Senin, 17 April 2017

Imam Abu Daud dan Kitab Sunan-nya


Dalam sejarah ummat Islam, pertentangan antara Ali bin Abi Thalib ra. dan Mu’awwiyah ra. mempunyai pengaruh besar dalam penyusunan ilmu Mushthalah Hadits. Pada masa itu, banyak orang yang membuat-buat ungkapan dan menyandarkannya kepada Rasulullah saw. untuk kepentingan golongan dan madzhabnya atau menggesa Ummat Islam agar selalu dalam ketaatan kepada Allah st (Targhieb dan Tarhieb). Mulailah tersebar hadits-hadits lemah dan palsu. Hal ini dikisahkan oleh Muhammad bin Sirin rahimahullah “Dahulu orang tidak mempertanyakan sanad. Tapi setelah terjadinya fitnah (dengan terbunuhnya Utsman bin Affan ra) orang lalu bcrkata:
Sebutkan kcpada kami rawi-rawimu! Kemudian dilihat, apabila ia termasuk Ahli Sunnah maka diambil haditsnya dan bila ia termasuk Ahli Bid’ah maka ditolak haditsnya” (Muqaddimah Shahih Muslim 1/10, Darul Fikr). Namun di sisi yang berlawanan, terjadinya fitnah tersebut mempunyai andil besar bagi penyusunan kaidah-kaidah periwayatan dalam rangka menjaga keaslian Sunnah Rasulullah saw. dan tambahan dan pengurungan.

Para Ulama dalam bcrbagai tingkatan masa dengan penuh ketekunan dan kesungguhan terus inencari dan menelili hadits kemudian menjelaskannya kepada ummat Islam, lewat pengajaran langsung maupun lewat tulisan. Sebagian Ulama kemudian menghubungkan dengan firman Allah. swt, Sesungguhnya Kami yang telah Menurunkan adz-Dzikr dan Kami pula yang menjaganya (QS. al-Hijr:9). Yakni kalau Allah swt. menjaga al-Qur’an dalam bentuk hafalan dan tulisan serta pcriwayatannya secara Mutawatir, maka Allah menjaga Alhadits lewat para Ulama yang tidak mengenal lelah dan henti dari memurnikan dan menjaganya. Scbab pada hakekatnya, ia juga merupakan wahyu Allah (QS. an-Najm: 3-4). Para Ulama menyusun kaidah-kaidah Hadits yang menyangkut sanad dan matan. Tujuannya adalah membedakan antara Hadits-hadits yang diterima karena sah dari Nabi saw. dengan hadits-hadits yang lemah dan palsu. Kaidah-kaidah inilah yang kemudian dikenal dengan llmu Hadits atau Ilmu Mushthalah Hadits atau juga ilmu Ushuulul Hadits. Demikianlah hingga al-Hadits disusun dan dibukukan secara tertib sehingga memudahkan kita untuk merujuk.

Kitab-kitab Hadits tersebut ditulis dan disusun dalam bentuk yang beragam dari segi manhaj penyusun, gaya dan metode yang dipergunakan untuk masing-masing kitab. Salah satu tipikal adalab Kitab Sunan. Sunan adalah kitab hadits yang disusun berdasarkan tertib bab-bab Fiqh. Ada banyak kitab Sunan; seperti Sunan lbnu Majah, Sunan Daraquthny, Sunan Nasai, Sunan Tirmidzi. Sunan Abu Dawud dll. Dalam risalah singkat ini, insya’ Allah akan sedikit kita bentangkan tentang Sunan Abi Dawud dan manhaj beliau dalam penyusunan kitab tersebut.

Mengenal Imam Abu Dawud Rahimahullah (202-275 H).

Beliau mempunyai nama lengkap Sulaiman bin al-Asy’ats bin Amr al-Azady as Sajastany. Beliau banyak melakukan perjalanan untuk mengumpulkan hadits, menelitinya dan secara khusus menekuni bidang ini. Dalam peejalanannya, beliau banyak menimba ilmu dari para masyayikh (ulama) di Makkah, Kufah, Halab, Harraan, Homs, Damaskus, Baghdad dan Mesir Di antara guru beliau yang terkenal adalah Qutaibah bin Sa’id, Ahmad bin Hanbal,dan Yahya bin Ma’ien. Perjalanan untuk mencari dan mempelajarri Hadits sudah dimulai ketika usia beliau belum genap dua puluh tah.n. Sehingga tidak heran jika kemudian beliau termasuk orang yang banyak menghafal Hadits berikut ilmnya, ilalnya (penyakit-penyakit yang dapat merusak keshahihan suatu hadits), dan sanadnya. Di samping itu, beliau juga terkenal shalih, wara’ dan ahli ibadah. Ibrahim al-Harby rahimahullah berkomentar tentang beliau: “Dilunakkan Hadits kepada Abu Dawud sebagaimana dilunakkan besi kepada Nabi Dawud ‘alaihis-salam”. (Lihat: Siyaar A’laam Nubala 131204).

Manhaj Abu Dawud Dalam Penyusunan Sunan-nya

Sunan Abu Dawud merupakan salah satu kitab hadits yang mu’tabar (diterima dan diakui). Bahkan Ia adalah salah satu dan enam kitab hadits yang terkenal dengan nama -Kutubus-Sittah. Beliau mengkhususkan kitab Sunannya untuk hadits-hadits yang berbicara tentang Hukum dan melakukan perluasan dari segi pengumpulannya, penyebutan haditsnya hingga pada penetapan bab. Beliau menjelaskan hal ini dalam suratnya kepada penduduk Makkah: “Dan hanya saja saya tidak memasukkan dalam kitab Sunan kecuali hadits-hadits seputar Ahkam. Dan aku tidak mengarang buku-buku seputar Zuhud dan Fadhailul-A’mal (Amal-amal yang baik dan utama dikerjakan)”. Sunan Abu Dawud memuat 4800 hadits yang muttahsil (bersambung sanadnya) dan 600 hadits Mursal (Lihat: Risalatu Abi Dawud ilaa Ahli Makkah, ha132). Menurut penomoran yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid,jumlah hadits yang termuat mencapai 5274 hadits. Dari segi jumlah, belum ada yang mendahului beliau dalam hal mengumpulkannya dalam satu kitab khusus. Beliau juga telah melakukan perbandingan antara kitab Sunan-nya dengan kitab al-Muwaththa’ oleh Imam Malik, kitab Hammad bin Salamah dan kitab Ibnul Mubarak dari segi keluasan; yang menambah nilai istimewa bagi kitab beliau (Alfikrul Manhaji’indal Muhadditsin, hal 145).

Beliau memulai bab dengan hadits-hadits yang dapat dijadikan hujjah. Kemudian setelah itu menyebutkan riwayat-riwayat lain yang merupakan penguat bagi riwayat yang di atasnya. Hadits-hadits penguat tersebut apabila ditempatkan secara sendiri maka ia ditolak karena lemah rawi-rawinya. Karenanya, Ia dikaitkan dengan hadits-hadits yang semakna dan dapat dijadikan hujjah. Sebelum beliau dan Imam Tirmidzy, pembagian Hadits hanya terbatas pada Shahih dan Dha’if. Kemudian mereka berdua meluaskannya menjadi tiga bagian; Shahih, Hasan, dan Dha’if Dua bagian yang pertama adalah kelompok Hadits yang layak dijadikan hujjah dan penetapan hukum. Adapun istilah Hasan merupakan peristilahan Tirmidzy, sedang Abu Dawud menggunakan istilah Shalih. Hal ini beliau sebutkan dalam surat beliau kepada penduduk Makkah: “Hadits-hadits yang tidak saya komentari maka ia Shalih. Sebagiannya lebih shah dari sebagian yang lain” (hal. 27). Jadi istilah Shalih mencakup pula Hasan. Bila demikian, maka istilah Shalih dapat disamakan dengan istilah Maqbul.

Sunan Abi Dawud juga memuat hadits-hadits lemah. Beliau berkata “Tidak ada hadits yang sangat lemah dalam kitab saya, kecuali aku jelaskan kelemahannya. Termasuk dalam hal ini, hadits-hadits yang tidak shah sanadnya”. ini menunjukkan bahwa terkadang beliau menyebutkan hadits-hadits yang tidak seberapa lemah dan tidak menjelaskan keadaannya. Bdiau juga banyak menyebutkan hadits-hadits Mursal dalam Sunan-nya.

Mursal adalah Hadits yang terputus di akhir sanad, yaitu pada rawi yang Sesudah Tabi’i (Defenisi Ibnu Hajar dalam Nuthatun-nathr hal 42 yang dikutip dalam Taisiiru Mushthalahil Hadits hal. 71). Artinya, rawi menyebutkan rentetan sanad dari Tabi’i langsung kepada Rasulullah saw. Mengenai pemuatan Hadits-hadits Mursal ini, beliau berkata “Ada- pun Hadits-hadits Mursal maka Ia dipakai oleh Ulama-ulama terdahulu seperti Sufyan ats-Tsaury, Malik bin Anas dan al-Auza’i. Kemudian datang lmam Syafi’i yang membicarakan masalah ini, yang diikuti oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan lainnya ridhwanullah ‘alaihim.

Apabila tidak dijumpai sanad selain yang Mursal dan tidak dijumpai juga al-Musnad (Hadits Marfu’ yang bersambung sanadnya-Pen), maka Mursal dapat dijadikan hujjah meski Ia tidak sekuat Muttashil” (Risalatu Abi Dawud ilaa Ahli Makkah, hal. 24). Perkataan beliau ini menerangkan kepada kita tentang madhzhab beliau mengenai Hadits Mursal,yakni ia merupakan pengganti bagi hadits yang sanadnya bersambung (Muttashil), Inilah yang menyebabkan beliau banyak memasukkan Hadits-hadits Mursal dalam Sunan-nya. Alasan beliau ini tidak dapat diterima, kanena ketiadaan sanad yang bersambung tidak menyebabkan diterimanya sanad yang Mursal. Kecuali bila dipahami bahwa beliau ingin mengikuti Madzhab Syafi’i yang menerima Mursal dengan beberapa syarat. Di antaranya, al-Mursil (orang yang tidak menyebutkan rawi sesudah Tabi’i) harus ulama besar kalangan Tabi’in, dan apabila Ulama Besar Tabi’in itu memberi nama kepada rawi yang tidak disebut itu, Ia menamakannya dengan Tsiqah atau ada komentar dari Ahiul Ilmi yang menyerupainya. Bila terpenuhi syaratnya, maka Mursal bisa dipakai meski tidak sama dengan yang Muttashil (bersambung sanadnya) dari segi kekuatan (al-Fikrul Manhaji, hal. 147).

Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abi Dawud lebih luas karena cakupannya terhadap tingkatan para rawi lebih luas. Beliau meriwayatkan dari thabaqatur ruwaah (tingkatan rawi) hal mana Bukhari dan Muslim rahimahullah tidak meriwayatkan dari mereka. Imam Bukhari meriwayatkan dari rawi-rawi kategori tingkatan Pertama (‘Thabaqatul Ula) dan tingkatan Kedua (Thabaqatuts Tsaniyah), sedang Imam Muslim meriwayatkan dari Tingkatan Ketiga (Thabaqatuts Tsalitsah) dengan menyandarkan pada Tingkatan Pertama dan Kedua. Adapun Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Tingkatan Keempat (Thabaqatur Rabiah) dengan menyandarkan pada tiga tingkatan sebelumnya. Inilah yang menyebabkan luasnya beliau darp segi pertemuan dan periwayatan para rawi.

Keistimewaan lain dari kitab beliau ada pada uraian, penetapan bab dan upaya memahamkan. Dalam merinci masalah, beliau menguraikan hadits-hadits hingga pada masalah-masalah hukum yang memerlukan ketelitan yang bcsar. Dalam kitab Adab misalnya, beliau merinci hingga 180 bab. Di antaranya: Bab tentang bermain dengan burung Merpati, Bab tentang mcngubah nama, Bab tentang gelaran (laqab), Bab tentang orang yang mempunyai kun-yah (sebutan) Abi Isa, Bab tentng orang yang berkun-yah Abil Qasim, Bab tentang orang yang berkun-yah (dengan sebutan Abu) sedang dia tidak mempunyi anak, dsb. Alaa kulli haal, kita dapati dalam Sunan Abi Dawud perincian Sunnah dan yang berupa perkataan (Qaullyah), perbuatan (Fi’liyah), pembenaran terhadap tindakan Shahabat (Taqririyah) dan sifat-sifat Nabi saw. Hal ini menjadikan kita seolah-olah hidup bersama Sunnah Rasulullah saw dalam bentuknya yang sangat luas dan rinci. Wajarlah bila dikatakan bahwa dalam kitab ini terdapat pctunjuk Nabi saw. dalam bentuknya yang sangat terang (al-Fikrul Manhaji, hal. 148).

Imani Abu Dawud dalam kitabnya ini tidak cukup hanya menyebut satu lafazh riwayat dari beberapa riwayat yang berlainan lafazhnya. Misalnya sabda Rasulullah saw.:

Artinya: Barangsiapa yang minta perlindungan kepadamu dengan nama Allah maka berilah perlindungan. Dan siapa yang memita sesuatu kepadamu dengan Nama Allah maka berikanlah.

Riwayat Sahl dan Utsman berbunyi:

Artinya: "Siapa yang memanggilmu, maka penuhilah".

Kemudian rawi-nawi sepakat (sama) pada lafazh:

“Dan siapa yang datang kepadamu dalam rangka kebaikan maka penuhilah”.
Riwayat Musaddad menyebutkan:

“Bila kalian tidak bisa maka berdoalah kepada Allah untuknya, hingga kalian tahu bahwa kalian lelah memenuhinya”.
Kita perhatikan bahwa Abu Dawud menyebutkan tiga lafazh riwayat; masing- masing dari Musaddad, Sahl dan Utsman. Kemudian beliau merinci lafazh masing-masing riwayat tersebut mana yang sama dan mana yang berbeda. Manhaj beliau ini memberikan kepada kita banyak faedah dari segi pengetahuan kita tentang Hadits-hadits Rasulullah saw. (Sunan Abi Dawud 4/447). Demikiantah sekelumit gambaran tentang manhaj Imam Abu Dawud rahimahullah dalam menyusun kitab Sunannya. Hal ini penting kita ketahui karena Ia merupakan salah satu kitab yang merupakan referensi pokok dalam mencari dan meneliti Hadits. Ia memudahkan kita untuk mengkaji nilai-nilai Islam langsung dari sumber aslinya, sehingga asas kejelasan dan ketelitian dalam menyampaikan Islam dapat kita amalkan.

Sebagai khatimah, adalah sangat memprihatinkan kondisi ummat Islam yang saat ini masih terbelenggu oleh budayra Taqlid dan Bid’ah. Mereka iktifa’ (merasa cukup) dengan fatwa si fulan tanpa memperhatikan alasannya. Lebih dari itu, saat ini berkembang trend mengkaji Islam dan filsafat dari pemikiran Barat dan menganggapnya sebagai upaya berislam yang ilmiah dan berbasis ilmu pengetauan (knowledge basic). Hasilnya bukan saja mengaburkan dan hakekat Islam yang sebenarnya tapi juga menggiring ummat dalam kebebasan berfikir yang selalu mendahulukan fikiran dalam memecahkan berbagai masalah dan nash-nash al-Q ur’an dan as-Sunnah. Mereka lupa bahwa Rasulullah saw. dan para shahabat ridhwanullah ‘alaihim yang diridhai oleh Allah swt (QS.at-Taubah: 100) iqtina’ (mencukupkan diri) pada apa yang dijelaskan Allah swt. dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya. Merekalah teladan terbaik dalam mempelajari dan mengamalkan Islam.

Sikap malas ummat Islam dari mempelajari Islam berarti tanda kcbodohan dan kesesatan. Karenanya, para Mutafaqqih fiddien diharuskan untuk sungguh-sungguh dalam mengkaji dan menyampaikan Islam disertai keikhlasan, shabar dan istiqaniah. Di pundak mereka terpanggul lencana kemuliaan ummat dan amanah dari Allah, Rasul-Nya dan ummnat Islam. Wallahu al-Muwaffiq ilaa aqwamith-thariiq

Maraji’ :

Al-Qur’anul Karim
Sahih Muslim
Sunan Abi Dawud
Al Fikrul Manhaji indal Muhadihtsun. Dr Hammam Abdur Rahim Sa’id, Riyasatil maham kim asy.Syariyyah wasy-syu’unidiniyah Qatar, Cet.I, Muharram 1408 H.
Taisiru mushthalabil hadits. Dr Mahmud ath-Thahhaan. Darus.tshaqafatil islamiyah. Beirut. Cet. ketujuh
Syarah mayadzhuumatil baiquniyah (kaset Muhadharah bagian pertama) Syaikh Anis bin Muhammad Thahir, Madinah al-Munawwarsh.

0 komentar: