telah mengulang kata sabar yang berarti sangatlah penting kesabaran itu. Oleh sebab itu Dr. Abdullah Azzam menerangkan kesabaran dalam dua keadaan yaitu sabar terhadap sesuatu yang disukai oleh hati dan sabar terhadap sesuatu yang tidak disukai oleh hati. 

1. Sabar terhadap sesuatu yang disukai oleh hati  
 
Sesuatu yang disukai oleh hati misalnya kesehatan, harta, kekayaan, kelapangan, kekuatan. Anak, istri dll.

Ketahuilah bahwa sesungguhnya sabar terhadap sesuatu yang disukai oleh hati adalah lebih berat daripada sabar terhadap sesuatu yang tidak disukai oleh hati (dibenci, sehingga Abdurrahman bin ‘Auf pernah menyatakan: “kami mampu bersabar tatkala diuji dengan kesempitan/kesusahan. Namun kami tidak mampu bersabar tatkala diuji dengan kelapangan/kesenangan”.

Allah swt. menggambarkan dalam salah satu ayatnya: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
 
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya istri-istri kalian dan anak-anak kalian ada yang menjadi musuh buat kalian, maka berhati-hatilah kalian dari mereka". (QS. Ath Taghabun : 14).

Dalam salah satu hadis dinyatakan dari Attirnidzi dari Ibnu Abbas ra dia berkata: “Ada beberapa laki-laki dari penduduk Makkah yang telah masuk Islam. Lalu mereka bermaksud mendatangi Nabi: saw di Madinah. tapi Istri-istri dan anak-anak mereka rnenolak untuk ditinggalkan. ‘Tatkala pada suatu ketika mereka mendatangi Rasulullah saw. dan mereka melihat bahwa pengikut Rasulullah saw. telah sama faqih terhadap dien. maka mereka menyesal dan bermaksud menghukumnya anak-anak dan istri-istri rnereka. Di dalam ayat yang lain Allah berfirman: 

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
 
Artinya: “Dan ketathuilah bahwa sesungguhnya harta-harta kamu dan anak-anak kamu dapat menjadikan fitnah dan bahwa sesungguhnya Allah memiliki pahala yang besar. (QS. Al Anfal : 28).

Fitnah berarti ujian untuk membuktikan apakah seorang hamba bersyukur dan mempergunakan nikmat itu untuk kebaikan ataukah ingkar dan menggunakannya untuk rnaksiat kepada Allah swt.

Ketahuilah wahai saudaraku banyak terjadi keretakan hubungan dikarenakan anak dan banyak juga terjadi keretakan hubungan persaudaraan Muslim karena harta dan banyak lagi yang lainnya itu semua disebabkan oleh kecenderungan nafsu terhadap yang diinginkan oleh hati. Untuk itulah wahai saudaraku Muslim hendaklah anda sabar dengan cara tidak terlalu cenderung dengan Sesuatu yang diinginkan oleh hati tersebut.

2. Sabar terhadap sesuatu yang tidak disukai (dibenci) oleh hati  
 
Sabar terhadap sesuatu yang dibenci oleh hati ada 3 macam:

a. Sabar tethadap perintah dan larangan Allah swt. Sabar terhadap penntah Allah swt. dengan cara:
 
1. Sebelum memulainya yakni dengan niatan yang seikhlas-ikhlasnya.
2. Selama mengerjakannya yakni dengan mernenuhi syarat dan rukunnya serta banyak berdzikr serta khusyu’ tatkala mengerjakannya.
3. Setelah selesai mengerjakannya :

· Tidak merusak pahalanya (menyebut-nyebut pemberian dan rnenyakiti yang diberi). Sebagaimana firman Allah surat al-Baqarah 264.
· Tidak Ujub (bangga dengan dirinya sendiri)
· Tidak menampakkan ibadah kepada orang lain

b. Sabar tethadap musibah yang menimpa.

Kesabaran terhadap musibah ini ada tiga tingkatan:

· Menangis, mengeluh kepada manusia ini dilakukan oleh orang-orang yang masih jahil
· Menahan hati dari rasa tidak puas terhadap taqdir Allah swt.
· Ridha terhadap musibah yang menimpanya.

c. Sabar terhadap sesuatu yang menjadi pilihan kita pada mulanya yang pada akhirnya menjadi paksaan atas diri kita.

Deinikianlah sebagian isi buku yang telah menerangkan persoalan sabar yang telah dikupas panjang lebar oleh Ustadz Dr. Abdullah Azzam yang insya Allah dapat digunakan sebagai panduan bagi segenap muharrik da’wah untuk merenungi kesabaran kita baik yang sedang dijalani ataupun di masa yang akan datang. semoga selalu berada dalam kesabaran Amien. Wallahu A’lam bishshawab

(Agus Nasrullah)

Jumat, 12 Mei 2017

Tinjaun Ahlussunah Terhadap Faham Syiah Tentang Al-Qur’an

Sejarah kesyi’ahan memperlihatkan tiga fase perkembangannya fase, pertama ialah fase perumusan fondasi pemikiran. Bahannya dikumpulkan dari sejarah Islam masa Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin serta masa Hasan dan Husein. Fase kedua ialah fase pengujian dan perampungan konsep-konsepnya. Dalil-dalil dan hujjah disusun rapi, diambilkan bahan-bahannya dari sejarah Islam masa imam-imam Ma’shumin hingga Hasan al-Askari (w. 260 H) Fase ketiga ialah fase mendirikan agama Islam Alternatif yang dinamakan Islam Syi’ah. Ini teiadi di Masa Ghiyabah Shughra (sejak menghilangnya Imam Muhammad al-Mahdi al-Muntazhar hingga tamatnya masa wakil-wakil imam Mahdi: Usman bin Said al-Umari, Muhammad bin Usman al-Umari, Husein bin Rah an-Nawbakhti, dan Ali bin Muhammad as-Samuri .... 329 H).

Fondasi pemikiran yang dirumuskan dalam fase pertama berbentuk Mantik Dua Muka yang bertentangan (Manthiq Tanaqud), di mana dipertentangkan ayat-ayat Qur’an satu sama lain, dipertentangkan antara Qur’an dan Hadits/ Sunnah, dan dipertentangkan antara Qur’an dan Hadits dengan praktik sahabat-sahabat. Pengujian dan perampungan konsep-konsep pada fase kedua berbentuk penempatan perbuatan dan perkataan Imam-imam Ma’shumin sebagai sumber ajaran agama setaraf dengan Hadits Nabi.

Berdirinya agama Islam Altematif di masa Ghiyabah Shughra berbentuk Syi’ah lmamiyah Itsna Asyariyah setslah menyatakan batal semua firqah Syi’ah Imamiyah yang ada sebelumnya. Seperti Syi’ah Zaidiyah dan Syi’ah Imamiyah Sab’iyah (Syi’ah 7): Hasyimiyah. Hamuiyah, Manshuriyah. Mughiriyah (timbul di masa al-Baqir); Harbiyah, Khaththabiyah, Ma’mariyah, Bazighiyah, Sa’idiyah, Basyiriyah, Albaiyah, Hisyamiyah, Ruzamiyah, Nu’maniyah, Musailamiyah (timbul pada masa Ja’far Shadiq); Ismailiyah, Waqifiyah, Mufawwidhah, Ghurabiyah, Kamiliyah (timbul di masa Musa al-Kazim); Nushairyah dan lshaqiyah (timbul di masa Hasan al-Askari).

Meski begitu Syi’ah Imamiyah Itsna Asyiryah (Islam Alternatif) ini pun terpaksa harus pecah juga membentuk Syaikhiyah/Ahmadiyah, Rusytiyah/Kasyifah, Babiyah dan Qarriyah. Dan timbul lagi Syi’ah Ja’fariyah yang berbeda dengan Syi’ah Itsna Asyariyah tentang siapa imam ke-12. Kalau Syi’ah ltsna Asyariyah mengatakan Imam terakhir adalah Muhammad al-Mahdi al-Muntazhar, maka Syi’ah Ja’fariyah mengatakan Ja’far bin ar-Ridha sebagai Imam ke 12, dan orang yang bernama Muhammad al-Muntazhar itu tidak pernah dilahirkan karena hasan al-Askari tidak mempunyai keturunan.

Manakala Syi’ah Imamiyah 12 telah mengenyampingkan sekte-sekte lain, di mana sebagiannya dicap ghulat (ekstrem) dan sebagian yang lain ditolak namanya tapi diambil segi-seginya yang berguna, maka pembicaraan tentang al-Qur’an dan Hadits menurut faham Syi’ah berarti menurut faham Syi’ah Imamiyah 12 khususnya, dan juga menurut Syi’ah-syi’ah lain yang sama pandangannya.

Syi’ah Imamiyah 12

Riwayat-riwayat yang sah dipegang menurut versi Sunni maupun Syi’i tidak, satupun menerangkan kalau faham Syi’ah Imamiyah 12 itu sudah ada dan dibenarkan di masa Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin. Ibnu Khalaf, Sa’ad bin Abdullah al-Asy’ari al-Qummi (w. 301 H), ulama Syi’ah Imamiyah yang tergolong generalis dan dinyatakan sebagai sumber riwayat yang tsiqat oleh para Kibar Ulama Syi’ah, mengatakan:

Kelompok kaum Muslimin yang pertama kali dikenal sebagai Syi’ah Ali ra. di masa Nabi saw. adalah Miqdad ibn Aswad al-Kindi, Salman al-Farisi, Abu Dzar Jundub bin Junadah al-Ghifari, Ammar bin Yasir al-Madzhaji, dkk yang sangat setia dan fanatik kepada Ali ra. Istilah Syi’ah sebagai nama suatu grup dimunculkan oleh mereka di kalangan ummat Nabi Muhammad saw Merekalah yang menganut faham yang mema’shumkan Ali, menyejajarkannya dengan diri Nabi, menémpatkannya Sebagai sumber ajaran agama, dan mengharuskan kepemimpinan ummat Islam selalu dari kalangan anak cucunya dari Fathimah az-Zahra.... Mereka kukuh dengan pendirian itu hingga wafatnya Ali ra. dibunuh oleh Abd. Rahman bin Muljam …. Sebagian sahabat lain memang mengutamakan Ali ra dan yang lain-lain, tapi membolehkan orang lain menjadi Imam jika memenuhi syarat. Kekhalifahan Abu Bakar adalah sah dan baik, karena direstui oleh Ali ra Mereka yang berpandangan begini merupakan cikal bakal Syi’ah al-Batriyah. Kelompok fanatik Ali lainnya ialah al-Jarudiyah yang ekstrem mengafirkan kalangan yang tidak mengultuskan Ali dan mengafirkan semua orang yang tidak membai’at Ali setelah wafat Nabi saw. Dan golongan al-Jarudiyah ini kemudian timbul Zaidiyah dan cabang-cabangnya. Setelah Ali ra wafat kelompok-kelompok yang mengutamakan dan membelanya sebagai pemegang imamah bin-nash pecah menjadi tiga golongan.

Syi ‘ah Saba ‘iyah (pertamakali mendiskreditkan Abu Bakar, Umar dan Utsman, didirikan oleh Abdullah bin Wahab ar-Rasibi al-Hamadani, alias Ibnu Saba’, Abdullah bin Harras, Ibnu Aswad). Mereka menyamakan Ali dengan Yusya’ bin Nun, pemegang wasiatNabi Musa as Dan kelompok ini timbul yang lebih sesat lagi dengan mepertuhankan Ali ra. yaitu: Syi’ah al Harblyah.

Golongan kedua ialah kelompok yang menghendaki Muhammad bin Ali ra (Muhammad al-Hanafiyah) menjadi imam pengganti Ali ra. Inilah Syi’ah Kaisaniyah atau Mukhtariyah.

Golongan ketiga ialah yang ingin mengimamkan Hasan bin Ali dan selanjutnya akan mengimamkan Husein bin Ali, terutama jika Hasan menyerah kepada Mu’awiyah. Bila demikian, keimaman Hasan batal dan seterusnya haruslah Husein.

Setelah Hasan al-Askari (Imam ke-11) wafat dalam usia 28 tahun. Pecahlah para pengikut dan pengagumnya menjadi lima belas firqah. Satu firqah hendak mengimamkan Muhammad al-Mahdi, satu firqah hendak mengimamkan Ja’far (saudara kandung Hasan al-Askari). Dari sinilah timbul syi’ah Imamiyah 12 dan Syi’ah Imamiyah 12 Ja’fariyah.

Berdasarkan kitab Sa’ad bin Abdullah al-Asy-’ariy al-Qummy ini teranglah bahwa Syi’ah Imamiyah 12 itu timbul belakangan dan tidak pernah ada dan diketahui di masa Rasulullah saw, dan al-Khulafaa ar-Rasyidin. Ia merupakan kombinasi berbagai faham Syi’ah yang ada sebelumnya. Dengan demikian menjadi suatu kesulitan untuk menelaah faham mereka yang sejati., kecuali dengan merujuk kitab-kitab yang dijadikan pegangan hingga sekarang.

Sekilas Tentang Sejarab Kitab-Kitab Syi’ah

Kitab-kitab tentang Firaq asy-Syi’ah (Firqah-firqah) serta keyakinan dan pendapatnya dikarang sebagian oleh para Mutakallimun Syi’ah, sebagian lagi dikarang oleh para Muhadditsun, dan sebagian lagi dikarang oleh para Muarrikhun. Di antara para pengarang dimaksud ialah:

1. Abu Isa, Muhammad bin Harun al-Warraq (w. 247 H di Baghdad), scorang ulama ilmu kalam Syi’ah Imamiyah, dengan kitabnya berjudul: lkhtilafus Syi’ah Wal Maqaalaat. Keberadaan kitab itu diakui oleh Sayyid al-Murtadha ‘Allamul Huda, al-Mamqani di dalam bukunya Tanqiihul Maqaal, dan oleh an-Najasyi di dalam kitabnya Rijaalun Najasyi. Kitab Ikhtilaafus Syi’ah ini merupakan yang tertua menunut an-Najasyi.

2. Abu Muhammad, al-Hasan bin Musa an-Nawbakhty (w. antara tahun 300-310 H), seorang ulama kalam Syi’ah Imamiyah dalam bukunya Firaqus Syi’ah, dan ar-Raddu Ala Firaqis
Syi’ah ah.

3. Abul Qasim, Nashr bin as-Shabbab al-Balkhi (w. pada separuh pertama abad ke-4 H).Menurut riwayat al-Iyasyi Abul Qasim ini mengarang kitab berjudul Kitabu Firaqis Syi’ah.

4. Abul Muzhaffar, Muhammad bin Ahmad an-Na’iimi (w. 356 H), dari golongan Syi’ah Nawusiyah, dengan kitabnya Firaqus Syi’ah dan al-Ibanah Anilkh-tilaafin Naasi Fil Imamah.

5. Abu Khalaf, Sa’ad bin Abdullah al Asy’ari al-Qummi (w. 301 H), dengan kitabnya berjudul Kitabul Maqaalaati Wal Firaq. Kitab ini dinamakan oleh an Najasyi dengan Firaqus syi’ah, sedangkan oleh at-Thusi dinamakan Maqaalaatul Imamah, dan oleh al-Majlisi dinamai al-Maqaalaatu Wal Firaq Wa Asmaauha Wa Shunufuha.

Dalam bidang hadits, kitab besar yang dikarang pada masa yang sama dengan kitab-kitab di atas ialah Ushulul Kafi oleh Muhammad bin Ya’kub al-Kulaini (w. 328 H) kitab Man Laa yahdhuruhul Faqiih oleh Ibnu Babweih al-Qummi yang dipanggilkan dengan Syeikh Shaduq (w. 381 H). kitab Tahdzibul Ahkam dan al-Istibshar oleh Muhammad bin Hasan at-Thusi (385-460 H).
Dalam bidang tafsir/ilmu tafsir dapat dicatat antara lain: kitab Tafsir al-Qummi kalangan Ali bin ibrahim al-Qummi, guru al-Kulaini, Tafsir, al Iyaasyi oleh Muhammad bin Mas’ud al Iyaasyi as-Samarqandi, dan lain-lain.

Al-qur’an Menurut Faham Syi’ah
Mantiq Tanaqudh telah dengan baik dipergunakan oleh kaum Syi’ah ketika mereka mempersoalkan al-Qur’an. Kitab-kitab yang dikarang sejak awal hingga datangnya Syeikh Shaduq hampir semua memuat kesimpulan bahwa al-Qur’an mushaf Utsman tidak semua ayat-ayatnya original sebagaimana ketika diwahyukan kepada Nabi saw. Syeikh Shaduq mengajukan bantahan terhadap kesimpulan yang telah merupakan ijma ulama Syi’ah itu guna menetralisasikan pandangan negatif kaum Muslimin terhadap kaum syi’ah. Ini dilakukan setengah abad setelah wafatnya al-Kulaini yang meriwayatkan riwayat tentang kepalsuan beberapa ayat al-Qur’an Al-Murtadha dan Syeikhut Thaifah kemudian hari mengulangi langkah Shaduq itu, sementara kitab-kitab yang dikarang sesudah Shaduq tetap membela keyakinan semula. Kini Rasul Ja’fariyah tampil seperti Shaduq dalam buku kecilnya berjudul: “Ukhzuubatu tahriifil Qur’aani” yang telah diterjemahkan dan dicetak dalam bahasa Indonesia.

Jadi pandangan kaum Syi’ah terhadap al-Qur’an al-Karim ialah antara asli dan palsu. Pengakuan mereka akan keaslian sebagian ayat-ayat al-Qur’an sesungguhnya tidaklah ada artinya manakala pada waktu yang sama mereka menyatakan palsu ayat-ayat selainnya, sebab Qur’an itu satu adanya. Menyatakan palsu sebagian ayat-ayat yang termaktub dalam mushaf lalu menyebutkan bunyi ayat-ayat dimaksud menurut aslinya, kata mereka itu sama artinya dengan menyatakan ada dua macam al-Qur’an bagi kaum

Syi’ah, pertama Qur’an kaum Muslimin yang berisi ayat-ayat palsu dan ayat-ayat asli, kedua Qur’an kaum Syi’ah yang asli semua ayatnya. Ayat-ayat Qur’an mushaf Utsman yang dinyatakan palsu oleh syi’ah itu ialah sebagai berikut:

Dari riwayat-riwayat yang dijadikan dasar oleh ulama-ulama Syi’ah yang menyatakan palsunya 219 ayat tersebut nyatalah bahwa:

1. Kaum Syi’ah menolak bunyi 219 ayat itu sebagaimana termaktub dalam mushaf dan hanya dapat menerimanya jika disesuaikan lebih dahulu dengan bunyi yang mereka riwayatkan dari imam-imam ma’shum. Kedua ratus sembilan belas ayat tersebutlah yang menyebabkan Syi’ah tidak mencantumkan iman kepada al-Qur’an sebagai salah satu rukun iman, sehingga Arkanul Iman mereka menjadi:

a. Tauhid
b.Mubuwwah
c. Imamah
d. Keadilan
e. Ma’ad/Qiyamah

2. Jika benar riwaynt-riwsyat atu bers umber dan Ali ra Muhammad al-Baqir, dan Ja’far ash-Shadiq, berarti nilainya tidak mutawatir atau malah hanya riwayat ahaad belaka.
Artinya Syi’ah menolak kemutawatiran riwayat al-Qur’an hanya riwayat aziz atau masyhur atau ahad. Dengan demikian penerimaan mereka terhadap ayat-ayat selain yang 219 dengan alasan karena bunyinya diriwayatkan secara mutawatir berarti mengubah pengertian istilah mutawatir menjadi: mutawatir bagi kedua belah pihak; mutawatir menurut kaum Muslimin dan mutawatir menurut Syi’ah secara bersamaan.

Bunyi 219 ayat tadi dalam Mushaf Utsman adalak mutawatir menurut Ahlus Sunnah sepanjang masa, tapi tidak mutawatir menurut Syi’ah. Bunyi ayat-ayat itu menurut riwayat Syi’ah adalah mutawatir menurut Syi’ah, tapi tidak mutawatir menurut ahlus Sunnah. Maka Qur’an Mushaf Utsman tetaplah Asli Tapi Palsu menurut Syi’ah.

Jika riwayat-ñwayat dari Ali, al-Baqir dan Ja’far as-Shadiq itu tidak benar, itu berarti para mufassir dan muhaddits Syi’ah sengaja menyatakan keraguannya terhadap kebenaran dan keaslian al-Qur’an dengan menyalahgunakan nama anak cucu Nabi saw. dan mengajak orang lain meragukan al-Qur’an. Jika begitu, berarti Syi’ah adalah senantiasa merupakan gerakan tasykik dan Tadhlil.

Drs. HM. Nabhan Husein.

Rabu, 03 Mei 2017

Indahnya Hukum Allah
 
Alkisah datanglah seorang warga kepada sang khalifah, ia berkata: “qishashlah pembunuh ayah kami ini, hukumlah ia karna ia membunuh ayah kami!”. Lalu sang khalifah berkata: “Bertaqwalah kepada Allah, benarkah engkau membunuh ayahnya wahai anak muda?”. Dengan raut muka penuh penyesalan, sang pemuda menjawab “benar”, lalu sang khalifah kembali berkata: “ceritakanlah kejadiannya!”. Pemuda itupun memulai ceritanya.

Aku datang dari pedalaman yang jauh, kaumku memberiku amanah untuk menyelesaikan muamalah dikota ini. Saat sampai, kutambatkan untaku dikebun kurma lalu kutinggalkan. Begitu kembali, aku terkejut dan terpanah, aku melihat seorang lelaki tua menyembelih untaku dilahan kebunnya. Kejadian ini membuatku sangat marah, dan inilah yang menyebabkan sehingga aku membunuhnya.

Warga tadi berkata: “Wahai khalifah sang pemimpin ummat, engaku telah mendengar penjelasannya, banyak orang menjadi saksi kekejaman ini, tegakkanlah hukum”.

Sang khalifah berkata: “Sesungguhnya yang kalian tuntut adalah orang yang sholeh, pria baik budi ini membunuh ayahmu karna kemarahan sesaat, izinkan aku untuk memaafkannya, dan akulah yang akan membayar diyat atas meninggalnya ayahmu”.

Sang penuntut menjawab : “Maafkan aku wahai pemimpinku, aku sangat menyayangi ayahku, aku hanya ridho jika nyawa dibalas dengan jiwa”.

Sang pembunuh pun berkata : “Wahai sang khalifah, tegakkanlah hukum Allah, aku ridho pada ketentuan Allah, hanya saja izinkan aku menunaikan amanah dan kewajibanku dikota ini. Berilah aku waktu untuk menyelesaikannya, aku berjanji dengan nama Allah, tiga hari lagi, aku akan kembali untuk menjalani hukuman qhisas”.

Sang penggugat kembali berkata: “Tidak boleh begitu, kecuali ada penjaminnya”.

Si pembunuh berkata: “Aku tidak punya saudara dan kerabat dikota ini, wahai sang pemimpin, tolonglah aku, bagaimana nasibku jika aku meninggal dunia dalam keadaan melalaikan amanah”.

Lalu tiba-tiba ada seseorang yang mendekat kepada sang khalifah dan berkata: “Wahai sang pemimpin, akulah penjaminnya”.

Akhirnya sang khalifah memutuskan dan berkata : “Wahai anak muda, aku beri waktu tiga hari untuk menyelesaikan urusanmu”.

Namun, ketika tiba saat pelaksanaan hukuman, si pemuda tak kunjung datang, akhirnya si penjamin melangkah ke tempat eksekusi qishash. Tiba-tiba dari kejauhan nampak seseorang berlari kencang sampai hampir pingsan. Ternyata, sang pemuda yang tak ingkar janji.

Sesampainya ditempat eksekusi, si pembunuh meminta maaf kepada sang khalifah. Sang khalifah pun bertanya : “Demi Allah, sesungguhnya engkau bisa saja lari dari hukuman ini, tapi mengapa engkau berlari hingga kepayahan demi menjalankan hukuman mati?”.

Dengan nafas tersengal-sengal, si pemuda itu menjawab : “Aku berlari memenuhi hukumanku, agar tidak ada yang berkata dikalangan muslimin, tidak ada lagi seorang ksatria yang menepati janji”.

Lalu sang khalifah bertanya kepada sang penjamin: “Mengapa dirimu mau menjaminkan nyawamu kepada orang yang tak kau kenal?”.

Dan si penjamin pun menjawab: “Aku melakukan hal ini agar tidak ada yang berkata dikalangan kaum muslimin, tidak ada lagi rasa saling percaya”.

Lalu terdengar pekik takbir dari sang penuntut, Allahu Akbar, Allah dan kaum muslimin menjadi saksi, bahwa aku memaafkannya. Dengan rasa haru sang khalifah bertanya: “mengapa engkau mau memaafkannya?”.

Sang penuntut menjawab : “Aku memaafkannya agar tidak ada yang berkata dikalangan muslimin, tidak ada lagi rasa sayang dan saling memaafkan”.

Dalam kitab tafir as Sa’di menjelaskan bahwa hukuman qishash sejatinya mencegah terjadinya pembunuhan lanjutan. Qishash adalah sebuah bentuk peringatan, karna hukuman bagi pembunuh adalah dibunuh. Hal inilah yang menurut pendapat para ulama menjadi penjelas makna bahwa dalam qishash terdapat kelangsungan hidup bagimu.

Betapa Indahnya Qishash

Di antara nama-nama Allah Yang Mahaindah(al-Asmaul Husna) adalah al-Hakim. Nama ini menunjukkan bahwa Dialah Dzat yang memiliki hukum, Dialah yang menetapkan dan memutuskan, serta Dialah yang menetapkan segala sesuatu dengan sempurna dan penuh hikmah.

Di antara bukti keimanan kita terhadap nama Allah al-Hakim, kita meyakini bahwa semua hukum yang ditetapkan-Nya penuh dengan maslahat, kebaikan-kebaikan di dunia dan akhirat, dan diliputi hikmah yang sangat sempurna. Termasuk qishash, syariat ini penuh dengan hikmah, sebagian kecilnya diketahui oleh manusia dan banyak yang menjadi rahasia Allah Subhanahuwata’ala. Di antara hikmah-hikmah qishash adalah:

1. Dengan ditegakkannya qishash, masyarakat akan terjaga dari kejahatan. Sebab, hukuman ini mencegah setiap orang yang akan berbuat zalim dan menumpahkan darah orang lain. Dengan demikian, terjagalah kehidupan manusia dari pembunuhan. Allah Subhanahuwata’ala menyebutkan hikmah ini dalam firman-Nya,

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (al-Baqarah: 179)

2. Dengan qishash tegaklah keadilan, dan tertolonglah orang yang dizalimi, dengan memberikan kemudahan bagi wali korban untuk membalas kepada pelaku sebagaimana yang diperlakukan terhadap korban. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,

وَمَن قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنصُورًا

Dan barang siapa dibunuh secara zalim, sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam embunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (al-Isra’: 33)

3. Qishash adalah kebaikan bagi pelaku kejahatan yang dengan ditegakkannya qishash atas dirinya, Allah Subhanahuwata’ala menjadikan hukuman tersebut sebagai kafarat (penghapus dosa) sehingga di akhirat tidak lagi dituntut, tentu saja jika dia seorang muslim.

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah menerangkan, “Barang siapa berjumpa dengan Allah Subhanahuwata’ala dalam keadaan telah ditegakkan had di dunia atas dosa yang ia lakukan, had tersebut adalah kafarat (penebus dosanya), sebagaimana telah sahih berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Ushulus Sunnah)

Di antara hadits yang dimaksud oleh al-Imam Ahmad rahimahumullahadalah hadits Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu anhu , beliau berkata,

فِي مَجْلِسٍ فَقَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللهِ تُبَايِعُونِي عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكُوا بِاللهِ شَيْئًا وَلَا تَزْنُوا وَلَا تَسْرِقُوا وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ، فَمَنْ وَفَّى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَعُوقِبَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ، وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَسَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ فَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ إِنْ شَاءَ عَفَعَنْهُ وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ

Suatu hari kami bersama dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebuah majelis. Beliau bersabda,‘Berbaiatlah kalian kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah Subhanahuwata’ala dengan sesuatu pun, tidak berzina, tidak mencuri, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah l selain dengan haq. Barang siapa di antara kalian yang menunaikannya, pahalanya ada pada Allah Subhanahuwata’ala, dan barangsiapa melanggar sebagiannya lalu dihukum (seperti qishash, potong tangan –pen) maka hukuman itu sebagai penghapus dosa baginya. (Adapun) barang siapa melanggarnya lalu Allah Subhanahuwata’ala menutupinya maka urusannya diserahkan kepada Allah .Jika Dia berkehendak, Dia mengampuninya, dan apabila Dia menghendaki,Dia akan mengazabnya’.” (Muttafaqun ‘alaihi dan ini lafadz al-Imam Muslim Subhanahuwata’ala)

Demikian pula hadits Khuzaimah bin Tsabitbradhiyallahu anhu , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَصَابَ ذَنْبًا أُقِيمَ عَلَيْهِ حَدُّ ذَلِكَ الذَّنْبِ فَهُوَ كَفَّارَتُهُ

Barang siapa melakukan dosa yang telah ditegakkan had atas dosa tersebut, itu menjadi penebus baginya.” (HR. al-Imam Ahmad [5/214—215]


4. Terwujudnya kemakmuran dan berkah bagi negeri yang menegakkan qishash atau had. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah rahimahumullah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

حَدٌّ يُعْمَلُ بِهِ فِي الْأَرْضِ خَيْرٌ لِأَهْلِ الْأَرْضِ مِنْ أنَْ يُمْطَرُوا أَرْبَعِينَ صَبَاحًا

Satu hukuman had yang ditegakkan dimuka bumi lebih baik bagi penduduk bum itu daripada hujan yang menimpa mereka empat puluh hari.” (HR. Ibnu Majah, 2/111, dinyatakan sahih oleh al-Albani dengan syawahidnya dalam ash-Shahihah, 1/461 no. 231)

Qishash Dan Aturannya

Di samping keindahan qishash yang tampak dalam hikmah-hikmahnya, syariat ini juga indah dari sisi aturan-aturannya. Qishash tidak sembarang diterapkan sebagaimana gambaran atau tuduhan orang-orang yang jahil. Qishash tidak sembrono tanpa aturan, tetapi ia adalah hukum Allah l yang mempunyai tatanan yang indah dan penuh kesempurnaan. Di antara aturannya, qishash tidak ditegakkan kecuali jika terpenuhi syaratsyaratnya. Syarat-syarat tersebut adalah:

1. Semua wali korban yang berhak menuntut qishash adalah mukallaf. Jika ada di antara mereka anak kecil atau orang gila, hak penuntutan qishash tidak bisa diwakilkan kepada walinya, karena qishash mengandung tujuan memuaskan/melegakan (keluarga korban) dengan pembalasan.

Dalam keadaan ini, pelaksanaan qishash wajib ditangguhkan dengan cara memenjarakan pelaku pembunuhan hingga anak kecil tersebut baligh atau orang gila tersebut sadar, untuk kemudian meminta pertimbangan mereka apakah qishash akan ditegakkan atau dimaafkan. Hal ini dilakukan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu anhu yang memenjarakan Hudbah bin Khasyram dalam qishash, hingga anak korban baligh.

إِنَّ مُعَاوِيَةَ حَبَسَ هُدْبَةَ بْنَ خَشْرَمٍ فِي قِصَاصٍ حَتَّى بَلَغَ ابْنُ الْقَتِيلِ

Sesungguhnya Mu’awiyah memenjarakan Hudbah bin Khasyram dalam kasus qishash hingga anak korban mencapai umur baligh.” (Dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Irwaul Ghalil, 7/276)

Amalan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c ini dilakukan di zaman para sahabat dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya, sehingga seakan-akan menjadi ijma’ di masa beliau. Apabila anak kecil atau orang gila keduanya membutuhkan nafkah dari para walinya, hanya wali orang gila saja yang boleh memberi pengampunan qishash kepada pembunuh dengan meminta diyat, karena orang gila tidak jelas kapan sembuhnya, berbeda dengan anak kecil.(al-Mulakhash al-Fiqh, 2/476)

2. Adanya kesepakatan dari para wali korban untuk ditegakkannya qishash dan tidak dimaafkan. Apabila sebagian mereka, walaupun hanya seorang memaafkan si pembunuh dari qishash, gugurlah qishash tersebut. (asy-Syarhul Mumti’, 14/38)

Dari Zaid bin Wahb al-Juhani, (DimasaUmar) seseorang membunuh istrinya. Umar memanggil tiga saudara wanita tersebut. Lalu salah seorang dari ketiganya memaafkan. Umar pun mengatakan, “Ambillah oleh kalian berdua 2/3 diyat, karena sungguh tidak ada lagi jalan untuk membunuhnya.” (Diriwayatkan al-Baihaqi dalam as- Sunan al-Kubra [8/60] dengansanad yang sahih)

3. Pelaksanaan qishash aman dari perilaku melampaui batas kepada selain pelaku pembunuhan, dengan dasar firman Allah Subhanahuwata’ala,

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۗ وَمَن قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنصُورًا

Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah (membunuhnya), selain dengan suatu (alasan) yang benar. Barangsiapa dibunuh secara zalim, sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahliwaris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (al-Isra’: 33)

Apabila qishash menyebabkan sikap melampaui batas, hal tersebut terlarang, sebagaimana dijelaskan dalam ayat di atas. Dengan demikian, apabila ada kasus wanita hamil akan diqishash misalnya, qishash tidak ditegakkan hingga ia melahirkan anaknya. Sebab, membunuh wanita tersebut dalam keadaan hamil akan menyebabkan kematian janinnya padahal janin tersebut tidak berdosa. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ

“Dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (al- An’am: 164)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunda ditegakkannya rajam atas wanita al-Ghamidiyah karena ia dalam keadaan hamil. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah wanita ini menanti kelahiran anaknya dan menyusuinya hingga sang anak tidak lagi tergantung dengan susu ibunya.

فَجَاءَتْ الْغَامِدِيَّةُ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي قَدْ زَنَيْتُ فَطَهِّرْنِي. وَإِنَّهُ رَدَّهَا فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ ، لِمَ تَرُدُّنِي؟ لَعَلَّكَ أَنْ تَرُدَّنِي كَمَا رَدَدْتَ مَاعِزًا، فَوَاللَهِ إِنِّي لَحُبْلَى. قَالَ: إِمَّا لَا، فَاذْهَبِي حَتَّى تَلِدِي. فَلَمَّا وَلَدَتْ أَتَتْهُ بِالصَّبِيِّ فِي خِرْقَةٍ، قَالَتْ: هَذَا قَدْ وَلَدْتُهُ. قَالَ: اذْهَبِي فَأَرْضِعِيهِ حَتَّى تَفْطِمِيهِ. فَلَمَّا فَطَمَتْهُ أَتَتْهُ بِالصَّبِيِّ فِي يَدِهِ كِسْرَةُ خُبْزٍ، فَقَالَتْ: هَذَا يَا نَبِيَّ اللهِ، قَدْ فَطَمْتُهُ وَقَدْ أَكَلَ الطَّعَامَ. فَدَفَعَ الصَّبِيَّ إِلَى رَجُلٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَحُفِرَ لَهَا إِلَى صَدْرِهَا وَأَمَرَ النَّاسَ فَرَجَمُوهَا فَيُقْبِلُ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ بِحَجَرٍ فَرَمَى رَأْسَهَا فَتَنَضَّحَ الدَّمُ عَلَى وَجْهِ خَالِدٍ فَسَبَّهَا فَسَمِعَسَبَّهُ إِيَّاهَا فَقَالَ، مَهْ يَا خَالِدُ، نَبِيُّ اللهِ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ. ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَصَلَّىعَلَيْهَا وَدُفِنَتْ

Seorang wanita dari kabilah Ghamidiyah datang kepada Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,ia b erkata,“ WahaRi asulullah,s ungguh aku telah berzina maka (tegakkan rajam) untuk menyucikanku.” Namun, Rasul berpaling darinya (tidak membalas permohonannya), hingga keesokan hari ia berkata,“Wahai Rasulullah, kenapa engkau tolak aku , apakah engkau menolak aku sebagaimana engkau tolak Ma’iz? Demi Allah,aku telah hamil (yakni benar benar berzina).”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaksekarang, pergilah engkau hingga engkau melahirkan (kandunganmu).” Setelah melahirkan, datang sangwanita membawa bayi pada sebuah kain (yang digendongnya), ia berkata,“Ini anakku, aku telah melahirkannya.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pergilah, susui anakmu hingga engkau sapih.” Setelah menyapihnya, ia datang membawa anaknya yang sedang memegang sepotong roti.

Ia berkata, “Wahai Nabi Allah, aku telah menyapihnya dan ia sudah bisa memakan makanan.” Nabi lalu menyerahkan si anak kepada salah seorang muslimin. Setelah itu,beliau memerintahkan penggalian tanah dan memendam si wanita hingga dadanya, lantas memerintahkan manusia merajamnya.

Khalid bin Walid radhiyallahu anhu datang dan melempari kepala wanita itu dengan sebuah batu. Memancarlah darah ke wajah Khalid sehingga Khalidmencelanya. Nabi n mendengar celaan Khalid terhadap wanita tersebut. Beliau bersabda, “Tunggu, hai Khalid. Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, sungguh dia telah bertobat dengan sebuah tobat yang apabila dilakukan olepemungut pajak, tentu akan diampuni dosanya.” Selanjutnya, Nabi memerintahkann manusia menyalati dan menguburkan.(Shahih Muslim, bab “Orang yang Mengaku Berbuat Zina”, no. 3208)

Kisah yang sangat mengagumkan. Kesungguhan tobat seorang wanita, kesungguhan rasa takut kepada Allah Subhanahuwata’ala. Di sisi lain, kita saksikan kasih sayang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keindahan syariat Islam. Tidak sia-sia sang wanita menundukkan dirinya di hadapan syariat Allah Subhanahuwata’ala, Allah Subhanahuwata’la telah menerima tobatnya.

Hukum Islam Tidak Memandang Status Sosial

Hukum qishash dan hadd yang sangat indah dan dipenuhi maslahat, semakin tampak keindahannya dengan keadilan hukum Islam. Islam tidak membedakan penegakan hukum ini apakah diterapkan pada bangsawan atau orang biasa, hukuman Allah Subhanahuwata’ala berlaku atas seluruh umat.

Tidak seperti umat-umat terdahulu, hukum hanya diberlakukan bagi kaum lemah, adapun kaum bangsawan mereka kebal hukum. Hadits berikut menggambarkan dengan jelas betapa indah dan adilnya hukum Islam. Dari Urwah dari Aisyah radhiyallahu anha,

أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ فَقَالُوا: وَمَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالُوا: وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، حِبُّ رَسُولِ اللهِ ؟ فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ فَقَالَ . رَسُولِ اللهِ: أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللهِ؟ : ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ ثُمَّ قَالَ: إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَ َ فِيهِمُ ا تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَ َ لضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

Kabilah Quraisy merasa sedih dengan perkara wanita Makhzumiyah yang terbukti telah mencuri (dan telah sampai urusannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ),mereka berkata, “Siapa kiranya yang menyampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wanita ini (agar mendapat keringanan dan tidak dipotong tangannya)?” Diantara mereka ada yang berkata, “Tidak ada yang berani selain Usamah bin Zaid, kesayangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Usamah lalu menyampaikannya kepada beliau. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Apakah engkau hendak memberi syafaat pada salah satu hukum had A lah?”Beliau kemudian berdiri berpidato, “Sesungguhnyayang membinasakan umat sebelumkalian adalah apabila ada diantara orang-orang mulia mereka melakukan pencurian, mereka membiarkannya; dan apabila yang mencuri dari kalangan lemah, merekam enegakkanh ukumh ada tasnya.Demi Allah, seandainya Fathimah bintu Muhammad mencuri, sungguh aku akan potong tangannya.”
 
Amerika Serikat (AS), Sang Pembela HAM

Yahudi, dengan AS sebagai keledai tunggangannya, adalah kaum yang paling getol mencela qishash dan hukum Islam lainnya. Tidak ketinggalan pula seluruh orang kafir, munafikin, dan orang-orang yang berpenyakit hati ikut berbaris membawa misi yang sama. Sebagai penutup pembahasan kita, marilah kita lihat bagaimana keadaan negara pembela HAM, apakah mereka mendapatkan ketenteraman dengan menyelisihi hukum Allah Subhanahuwata’ala?

Dalam sebuah berita dilaporkan bahwa di Amerika Serikat, setiap tahunnya terjadi 20 juta kasus kejahatan, dan itu yang tercatat. Juru bicara kantor pendataan di Kementerian Kehakiman AS mengatakan bahwa berdasarkan data yang tercatat, pada 2009 angka kejahatan yang meliputi pencurian dan pembunuhan meningkat tajam.

Dari keseluruhan angka tersebut 4.300.000 kasus lebih terkait dengan aksi pemerkosaan, perampokan, dan penganiayaan. Ditambahkannya, kasus pencurian rumah dan pencurian mobil tercatat sebanyak 15,6 juta kasus. Sementara itu, situs penerangan Kepolisian Federal AS dalam laporannya menyebutkan bahwa pada 2009 terjadi setidaknya 16.000 kasus pembunuhan yang dilaporkan secara resmi ke kepolisian.

Di sejumlah kota, khususnya Detroit, di negara bagian Michigan, tingkat kejahatan sedemikian tinggi sehingga disamakan oleh sebagian kalangan dengan kawasan perang. Dinyatakan pula bahwa setiap tahunnya tercatat ratusan ribu kasus pemerkosaan, dengan 90% pelaku pemerkosaan tidak pernah ditahan.

Inilah Amerika yang dielukan. Inikah para pembela HAM? Dengan dalih membela HAM, mereka campakkan hukum Allah Subhanahuwata’ala. Mereka akan menuai hasilnya di dunia dan akhirat. Demi Allah, sebentar lagi mereka akan tumbang, negeri mereka akan hancur, sebagaimana halnya Allah Subhanahuwata’ala menumbangkan benteng-benteng kokoh Yahudi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِن دِيَارِهِمْ لِأَوَّلِ الْحَشْرِ ۚ مَا ظَنَنتُمْ أَن يَخْرُجُوا ۖ وَظَنُّوا أَنَّهُم مَّانِعَتُهُمْ حُصُونُهُم مِّنَ اللَّهِ فَأَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا ۖ وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ ۚ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُم بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ

Dia-lah yang mengeluarkan orang orang kafir diantara Ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama. Kamu tiada menyangka bahwa mereka akan keluar. dan pun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah ; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Allah mencampakkanketakutankedalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orangorang yang mempunyai pandangan.” (al-Hasyr: 59) 

Referensi :
Khazanah Islam Trans 7
asysyariah.com

Sabtu, 29 April 2017

Transendensi Ubudiyah Dan Budaya Politik Muslim
 
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya dan Janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Muslim". (QS 3:102).

Relevansi telaahan ayat di atas bila disimak secara jeli sangatlah fundamental bagi pemeluk agama (Islam), karena definisi taqwa (baca: eksis terhadap kebenaran/ keadilan) pada premis pertama, secara otomatis equalitas terhadap fenomena Muslim (orang Islam/Selamat) dan pada premis kedua makna relatif dari kematian itu sendiri (lihat QS. 3:169) adalah kerusakan, kehancuran, kebinasaan, kerusakan eksternal tatanan masyarakat dan praktis merupakan akibat kausal dari tidak Muslim-nya (quantitas) yang notabene tidak “taqquun”. Agama secara epistemologis (sangskrit) dapat bermakna A (tidak) dan Gama (sesat), dan ekspresi esensial dari agamä (Islam) adalah ubudiyah.

Makna Holistik  
 
Konteks Ubudiyah dalam Islam tidaklah berisfat parsialitas akan tetapi lebih dari itu. Secara etimologis dari makna harfiah ubudiyah berasal dari kata dasar abdi (baca:sembah), dimanifestasikan dalam bentuk amal (kerja) dan tanpa adanya unsur-unsur kepamrihan (mardhatillah). Relief aplikasi ubudiyah itu sendiri pada dasarnya telah bersifat jamak dan dalam pelaksanaannya haruslah universal (holistik) lihat QS 1:208 masuklah kamu ke dalam Islam seluruhnya.

Ibadah sebagai suatu rasa committed-nya penganut agama Islam atau selamat tidak hanya disekat oleh dimensi ruang yang melingkupinya maupun dimensi waktu yang menjatahnya. Akan tetapi implementasi tata aturan hukum (fuqaha) terhadap ibadah. dalam akses pengamalannya di dua dimensi tadi, pada setiap individual Muslim (orang yang selamat) bersifat singkretis. Dan hal tersebut di luar dari pengutamaan nilai-nilai monumentalisme budaya yang sangat tidak substansial. Sekalipun pergerakan Islam pasca periode Makiyah memang dalam aksis budaya, namun tidak mustahil bahwa progresi revolusi kultural Islam diorganisir secara politis vis a vis (non konvensional), yang dalam terminologinya kita kenal dakwah bil lisaan.

Selanjutnya pada periode Madaniyah (fase pematangan ideologi), penetrasi Islam masih tetap mengalami antitese politis. di mana ruang lingkup interaksi sosio kemasyarakatan yang pada saat itu masih berada pada posisi pra-kondisi “negara Islam” (wacana demokrasi). Namun belakangan sejarah mencatat bahwa konstelasi politik sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam pemeluknya), sempat tercipta dan berjalan, demokrasi politik dan aksesnya dalam beberapa parameter, yang merupakan aksentuasi ubudiyah yang lahir atas dasar konvensi- konvensi faksional dan kita kenal kemudian dengan terminologi “Madinah Charter” ), Sedang di lain pihak, dalam perkembangannya kemudian bila akseptasi/penerimaan Islam dalam praksasnya (sebagaimana kita lihat perkembangan interaksi sosial-politik Islam pada fase khulafa maupun di belahan dunia lainnya) secara sedemikian parsial (mengkristal) kontemporer, maka akan berkonsekuensi pada pelencengan-pelencengan dan sekaligus mematikan nilai-nilai progresivitas agama Tauhidiyah tersebut (QS. 2:159). Kendati entry point Islam / tahap rembesan mencoba masuk dalam tahap pemaharnan secara imanental‘).

Rukun Islam/Rukun Iman di manapun konsepsi pencerahan berada dan apapun unsur aliansi yang mempengaruhinya, secara pragmatis masih sangat mafhum terhadap konstelasi poleksosbud setempat dengan nuansa sosial yang masih sangat multikompleks. Dan hal tersebut bukan berarti ia beranjak dalam terminologi “mengalah untuk kalah”. Dalam perspeksi juang jangka pendek (lihat proses konvensi Hudaibiyah prilaku da’wah yang dilakoni oleh sembilan Sunan dalam sejarah klasik) memang agak berkesan sedikit setback, akan tetapi langkah tersebut adalah hanya semata-mata Sebagai tactical aproach tanpa menanggalkan prinsip-prinsip strategis. Mengingat Islam bila kita cermati secara lebih arif dalam kajian-kajian ayati “kandungan” atau implisit dialektika historis, akan kita ketahui betapa Islam agama penyelamat selalu berorientasi pada nilai-nilai juang jangka panjang tanpa bersikap evolutif, mengingat pula Islam mengemban visi dan misi pengutamaan keselamatan alam beserta seluruh isinya “Rahmatan lil ‘Alamiin”.

Kalaupun ada upaya-upaya depolitisasi kehidupan Islam di situasi tertentu adalah permasalahan lain (lihat betapa gagasan Khaldunian menampakkan sisi keputus asaannya). Dan di lain pihak secara pragmatis (persuasi etika dan moral) Islam selalu mampu menangkal setiap interaksi perusak (destruktif) di keempat parameter tadi maupun unsur-unsur SARA pada khususnya dalam bentuk-bentuk solusi yang lebih baru dan futuristik (orientasi masa depan). Hal tersebut dapat dilihat manakala pemahaman dan pelaksanaan ubudiyah Islam kita tarik pada telaahan-telaahan secara transedental) (pencermatan dan pemahaman secara lebih maju).

Politisasi Islam

Secara dialektika historis, (Sejurus Qur’an dengan kitab-kitab sebelumnya, taurat-Zabur dan Injil) faham-faham ilahiyat yang diamanatkan melalui Rasul (utusan-utusan) tidaklah berkehendak memaksakan distingsi (jarak) antara aras positif terhadap negatif berada di atas segalanya. Akan tetapi sedikit banyak dan paling tidak, berupaya untuk menyeimbangkan ruang lingkup kinerja dan aktivitas mahluk (ciptaan) dalam satu kesatuan káusal “samaawaati wal ardh”. Allah menciptakan mahluk-Nya adalah semata-mata hanya untuk beribadah kepada-Nya (. Addzariyaat : 56) di mana konteks ubudiyah (Illa Liya’bud uun) tadi adalah tidak semata-mata hanya bersenyawa dan masyuk dalam nilai-nilai eksluslvisme sektoral tradisionalisme, ritualisme, suffisme), rutinisasi ceremonial, maupun pesan-pesan moral semata. Hingga pada gilirannya substansi Islam sebagai suatu pandangan hidup (poleksosbud), berdampak Semakin bias dan terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu; politik kekuasaan manipulasi praktik konsumsi sosial klinik penyakit bathinisme keserakahan ekonomii sektarianisme religius dll.

Terlepas konteks pengabdian tadi yang signifikan terhadap keadilan sosial, kebenaran, kesejahteraan sosial, telah ikut hanyut terpolusi oleh tata nilai budaya alienatif (barat/Yahudi) sebagaimana penganut agama selamat ala “Islam Orientalis” yang selama ini kita simak perkembangannya. Yang jelas presedensiasi secara lebih mendasar akan ajaran Islam demi terciptanya suatu tatanan masyarakat yang “baldatun thayibatun wa rabbun ghafuur” adalah merupakan amanah keharusan bagi setiap insan sebagai khalifatu fil ardh. Untuk itulah fragmentasi gerakan Islam yang esensinya mengutamakan kemaslahatan ummat harus dimodulir dalam anasir-anasir politik. Tanpa upaya tersebut kesuburan pelaksanaan ibadah secara lebih luas takkan berjalan sebagaimana mestinya, dan pada akhirnya agama hanya berada pada posisi “simbol-simboi mitologi”.

Secara jujur kita akui fenomena budaya politik Islam dalam bingkai realitas sejarah (klasik) maupun kontemporer), yang umumnya penegakan nilai-nilai tahuhidiyah (persatuan dan kesatuan bangsa dalam skala politik) mengalami pasang surut, namun yang menjadi persoalan adalah sejauh manakah fase-fase kompromis dan tenggangan Islam terhadap tantangan multidimensi yang menghadang tanpa bersikap diametral, adalah dengan menyikapi secara politik kebijakan di manapun ia berakses Sedang sifat-sifat militansi para penganutnya (Mustaqimin) yang tersirat dari ketetapan yang sudah tersurat dan merupakan suatu perintah wajib atau fardhu (kifayah/ menyeluruh), ditepis demi kepentingan sektoral sedang mereka (ada sebagian Muslim) berada di dalamnya dan dengan dalihnya demi kepentingan kantung nasi (survival), adalah merupakan “pe-er perang” bagi kita, tanpa secara vulgar ataupun anarkhis dalam penerapannya.

Kekhawatiran Barat Akan Islam 
 
Ada beberapa pejuang yang kalau boleh disebut “mujahidin” telah tampil ke permukaan tanpa persepsi memihak kepada kebenaran diktatorial dalam arti peperangan itu sendiri bukanlah berarti mutlak bermakna pembunuhan.Seorang politikus dalam sejarah kontemporer di Turki, Kemal Attaturk, melihat betapa pengebirian kehidupan beragama mengalami konstelasi represif dari ulah tangan-tangan politik kekuasaan yang saat Itu berkuasa. Serta merta berupaya secara lebih progres kembali menegakkan cita-cita Islam yang sempat tenggalam. Alhasil berkat kegigihan eksistensal perjuangan mereka (kemalis), melalui gerakan budaya keagamaan yang dipolitisir. Turki sempat mengenyam pula kehidupan politik demokratis di masa fase rezim Kemal Attaturk. Kemal melihat dinamika konstalasi demokrasi politik di masa pemerintahan kesultanan Utsmani berjalan stagnan. dan kondisi politik yang sangat represif tersebut dapat berjalan dengan mulusnya karena didukung atas dasar legitimasi “dewan keagamaan”. Oleh karenanya dengan kondisi terebut menjadikan satu motivator bagi wacana perjuangannya beserta rekan-rekan seperjuangannya.

Sosok pendiri dari pejuang-pejuang negeri ini melihat tahapan pendekatan Islam secara pragmatik-politik (perjuangan) terhadap pendekatan paham kebangsaan adalah melalui pendekatan ekonomi kerakyatan. Karena dalam alur-alur kajian teologian. Islam sangat menentang praktik-praktik akumulasi modal yang bersimbiosis dalam bentuk praksis parasitis notabene produk kapitalisme/penjajahan (lihat Amanah 223).

Tak heran para tokoh dari perjuangan tersebut yang kebetulan mayoritas Muslimin-Muslimat, di samplng memang didukungnya oleh unsur-unsur faksionalistik yang konvergen dalam nilai-nilai perjuangan serta dilanjutkan oleh para pewarisnya dalam fase perjuangan di kemudian hari sangat tidak kompromis terhadap praktik-praktik penindasan yang dilakukan oleh kolonialisme (Belanda maupun sekutunya dalam praktik kekinian). Dan hal tersebut masih tetap eksis serta similar terhadap ekspresi ubudiyah kaffatan. Sekalipun belakangan eskploitasi/penghisapan aset-aset ekonomi rakyat dalam bentuk “drainage” sumber daya alam (domestik) yang bahkan masih terus berjalan hingga hari ini. dalam bentuk metamorphosa baru, neokolonialisme, adalah merupakan tantangan bagi kita (generasi muda ya) untuk bersikap. Dan tanpa berasumsi pnoyektif terhadap dinamika Islam, apakah ia sebagai agama yang terkungkung maupun mengungkungi negara.

Yang jelas, Islam masih tetap menyimpan picu pendobrak bagi kalangan pemeluknya dari agama lainnya yang seorientasi dan preseden anti penindasan khususnya di masa-masa mendatang. Oleh kàrenanya tak heran ada satu kekhawatiran saat ini khususnya di kalangan-kalangan pemikir barat (kolonial), bahwa saat ini Islam-lah sebagai musuh yang paling ditakuti kolonialisme setelah pasca runtuhnya Uni Sovyet (sosialisme). Terlebih-lebih sinyalemen tersebut semakin dipertajam oleh adanya konspirasi politis antara Islam-Konfusianisme.

Mengapa demikian? Seperti disitir oleh Roger Garaudy (Huntington 1993), bila konvergensi (pertemuan) antara Islam dengan kawasan ideologi yang berlaku di Indo-china semakin menampakkan relief progresif, maka tak heran pula di lain pihak ancaman aras luar negeri akan mematikan alur hidup kapitalisme dan imperialisme mondial dalam segala bentuk manifestasinya.

Bila demikian konklusinya, akankah muncul sosok mustakimin dan syuhada (pesaksi) yang benar-benar revolusioner dalam disiplin Individual maupun kolektif di tengah-tengah kita, mengingat tantangan selaku motivator gerak telah berada di hadapan kita, tanpa selalu berimage maupun pada situasi dan kondisi tertentu berharap akan datangnya “pemimpin pembawa petunjuk’. Wallahu a’lam bishawab

Senin, 17 April 2017

Imam Abu Daud dan Kitab Sunan-nya

Dalam sejarah ummat Islam, pertentangan antara Ali bin Abi Thalib ra. dan Mu’awwiyah ra. mempunyai pengaruh besar dalam penyusunan ilmu Mushthalah Hadits. Pada masa itu, banyak orang yang membuat-buat ungkapan dan menyandarkannya kepada Rasulullah saw. untuk kepentingan golongan dan madzhabnya atau menggesa Ummat Islam agar selalu dalam ketaatan kepada Allah st (Targhieb dan Tarhieb). Mulailah tersebar hadits-hadits lemah dan palsu. Hal ini dikisahkan oleh Muhammad bin Sirin rahimahullah “Dahulu orang tidak mempertanyakan sanad. Tapi setelah terjadinya fitnah (dengan terbunuhnya Utsman bin Affan ra) orang lalu bcrkata:
Sebutkan kcpada kami rawi-rawimu! Kemudian dilihat, apabila ia termasuk Ahli Sunnah maka diambil haditsnya dan bila ia termasuk Ahli Bid’ah maka ditolak haditsnya” (Muqaddimah Shahih Muslim 1/10, Darul Fikr). Namun di sisi yang berlawanan, terjadinya fitnah tersebut mempunyai andil besar bagi penyusunan kaidah-kaidah periwayatan dalam rangka menjaga keaslian Sunnah Rasulullah saw. dan tambahan dan pengurungan.

Para Ulama dalam bcrbagai tingkatan masa dengan penuh ketekunan dan kesungguhan terus inencari dan menelili hadits kemudian menjelaskannya kepada ummat Islam, lewat pengajaran langsung maupun lewat tulisan. Sebagian Ulama kemudian menghubungkan dengan firman Allah. swt, Sesungguhnya Kami yang telah Menurunkan adz-Dzikr dan Kami pula yang menjaganya (QS. al-Hijr:9). Yakni kalau Allah swt. menjaga al-Qur’an dalam bentuk hafalan dan tulisan serta pcriwayatannya secara Mutawatir, maka Allah menjaga Alhadits lewat para Ulama yang tidak mengenal lelah dan henti dari memurnikan dan menjaganya. Scbab pada hakekatnya, ia juga merupakan wahyu Allah (QS. an-Najm: 3-4). Para Ulama menyusun kaidah-kaidah Hadits yang menyangkut sanad dan matan. Tujuannya adalah membedakan antara Hadits-hadits yang diterima karena sah dari Nabi saw. dengan hadits-hadits yang lemah dan palsu. Kaidah-kaidah inilah yang kemudian dikenal dengan llmu Hadits atau Ilmu Mushthalah Hadits atau juga ilmu Ushuulul Hadits. Demikianlah hingga al-Hadits disusun dan dibukukan secara tertib sehingga memudahkan kita untuk merujuk.

Kitab-kitab Hadits tersebut ditulis dan disusun dalam bentuk yang beragam dari segi manhaj penyusun, gaya dan metode yang dipergunakan untuk masing-masing kitab. Salah satu tipikal adalab Kitab Sunan. Sunan adalah kitab hadits yang disusun berdasarkan tertib bab-bab Fiqh. Ada banyak kitab Sunan; seperti Sunan lbnu Majah, Sunan Daraquthny, Sunan Nasai, Sunan Tirmidzi. Sunan Abu Dawud dll. Dalam risalah singkat ini, insya’ Allah akan sedikit kita bentangkan tentang Sunan Abi Dawud dan manhaj beliau dalam penyusunan kitab tersebut.

Mengenal Imam Abu Dawud Rahimahullah (202-275 H).

Beliau mempunyai nama lengkap Sulaiman bin al-Asy’ats bin Amr al-Azady as Sajastany. Beliau banyak melakukan perjalanan untuk mengumpulkan hadits, menelitinya dan secara khusus menekuni bidang ini. Dalam peejalanannya, beliau banyak menimba ilmu dari para masyayikh (ulama) di Makkah, Kufah, Halab, Harraan, Homs, Damaskus, Baghdad dan Mesir Di antara guru beliau yang terkenal adalah Qutaibah bin Sa’id, Ahmad bin Hanbal,dan Yahya bin Ma’ien. Perjalanan untuk mencari dan mempelajarri Hadits sudah dimulai ketika usia beliau belum genap dua puluh tah.n. Sehingga tidak heran jika kemudian beliau termasuk orang yang banyak menghafal Hadits berikut ilmnya, ilalnya (penyakit-penyakit yang dapat merusak keshahihan suatu hadits), dan sanadnya. Di samping itu, beliau juga terkenal shalih, wara’ dan ahli ibadah. Ibrahim al-Harby rahimahullah berkomentar tentang beliau: “Dilunakkan Hadits kepada Abu Dawud sebagaimana dilunakkan besi kepada Nabi Dawud ‘alaihis-salam”. (Lihat: Siyaar A’laam Nubala 131204).

Manhaj Abu Dawud Dalam Penyusunan Sunan-nya

Sunan Abu Dawud merupakan salah satu kitab hadits yang mu’tabar (diterima dan diakui). Bahkan Ia adalah salah satu dan enam kitab hadits yang terkenal dengan nama -Kutubus-Sittah. Beliau mengkhususkan kitab Sunannya untuk hadits-hadits yang berbicara tentang Hukum dan melakukan perluasan dari segi pengumpulannya, penyebutan haditsnya hingga pada penetapan bab. Beliau menjelaskan hal ini dalam suratnya kepada penduduk Makkah: “Dan hanya saja saya tidak memasukkan dalam kitab Sunan kecuali hadits-hadits seputar Ahkam. Dan aku tidak mengarang buku-buku seputar Zuhud dan Fadhailul-A’mal (Amal-amal yang baik dan utama dikerjakan)”. Sunan Abu Dawud memuat 4800 hadits yang muttahsil (bersambung sanadnya) dan 600 hadits Mursal (Lihat: Risalatu Abi Dawud ilaa Ahli Makkah, ha132). Menurut penomoran yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid,jumlah hadits yang termuat mencapai 5274 hadits. Dari segi jumlah, belum ada yang mendahului beliau dalam hal mengumpulkannya dalam satu kitab khusus. Beliau juga telah melakukan perbandingan antara kitab Sunan-nya dengan kitab al-Muwaththa’ oleh Imam Malik, kitab Hammad bin Salamah dan kitab Ibnul Mubarak dari segi keluasan; yang menambah nilai istimewa bagi kitab beliau (Alfikrul Manhaji’indal Muhadditsin, hal 145).

Beliau memulai bab dengan hadits-hadits yang dapat dijadikan hujjah. Kemudian setelah itu menyebutkan riwayat-riwayat lain yang merupakan penguat bagi riwayat yang di atasnya. Hadits-hadits penguat tersebut apabila ditempatkan secara sendiri maka ia ditolak karena lemah rawi-rawinya. Karenanya, Ia dikaitkan dengan hadits-hadits yang semakna dan dapat dijadikan hujjah. Sebelum beliau dan Imam Tirmidzy, pembagian Hadits hanya terbatas pada Shahih dan Dha’if. Kemudian mereka berdua meluaskannya menjadi tiga bagian; Shahih, Hasan, dan Dha’if Dua bagian yang pertama adalah kelompok Hadits yang layak dijadikan hujjah dan penetapan hukum. Adapun istilah Hasan merupakan peristilahan Tirmidzy, sedang Abu Dawud menggunakan istilah Shalih. Hal ini beliau sebutkan dalam surat beliau kepada penduduk Makkah: “Hadits-hadits yang tidak saya komentari maka ia Shalih. Sebagiannya lebih shah dari sebagian yang lain” (hal. 27). Jadi istilah Shalih mencakup pula Hasan. Bila demikian, maka istilah Shalih dapat disamakan dengan istilah Maqbul.

Sunan Abi Dawud juga memuat hadits-hadits lemah. Beliau berkata “Tidak ada hadits yang sangat lemah dalam kitab saya, kecuali aku jelaskan kelemahannya. Termasuk dalam hal ini, hadits-hadits yang tidak shah sanadnya”. ini menunjukkan bahwa terkadang beliau menyebutkan hadits-hadits yang tidak seberapa lemah dan tidak menjelaskan keadaannya. Bdiau juga banyak menyebutkan hadits-hadits Mursal dalam Sunan-nya.

Mursal adalah Hadits yang terputus di akhir sanad, yaitu pada rawi yang Sesudah Tabi’i (Defenisi Ibnu Hajar dalam Nuthatun-nathr hal 42 yang dikutip dalam Taisiiru Mushthalahil Hadits hal. 71). Artinya, rawi menyebutkan rentetan sanad dari Tabi’i langsung kepada Rasulullah saw. Mengenai pemuatan Hadits-hadits Mursal ini, beliau berkata “Ada- pun Hadits-hadits Mursal maka Ia dipakai oleh Ulama-ulama terdahulu seperti Sufyan ats-Tsaury, Malik bin Anas dan al-Auza’i. Kemudian datang lmam Syafi’i yang membicarakan masalah ini, yang diikuti oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan lainnya ridhwanullah ‘alaihim.

Apabila tidak dijumpai sanad selain yang Mursal dan tidak dijumpai juga al-Musnad (Hadits Marfu’ yang bersambung sanadnya-Pen), maka Mursal dapat dijadikan hujjah meski Ia tidak sekuat Muttashil” (Risalatu Abi Dawud ilaa Ahli Makkah, hal. 24). Perkataan beliau ini menerangkan kepada kita tentang madhzhab beliau mengenai Hadits Mursal,yakni ia merupakan pengganti bagi hadits yang sanadnya bersambung (Muttashil), Inilah yang menyebabkan beliau banyak memasukkan Hadits-hadits Mursal dalam Sunan-nya. Alasan beliau ini tidak dapat diterima, kanena ketiadaan sanad yang bersambung tidak menyebabkan diterimanya sanad yang Mursal. Kecuali bila dipahami bahwa beliau ingin mengikuti Madzhab Syafi’i yang menerima Mursal dengan beberapa syarat. Di antaranya, al-Mursil (orang yang tidak menyebutkan rawi sesudah Tabi’i) harus ulama besar kalangan Tabi’in, dan apabila Ulama Besar Tabi’in itu memberi nama kepada rawi yang tidak disebut itu, Ia menamakannya dengan Tsiqah atau ada komentar dari Ahiul Ilmi yang menyerupainya. Bila terpenuhi syaratnya, maka Mursal bisa dipakai meski tidak sama dengan yang Muttashil (bersambung sanadnya) dari segi kekuatan (al-Fikrul Manhaji, hal. 147).

Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abi Dawud lebih luas karena cakupannya terhadap tingkatan para rawi lebih luas. Beliau meriwayatkan dari thabaqatur ruwaah (tingkatan rawi) hal mana Bukhari dan Muslim rahimahullah tidak meriwayatkan dari mereka. Imam Bukhari meriwayatkan dari rawi-rawi kategori tingkatan Pertama (‘Thabaqatul Ula) dan tingkatan Kedua (Thabaqatuts Tsaniyah), sedang Imam Muslim meriwayatkan dari Tingkatan Ketiga (Thabaqatuts Tsalitsah) dengan menyandarkan pada Tingkatan Pertama dan Kedua. Adapun Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Tingkatan Keempat (Thabaqatur Rabiah) dengan menyandarkan pada tiga tingkatan sebelumnya. Inilah yang menyebabkan luasnya beliau darp segi pertemuan dan periwayatan para rawi.

Keistimewaan lain dari kitab beliau ada pada uraian, penetapan bab dan upaya memahamkan. Dalam merinci masalah, beliau menguraikan hadits-hadits hingga pada masalah-masalah hukum yang memerlukan ketelitan yang bcsar. Dalam kitab Adab misalnya, beliau merinci hingga 180 bab. Di antaranya: Bab tentang bermain dengan burung Merpati, Bab tentang mcngubah nama, Bab tentang gelaran (laqab), Bab tentang orang yang mempunyai kun-yah (sebutan) Abi Isa, Bab tentng orang yang berkun-yah Abil Qasim, Bab tentang orang yang berkun-yah (dengan sebutan Abu) sedang dia tidak mempunyi anak, dsb. Alaa kulli haal, kita dapati dalam Sunan Abi Dawud perincian Sunnah dan yang berupa perkataan (Qaullyah), perbuatan (Fi’liyah), pembenaran terhadap tindakan Shahabat (Taqririyah) dan sifat-sifat Nabi saw. Hal ini menjadikan kita seolah-olah hidup bersama Sunnah Rasulullah saw dalam bentuknya yang sangat luas dan rinci. Wajarlah bila dikatakan bahwa dalam kitab ini terdapat pctunjuk Nabi saw. dalam bentuknya yang sangat terang (al-Fikrul Manhaji, hal. 148).

Imani Abu Dawud dalam kitabnya ini tidak cukup hanya menyebut satu lafazh riwayat dari beberapa riwayat yang berlainan lafazhnya. Misalnya sabda Rasulullah saw.:

Artinya: Barangsiapa yang minta perlindungan kepadamu dengan nama Allah maka berilah perlindungan. Dan siapa yang memita sesuatu kepadamu dengan Nama Allah maka berikanlah.

Riwayat Sahl dan Utsman berbunyi:

Artinya: "Siapa yang memanggilmu, maka penuhilah".

Kemudian rawi-nawi sepakat (sama) pada lafazh:

“Dan siapa yang datang kepadamu dalam rangka kebaikan maka penuhilah”.
Riwayat Musaddad menyebutkan:

“Bila kalian tidak bisa maka berdoalah kepada Allah untuknya, hingga kalian tahu bahwa kalian lelah memenuhinya”.
Kita perhatikan bahwa Abu Dawud menyebutkan tiga lafazh riwayat; masing- masing dari Musaddad, Sahl dan Utsman. Kemudian beliau merinci lafazh masing-masing riwayat tersebut mana yang sama dan mana yang berbeda. Manhaj beliau ini memberikan kepada kita banyak faedah dari segi pengetahuan kita tentang Hadits-hadits Rasulullah saw. (Sunan Abi Dawud 4/447). Demikiantah sekelumit gambaran tentang manhaj Imam Abu Dawud rahimahullah dalam menyusun kitab Sunannya. Hal ini penting kita ketahui karena Ia merupakan salah satu kitab yang merupakan referensi pokok dalam mencari dan meneliti Hadits. Ia memudahkan kita untuk mengkaji nilai-nilai Islam langsung dari sumber aslinya, sehingga asas kejelasan dan ketelitian dalam menyampaikan Islam dapat kita amalkan.

Sebagai khatimah, adalah sangat memprihatinkan kondisi ummat Islam yang saat ini masih terbelenggu oleh budayra Taqlid dan Bid’ah. Mereka iktifa’ (merasa cukup) dengan fatwa si fulan tanpa memperhatikan alasannya. Lebih dari itu, saat ini berkembang trend mengkaji Islam dan filsafat dari pemikiran Barat dan menganggapnya sebagai upaya berislam yang ilmiah dan berbasis ilmu pengetauan (knowledge basic). Hasilnya bukan saja mengaburkan dan hakekat Islam yang sebenarnya tapi juga menggiring ummat dalam kebebasan berfikir yang selalu mendahulukan fikiran dalam memecahkan berbagai masalah dan nash-nash al-Q ur’an dan as-Sunnah. Mereka lupa bahwa Rasulullah saw. dan para shahabat ridhwanullah ‘alaihim yang diridhai oleh Allah swt (QS.at-Taubah: 100) iqtina’ (mencukupkan diri) pada apa yang dijelaskan Allah swt. dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya. Merekalah teladan terbaik dalam mempelajari dan mengamalkan Islam.

Sikap malas ummat Islam dari mempelajari Islam berarti tanda kcbodohan dan kesesatan. Karenanya, para Mutafaqqih fiddien diharuskan untuk sungguh-sungguh dalam mengkaji dan menyampaikan Islam disertai keikhlasan, shabar dan istiqaniah. Di pundak mereka terpanggul lencana kemuliaan ummat dan amanah dari Allah, Rasul-Nya dan ummnat Islam. Wallahu al-Muwaffiq ilaa aqwamith-thariiq

Maraji’ :

Al-Qur’anul Karim
Sahih Muslim
Sunan Abi Dawud
Al Fikrul Manhaji indal Muhadihtsun. Dr Hammam Abdur Rahim Sa’id, Riyasatil maham kim asy.Syariyyah wasy-syu’unidiniyah Qatar, Cet.I, Muharram 1408 H.
Taisiru mushthalabil hadits. Dr Mahmud ath-Thahhaan. Darus.tshaqafatil islamiyah. Beirut. Cet. ketujuh
Syarah mayadzhuumatil baiquniyah (kaset Muhadharah bagian pertama) Syaikh Anis bin Muhammad Thahir, Madinah al-Munawwarsh.