Jumat, 20 Januari 2017

Militer dan Umat Islam


Sejauh hubungan Islam dan Militer di Indonesia bagaikan air laut mengalami pasang surut Tak ada stabilitas sejati bila meninggalkan Islam. Mengapa demikian?

Hubungan Islam dan Miiter di Indonesia sepanjang sejarah tampaknya penuh pasang dan surut. Jika sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah asing kita pahami dalam konteks embrio atau basis terbentuknya satuan militer yang terorganisir modern, maka rasanya tak berlebihan bila dikatakan bahwa kekuatan bersenjata itu tak lain adalah ummat Islam sendiri. Sejarah miiter Indonesia adalah sejarah ummat Islam. Ada banyak alasan untuk itu. Kita mencatat sejarah pahlawan-pahlawan perlawanan terhadap penjajah adalah para pemuka Islam yang mempunyai komitmen kuat menegakkan Islam dan ummat Islam, seperti Teuku Umar, Pangeran Diponegoro, Cut Nya’ Dien, Fatahillah, Imam Bonjol, dan sebagainya. Para pejuang ini bersama lasykar yang tergerak secara simultan dan beberapa di antaranya bahkan terlatih telah membuat kader pasukan-pasukan kolonial yang secara teoritis jauh lebih terdidik.
Demikian pula ihwalnya pada era perang kemerdekaan.

Ummat Islam tetap merupakan garda terdepan dalam mempertahankan keutuhan bangsa. Karuan saja yang muncul dalam pentas perintisan aejarah militer modern adalah dari aktivis Islam. Sebutlah, almarhum Jenderal Soedirman, pada masa mudanya adalah seorang guru dan aktlvis kepanduan Hizbul Wathon yang amat relijius baik pikiran maupun tindakannya. Jenderal Soedirman yang belakangan dikenal sebagai Bapak TENTARA NASIONAL INDONESIA itu adalah seorang perwira tinggi yang Sangat peduli terhadap agama (Islam). Sayangnya, sejarah yang tertulis selama ini sudah carut-marut dengan kepentingan politik, kepentingan rezim, dan kepentingan sekelompok “Instan”. Buku-buku sejarah berjilid-jilid yang diterbitkan resmi pemerintah nyaris tak menyinggung sama sekali sosok Jenderal Soedirrnan yang salih dan taat beragama. Termasuk beberapa buku yang ditulis para sejarawan sekular telah dengan sengaja melupakan aspek relijiusitas Soedirman. Padahal, kalau mau jujur jiwa Soedirman mesti dipahami secara utuh. Bukan sekadar rasa nasionalismenya yang disalahartikan sekadar nasionallsme netral. Nasionalisme SOEDIRMAN sejatinya digerakkan oleh impuls dan penghayatannya terhadap nilai-nilai Islam. Demikian pula bagaimana peranan Hizbullah dalarn kerangka peiuangan. penegakkan kemerdekaan selalu luput dari bidikan sejarawan sekular dan “buku pintar” pemerintah. Sementara sejarawan Islam sendiri belum menelitinya secara lengkap. Alhasil, sejarah militer selalu dikesankan sebagai kekuatan sosial yang mengedepankan “ideologi” pesatuan dan kesatuan, pada saat yang sama mengesampingkan aspek spiritualitas dan menutup mata dari kontribusi besar para pemuka Islam.

Memang, setelah itu ketika terjadi kebijakan nasionalisasi ditubuh militer dan perubahan dari TentaraKeamanan Rakyat kepada Tentara Nasional Indonesia, banyak lasykar Islam yang memiih mundur dan kembali menekuni kehidupan lama. Motivasi mereka sangat sederhana; terjun ke militer karena dorongan naluri mempertahankan agama, nusa dan bangsa. Lasykar-lasykar Hizbullah sebagian besar tidak meneruskan karir di militer. Akibatnya, militer kita kemudian mencari identitasnya sendiri. Dr. Mohammad Natsir pernah menggambarkan mundurnya pemuka Islam itu sebagai kealpaan masa lalu yang tak perlu diulangi
Hubungan Islam dan Miiter terus melorot pada awal Orde Baru. Islam dan tokoh-tokohnya menjadi obyek operasi intelijen di mana-mana. Islam digambarkan sebagai ekstrem kanan, ekstremis. fundamentalis. dan lain-lain. Jenderal Ali Moertopo disebut-sebut sebagai otak penangkapan sejumlah tokoh Islam melalui gerakan imajiner seperti Komando Jihad, Teror Warman, dan Negara Islam Indonesia (NII). Peran itu kemudian dimainkan pula oleh Laksamana Soedomo ketika menjadi Pangkopkamtib, dengan pola yang berbeda. Islam tetap dipandang sebagai “pengacau keamanan”.

Kondisi demikian tetap tak berubah ketika makin banyak kritik dan kecaman. Pada era Jenderal Benny Moerdani kondisinya makin runyam. Pada tahun 1984 meledak Peristiwa Tanjung Priok yang menewaskan 18 orang dan 53 orang luka berat dan ringan (data ini menutur keterangan resmi pemeirntah). Menurut keterangan sumber-sumber Independen, termasuk Amnesti Internasional, jumlahnya yang tewas lebih dari 100 orang. Peristiwa ini sampai sekarang tetap menjadi “misteri” yang perlu dilakukan penyidikan dikemudian hari. sejak tahun 1990, angin segar mulai berhembus kencang pada ummat Islam. Ada sejumlah dinamika internal militer dan perubahan pendulum politik secara fundamental. Militer tak lagi mencurigai Islam dan tokoh-tokohnya. Bahkan, muncul diskursus dan tesis baru, militer tanpa dukungan ummat Islam tak akan mampu menciptakan stabiitas sejati. Dalam kontek Indonesia Islam dan militer mustahil dipisahkan. Apalagi bermusuhan. Ummat makin dewasa. Miiter makin profesional. Jangan lagi menjadi korban “oknum pintar”

0 komentar: